Tafsir Surah Al-Fatihah
Keutamaan Surat Al-Fatihah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al
Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu
‘anhu)
Dalam sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa
yang shalat tidak membaca Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya
pincang (khidaaj).” (HR. Muslim)
Makna
dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits
tersebut, “Tidak lengkap”. Berdasarkan hadits ini dan hadits sebelumnya
para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya,
serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah di dalam
shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
Kedua:
Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu,
beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,
“Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al Quran sebelum kamu
keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng
tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai
Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat paling
agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu adalah)
Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani
(tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim
yang dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush
Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)
Penjelasan
Tentang Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah
Makna bacaan Ta’awwudz
أَعُوْذُ
بِاللِه مِنَ الشََّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Artinya:
“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan
godaan syaitan agar dia tidak menimpakan bahaya kepadaku dalam urusan agama
maupun duniaku.” Syaitan selalu menempatkan dirinya sebagai musuh bagi kalian.
Oleh sebab itu maka jadikanlah diri kalian sebagai musuh baginya. Syaitan
bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan
sumpah syaitan ini di dalam Al Quran,
قَالَ
فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُ
“Demi
kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu
yang terpilih (yang diberi anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)
Dengan demikian tidak ada yang bisa selamat dari jerat-jerat
syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah ibadah.
Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Karena menujukan
ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Orang yang baik tauhidnya akan
senantiasa merasa khawatir kalau-kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan.
Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang demikian takut kepada
syirik sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah,
ً
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“Dan
jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan menyisakan
kelezatan di dalam hati kaum yang beriman. Yang bisa merasakan kelezatannya
hanyalah orang-orang yang benar-benar memahaminya. Syaitan yang berusaha
menyesatkan umat manusia ini terdiri dari golongan jin dan manusia. Hal itu
sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat yang artinya,
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَا لِكُلِّ نِبِيٍّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي
بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
“Dan
demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa)
syaithan dari golongan manusia dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada
sebagian yang lain ucapan-ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al An’aam: 112) (Diringkas
dari Syarhu Ma’aani Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz
Alus Syaikh hafizhahullah).
Makna bacaan Basmalah
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Artinya:
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini seraya meminta
barokah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Meminta barokah kepada Allah
artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan dan pahalanya. Barokah
adalah milik Allah. Allah memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Jadi barokah bukanlah milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja
yang mereka kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin
Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi
dengan disertai rasa cinta, takut dan harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh
ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua nama
Allah di antara sekian banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya.
Maknanya adalah Allah memiliki kasih sayang yang begitu luas
dan agung. Rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Akan tetapi Allah hanya
melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna kepada hamba-hamba yang bertakwa dan
mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka inilah orang-orang yang akan
mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu rahmat yang akan mengantarkan mereka
menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang tidak bertakwa dan tidak mengikuti
ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan rahmat yang sempurna ini
(lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).
Penjelasan
Kandungan Surat
Makna Ayat Pertama
الْحَمْدُ
للّهِ رَبِّ الْعَالَمِ
Artinya:
“Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena
sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena perbuatan-perbuatanNya yang tidak
pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan. Perbuatan
Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh
seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi dengan rasa
cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian semata yang
tidak disertai dengan rasa cinta dan ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang
mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara). Allahlah Zat yang memelihara seluruh
alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan mereka,
memberikan rezeki kepada mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat
lahir maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk,
yang baik maupun yang jahat. Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah
kepada para Nabi dan pengikut-pengikut mereka.
Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga memberikan
kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan membimbing keimanan mereka dan
menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga menolong mereka dengan menyingkirkan
segala macam penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan mereka dari kebaikan
dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada mereka berbagai
kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam
semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai itu
semua. Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha
kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang ada di langit dan di bumi ini meminta
kepada-Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun
dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta tolong di
saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan,
hal. 20).
Makna Ayat Kedua
الرَّحْمـنِ
الرَّحِيمِ
Artinya:
“Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah. Sebagaimana
diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah memiliki nama-nama yang
terindah. Allah ta’ala berfirman,
“Milik
Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan
menyebutnya.”
(QS. Al A’raaf: 180)
Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman
kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ini
kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2)
Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat
Allah dengan sifat makhluk. Mereka terlalu mengedepankan sisi penetapan nama
dan sifat dan mengabaikan sisi penafian keserupaan sehingga terjerumus dalam
tasybih (peyerupaan). Adapun Mu’aththilah adalah orang-orang yang menolak nama
atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu mengedepankan sisi penafian sehingga
terjerumus dalam ta’thil (penolakan).
Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka mengimani
dalil-dalil yang menetapkan nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang
menafikan keserupaan. Sehingga mereka selamat dari tindakan tasybih maupun
ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan Allah tanpa menolak nama maupun
sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi tanpa menyerupakannya dengan
makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya serta para imam dan pengikut mereka yang setia
hingga hari ini. Inilah aqidah yang tersimpan dalam ayat yang mulia yang
artinya,
“Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. Asy
Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi
pendengaran dan penglihatan Allah tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan
makhluk. Meskipun namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah
adalah Zat Yang Maha Sempurna sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh dengan
kekurangan. Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan
kepada diri makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat
Allah itu sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga
orang yang tidak mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah
sebenarnya telah berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka
tidak mengagungkan Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan
jahat yang lebih tercela daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat
Allah ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai
diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung
sifat Rahmah (kasih sayang). Akan tetapi kasih sayang Allah tidak serupa
persis dengan kasih sayang makhluk.
Makna Ayat Ketiga
مَالِكِ
يَوْمِ الدِّينِ
Artinya:
“Yang Menguasai pada hari pembalasan.”
Maalik adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa.
