Tafsir Surah Al-Fatihah 1
Surah ke-1. Terdiri dari 7 ayat.
Makkiyyah
1-7: Surah
ini mencakup semua makna/kandungan dalam Al Qur’an dan mengandung maksud-maksud
Al Qur’an yang asasi (dasar) secara garis besar. Oleh karena itulah dinamakan
Ummul Kitab yang artinya induk Al Qur’an
Kandungan surat Al Fatihah
Surat Al Fatihah meskipun singkat, namun mengandung banyak pengetahuan. Di dalamnya terdapat tiga tauhid yang diperintahkan; tauhid rububiyyah (dari ayat "rabbil 'aalmiin"), tauhid uluhiyyah (dari ayat "iyyaaka na'budu") dan tauhid asmaa' wash shifat dengan menetapkan semua sifat sempurna bagi Allah yang telah ditetapkan oleh-Nya dan oleh Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh ayat "Al Hamdulillah", karena nama-nama dan sifat-sifat Allah semuanya terpuji dan merupakan pujian bagi Allah Ta'ala.
Demikian
juga menetapkan kenabian dan kerasulan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
yang diambil dari ayat "Ihdinash shiraathal mustaqiim", karena jalan
yang lurus tersebut adalah jalan yang diterangkan oleh Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam. Surat ini juga menetapkan adanya jazaa'
(pembalasan amal) dan bahwa hal itu dilakukan dengan adil berdasarkan ayat
"Maaliki yaumiddiin". Surat ini juga menguatkan Aqidah Ahlussunnah
wal Jama'ah tentang masalah qadar, yakni bahwa semua terjadi dengan qadar Allah
dan qadhaa'-Nya, dan bahwa seorang hamba melakukan perbuatannya secara hakikat;
tidak dipaksa dalam berbuat. Hal ini dapat diketahui dari ayat "Iyyaaka
na'budu wa iyyaaka nasta'iin". Surat ini juga menerangkan pokok kebaikan,
yaitu ikhlas, sebagaimana diambil dari ayat " Iyyaaka na'budu wa iyyaaka
nasta'iin".
Karena surat
ini begitu agung dan mulia, Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya membacanya di
setiap rak'at dalam shalat mereka baik shalat fardhu maupun sunat. Di surat
tersebut Allah mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya bagaimana mereka memuji dan
menyanjung-Nya, lalu mereka meminta kepada Tuhan mereka segala yang mereka
butuhkan. Di surat ini pun terdapat bukti butuhnya mereka kepada Tuhan mereka,
baik butuhnya hati mereka dipenuhi rasa cinta dan pengenalan kepada-Nya dan
butuhnya mereka agar dibantu dalam menyelesaikan urusan mereka serta diberi
taufiq agar dapat mengabdi kepada-Nya.
Contoh ayat-ayat yang menerangkan
lebih lanjut surat Al Fatihah
Sebagaimana
diterangkan bahwa semua isi Al Qur'an merupakan penjelasan lebih rinci terhadap
masalah yang yang disebutkan secara garis besar dalam surat Al Fatihah. Berikut
ini contohnya:
Firman Allah, "Al
hamdulillahi." diterangkan oleh surat Al Baqarah: 186 dan 286.
Firman Allah, "Rabbil 'aalamiin" diterangkan oleh surat Al Baqarah: 21-22 dan 29.
Firman Allah, "Ar Rahmaanir rahiim" diterangkan oleh surat Al Baqarah: 37 dan 126
Firman Allah, "Maaliki yaumiddin." diterangkan oleh surat Al Baqarah: 284.
Firman Allah, "Iyyaaka na'budu." diterangkan oleh surat Al Baqarah secara lebih rinci, di mana di sana diterangkan masalah bersuci, shalat lima waktu, shalat jama'ah, shalat khauf, shalat Ied, zakat, puasa, I'tikaf, sedekah, umrah dan haji, mu'amalah secara Islam, warisan, wasiat, berbagai masalah pernikahan, penyusuan anak, nafkah, tentang hukum qishas, diyat, memerangi pemberontak dan orang yang murtad, tentang bjihad, tentang makanan, sembelihan, sumpah, nadzar, peradilan (qadhaa'), persaksian, memerdekakan budak dsb. semua ini merupakan bab-bab syari'at yang diterangkan dalam surat Al Baqarah.
Firman Allah, "Wa iyyaka nasta'iin" mewakili ilmu tentang akhlak.
Firman Allah, "Ihdinash shiraathal mustaqiim." diterangkan dalam surat-surat setelahnya yang menyebutkan jalannya para nabi dan jalan orang-orang yang menyelisihinya. wal hamdulillahi rabbil 'aalamiin.
