'

Selamat Datang di Website Resmi Muhammad Akbar bin Zaid “Assalamu Alaikum Warahmtullahi Wabarakatu” Blog ini merupakan blog personal yg dibuat & dikembangkan oleh Muhammad Akbar bin Zaid, Deskripsinya adalah "Referensi Ilmu Agama, Inspirasi, Motivasi, Pendidikan, Moralitas & Karya" merupakan kesimpulan dari sekian banyak kategori yang ada di dalam blog ini. Bagi pengunjung yang ingin memberikan saran, coretan & kritikan bisa di torehkan pada area komentar atau lewat e-mail ini & bisa juga berteman lewat Facebook. Terimah Kasih Telah Berkunjung – وَالسٌلام عَلَيْكُم
Realitas Pemuda Indonesia: Generasi Muda Indonesia Rusak Moral Akibat Budaya Barat

Realitas Pemuda Indonesia: Generasi Muda Indonesia Rusak Moral Akibat Budaya Barat

Oleh: Muhammad Akbar
Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Makassar

            Megahnya sebuah kerajaan tergantung kepada kehebatan dari pengurus dan keluarga kerajaan. Jayanya suatu negara tergantung kepada pemimpin dan jiwa dan peran pemudanya. Mustahil sekali kejayaan, kemegahan dan kemakmuran dicapai apabila peran pemuda tidak bisa memberikan nilai kontribusi kepada negaranya. Kontribusi dimaksud adalah sejauhmana kualitas moral dan intelektual generasi muda disumbangkan kepada eksistensi negaranya.Sudah menjadi hukum alam yang tua akan digantikan yang muda, yang patah akan ditumbuhi tunas baru untuk terus berkembang sehingga siklus perkembangan berjalan secara hukum alam dan kodrati.
Generasi muda merupakan harapan untuk menggantikan mereka yang sudah tua. Sudah sepantasnya generasi muda harus siap melanjutkan bahkan mengembangkan apa yang sudah dilakukan oleh orang sebelumnya. Hal ini akan terus berjalan sesuai dengan perkembangan zaman dan menjadi pengaruh besar dalam perkembangan sebuah bangsa dan negara ke depan.
Generasi muda yang mempunyai moral atau dalam islam disebut sebagai akhlak merupakan konsekuensi yang harus ada apabila sebuah bangsa ingin maju dan berkembang. Tidak akan mungkin negara bisa berkembang apabila generasi muda dari bangsa itu sendiri tidak memiliki akhlak yang mulia tetapi justru mengedepankan kemungkaran menuju kerusakan.
Rasulullah SAW telah jelas mewasiatkan kepada umatnya bahwa kokohnya kehidupan bangsa tergantung kepada moral atau akhlak generasi muda yang ada dalam bangsa itu. Apabila generasi muda berada dalam lembah kenistaan maka kehancuran bangsa menjadi konsekuensi yang harus diterima.
Kita sering melihat dan sudah menjadi pemandangan umum, bahwa generasi muda zaman sekarang sebagai tulang punggung negara sudah sangat memprihatinkan dan sudah tidak lagi seperti akhlaknya umat Islam.
Banyak pemuda Islam sudah tidak lagi memperdulikan pedoman hidup Islam yaitu Qur’an dan Hadits sebagai obor yang bisa menerangi kehidupan. Di sana-sini terjadi kerusakan moral dan akhlak, pemuda lebih suka hidup dalam gemerlapnya dunia malam yang mengarah kepada pergaulan bebas tentunya yang berujung kepada free sex yang terkutuk.

Banyak pemuda lebih mengetahui dan paham dengan budaya-budaya aneh seperti budaya eropa yang sangat jauh berbeda dengan budaya timur (Islam). Misalkan saja dari cara berpakaian yang sangat menyilaukan mata, cara bergaul yang sungguh tidak bermoral dan beradab, cara berbicara yang tidak mengenal lawan bicara apakah itu yang tua atau yang muda dan masih banyak budaya dan kebiasaan luar Indonesia yang kita ambil tapi sesungguhnya merupakan kerugian besar bagi kita pribadi dan negara kita.
Fasilitas teknologi, informasi dan komunikasi merupakan salah satu faktor yang merubah kemuliaan perilaku generasi muda dewasa ini. Jaringan internet misalnya, merupakan sebuah terobosan baru yang bisa menghubungkan antara mereka yang di timur dengan mereka yang ada di barat atau di selatan. Sehingga penyebaran informasi merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri sehingga seluruh informasi baik membangun maupun yang merubuhkan akhlak akan berkontaminasi dengan kepribadian kita sebagai orang timur ditambah dengan kurangnya nilai iman untuk menyaring arus perjalanan informasi tersebut.


