Surah Al-Kafirun 1-6
Sudah jelas, Surat ini diturunkan di
Makkah dan yang dituju ialah kaum musyrikin, yang kafir, artinya tidak mau
menerima seruan dan petunjuk kebenaran yang dibawakan Nabi kepada mereka.
“Katakanlah,” – olehmu hai Utusan-Ku – kepada
orang-orang yang tidak mau percaya itu: “Hai orang-orang kafir!” (ayat 1). Hai
orang-orang yang tidak mau percaya. Menurut Ibnu Jarir panggilan seperti ini disuruh
sampaikan Tuhan oleh Nabi-Nya kepada orang-orang kafir itu, yang sejak semula
berkeras menentang Rasul dan sudah diketahui dalam ilmu Allah Ta’ala bahwa
sampai saat terakhir pun mereka tidaklah akan mau menerima kebenaran. Mereka
menantang, dan Nabi SAW pun tegas pula dalam sikapnya menantang penyembahan
mereka kepada berhala, sehingga timbullah suatu pertandingan siapakah yang
lebih kuat semangatnya mempertahankan pendirian masing-masing. Maka pada satu
waktu terasalah oleh mereka sakitnya pukulan-pukulan itu, mencela berhala
mereka, menyalahkan kepercayaan mereka.
Maka bermufakatlah pemuka-pemuka
Quraisy musyrikin itu hendak menemui Nabi. Mereka bermaksud hendak mencari,
“damai”. Yang mendatangi Nabi itu menurut riwayat Ibnu Ishaq dari Said bin Mina
– ialah Al-Walid bin Al-Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad bin Al-Muthalib dan
Umaiyah bin Khalaf. Mereka kemukakan suatu usul damaki: “Ya Muhammad! Mari kita
berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau sembah tetapi engkau pun
hendaknya bersedia pula menyembah yang kami sembah, dan di dalam segala urusan
di negeri kita ini, engkau turut serta bersama kami. Kalau seruan yang engkau
bawa ini memang ada baiknya daripada apa yang ada pada kami, supaya turutlah
kami merasakannya dengan engkau. Dan jika kami yang lebih benar daripada apa
yang engkau serukan itu maka engkau pun telah bersama merasakannya dengan kami,
sama mengambil bahagian padanya.” – Inilah usul yang mereka kemukakan.
Tidak berapa lama setelah mereka
mengemukakan usul ini, turunlah ayat ini: “Katakanlah, hai orang-orang yang
kafir!” Aku tidaklah menyembah apa yang kamu sembah.” (ayat 2).
Menurut tafsiran Ibnu Katsir yang
disalinkannya dari Ibnu Taimiyah arti ayat yang kedua: “Aku tidaklah menyembah
apa yang kamu sembah,” ialah menafikan perbuatan (nafyul fi’li). Artinya
bahwa perbuatan begitu tidaklah pernah aku kerjakan. “Dan tidak pula kamu
menyembah apa yang aku sembah.” (ayat 3). Artinya persembahan kita ini
sekali-kali tidak dapat diperdamaikan atau digabungkan. Karena yang aku sembah
hanya Allah dan kalian menyembah kepada benda; yaitu kayu atau batu yang kamu
perbuat sendiri dan kamu besarkan sendiri. “Dan aku bukanlah penyembah sebagaimana
kamu menyembah.” (ayat 5).
Maka selain dari yang kita sembah
itu berlain; kamu menyembah berhala aku menyembah Allah Yang Maha Esa, maka
cara kita menyembah pun lain pula. Kalau aku menyembah Allah maka aku melakukan
shalat di dalam syarat rukun yang telah ditentukan. Sedang kamu menyembah
berhala itu sangatlah berbeda dengan cara aku menyembah Allah. Oleh sebab itu
tidaklah dapat pegangan kita masing-masing ini didamaikan: “Untuk kamulah agama
kamu, dan untuk akulah agamaku.” (ayat 6).
Soal akidah, di antara Tauhid
Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan
dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah
kemenangan syirik.
Syaikh Muhammad Abduh menjelaskan
perbedaan ini di dalam tafsirnya: “Dua jumlah suku kata yang pertama (ayat 2
dan 3) adalah menjelaskan perbedaan yang disembah. Dan isi dua ayat berikutnya
(ayat 4 dan 5) ialah menjelaskan perbedaan cara beribadat. Tegasnya yang
disembah lain dan cara menyembah pun lain. Tidak satu dan tidak sama. Yang aku
sembah ialah Tuhan Yang Maha Esa, yang bersih daripada segala macam persekutuan
dan perkongsian dan mustahil menyatakan diri-Nya pada diri seseorang atau
sesuatu benda. Allah, yang meratakan kurnia-Nya kepada siapa jua pun yang tulus
ikhlas beribadat kepada-Nya.
