'

Selamat Datang di Website Resmi Muhammad Akbar bin Zaid “Assalamu Alaikum Warahmtullahi Wabarakatu” Blog ini merupakan blog personal yg dibuat & dikembangkan oleh Muhammad Akbar bin Zaid, Deskripsinya adalah "Referensi Ilmu Agama, Inspirasi, Motivasi, Pendidikan, Moralitas & Karya" merupakan kesimpulan dari sekian banyak kategori yang ada di dalam blog ini. Bagi pengunjung yang ingin memberikan saran, coretan & kritikan bisa di torehkan pada area komentar atau lewat e-mail ini & bisa juga berteman lewat Facebook. Terimah Kasih Telah Berkunjung – وَالسٌلام عَلَيْكُم
Keutamaan Al-Quran

Keutamaan Al-Quran



‘’Bismillah..
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatu..
Al Qur’an adalah pedoman hidup setiap muslim. Di dalamnya berisi panduan aturan hidup dan kehidupan antara manusia dengan Tuhan, alam, masyarakat dan dirinya sendiri. Bila seseorang mendekati sumber hidayah ini Insya Allah akan tersentuh dengan petunjukNya dan bila tidak mendekat-Nya akan jauh dari hidayah-Nya. Bagi setiap muslim berinteraksi dengan Al Qur’an menjadi  suatu kebutuhan untuk menyemarakkan cahaya Islam dalam kehidupannya. Dalam berinteraksi dengan Al Qur’an dibutuhkan kebersihan hati dan diri dari cinta dunia. Dengan demikian akan terbentuk motivasi yang kuat untuk mempelajari, menghayati dan mengamalkan Al Qur’an. Mu’min yang berinteraksi secara baik dengan Al Qur’an akan mendapat posisi yang baik di sisi Allah. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda “Perumpamaan mu’min yang membaca Al Qur’an ibarat buah utrujah (sejenis limau), baunya harum dan rasanya lezat. Orang mu’min yang tidak membaca Al Quran ibarat buah kurma, tidak berbau tapi manis rasanya. Orang munafik yang membaca Al Qur’an ibarat buah raihanah, baunya sedap dan rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca Al Qur’an ibarat buah petola, tidak berbau dan rasanya pahit”. (HR. Bukhari, Muslim).
Dalam lintasan sejarah, terukir prestasi gemilang yang dicapai oleh jiwa-jiwa Qur’ani yang dimiliki para sahabat (generasi pertama). Sebagai contoh Abdullah bin Ummi Maktum dengan keterbatasan penglihatan karena buta namun ia mampu berjihad dan komitmen terhadap shalat jama’ah. Amr bin Al Jumuh walaupun kakinya pincang semangat jihadnya yang tinggi ditampilkan dalam perang Uhud.
Utsman bin Affan dengan semangat kedermawanan yang tinggi dan masih banyak lagi. Itulah Al Qur’an tadabburnya mampu memberi kekuatan kepada orang yang lemah, mengingatkan pada orang yang lupa, memberi semangat pada orang yang malas dan memberi inspirasi kepada orang yang ingin maju hidupnya. Untuk dapat menghasilkan tadabbur yang benar, seorang mu’min membutuhkan 5 syarat yaitu sebagai berikut:

1. Memiliki aqidah yang benar (shahihul Aqidah)
2. Bersih hati (salamatul qolb)
3. Memahami bahasa arab
4. Memahami Tafsir bil Ma’tsur
5. Memiliki komitmen yang kuat terhadap ajaran Islam Ketika seorang mu’min sudah memilki kriteria di atas maka Insya Allah akan merasakan bagaimana Al Qur’an memerankan fungsi utamanya yaitu mendidik dan membina jiwa-jiwa manusia agar menjadi hamba Allah yang sebenar-benarnya.
Sebagai pedoman hidup Al Qur’an adalah kalam Allah yang merupakan mu’jizat diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW disampaikan kepada manusia secara mutawatir (bertahap) dan membacanya merupakan ibadah.
Al Qur’an adalah firman Allah yang berisikan petunjuk dan syari’at bagi manusia agar mendapat jalan yang benar. Al Qur’an diturunkan ke hati Rasulullah SAW dan terpelihara keasliannya hingga akhir jaman.
 Dalam Al Qur’an Surat An Najm (53) : 4, Allah SWT telah memberi tahu kepada kita  bahwa Al Qur’an itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mu’jizat, Al Qur’an membuktikan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah bukan buatan manusia. Mu’jizat ini diakui oleh para cendekiawan masa lalu dan juga sekarang. Al Qur’an menjadi rujukan utama bagi berbagai disiplin ilmu. Selain itu berbagai kabar ghaib tentang masa lampau seperti kisah kaum ‘Ad hingga masa yang akan datang yaitu datangnya kiamat terangkum dalam Al Qur’an. Dari segi kebahasaan, rangkaian kata dan susunan kalimat yang ada dalam Al Qur’an menunjukkan bahwa manusia tidak akan mampu menandinginya apalagi membuatnya, bahkan manusia ditantang oleh Allah untuk membuat tandingan Al Qur’an ( Al Baqarah (2) : 23 ).
Berbeda dengan aktivitas membaca buku lainnya, membaca/tilawah Al Qur’an menjadi ibadah. setiap membaca Al Qur’an maka pahala terus mengalir karena tilawah Al Qur’an adalah ibadah. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Umamah Al Bahili, Rasulullah bersabda: “Bacalah Al Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat kepada pembaca”. (HR. Muslim).
Nama-nama Al Qur’an
Al Qur’an memiliki nama-nama lain antara lain:
1. Al kitab (Kitab), QS. Al Baqarah (2) : 2
2. Al Huda (Petunjuk), QS. Al Baqarah (2) : 2, 185
3. Al Furqan (Pembeda), QS. Al Furqaan (25) : 1
4. Ar Rahmah (Rahmat), QS. Al Israa’ (17) : 82
5. Asy Syifa (Obat), QS. Yunus (10) : 67
6. Ruh, QS. Al Mu’min (40) : 15
7. Al Haq (Kebenaran), QS. Al Baqarah (2) : 147
8. Al Bayan (Penerang), QS. Ali Imron (3) : 138
9. Al Mauidzoh (Pengajaran), QS. Al Qamar (54) : 17
10. Adz Dzikru (Peringatan ), QS. Al Hijr (15) : 9
11. Busyro (Berita Gembira), QS. An Nahl (16) : 89
Kedudukan Al Qur’an
1. Kitabul Naba wal akhbar (Berita dan Kabar), QS. An Naba’ (78) : 1-2
2. Kitabul Hukmi wa syariat (Kitab Hukum Syariah),
QS. Al Maidah (5) : 49-50
3. Kitabul Jihad, QS. Al Ankabut (29) : 69
4. Kitabul Tarbiyah, QS. Ali Imran (3) : 79
5. Minhajul Hayah (Pedoman Hidup), QS. Al Qashash (28) : 50
6. Kitabul Ilmi, QS. Al Alaq (96) : 1-5


Tuntutan Iman kepada Al Qur’an
1. Al Unsubihi (akrab dengan Al Qur’an) melalui dua cara, yaitu mempelajarinya (ta’alumuhu), mengajarkannya (taklimuhi)
 Agar dapat akrab dengan Al Qur’an, hal yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Membacanya (tilawah)
Ada sepuluh amalan dalam tilawah, antara lain:
• Memahami keagungan dan ketinggian firman Allah
• Mengagungkan Allah
• Kehadiran hati (khusyu’)
• Tadabbur
• Tafahum (memahami secara mendalam)
• Meninggalkan hal-hal yang dapat menghalangi pemahaman Takhshish (menyadari bahwa diri merupakan sasaran yang dituju Al Qur’an)
• Taatsur (mengimbas ke dalam hati)
• Taraqqi (meningkatkan penghayatan sampai ke tingkat mengajarkan kalam dari Allah)
• Tabarriy (memandang kepada dirinya dengan pandangan ridha
 dan tazkiyah)
b. Fahman (Memahami dan mentadabburi isinya), QS. Muhammad (47) : 24
c. Tatbiqon (mengamalkan)
d. Hafidzon (menghapal dan memeliharanya)
2. Tarbiyatu Nafsi Bihi (Mentarbiyah diri dengan Al Qur’an),
QS. Ali Imran (3) : 39
3. Taslim Wa Ahkamihi (Menerima dan tunduk kepada hukum),
QS. Al Ahzab (33) : 36
4. Da’watu ilallah (Menyeru orang kepada-Nya),
QS. An Nahl (16) : 125
5. Iqomatuhu Fil Ardhi (Menegakkan Al Qur’an di muka bumi),
QS. Asy Syuura (42):13

Akhlaq Terpuji Terhadap Al Qur’an
1. Membaca Ta’awudz sebelum membaca Al Qur’an,
QS. An Nahl (16) : 98
2. Membaca Al Qur’an secara tartil/perlahan-lahan,
QS. Al Muzzammil (73) : 4
3. Lapang dada menerima Al Qur’an, QS. Al A’raf (7) : 2
4. Mendengarkan baik-baik bacaan Al qur’an, QS. Al Anfal (8) : 2-4
Akhlaq Tercela Terhadap Al Qur’an
Mentertawakan peringatan (tidak mengindahkan) Al Qur’an,
QS. Adh Dhuhaa (93) : 59-62
Bahaya Melupakan Al Qur’an
1. Kesesatan yang nyata, QS. An Nisa (4) : 60
2. Sempit dada, QS. Al An’am (6) : 125
3. Kehidupan yang serba sulit, QS. Thaahaa (20) : 124
4. Mata hati yang buta, QS. Al Hajj (22) : 46
5. Hati menjadi keras, QS. Al Hadiid (57) : 16
6. Zalim dan hina, QS. As Sajdah (32) : 22
7. Bersahabat dengan syaithan, QS. Az Zukhruf (43) : 36
8. Lupa pada diri sendiri, QS. Al Hasyr (59) : 19
9. Fasiq, QS. Ar Ra’d (13) : 19-20
10. Nifaq, QS. An Nur (24) : 49-50
Syarat agar dapat mengambil manfaat dari Al Qur’an
1. Bersikap sopan (niat yang baik, hati dan jasad bersih)
2. Baik dalam talaqqi (membaca Al Qur’an secara tertib)
3. Berorientasi kepada tujuan yang asasi dari Al Qur’an
4. Mengikuti cara interaksi sahabat dengan Al Qur’an