Sudah banyak sekali kasus yang bisa kita saksikan melalui media massa bahwa generasi muda sebagai motor dan tulang punggung negara ini sudah rusak moral (akhlak) dan perilakunya. Budaya Islam sebagai budaya yang seharus dikembangkan dan dijadikan sebagai ukuran atau filter penyaring dilupakan bahkan dilecehkan. Generasi muda sudah kehilangan takaran iman yang bisa menepis pengaruh budaya luar yang merusak kepribadian kita sebagai bangsa. Generasi muda kita banyak kehilangan arah dan tersesat dalam area yang sangat berbahaya dan cenderung hanya menggunakan nafsu sebagai takarannya.
Dengan rusaknya moral dan akhlak generasi muda, maka secara perlahan akan merusak tatanan suatu bangsa dan tinggal menunggu kehancurannya. Allah jelas telah mengingatkan kita bahwa hancurnya bangsa diakibatkan rusaknya moral dan akhlak pemudanya dan Qur’an dan Hadits yang diabaikan akan memberikan dampak ketersesatan dan kehancuran manusia yang ada dalam negara tersebut.
Mari kita mengokohkan konsistensi diri bahwa seorang generasi muda harus bisa membentengi dirinya dengan iman sehingga akhlak yang mulia bisa tumbuh subur dalam hati sanubarinya. Hiduplah seperti yang digariskan melalui Kitab Allah dan tauladanilah kehidupan pemuda-pemuda Islam yang sukses menjadi tiang-tiang kuat gedung cakrawala yang bisa kokoh walaupun dalam hempasan gelombang. Akhlak dan moral yang baik bisa mengembangkan bangsa sehingga peran sebagai motor dan tulang punggung negara bisa kita perankan dalam membangun bangsa dan negara besar yang bermartabat, makmur, sejahtera dan penuh dengan sendi-sendi kebaikan dan keharmonisan, Insya Allah.
Gila, atau apalah q sudah bingung pokoknya menyebut generasi penerus bangsa, yang bernama remaja itu, so bagaimana tidak, mereka yang di harapkan sebagai penerus kelangsungan bangsa ini, tapi moralnya sudah anjlok, dan bisa di katakan sudah si bawah titik nadir, q hanya bisa geleng-geleng kepala, serta mengelus dada, sembari mengucap istighfar, ketika melihat pemberitaan kenakalan yang di lakukan oleh orang yang bernama remaja itu, baik di media cetak ataupun elektronik.

         Baru-baru ini aku melihat pemberitaan, mengenai kelakuan menyimpang remaja, coba bayangkan, remaja putri yang baru berusia 15 tahun sudah melakukan hubungan seks bebas, gila benar, q menanggapinya, dan yang lebih mencengangkannya lagi, remaja tersebut melakukan hubungan yang hanya layak di lakukan oleh pasutri yang resmi tersebut, melakukannya dengan 4 teman prianya, parahnya lagi hubungan tersebut juga direkam oleh teman mereka sendiri via kamera HeandPhone, efeknya dari peristiwa tersebut bisa di tebak, sang remaja putri yang di ketahui masih berstatus sebagai pelajar SMA negri, langsung dicoret namanya dari sekolah tersebut, alias diberhentikan, dan ke empat teman prianya juga harus meringkuk dibalik jeruji besi, karena harus mempertanggung jawabkan atas perbuatan mereka.

Mungkin masih banyak lagi para remaja kita yang terjerumus dalm perilaku penyimpangan , baik itu seks bebas, narkoba, dan masih banyak lagi perilaku yang seharusnya mereka tidak lakukan.
Rasanya miris jika melihat kelakuan remaja dijaman moden saat ini, mereka sepertinya terhipnotis oleh globalisasi, yang q anggap tidak untuk masyaraka indonesia, dan hanya lebih pantas untuk orang-orang barat saja, mereka mengekpresikan globalisasi sebagai kebebasan yang q anggap sangat berlebihan.
Mau jadi apa bangsa ini jika generasi penerusnya saja bobrok kayak gini, apa jadinya kedepan nanti jika kelakuan remajanya jauh dari norma-norma, baik hukum, agama, dan sosial.