Dan Maha Kuasa menarik ubun-ubun
orang yang menolak kebenaran-Nya dan menghukum orang yang menyembah kepada yang
lain. Sedang yang kamu sembah bukan itu, bukan Allah, melainkan benda. Aku
menyembah Allah sahaja, kamu menyembah sesuatu selain Allah dan kamu
persekutukan yang lain itu dengan Allah. Sebab itu maka menurut aku, ibadatmu
itu bukan ibadat dan tuhanmu itu pun bukan Tuhan. Untuk kamulah agama kamu,
pakailah agama itu sendiri, jangan pula aku diajak menyembah yang bukan Tuhan
itu. Dan untuk akulah agamaku, jangan sampai hendak kamu campur-adukkan dengan
apa yang kamu sebut agama itu.”
Al-Qurthubi meringkaskan tafsir
seluruh ayat ini begini:
“Katakanlah olehmu wahai Utusan-Ku, kepada orang-orang
kafir itu, bahwasanya aku tidaklah mau diajak menyembah berhala-berhala yang
kamu sembah dan puja itu, kamu pun rupanya tidaklah mau menyembah kepada Allah
saja sebagaimana yang aku lakukan dan serukan. Malahan kamu persekutukan
berhala kamu itu dengan Allah. Maka kalau kamu katakan bahwa kamu pun menyembah
Allah jua, perkataanmu itu bohong, karena kamu adalah musyrik. Sedang Allah itu
tidak dapat dipersyarikatkan dengan yang lain. Dan ibadat kita pun berlain. Aku
tidak menyembah kepada Tuhanku sebagaimana kamu menyembah berhala. Oleh sebab
itu agama kita tidaklah dapat diperdamaikan atau dipersatukan: “Bagi kamu agama
kamu, bagiku adalah agamaku pula.” Tinggilah dinding yang membatas, dalamlah
jurang di antara kita.”
Surat ini memberi pedoman yang tegas
bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat
diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau yang hak hendak
dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah yang menang. Oleh sebab
itu maka Akidah Tauhid itu tidaklah mengenal apa yang dinamai Cynscritisme,
yang berarti menyesuai-nyesuaikan. Misalnya di antara animisme dengan
Tauhid, penyembahan berhala dengan sembahyang, menyembelih binatang guna pemuja
hantu atau jin dengan membaca Bissmillah.
PELENGKAP
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya:
Tersebutlah dalam Shahih Muslim,
diterima dari Jabir bin Abdillah, bahwa Rasulullah SAW membaca Surat Al-Kafirun
ini bersama Surat Qul Huwallaahu Ahad di dalam sembahyang sunnat dua rakaat
sesudah tawaf.
Dalam Shahih Muslim juga, dari Hadis
Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW membaca Surat ini dan Qul Huwallaahu Ahad
pada sembahyang dua rakaat sunnat Fajar (sebelum sembahyang Subuh). Demikian
juga menurut sebuah Hadis yang dirawikan oleh Al-Imam Ahmad dari Ibnu Umar,
bahwa Nabi membaca kedua Surat ini dua rakaat Fajar dan dua rakaat sesudah
Maghrib, lebih dari dua puluh kali.
Sebuah Hadis dirawikan oleh Al-Imam
Ahmad dari Farwah bin Naufal Al-Asyja’iy, bahwa dia ini meminta petunjuk kepada
Nabi SAW apa yang baik dibaca sebelum tidur. Maka Nabi menasihatkan supaya
setelah dia mulai berbaring bacalah Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun, sebab dia adalah
satu pernyataan diri sendiri bersih dari syirik.
Dan telah kita jelaskan bahwa Qul
Yaa Ayyuhal Kaafiruun, sama dengan seperempat dari Al-Qur’an. Surat ini
mengandung larangan menyembah yang selain Allah, mengandung pokok akidah, dan
segala perbuatan hati. Dia setali dengan Qul Huwallaahu (Surat Al-Ikhlas) yang
akan kita tafsirkan kelak, Insya Allah.
Semoga Bermamfaat, Shukran
Jazakallah Khairan@
0 Response to "Surah Al-Kafirun 1-6"
Post a Comment