Firman Allah, "Rabbil 'aalamiin" diterangkan oleh surat Al Baqarah: 21-22 dan 29.
Firman Allah, "Ar Rahmaanir rahiim" diterangkan oleh surat Al Baqarah: 37 dan 126
Firman Allah, "Maaliki yaumiddin." diterangkan oleh surat Al Baqarah: 284.
Firman Allah, "Iyyaaka na'budu." diterangkan oleh surat Al Baqarah secara lebih rinci, di mana di sana diterangkan masalah bersuci, shalat lima waktu, shalat jama'ah, shalat khauf, shalat Ied, zakat, puasa, I'tikaf, sedekah, umrah dan haji, mu'amalah secara Islam, warisan, wasiat, berbagai masalah pernikahan, penyusuan anak, nafkah, tentang hukum qishas, diyat, memerangi pemberontak dan orang yang murtad, tentang bjihad, tentang makanan, sembelihan, sumpah, nadzar, peradilan (qadhaa'), persaksian, memerdekakan budak dsb. semua ini merupakan bab-bab syari'at yang diterangkan dalam surat Al Baqarah.
Firman Allah, "Wa iyyaka nasta'iin" mewakili ilmu tentang akhlak.
Firman Allah, "Ihdinash shiraathal mustaqiim." diterangkan dalam surat-surat setelahnya yang menyebutkan jalannya para nabi dan jalan orang-orang yang menyelisihinya. wal hamdulillahi rabbil 'aalamiin.
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (١) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
(٢)الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (٣) مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (٤) إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (٥) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (٦) صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا
الضَّالِّينَ (٧
Terjemah Surat Al Fatihah
1. Dengan menyebut nama Allah yang
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[2].
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.[5]
6. Tunjukkanlah kami[10]
jalan yang lurus,
7. (yaitu) jalan orang-orang yang
telah Engkau berikan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai
dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[11]
[1] Surat Al Faatihah (Pembukaan) yang diturunkan
di Mekah dan terdiri dari 7 ayat ini adalah surat yang pertama diturunkan
secara lengkap di antara surat-surat yang ada dalam Al Quran, ia termasuk
golongan surat Makkiyyah. Surat ini disebut Al Faatihah (Pembukaan),
karena dengan surat inilah dibuka dan dimulainya Al Quran. Allah subhaanahu wa
Ta'ala memulai kitab-Nya dengan surat ini, karena surat ini menghimpun tujuan
dan maksud Al Qur'an. Oleh karena itu, surat ini dinamakan Ummul Quran
(induk Al Quran) atau Ummul Kitaab (induk Al Kitab) karena dia merupakan
induk dari semua isi Al Quran.
Oleh karena
itu, diwajibkan membacanya pada setiap shalat. Al Hasan Al Basri berkata, "Sesungguhnya
Allah menyimpan ilmu-ilmu yang ada dalam kitab-kitab terdahulu di dalam Al
Qur'an, kemudian Dia menyimpan ilmu-ilmu yang ada dalam Al Qur'an di dalam
surat Al Mufashshal (surat-surat yang agak pendek), dan Dia menyimpan ilmu-ilmu
yang ada dalam surat Al Mufashshal di dalam surat Al Fatihah. Oleh karena itu,
barang siapa yang mengetahui tafsirnya, maka ia seperti mengetahui tafsir semua
kitab-kitab yang diturunkan." (Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam
Syu'abul Iman). Mencakupnya isi surat Al Fatihah terhadap semua ilmu yang ada
di dalam Al Qur'an ditunjukkan oleh Az Zamakhsyari, yaitu karena di dalam Al
Fatihah terdapat pujian bagi Allah yang sesuai, terdapat peribadatan
kepada-Nya, terdapat perintah dan larangan serta terdapat janji dan ancaman,
sedangkan ayat-ayat Al Qur'an tidak lepas dari semua ini. Dengan demikian,
semua isi Al Qur'an merupakan penjelasan lebih rinci terhadap masalah yang yang
disebutkan secara garis besar dalam surat Al Fatihah.