Baca Juga: Realita Pemuda Indonesia: Pornografi Meronttokan Pemuda Indonesia


Orang tua, media( cetak & elektronik ), dan lingkungan pergaulan
Lalu siapa yang harus disalahkan denga rusaknya moral remaja bangsa ini??, siapa juga yang dapat menyelamatkan moral remaja bangsa ini??1.orang tua
So, sewajarnya donk orang tua harus tau kelakuan anaknya baik saat dirumah ataupun diluar rumah, sebab orang tualah yang bisa membibmbing anaknya, ditambah lagi perhatian orang tua, jangan taunya anaknya baik di rumah saja, sedangkan saa di luar rumah kelakuan sang anak jauh dari kata baik, peran orang tua sangat penting untuk menunjang sang anak melakukan kegiatan yang positif baik diluar rumah ataupun di luar rumah.
1. media
Media?, media jika diibaratkan antara lain sesuatu yang memiliki kepribadian ganda, satu sisi berhati malaikat, dan satu sisinya berhati iblis, so tapi aku tidak menyalahkan medianya kok, coz tergantung dari seseorang, apakah dia dapat mengambil nilai-nilai positif dari media tersebut.
Media saat ini dirasa sanga jauh dari kode etiknya, tidak bisa membedakan mana yang harus di konsumsi oleh public, dan mana yang tidak layak dikonsumsi oleh publik, media sebagai sumber informasi nomor satu seharusnya dapat memberikan informasi yang layak di cerna oleh public, bukannya malah menjadi inspirasi seseorang untuk melakukan tindakan yang dirasa negative, namu tidak semuanya media memberikan informasi yang dirasa negative terkadang juga media memberikan sumber-sumber yang positif.
Terlepas dari itu semua, semuanya terganung dari pemikiran seseorang yang menyerap informasi dari media tersebut, apakah baik, atau sebaliknya, apakah buruk.


 2. Lingkungan pergaulan
Tidak bisa dipungkirkan lingkungan pergaulan juga termasuk salah satu factor yang dapat mempengaruhi remaja unuk melakukan perbuatan yang negatif maupun positif, sebab dari lingkungan pergaulanlah kita dapat tahu sesuatu yang sebelumnya belum kita ketahui, dari sini kita memilki teman yang dapat menunun kita kejalan yang menuju kemasa depan yang cearh, namun dari sini juga kita menemukan teman yang menuntun kita kejalan kehancuran.
So, kita harus pandai-pandai memilih dan menilai lingkungan pergaulan kiata, agar kita tidak menyesal dikemudian hari.
Sejujurnya tulisan ku ini bukanlah hujatan, atau pandangan ku terhadap para remaja, sebab masih banyak koq para remaja yang berprestasi, baik di tingkat nasional atau bahkan internsional, so jadi jangan rusak masa remajamu dengan hal-hal yang negative, sebab nyesal di kemudian hari tiada gunanya
Saya khawatir kondisi yang menimpa kita saat ini adalah awalnya kehancuran negeri ini. Fakta sejarah telah mengungkap penyebab kehancuran suatu kaum adalah karena hancurnya moral penguasa dan warganya. Romawi hancur karena kebejatan moral, dinasti Umayyah dan Abbasiyyah lenyap begitu saja di kawasan Laut Tengah, kota-kota muslim Andalusia jatuh karena pemimpinnya terlena oleh duniawi, Majapahit runtuh karena rakusnya generasi penerus, dan banyak lagi negeri lainnya yang intinya mengalami kehancuran karena kebejatan moralnya.
Mungkinkah negeri ini akan hancur? Mungkin, sebab sudah menjadi rahasia umum kebejatan moral yaitu korupsi di negeri ini mengakar pada pemimpin dan penguasanya, sehingga warganya pun tanpa sadar dan tanpa merasa bersalah ikut dalam budaya korupsi ini. Kita tidak tahu seperti apa kehancuran besarnya akan terjadi, tapi kita bisa melihat kondisi-kondisi kecil yang sedang terjadi.
Konflik etnis seperti tak pernah selesai, metoda otonomi daerah (atau konsep federasi) yang bertujuan mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika sepertinya dijadikan alat untuk memisah-misahkan diri sebagai arogansi suku atau daerah, saling ketergantungan bergeser menjadi sikap kesombongan terhadap kelebihan sumber daya masing-masing. Negeri yang dikenal dengan seribu lautan namun minim dalam sarana dan prasaran maritim, baik untuk pengolahan kekayaan alam maupun sistem transportasinya. Negeri dengan potensi kekayaan alam yang sangat tinggi tapi berutang banyak.
Apa kita tak pernah belajar pada fakta sejarah? Kita belajar tapi kita tak pernah mengimplementasikan dan mencegahnya. Kerakusan pribadi atau golongan mengeksploitasi kekayaan negeri untuk kepentingan sendiri. Kita tak akan pernah maju dan bertahan seperti Jepang dan Cina yang memiliki moral yang tinggi. Mereka punya militansi yang tinggi terhadap negerinya, tidak hanya pada saat keamanan dirongrong pihak lain, namun dalam kehidupan sehari-hari di masa damai.
Kita pernah punya konsep strategi Repelita Orde Baru –yang menurut saya yang bodoh– yang bagus, kita melihat hasilnya selama 25 tahun terakhir kemajuan terlihat nyata, namun sayang konsep yang bagus dikotori oleh moral korupsi yang tinggi. Kini penguasa pencetus Repelita tersebut hancur, namun sayang sejuta sayang konsep yang bagus tersebut tidak ditindaklanjuti, seolah-olah yang bagus menjadi jelek hanya karena keluar dari pikiran pemimpin atau penguasa yang telah dicap jelek.

