Ilmu Hadits: Doa Masuk Rumah
Dikeluarkan Abu Daud dalam Sunan-nya (5096),
حَدَّثَنَا ابْنُ
عَوْفٍ ، حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ
إِسْمَاعِيل ،
قَالَ : حَدَّثَنِي أَبِي
، قَالَ ابْنُ
عَوْفٍ وَرَأَيْتُ فِي
أَصْلِ إِسْمَاعِيل ،
قَالَ : حَدَّثَنِي ضَمْضَمٌ
، عَنْ شُرَيْحٍ
، عَنْ أَبِي
مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ ، قَالَ
: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : ” إِذَا
وَلَجَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ
، فَلْيَقُلْ : اللَّهُمَّ
إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَ
الْمَوْلَجِ وَخَيْرَ
الْمَخْرَجِ ،
بِسْمِ اللَّهِ وَلَجْنَا
وَبِسْمِ اللَّهِ
خَرَجْنَا وَعَلَى
اللَّهِ رَبِّنَا
تَوَكَّلْنَا ،
ثُمَّ لِيُسَلِّمْ عَلَى
أَهْلِهِ “
Ibnu
‘Auf menyampaikan hadits kepada kami, Muhammad bin Isma’il menyampaikan hadits
kepada kami, ia berkata: ayahku (Isma’il) menyampaikan hadits kepadaku, dan aku
juga melihat dalam kitab-nya Isma’il, ia berkata: Dhamdham menyampaikan hadits
kepadaku, dari Syuraih, dari Abu Malik Al Asyja’i, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda: “jika seseorang masuk ke rumahnya, hendaknya ia
mengucapkan: Allahumma inni asaluka khayra maulaji, wa khayral makhraji,
bismillahi walajna, wa bismillahi khrajna, wa ‘alallahi rabbana tawakkalna (Ya
Allah aku memohon kepadamu sebaik-baik tempat masuk dan sebaik-baik tempat
keluar. Dengan nama Allah, kami masuk, Dan dengan nama Allah kami keluar. Dan
kepada Allah juga lah, wahai Rabb kami, kami bertawakkal). Lalu baru setelah
itu mengucapkan salam kepada penghuninya”
Juga dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir
(3375) dari Hasyim dari Muhammad bin Isma’il, dan Al Baihaqi dalam Ad
Da’awat Al Kabir (407) dari jalan Abu Daud, dengan sanad yang sama.
Derajat hadits
Semua perawi hadits ini tsiqah kecuali Muhammad bin
Isma’il dan ayahnya, Isma’il bin ‘Ayyasy.
Mengenai Muhammad bin Isma’il, Abu Zur’ah Ar Razi
mengatakan: “ia tidak mengetahui ilmu hadits”. Abu Daud sendiri menyatakan
tentangnya: “ia tidak pandai”, bersamaan dengan itu Abu Daud mendiamkan riwayat
ini, yang merupakan isyarat bahwa ia menganggap Muhammad bin Isma’il tidak
mengapa dan hasan haditsnya.
Namun masalah lainnya, ternyata ia tidak meriwayatkan hadits
dari ayahnya dengan sima‘ (mendengar langsung). Abu Hatim menyatakan:
“ia tidak mendengar satu hadits pun dari ayahnya”. Ibnu Hajar juga mengatakan:
“para ulama mencacatinya karena ia menerima hadits dari ayahnya tanpa sima’”.
Padahal Muhammad bin Isma’il menggunakan lafadz ‘haddatsani’ yang pada asalnya
dipahami sebagai sima’. Ketika ditanya mengenai kasus Muhammad bin
Isma’il ini, Asy Syaikh Al Muhaddits Abdul Muhsin Al Abbad mengatakan:
لا أدري،
هل كلمة: “حدثني”
المقصود بها
أنه سمع منه.
-وهذا هو الأصل
فيها- أو تجوزاً؟
لكن قد تستعمل:
“حدثني” بمعنى: “أخبرني”، وتطلق على
العرض الذي هو
السماع من الشيخ،
ومعلوم أن هذا
يعتبر مثل السماع
“aku
tidak tahu apakah perkataan ‘haddatsani‘ di sini maksudnya bahwa ia
mendengar langsung dari ayahnya (dan ini hukum asalny) ataukah sekedar tajawwuz
(kiasan). Namun perkataan ‘haddatsani‘ terkadang bermakna ‘akhbarani‘
(telah mengabarkan kepadaku), dan dimutlakkan kepada bentuk penyampaian yang
intinya ada unsur mendengar dari seorang guru. Dan telah diketahui bersama
bahwa lafadz ‘akhbarani‘ itu dianggap setara dengan sima’” (web
islamlight).