Surat ini
dinamakan pula As Sab'ul matsaany (tujuh yang berulang-ulang) karena
ayatnya ada tujuh dan dibaca berulang-ulang dalam shalat. Tentang keutamaan
surat ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ألاَ أُخْبِرُكَ بِأَخْيَرَ سُوْرَةٍ فِي اْلقُرْآنِ { الحمد لله
رب العالمين }
"Maukah
aku beritahukan kepadamu surat yang terbaik dalam Al Qur'an? Yaitu Al
Hamdulillahi rabbil 'aalamin." (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 2592)
[2] Maksudnya
adalah "Saya memulai membaca surat Al-Fatihah ini dengan menyebut nama
Allah sambil memohon pertolongan kepada-Nya agar dapat membaca firman-Nya,
memahami maknanya dan dapat mengambilnya sebagai petunjuk." Setiap pekerjaan
yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum,
menyembelih hewan, menaiki kendaraan, membaca Al Qur'an di awal surat, masuk
dan keluar masjid, mengunci pintu, masuk dan keluar rumah, menulis surat, hendak
berwudhu' dan sebagainya.
Allah ialah
nama Zat Yang Mahasuci, yang satu-satunya berhak disembah dengan sebenarnya
disertai rasa cinta, takut dan berharap kepada-Nya, Zat yang tidak membutuhkan
makhluk-Nya, tetapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah):
salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah memiliki rahmat
(kasih-sayang) yang luas mengena kepada semua makhluk-Nya, sedangkan Ar Rahiim
artinya Allah Maha Penyayang kepada orang-orang mukmin. Kepada orang-orang
mukmin itu diberikan-Nya rahmat yang mutlak, selain mereka hanya memperperoleh
sebagian daripadanya. Ar Rahmaan dan Ar Rahiim merupakan nama Allah yang
menetapkan adanya sifat rahmah (sayang) bagi Allah Ta'ala
sesuai dengan kebesaran-Nya.
[3] Alhamdu
artinya segala puji. Memuji dilakukan karena perbuatannya yang baik. Maka
memuji Allah berati menyanjung-Nya karena perbuatan-Nya yang baik seperti
melimpahkan karunia dan berbuat adil, karena sifat-sifat-Nya yang sempurna dan
karena nikmat-nikmat-Nya yang begitu banyak yang dilimpahkan-Nya kepada kita
baik nikmat yang berkaitan dengan agama maupun dunia.
Syaikh Ibnu
'Utsaimin berkata, "Al Hamdu adalah menyifati yang dipuji dengan kesempurnaan
disertai rasa cinta dan pengagungan; baik kesempurnaan dzaat, sifat maupun
perbuatan-Nya." Dengan demikian dalam memuji Allah Ta'ala harus disertai
rasa cinta dan pengagungan serta ketundukan, karena jika tidak seperti ini
bukan merupakan pujian yang sempurna.
Kita
menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena dari Allah sumber segala
kebaikan yang kita peroleh. Di dalam ayat ini mengandung perintah kepada semua
hamba agar memuji Allah Ta'ala. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah Ta'ala
berhak mendapatkan pujian sempurna dari segala sisi, oleh karena itu Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mendapatkan hal yang menyenangkan
mengucapkan "Al Hamdulillahilladziy bini'matihi tatimmush shaalihaat"
(segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya amal shalih menjadi sempurna),
dan ketika Beliau memperoleh selain itu, Beliau tetap mengucapkan "Al
Hamdulillah 'alaa kulli haal" (segala puji bagi Allah dalam semua keadaan)
sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah (3803).
[4] Rabb
(tuhan) berarti Tuhan yang ditaati yang Memiliki, Mendidik, Mengurus dan
Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Allah, kecuali kalau
ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam)
adalah semua yang diciptakan Allah yang terdiri dari berbagai jenis dan macam,
seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan
sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu, Dia-lah yang menciptakan semua
makhluk, yang mengurus urusan mereka, mengurus semua makhluk-Nya dengan
nikmat-nikmat-Nya dan mengurus para wali-Nya dengan iman dan amal yang shalih.
Dengan
demikian, pemeliharaan Allah Ta'ala kepada alam semesta itu ada yang umum dan
ada yang khusus. Yang umum adalah diciptakan-Nya mereka, diberi-Nya rezeki,
diberi-Nya mereka petunjuk kepada hal-hal yang bermaslahat bagi mereka agar
mereka dapat hidup di muka bumi, sedangkan yang khusus adalah dengan
dididik-Nya para wali-Nya dengan iman dan amal shalih atau diberi-Nya taufiq
kepada setiap kebaikan dan dihindarkan dari semua keburukan. Mungkin inilah
rahasia mengapa do'a yang diucapkan para nabi kebanyakan menggunakan lafaz Rabb
(seperti Rabbi atau Rabbanaa). Ayat ini menunjukkan bahwa hanya Allah-lah
Rabbul 'aalamin; yang menciptakan, mengatur, memberi rezeki, menguasai dan
memiliki alam semesta; tidak ada Rabb selain-Nya.