Penguasa itu berhak untuk memerintah dan melarang orang-orang yang berada di
bawah kekuasaannya. Dia juga yang berhak untuk mengganjar pahala dan menjatuhkan
hukuman kepada mereka. Dialah yang berkuasa untuk mengatur segala sesuatu yang
berada di bawah kekuasaannya menurut kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini
boleh dibaca Maalik (dengan memanjangkan mim) atau Malik
(dengan memendekkan mim). Maalik maknanya penguasa atau pemilik.
Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena
pada saat itu seluruh umat manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk
yang mereka kerjakan sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat
jelas bagi manusia kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat
itu akan tampak sekali kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki
Allah. Pada saat itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam
dunia sudah turun dari jabatannya.
Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu
semuanya setara, baik rakyat maupun rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka
semua tunduk di bawah kemuliaan dan kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan
pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka sangat mengharapkan pahala
kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat khawatir terhadap siksa dan
hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari
pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan.
Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah
tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir
Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keempat
إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya:
“Hanya kepada-Mu lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami meminta
pertolongan.”
Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah
(permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka
diletakkan di depan. Padahal asalnya adalah na’buduka yang artinya Kami
menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang
menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh
ditujukan kepada Allah. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya.
Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami menyembah-Mu dan kami tidak
menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu dan kami tidak meminta
tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh
Allah. Ibadah bisa berupa perkataan maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang
tampak dan ada juga yang tersembunyi. Kecintaan dan ridha Allah terhadap
sesuatu bisa dilihat dari perintah dan larangan-Nya. Apabila Allah
memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya. Dan
sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak cinta
dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas cakupannya.
Di antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah,
meminta pertolongan atau perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengertian ini
maka isti’anah atau meminta pertolongan juga termasuk cakupan dari istilah
ibadah. Lalu apakah alasan atau hikmah di balik penyebutan kata isti’anah
sesudah disebutkannya kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya
ibadah sebelum isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum
sebelum sesuatu yang lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak
Allah ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada
Allah dengan benar itu merupakan sarana yang akan mengantarkan menuju
kebahagiaan yang abadi. Dia adalah sarana menuju keselamatan dari segala bentuk
kejelekan. Sehingga tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan perantara
kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap benar apabila bersumber dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditujukan hanya untuk
mengharapkan wajah Allah (ikhlas).
Dengan dua perkara inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah.
Sedangkan penyebutan kata isti’anah setelah kata ibadah padahal isti’anah itu
juga bagian dari ibadah maka sebabnya adalah karena hamba begitu membutuhkan
pertolongan dari Allah ta’ala di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya.
Seandainya dia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk
melakukan perkara-perkara yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang
itu tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Kelima
اهدِنَــــا
الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Artinya:
“Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik
kepada kami untuk meniti shirathal mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan
lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas serta mengantarkan orang yang
berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan berhasil menggapai surga-Nya.
Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan
mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut
dan ketika kami berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan
lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan
seluruh agama yang lainnya.
Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah hidayah untuk bisa
memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan begitu do’a ini
merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai macam
kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap insan
wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak
lain dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir
Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keenam
صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
Artinya:
“Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam
ayat yang lain disebutkan bahwa mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur
dan benar, para pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk
di dalam cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang
yang diberi anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik,
mengetahui apa saja yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang dimurkai-Nya,
selain itu dia juga mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai
tersebut dan meninggalkan hal-hal yang membuat Allah murka.
Jalan inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai
keridhaan Allah ta’ala. Inilah jalan Islam. Islam yang ditegakkan di atas
landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan menjauhi perbuatan-perbuatan
syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini kita kembali tersadar bahwa
Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah nikmat dari Allah ta’ala.
Dan untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita pun sangat membutuhkan
sosok teladan yang bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal.
12).
Makna Ayat Ketujuh
غَيرِ
المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
Artinya:
“Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang
yang tersesat.”
Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui
kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi
dan semacamnya. Sedangkan orang yang tersesat adalah orang yang tidak
mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan mereka. Contohnya
adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini tersimpan
motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat
ini juga memperingatkan kepada kita untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh
orang-orang yang sesat dan menyimpang (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 13
dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Kesimpulan
Isi Surat
Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum
berbagai pelajaran yang tidak terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang
lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung intisari ketiga macam tauhid. Di
dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin terkandung makna tauhid rububiyah.
Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatanNya
seperti mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di dalam kata Allah
dan Iyyaaka na’budu terkandung makna tauhid uluhiyah.
Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk
beribadah hanya kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu
terkandung makna tauhid asma’ wa sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan
Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah telah menetapkan
sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula Rasul shallallahu’alaihi
wa sallam. Maka kewajiban kita adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam
menetapkan sifat-sifat kesempurnaan itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita
mengimani ayat ataupun hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah
sebagaimana adanya, tanpa menolak maknanya ataupun menyerupakannya dengan sifat
makhluk.
Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian
yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal mustaqiim. Sebab jalan yang
lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada bimbingan wahyu
yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya amal-amal hamba
itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin.
Karena pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa
ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan prinsip
keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik
untaian ayat ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan
takdir, bukan terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana
yang diyakini oleh kaum Qadariyah (penentang takdir).
Dan menetapkan bahwasanya hamba memang benar-benar pelaku
atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah dipaksa sebagaimana keyakinan kaum
Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu terdapat
intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena
pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti
menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya.
Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam
beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus lillaahi
ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka
nasta’iin (disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 40).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat
paling agung di dalam Al Quran.
Ya
Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dari
jalan orang yang dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi
Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam bish shawaab.
Semoga Bermamfaat, Shukran Jazakallah Khairan@
0 Response to "Tafsir Surah Al-Fatihah"
Post a Comment