Read More
Nasehat Bagi Para Penuntut Ilmu

Nasehat Bagi Para Penuntut Ilmu




Oleh: Abu Aslam Benny al-Agami
Assalamu Alaikum.

Segala puji bagi Allah Subhânahu wa Ta’âla, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla dari kejahatan diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahii dengan benar kecuali hanya Allah Subhânahu wa Ta’âla saja, tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya yang tidak ada nabi sesudah beliau shallallahu ’alaihi wa sallam.
Kita mengetahui bahwa menuntut ilmu agama adalah salah satu perkara yang sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (Hadits shahih, Shahih al-Jami’ no. 3913, 3914). Dan dalam riwayat yang lain: “Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan, maka Allah jadikan ia faham dalam masalah agama.” (Hadits shahih, Shahih al-Jami’ no. 6611, 6612).
Dan dalam riwayat yang lain: “Barangsiapa yang meniti suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, berarti dia sedang meniti suatu jalan dari jalan-jalan surga, dan sesungguhnya malaikat membentangkan sayap-sayapnya karena ridha terhadap penuntut ilmu, dan sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibandingkan dengan ahli ibadah ibarat keutamaan bulan di malam purnama dengan seluruh bintang, dan sesungguhnya bagi orang yang berilmu akan dimintakan ampunan oleh seluruh penghuni yang ada di langit dan yang ada di bumi dan oleh segala sesuatu hingga ikan-ikan yang ada di dalam air. Para ulama adalah pewaris para Nabi, sedangkan Nabi tidaklah mewariskan dirham ataupun dinar, mereka mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mendapatkannya berarti dia telah mendapatkan keuntungan yang berlimpah”. (Hadits shahih/ar-Rihlah fii Thalab al-Hadits, 1/91).
Pada tahun-tahun terakhir ini semangat sebagian pemuda Islam dalam menuntut ilmu agama tumbuh dan berkembang. Hal ini sangat menggembirakan dan patut disyukuri. Akan tetapi, patut disayangkan ada beberapa diantara penuntut ilmu yang mengalami patah semangat dalam memperlajari ilmu agama dan diantara mereka ada yang larut dengan kondisi masyarakat di lingkungan mereka. Oleh karena itu, berikut ini akan dikemukakan nasihat bagi para penuntut ilmu, agar tetap konsisten dalam menuntut ilmu agama dan mengetahui penyakit-penyakit yang sering menimpa, khususnya bagi para penuntut ilmu agama. Diantara penyakit tersebut adalah:
A. Salah Niat
Sebagian penuntut ilmu memiliki semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu, akan tetapi yang menjadi tujuannya bukan mencari keridhoan Allah Tabâraka wa Ta’âla, bukan untuk meluruskan kesalahan yang ada pada diri sendiri atau orang lain, dan bukan pula untuk membela tegaknya Tauhid (Syariat Islam). Padahal telah diketahui bahwa niat adalah salah satu faktor penentu diterimanya sebuah amalan. Ilmu yang kita pelajari adalah ibadah, amalan yang mulia, maka sudah barang tentu butuh niat yang ikhlas dalam menjalaninya. Belajar bukan karena ingin disebut pak Ustadz, orang ‘alim, ingin terkenal dan semisalnya.
Allah Tabâraka wa Ta’âla berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…”. (QS. al-Bayyinah: 5). Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk membantah orang bodoh, atau berbangga di hadapan ulama atau mencari perhatian manusia, maka dia masuk neraka”. (HR. Ibnu Mâjah 253, Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini hasan dalam al-Misykâh 225).
Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Pertama kali yang wajib bagi seorang penuntut ilmu adalah meluruskan niatnya. Hendaklah yang tergambar dari perkara yang ia kehendaki adalah syariat Allah Subhânahu wa Ta’âla, yang dengannya diutus para Rasul dan diturunkan al-Kitab. Hendaklah penuntut ilmu membersihkan dirinya dari tujuan duniawi, atau karena ingin mencapai kemuliaan, kepemimpinan dan lain-lain. Ilmu ini mulia, tidak menerima selainnya”. (Adabut Thalab wa Muntaha al- Arab, hal. 21).
Seorang yang hendak menuntut ilmu agama harus menanamkan pada dirinya bahwa tujuan dari menuntut ilmu tidak lain adalah melaksanakan perintah Allah ‘Azza wa Jalla, dengan mengamalkan ilmu yang didapatkan, meluruskan kesalahan yang ada pada dirinya kemudian orang lain, dan menghidupkan kembali apa yang telah terpendam dari warisan para Nabi ’alaihimus sâlâm, serta membela tegaknya Islam dengan pemahaman yang benar.
B. Tidak merasa diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla
Segala gerak-gerik dan tingkah laku seorang hamba diawasi oleh Allah Yang Maha Mengetahui. Oleh karena itu, termasuk hal yang tidak wajar apabila seorang penuntut ilmu tidak merasa diawasi oleh Dzat Yang Maha Kuasa, sehingga perkataan dan perbuatannya tidak terkontrol dan tidak takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Padahall seharusnya merekalah orang yang lebih takut kepada Allah Tabâraka wa Ta’âla daripada selain mereka.