[5] Tentang
makna Ar Rahmaan dan Ar Rahiim sudah diterangkan sebelumnya. Disebutkannya ayat
ini setelah "Al Hamdu lillahi Rabbil 'aalamiin" untuk memberitahukan
bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala mengurus alam semesta ini tidak dengan
menyiksa dan memaksa, bahkan atas dasar kasih-sayang-Nya.
[6] Maalik
(yang menguasai) dengan memanjangkan mim, berarti: pemilik. dapat pula dibaca
dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja. Dihubungkannya
kepemilikan hari pembalasan kepada-Nya meskipun milik-Nya dunia dan akhirat,
karena pada hari itu kelihatan dengan jelas kekuasaan dan kepemilikan-Nya. Pada
hari itu antara raja-raja di dunia dengan rakyat sama tidak ada perbedaan,
mereka tunduk kepada keagungan-Nya, menunggu pembalasan-Nya, mengharapkan
pahala-Nya dan takut terhadap siksa-Nya.
[7] Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang di waktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya baik atau buruk. Yaumiddin disebut juga yaumul qiyaamah, yaumul hisaab, yaumul jazaa' dan sebagainya. Dibacanya ayat ini oleh seorang muslim dalam setiap shalat untuk mengingatkannya kepada hari akhir; hari di mana amalan diberikan balasan. Demikian juga mendorong seorang muslim untuk beramal shalih dan menghindari kemaksiatan.
[8] Na'budu diambil dari kata 'ibaadah yang artinya kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena keyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya disertai rasa cinta dan berharap kepada-Nya. Ditambahkan rasa cinta, karena landasan yang harus ada pada seseorang ketika beribadah itu ada tiga: rasa cinta kepada Allah Ta’ala, rasa takut dan tunduk kepada Allah Ta’ala dan rasa berharap.
[7] Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang di waktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya baik atau buruk. Yaumiddin disebut juga yaumul qiyaamah, yaumul hisaab, yaumul jazaa' dan sebagainya. Dibacanya ayat ini oleh seorang muslim dalam setiap shalat untuk mengingatkannya kepada hari akhir; hari di mana amalan diberikan balasan. Demikian juga mendorong seorang muslim untuk beramal shalih dan menghindari kemaksiatan.
[8] Na'budu diambil dari kata 'ibaadah yang artinya kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena keyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya disertai rasa cinta dan berharap kepada-Nya. Ditambahkan rasa cinta, karena landasan yang harus ada pada seseorang ketika beribadah itu ada tiga: rasa cinta kepada Allah Ta’ala, rasa takut dan tunduk kepada Allah Ta’ala dan rasa berharap.
Oleh karena
itu, kecintaan saja yang tidak disertai dengan rasa takut dan kepatuhan,
seperti cinta terhadap makanan dan harta, tidaklah termasuk ibadah. Demikian
pula rasa takut saja tanpa disertai dengan cinta, seperti takut kepada binatang
buas, maka itu tidak termasuk ibadah. Tetapi jika suatu perbuatan di dalamnya
menyatu rasa takut dan cinta maka itulah ibadah. Dan tidaklah ibadah itu
ditujukan kecuali kepada Allah Ta'ala semata. Dalam ayat ini terdapat dalil
tidak bolehnya mengarahkan satu pun ibadah (seperti berdo'a, ruku', sujud,
thawaf, istighatsah/meminta pertolongan), berkurban dan bertawakkal) kepada selain Allah Ta'ala.
[9] Nasta'iin
(minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk
dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga
sendiri. Dalam ayat ini terdapat obat terhadap penyakit ketergantungan kepada
selain Allah Ta'ala, demikian juga obat terhadap penyakit riya', 'ujub (bangga
diri) dan sombong.
Disebutkannya
isti'anah kepada Allah Ta'ala setelah ibadah memberikan pengertian bahwa
seseorang tidak dapat menjalankan ibadah secara sempurna kecuali dengan
pertolongan Allah Ta'ala dan menyerahkan diri kepada-Nya. Ayat ini menunjukkan
lemahnya manusia mengurus dirinya sendiri sehingga diperintahkannya untuk
meminta pertolongan kepada-Nya Berdasarkan ayat ini juga bahwa beribadah dan
meminta pertolongan kepada-Nya merupakan sarana memperoleh kebahagiaan yang
kekal dan terhindar dari keburukan. Perbuatan dikatakan ibadah jika diambil
dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan diniatkan ikhlas karena Allah
Ta'ala.