Sehingga
tidak ada masalah dengan Muhammad bin Isma’il, terlebih lagi dalam riwayat di
atas ia di-mutaba’ah oleh Ibnu ‘Auf, walhamdulillah.
Adapun mengenai Isma’il bin ‘Ayyasy, Ad Daruquthni berkata:
“haditsnya mutharib”. Ibnu Khuzaimah berkata: “para ulama tidak berhujjah
dengannya”. Waki berkata: “ia mukhtalith dalam meriwayatkan hadits”.
Ibnul Jauzi juga mengatakan: “ketika menua, hafalannya berubah. Ia banyak salah
dalam meriwayatkan hadits, sedangkan ia sendiri tidak menyadarinya”.
Namun keadaannya ini dikecualikan jika ia meriwayatkan
hadits dari perawi ahlus Syam, yang satu negeri dengannya. Al Bukhari
mengatakan: “jika ia menyampaikan hadits dari perawi dari negerinya, maka
shahih. Namun jika ia menyampaikan hadits dari perawi dari selain negerinya,
maka perlu ditinjau”. Ibnu Hajar juga mengatakan: “shaduq jika meriwayatkan
hadits dari perawi dari negerinya, dan mukhtalith jika dari selain negerinya”.
An Nasa-i mengatakan: “ia shalih dalam riwayat dari ahlus Syam”. Al Hakim juga
menyatakan: “riwayatnya dhaif jika selain dari penduduk Syam”. Dan dalam hal
ini ia meriwayatkan dari Dhamdham yang termasuk ahlus Syam, walhamdulillah.
Sampai di sini hadits di atas minimalnya hasan. Sebagaimana
diisyaratkan oleh Abu Daud ketika mengeluarkan hadits ini tanpa
mengomentarinya, juga dihasankan oleh Syaikh Ibnu Baz dalam Hasyiyah
Bulughul Maram (771), dan qaul qadim dari Syaikh Al Albani dalam Shahih
Al Jami (839).
Namun terdapat masalah lain, yaitu apakah Syuraih
meriwayatkan hadits dari Abu Malik Al Asy’ari radhiallahu’anhu atau
bahkan para sahabat yang lain. Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya menyebutkan
Syuraih meriwayatkan hadits dari beberapa sahabat semisal Abud Darda, Mu’awiyah
bin Abi Sufyan, Abu Dzar, Al Harits bin Al Harits, Abu Malik Al Asy’ari, dan
lainnya. Namun ini dibantah oleh Muhammad bin ‘Auf Al Hamshi, yang masih satu
negeri dengannya, mengatakan: “ia (Syuraih) tidak pernah mendengar hadits dari
Abud Darda’, dan aku menyangka kuat bahwasanya ia tidak pernah mendengar hadits
dari sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena ia tidak pernah
menyatakan hal itu sedikitpun, padahal ia tsiqah”.
Namun pernyataan ini tidak sepenuhnya benar, karena Syuraih
memang meriwayatkan dari beberapa sahabat Nabi. Imam Al Bukhari dalam At
Tarikh Al Kabir berkata: “ia mendengar hadits dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan
dan Fadhalah bin Ubaid”. Abu Hatim berkata : “Syuraih tidak pernah bertemu Abu
Umamah, Al Harits bin Al Harits dan Al Miqdam”. Abdurrahman bin Abi Hatim juga
mengatakan: “aku mendengat ayahku berkata: Syuraih bin Ubaid dari Abu Malik Al
Asy’ari secara mursal”. Abu Zur’ah juga mengatakan: “Syuraih bin ‘Ubaid
dari Abu Bakr radhiallahu’anhu secara mursal”.
Inilah yang insya Allah lebih kuat, bahwa Syuraih
tidak pernah mendengar hadits dari Abu Malik dan tidak pernah meriwayatkan
hadits dari Abu Malik kecuali secara mursal. Sehingga terdapat inqitha’
dalam riwayat ini. Syaikh Al Albani dalam takhrij-nya terhadap Al
Misykah (2378) mengatakan: “hadits ini shahih sanadnya andaikan tidak ada inqitha‘”.
Beliau juga dalam takhrij-nya terhadap Kalimut Thayyib (62)
mengatakan: “hadits ini munqathi’”.
Kesimpulannya,
hadits ini dhaif (lemah) karena munqathi’. Wallahu a’lam.
Semoga Bermamfaat, Shukran Jazakallah Khairan@