Allah Subhânahu wa Ta’âla berfirman: “…Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama…”. (QS. Fathir: 28)
Seorang hamba apabila mengetahui bahwa Allah Subhânahu wa Ta’âla tidak akan lalai sesaatpun dari hamba-Nya, maka ia akan selalu taat kepada-Nya dalam zhohir dan bathin.
C. Senang berbantah-bantahan (Jidal)
Sebagian penuntut ilmu lebih suka berdebat daripada berdiskusi. Tidak melewatkan satu kesempatan bersama saudaranya kecuali diajak berdebat dalam suatu permasalahan, dia menghafalkan dalil-dalil yang disiapkan untuk menjawab lawan bicaranya bukan untuk memperbaiki diri dan umat, gemar mencari-cari permasalahan terutama masalah baru yang diperselisihkan oleh para ulama, merasa benar dengan apa yang ada pada dirinya, dan tidak mau menerima kebenaran dari orang lain. Penyakit ini menjurus kepada penyakit sombong yang diingatkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”. (HR. Abu Dâud, 4092 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dho’if al-Jâmi’, 4608).
Seorang yang merasa di dalam hatinya ada penyakit seperti ini hendaklah ia mengingat kembali ayat-ayat Allah Subhânahu wa Ta’âla (seperti dalam Surat al-Hujurât: 11) dan mengingat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu: “Cukup dikatakan seseorang itu (melakukan) kejelekan apabila meremehkan saudaranya yang muslim”. (HR. Muslim, 2564).
Jidal yang diperbolehkan adalah jidal yang baik dan haq sebagaiman firman Allah Tabâraka wa Ta’âla: “Serulah manusia kepada jalan Robbmu dengan cara hikmah dan nasehat yang bijak, serta bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. an-Nahl: 125).
Inilah jidal yang baik dan dibolehkan, bukan sekedar berbantah-bantahan tanpa titik temu dan berujung saling benci dan permusuhan. Salah satu ciri yang dapat membedakan antara jidal yang haq dengan jidal yang bathil adalah seseorang yang berjidal secara haq apabila telah terang baginya al-Haq (kebenaran) maka ia akan segera meninggalkan pendapat bathilnya dan mengakui kesalahannya serta mengumumkan taubatnya dari kesalahan tersebut. Sedangkan tanda jidal yang bathil adalah sebaliknya, karena yang diinginkan adalah membela pendapatnya.
Jika terjadi perbedaan pendapat diantara penuntut ilmu hendaklah mereka mengembalikan hal tersebut kepada al-Qurân da as-Sunnah. Allah Subhânahu wa Ta’âla berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah (al-Qurân) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dari hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. an-Nisaa’: 59).
D. Malas mengulang ilmu yang telah dipelajari
Ini adalah salah satu penyakit para penuntut ilmu yang tergolong dominan, hampir setiap mereka tertimpa oleh penyakit ini kecuali yang dirahmati oleh Allah Subhânahu wa Ta’âla. Mereka menulis ilmu yang mereka dapatkan, akan tetapi tidak menjadi berfaedah bahkan mereka selalu kesulitan ketika ingin merujuk kembali ilmu tersebut, karena terlalu lama ia tinggalkan dan tidak pernah diingat kembali.
Untuk menghindari penyakit ini, seorang penuntut ilmu harus mengingat kembali tujuan yang benar dalam menuntut ilmu, kemudian rajin mengulang kembali dan membuka lembaran catatannya yang telah berlalu, baik sendirian ataupun dengan belajar bersama saudaranya sesama penuntut ilmu dan satu sama lain saling mengingatkan karena tujuan mereka sama yaitu menuntut ilmu.
E. Banyak berbicara dan tertipu dengannya
Betapa banyak orang yang pandai berbicara tetapi tidak pandai mengamalkannya. Suatu saat mereka berdalih bahwa berbicara tentang ilmu lebih baik daripada diam, tetapi pada akhirnya mereka tertipu dengan banyak pembicaraannya sendiri. Padahal Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. [Imam at-Tirmidzi mengatakan; “Hadits Hasan Shahih” (Lihat Riyâdusshalihin, no. 530). Syaikh Salim al-Hilali mengatakan; “Shahih karena banyak jalannya” (Lihat Bahjatun Nâzhirîn, III/18].
Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan sesuatu yang ia tidak memikirkan (apakah baik atau buruk), lalu ia tergelincir ke dalam api neraka sejauh timur dan barat karenanya”. (Muttafaqun ‘alaihi, lihat Riyâdusshalihin, no. 1522)
Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Kebanyakan orang sekarang mengira bahwa banyak berbicara, suka berjidal suka membantah dalam masalah agama adalah menandakan lebih tahu dari orang yang tidak demikian, inilah suatu kebodohan”. (Fadhlu Ilmi as-Salaf, hal 37).
F. Berlebihan dalam hal makanan
Seorang penuntut ilmu tidak selayaknya selalu memikirkan apa yang akan dimakan pagi hari ini, siang nanti, malam hari ini, besok pagi, lusa dan seterusnya, tetapi penuntut ilmu selayaknya sibuk dengan apa yang menjadi kewajibannya yaitu berusaha mendapatkan ilmu dengan berbagai cara yang dibenarkan. Tidak ditemukan dari kalangan ulama yang dikenal dengan sifat banyak makan dan tidak akan terpuji seseorang yang dijuluki dengan sifat itu.