Perlu
diketahui bahwa isti'anah (meminta pertolongan) terbagi dua:
- Isti’anah tafwidh, meminta pertolongan dengan menampakkan kehinaan, pasrah dan sikap harap, ini hanya boleh kepada Allah saja, syirk hukumnya bila mengarahkan kepada selain Allah.
- Isti’anah musyarakah, meminta pertolongan dalam arti meminta keikut-sertaan orang lain untuk turut membantu, maka tidak mengapa kepada makhluk, namun dengan syarat dalam hal yang mereka mampu membantunya.
- Isti’anah tafwidh, meminta pertolongan dengan menampakkan kehinaan, pasrah dan sikap harap, ini hanya boleh kepada Allah saja, syirk hukumnya bila mengarahkan kepada selain Allah.
- Isti’anah musyarakah, meminta pertolongan dalam arti meminta keikut-sertaan orang lain untuk turut membantu, maka tidak mengapa kepada makhluk, namun dengan syarat dalam hal yang mereka mampu membantunya.
[10] Ihdina
(tunjukkanlah kami), dari kata hidayaat yang artinya memberi petunjuk ke suatu
jalan yang lurus (irsyad). Yang dimaksud di ayat ini bukan sekedar memberi
hidayah saja (yakni tidak hanya hidayah irsyad), tetapi juga meminta diberi
taufik (dibantu menempuh jalan yang lurus). Oleh karenanya kata ihdinaa
langsung dilanjutkan dengan shiraathal mustaqiim, tidak dipisah dengan kata
"ilaa" (ke) yang berarti "tunjukkanlah kami ke ….."
karena ia meminta dua hidayah (irsyad dan taufiq). Oleh karena itu, arti ayat
ini adalah "Tunjukkanlah kami jalan yang lurus dan bantulah kami
menempuh jalan itu serta teguhkanlah kami di atasnya sampai kami berjumpa
dengan-Mu". Jalan yang lurus itu adalah Islam; sebagai jalan yang
dapat mengarah kepada keridhaan Allah dan surga-Nya, jalan yang telah
diterangkan oleh Rasul-Nya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga
seseorang tidak dapat bahagia kecuali dengan istiqamah di atasnya.
Dengan
demikian, di ayat ini kita juga meminta kepada Allah Ta'ala agar dapat
istiqamah di atas jalan yang lurus itu sampai akhir hayat mengingat hati yang
lemah mudah berbalik dan karena hidup di dunia penuh dengan liku-liku, penuh
dengan gelombang cobaan dan fitnah yang begitu dahsyat yang dapat menghanyutkan
seorang mukmin. Sungguh berbahagialah orang yang tetap mendirikan shalat karena
do'a yang dipanjatkannya ini, berbeda dengan orang yang meninggalkan shalat;
yang tidak lagi memanjatkan do'a ini sehingga mudah sekali ia terbawa oleh arus
fitnah itu yang membuat dirinya binasa –wal 'iyaadz
billah-.
[11] Orang-orang
yang diberi nikmat oleh Allah adalah para nabi, para shiddiqin, para syuhada
dan orang-orang shalih berdasarkan surat An Nisaa': 69, jalan merekalah yang
kita minta. Merekalah ahlul hidayah wal istiqamah (orang-orang yang memperoleh
hidayah dan dapat beristiqamah), ciri jalan mereka adalah setelah mengetahui
yang hak (benar), mereka mengamalkannya (belajar dan beramal).
Adapun
orang-orang yang dimurkai (baik oleh Allah maupun oleh kaum mukminin) adalah
orang-orang yahudi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka. Ciri jalan
mereka adalah setelah mengetahui yang hak, mereka tidak mau mengamalkan
sehingga mereka dimurkai (belajar dan tidak beramal).
Sedangkan
orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani dan orang-orang yang
mengikuti jalan mereka. Ciri jalan mereka adalah tidak mengenal yang hak
sehingga mereka tersesat (beramal tanpa belajar). Di dalam ayat ini terdapat
obat penyakit juhud (membangkang), jahl (kebodohan) dan dhalaal (tersesat). Dianjurkan
setelah membaca ayat ini di dalam shalat mengucapkan "aamiiiiiin"
yang artinya "Ya Allah, kabulkanlah", ia tidaklah termasuk ayat dari
surat Al Fatihah berdasarkan kesepakatan para ulama, oleh karena itu mereka
tidak menuliskannya di dalam mushaf-mushaf.
Semoga
Bermamfaat, Shukran Jazakallah Khairan@
0 Response to "Tafsir Surah Al-Fatihah 1"
Post a Comment