Allah Subhânahu wa Ta’âla berfirman: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. al-A’raf: 31).
Ketahuilah bahwasanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tidak pernah terdengar darinya bahwa ia minta didatangkan makanannya, baik makan siang atau makan malam, karena tersibukkan dengan ilmunya. Bahkan suatu saat didatangkan makanannya, sampai terkadang dia tidak memakannya sehingga makanan itu hanya ditoleh saja. Apabila dia makan, maka dia makan hanya sedikit saja. (Ghoyâtul Amani 2/173, dinukil dari Adab Tholib al-Ilmi, hal. 84-85).
G. Berlebihan dalam hal tidur
Penuntut ilmu hendaknya menyedikitkan tidurnya selama tidak membahayakan fisik dan jiwanya, karena waktu adalah umur dan kesempatan baginya yang tidak akan pernah terulang kembali.
Ketahuilah bahwasanya Muhammad ibnu al-Hasan asy-Syaibani rahimahullah sangat jarang tidur di malam hari, dia selalu meletakkan bukunya di sisinya. Apabila dia sedang bosan dengan suatu permasalahan, dia segera meneliti permasalahan yang lain. Dia meletakkan segelas air di sisinya untuk mengusir rasa kantuknya dan dia dia mengatakan; “Tidur (kantuk) itu sesuatu yang panas, maka harus diusir dengan (lawannya) yaitu air dingin”. (Ta’limul Muta’allim Turûqut Ta’allum , hal. 23, dinukil dari Adab Tholib al-Ilmi, hal. 86-87).
H. Menuruti hawa nafsu dalam perkara keji
Perbuatan dosa akibat hawa nafsu terutama bagi mereka yang mengetahui/memiliki ilmu adalah penyebab kerusakan hati. Akibat buruk menuruti hawa nafsu telah dijelaskan oleh Allah Subhânahu wa Ta’âla dalam firman-Nya: “Maka pernahkah kamu melihat seorang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya tersesat karena ilmunya, sehingga Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan memberi penututp diatasnya, maka siapakah yang dapat memberi petunjuk selain Allah? Mengapa kamu tidak mengambil (ini) sebagai pelajaran?”. (QS. al-Jâtsiyah: 23).
Perhatikanlah wahai penuntut ilmu!!! Memperturutkan hawa nafsu menjadi faktor utama matinya hati dan pendengaran. Apabila hati dan pendengaran telah mati, maka tiada yang dapat menghidupkannya kembali kecuali Allah Subhânahu wa Ta’âla. Oleh karena itu, segeralah kembali kepada Allah Tabâraka wa Ta’âla sebelum hati kita menjadi sakit atau bahkan mati. (Dinukil secara bebas dari Sholahul Qulub oleh Dr. Kholid al-Mushlih, hal. 22).
Jauhilah segala kemaksiatan walau sekecil apapun, sejauh jarak antara timur dan barat. Imam Syafi’i rahimahullah berkata; ”Aku mengadukan jeleknya hafalanku kepada Waki’, lalu beliau menunjukiku supaya meninggalkan kemaksiatan. Dia berkata; “Ketahuilah bahwa ilmu adalah fadhilah (keutamaan) dan fadhilah Allah Tabâraka wa Ta’âla tidak akan diberikan kepada ahli maksiat. (al-Jawabul Kafi, hal. 54).
Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Bisa jadi seseorang mengetahui dan memiliki ilmu yang sempurna, tetapi tidak cukup hanya ilmu saja untuk bisa mengikuti kebenaran. Ada syarat lain yaitu harus bersih atau siap untuk menerima kebenaran, siap untuk dibersihkan. Apabila dia belum dibersihkan maka kebenaran akan sulit untuk diterima, apalagi untuk diikuti. Apabila tempatnya tidak bersih dan tidak siap untuk dibersihkan, maka seumpama tanah yang gersang meskipun turun hujan tetapi tidak menumbuhkan tanaman disebabkan tanah itu tidak pantas untuk tumbuhnya tanaman. Apabila seseorang memiliki hati yang keras seperti batu, ia tidak akan menerima pembersihan hati. Nasehat-nasehat tidak akan berdampak kepadanya, maka tidak akan bermanfaat ilmu yang dimiliki oleh orang tersebut. Sebagaimana tanah tandus meskipun hujan turun setiap hari, tetap tidak bisa menumbuhkan tanaman-tanaman”. (Buletin Istiqomah, volume 14/Th 4/1427 H).
I. Akrab dengan pelaku maksiat
Sebagian penuntut ilmu tidak membatasi diri ketika bergaul dengan pelaku maksiat. Tidak membedakan antara sekedar mengingatkan dengan menjadikan mereka sebagai sahabat, bahkan ketika diingatkan kadang-kadang beralasan: “Kalau kita tidak bersama mereka, lalu siapa yang mendakwahi mereka?”
Maka kita jawab: “Berapa banyak penuntut ilmu yang tadinya tidak mengenal perkara keji, lalu menjadi mengetahuinya, dan pada akhirnya terjatuh pada perbuatan keji itu, disebabkan karena bergaul dengan para pelaku maksiat. Awalnya ingin merubah mereka tetapi ternyata dialah yang berubah”. Bukankah kita telah mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Seseorang dinilai menurut (kadar) agama teman karibnya. Maka hendaklah setiap kalian melihat siapa yang ia jadikan teman karibnya”. (HR. at-Tirmidzi, 2378 dan Abu Daud, 4833, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shohiihah, 927).
Janganlah hendaknya kita menjadi orang yang berkata pada hari kiamat kelak: “Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku)”. (QS. al-Furqon: 28).

J. Jauh dari lingkungan yang baik agamanya
Sebagian penuntut ilmu ketika pulang ke tempat asalnya, yang jauh dari suasana agama, jauh dari ta’lim/pengajian, jauh dari suasana da’wah dan lebih sering menjumpai kemaksiatan daripada kebenaran, maka diantara mereka berubah seperti layaknya orang biasa yang tidak pernah mengenyam pendidikan agama di pesantren atau seperti orang awam yang tidak pernah mendengar pengajian sama sekali. Dan pada akhirnya, dia menjadi orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya.
Seharusnya yang dilakukan seorang penuntut ilmu adalah terus istiqomah diatas al-Qurân dan Sunnah Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam, tampil di hadapan manusia dengan sosok hamba Allah Subhânahu wa Ta’âla yang bertaqwa dan terus menambah ilmu.
Dan di akhir tulisan ini, kami katakan hendaknya bagi setiap penuntut ilmu agama berusaha untuk mengamalkan ilmunya, melaksanakan perintah Allah Subhânahu wa Ta’âla dan meninggalkan larangan-Nya dan berdo’a kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla agar diberi pertolongan dalam menghadapi penyakit-penyakit diatas dan agar Allah Subhânahu wa Ta’âla menjadikan kita temasuk penduduk surga sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: “…Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah mudahkan baginya dengan ilmu tersebut jalan menuju surga…”. (Hadits Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 6299, Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi).
Dalam suatu hadits dikabarkan kepada kita mengenai keadaan Jannah yaitu, dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Di dalam Jannah terdapat pasar yang akan dikunjungi setiap Jum’at. Lalu angin utara berhembus menerpa wajah dan pakaian mereka, sehingga mereka bertambah tampan dan baik. Mereka akan kembali kepada isteri mereka sedangkan rupa mereka bertambah tampan dan baik. Isteri-isteri mereka berkata: “Demi Allah, kamu semakin tambah tampan dan menawan”. Mereka menjawab: “Demi Allah, kamu juga semakin cantik dan menawan”.
Allah Tabâraka wa Ta’âla menyebutkan sifat-sifat wanita Jannah dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya”. (QS. al-Waaqi’ah: 35-37)
Wallahu A’lam.
Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam beserta keluarga dan para sahabatnya radiyallahu anhum ajmain dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
‘’Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran itu sebagai kebenaran dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya, serta tunjukkanlah kebatilan itu sebagai sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.
Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, saya memohon ampun dan aku bertaubat kepada-Mu. Semoga bermamfaat.
 Wassalam Jasakallah.


Read More
Menghidupkan Sunnah Rasulullah

Menghidupkan Sunnah Rasulullah

Keutamaan Menghidupkan Sunnah Rasul

Dari ‘Amr bin ‘Auf bin Zaid al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan besar bagi orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi sunnah yang telah ditinggalkan kebanyakan orang. Oleh karena itu, Imam Ibnu Majah mencantumkan hadits ini dalam kitab “Sunan Ibnu Majah” pada Bab: “(Keutamaan) orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia)[2].
Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari berkata, “Orang muslim yang paling utama adalah orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan (manusia), maka bersabarlah wahai para pencinta sunnah (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena sesungguhnya kalian adalah orang yang paling sedikit jumlahnya (di kalangan manusia)”[3].

Faidah-faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
– Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam[4], yang ditujukan sebagai syariat bagi umat Islam[5].
– Arti “menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” adalah memahami petunjuk Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan dan menyebarkannya di kalangan manusia, serta menganjurkan orang lain untuk mengikutinya dan melarang dari menyelisihinya[6].
– Orang yang menghidupkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu [1] keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan [2] keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.
Syaikh Muhammad bih Shaleh al-‘Utsaimin -rahimahullah- berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakin kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah di kalangan manusia”[7].
– Allah Ta’ala memuji semua perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menamakannya sebagai “teladan yang baik“, dalam firman-Nya,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS al-Ahzaab:21).
Ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala[8].
– Ayat ini juga mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata, “Teladan yang baik (pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[9].
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA


[1] HR Ibnu Majah (no. 209), pada sanadnya ada kelemahan, akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain yang semakna, oleh karena itu syaikh al-Albani menshahihkannya dalam kitab “Shahih Ibnu Majah” (no. 173).
[2] Kitab “Sunan Ibnu Majah” (1/75).
[3] Dinukil oleh imam al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab “al-Jaami’ li akhlaaqir raawi” (1/168).
[4] Lihat kitab “Taujiihun nazhar ila ushuulil atsar” (1/40).
[5] Lihat muqaddimah kitab “al-Haditsu hujjatun binafsihi fil ‘aqa-idi wal ahkaam” (hal. 13).
[6] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/9) dan “Syarhu sunan Ibni Majah” (hal. 19).
[7] Kitab “Manaasikul hajji wal ‘umrah” (hal. 92).
[8] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 481).
[9] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 481).

Read More
3 Wasiat Rasulullah

3 Wasiat Rasulullah



Kita mungkin pernah mendengar istilah ulama menyebut “Jawami’ul Kalim”. Istilah itu memiliki makna: bahasa yang singkat, namun punya makna yang sangat mendalam. Hal inilah yang sering kita jumpai dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satunya dalam hadits berikut,
عَنْ أَبِي ذَرّ جُنْدُبْ بْنِ جُنَادَةَ وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذ بْن جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ ” [رواه الترمذي وقال حديث حسن وفي بعض النسخ حسن صحيح]
“Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada. Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskan (keburukan). Dan pergauilah manusia dengan akhlak yang mulia.” (HR. At-Tirmidzi, dan dia berkata: Hadits Hasan Shahih).
Dalam hadits di atas, terkandung 3 wasiat Nabi yang sangat penting, baik hubungan manusia kepada Allah maupun hubungan manusia ke sesama manusia.
1. Perintah Takwa dimana pun kita berada
Nabi tidak hanya memerintahkan takwa semata, namun bertakwa dimana pun kita berada, baik di tengah keramaian maupun di sunyi bersendirian. Inilah takwa yang sebenar benarnya, dan takwa yang paling berat.
Sebagaimana kata Imam Syafi’i rahimahullah
وقال الشافعي : أعزُّ الأشياء ثلاثة : الجودُ من قِلَّة ، والورعُ في خَلوة ، وكلمةُ الحقِّ عند من يُرجى ويُخاف
Imam Syafii mengatakan, “Perkara yang paling berat itu ada 3, dermawan saat memiliki sedikit harta, meninggalkan hal yang haram saat sendirian dan mengatakan kebenaran saat berada di dekat orang yang diharapkan kebaikannya atau ditakuti kejahatannya” (Jami’ Ulum wa Hikam 2/18).
Ketika seorang bersendirian, menyepi tanpa ada yang mengetahui, maka hal itu akan mendorongnya untuk lebih mudah bermaksiat. Kecuali ia sadar betul bahwa Allah senantiasa mengawasinya, dan rasa takutnya menjadi lebih besar sehingga ia tidak berani melakukan kemaksiatan.
Contoh mudah adalah orang yang sedang berpuasa. Ketika berada di khalayak ramai, ia menahan diri dan mengaku berpuasa. Namun ketika bersendirian, ia diam-diam berpuka puasa. Hal ini tidak akan terjadi kecuali ia memiliki rasa takut yang besar kepada Allah.
2. Segera lakukan amal shalih
Hadits di atas menjelaskan perintah untuk bersegera melakukan kebaikan tatkala terjerumus dalam keburukan. Tidak seperti anggapan sebagian orang, jika sudah terciprat, maka tercebur sekalian saja biar basah. Hal ini adalah anggapan yang sangat keliru. Bahkan hadits yang mulia ini menjelaskan perintah untuk segera bertaubat. Karena taubat adalah bagian dari amal shalih yang paling mulia dan harus disegerakan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)
Hadits di atas juga menerangkan bahwa perbuatan baik yang dilakukan, akan menghapuskan dosa. Tentunya dosa yang terhapus hanyalah dosa kecil, karena dosa besar hanya terhapus jika pelakunya benar-benar telah bertaubat.
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضاَنُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
Shalat 5 waktu, dari Jumat ke Jumat selanjutnya, serta Ramadhan ke Ramadhan adalah sebagai penghapus dosa di antara waktu itu, selama menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim No. 233).
Sehingga jelaslah bahwa yang dihapus hanyalah dosa kecil saja. Oleh karena itu, ketika seorang muslim terjerumus dalam dosa dan maksiat, maka wajib baginya untuk segera bertaubat dan melakukan amal shalih.
3. Akhlak Mulia kepada manusia
Wasiat yang terakhir adalah perintah untuk berakhlak yang mulia kepada sesama manusia. Setelah 2 wasiat di atas menyebutkan perintah yang berhubungan antara Allah dan manusia. Contoh gampang dalam berakhlak mulia adalah senyuman yang diiringi wajah yang berseri dan bertegur sapa ketika bertemu.
Oleh karena itu, Rasulullah mengkaitkan antara akhlak dengan iman yang sempurna. Dimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR. At-Tirmidzi No. 2612, ia berkata: Hadits Shahih).
Bahkan dalam hadits lain juga disebutkan bahwa orang yang paling dekat dengan Rasulullah pada hari kiamat adalah yang paling bagus akhlaknya. Orang yang memiliki akhlak mulia, tidak hanya dicintai oleh Rasulullah, namun ia akan dicintai oleh manusia yang lainnya.
Penutup
Sebagai penutup dan nasihat untuk diri sendiri, maka jagalah 3 wasiat yang berharga ini. Wasiat yang di dalamnya terdapat hablumminallah dan hablumminannas. Sehingga kita dapat menjadi insan yang dicintai oleh Allah, Rasulullah dan manusia. Wallahul Muwaffiq.
Semoga Bermamfaat, Shukran Jazakallah Khairan@
Read More
Keutamaan Ayat Kursi

Keutamaan Ayat Kursi

Ayat kursi adalah ayat yang terletak dalam surat Al Baqarah ayat 255:
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar
Di dalamnya terdapat pemaparan 3 macam tauhid: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid nama dan sifat Allah.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, “ayat kursi ini memiliki kedudukan yang sangat agung. Dalam hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa ia merupakan ayat teragung yang terdapat dalam Al-Quran” (Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim).
Banyak sekali keutamaan dari ayat kursi. Penulis akan memaparkan beberapa saja dari keutamaan dari ayat kursi.
1. Ayat yang Paling Agung dalam Al-Quran
Sebagaimana yang ada pada pertanyaan yang diajukan oleh Rasulullah kepada Ubay bin Ka’ab, “Ayat mana yang paling agung dalam kitabullah?” Ubay menjawab, “Ayat kursi.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menepuk dada Ubay kemudian berkata, “Wahai Abu Mundzir, semoga engkau berbahagia dengan ilmu yang engkau miliki.” (HR. Muslim).
Ayat Kursi dikategorikan sebagai ayat yang paling agung karena di dalamnya terdapat nama Allah yang paling agung, yaitu Al Hayyu dan Al Qayyum. Namun ulama berselisih pendapat manakah nama Allah yang paling agung.
2. Keagungannya Melebihi Langit dan Bumi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah Allah menciptakan langit dan bumi melebihi agungnya Ayat Kursi (karena di dalam ayat tersebut telah mencakup Nama dan Sifat Allah)
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Sebab ayat kursi merupakan (salah satu) kalamullah (perkataan Allah), sedangkan kalamullah itu lebih agung dari ciptaan Allah yang berupa langit dan bumi” (HR. At-Tirmidzi)
3. Salah Satu Bacaan Dzikir Sebelum Tidur
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau mendatangi tempat tidur (di malam hari), bacalah Ayat Kursi, niscaya Allah akan senantiasa menjagamu dan setan tidak akan mendekatimu hingga waktu pagi” (HR. Al-Bukhari).
Jadikanlah ayat kursi sebagai dzikir rutin yang dibaca ketika hendak tidur. Selain itu, ayat kursi juga termasuk bacaan dzikir pagi dan petang.
4. Salah Satu Sebab Masuk Surga
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membaca Ayat Kursi setelah selesai shalat, maka tidak ada yang menghalanginya masuk surga kecuali kematian” (HR. An Nasa-i, dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).
Beberapa hadits di atas menunjukkan keutamaan Ayat Kursi. Apabila kita merutinkannya, maka kita akan mendapatkan keutamaan yang sangat banyak. Hendaknya setiap muslim bersemangat untuk hal yang bermanfaat bagi dirinya, terkhusus untuk akhiratnya. Ayat Kursi sendiri bukanlah ayat yang panjang dan sulit untuk dihapal. Semoga Allah mudahkan kita untuk mengamalkannya. Wallahul Muwaffiq.
          Semoga Bermamfaat, Shukran Jazakallah Khairan@
Referensi: Terjemahan tafsir ayat kursi karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin


Read More