Baca Juga: Realita Pemuda Indonesia: Strategi Perbaikan Moral Di Indonesia


Negeri ini diguncang dari dalam oleh pemimpin-pemimpinnya, dirongrong oleh negeri tetangga karena dianggap tidak becus memberdayakan wilayah potensial, tak lupa dipukul keras oleh alam akhir tahun lalu.
Wahai penguasa
Beri kami optimisme!
Segarkan Islam kami!
Jangan kau hancurkan negeri kami!
Untuk sebuah cita-cita
بلدة طيبة ورب غفور

“Negeri yang baik dalam lindungan Tuhan Yang Mahapengampun” (QS Saba 34:15)
Ditengah carut marut dan centang perenang dunia pendidikan Indonesia yang diwarnai dari berderet kasus asusial,pencabulan,kasus foto dan video porno yang diproduksi oleh dunia pendidikan Indonesia. Menandai gagalnya sistem pendidikan akhlak dan moral bangsa Indonesia.
Mengapa bisa sedemikian parah wajah pendidikan di Indonesia…?
Ya…bangsa ini memang bisa dikatakan berhasil mendidik anak bangsa menjadi orang yang cerdas atau sedikit cerdas, tetapi gagal mendidik anak bangsa menjadi orang yang berakhlak dan bermoral…
Mengapa ini terjadi….?
Negara ini menganggap bahwa kemajuan pendidikan hanya dari segi kecerdasan otak saja. Sedangkan pendidikan moral dan akhlak yang menyangkut kepada pendidikan agama sangat kurang dan hampir tidak terpikirkan oleh pemerintah. Inilah yang membuat akhlak dan moral anak bangsa hancur…
Mungkin sebahagian dari kita mengalaminya, waktu di sekolah dulu berapa jam pelajaran agama yang kita peroleh di Sekolah….. Sedangkan pendidikan agama untuk anak-anak tanggung jawabnya diberikan kepada keluarga masing-masing.
Inilah ciri dari pendidikan sekuler…dan inilah hasilnya…
Untuk apa orang pandai tetapi tidak berakhlak….
Solusi yang ditawarkan….
Indonesia banyak mengadopsi sistem pendidikan sekuler, inilah yang membuat hancur pendidikkan di Indonesia terutama pendidikan akhlak dan moral.
Indonesia harus mengembangkan pola pendidikan Iran
Jika dikelola dan dikembangkan dengan baik dan didukung oleh pemerintah, maka pola Iran ini sangat baik dalam mendidik moral dan akhlak anak-anak ketika menimba ilmu…
Disiplin yang keras dan pengawasan anak-anak selama 24 jam melatih moral dan akhlak untuk selalu disiplin dan terbiasa mematuhi aturan yang ada…
Semoga artikel ini bermanfaat bagi kita semua.


Baca Juga: 

1. Realitas Pemuda Indonesia: Remaja Darurat Minuman Keras         & Narkoba

2. Realitas Pemuda Indonesia: Efek Bahaya Rokok Bagi Tubuh

3. Realitas Pemuda Indonesia: Degradasi Moral Anak Bangsa


Read More
Pendidikan: Kemana Arah Pendidikan Kita

Pendidikan: Kemana Arah Pendidikan Kita



Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
…Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”
“Dari Indonesia,” jawab saya.
Dia pun tersenyum.

Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.
“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.
Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
***
Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.
ALHAMDULLILAH LINK SUMBER NASKAH ASLINYA DI TEMUKAN OLEH PAK IMAM: http://mm.fe.ui.ac.id/…/261-encouragement-prof-rhenald-kasa…

Read More
Pendidikan: Kacaunya Pendidikan Di Indonesia

Pendidikan: Kacaunya Pendidikan Di Indonesia



Oleh: Muhammad Akbar
Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Makassar

Muhammadakbar2.blogspot.com
Abstrak
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting guna meningkat sumberdaya manusia yang ada. Karena melalui pendidikan dapat menciptakan generasi yang unggul dan kompetitif dalam menghadapi tantangan yang terjadi di masa mendatang. Jika dalam sebuah lingkungan makin banyak warga yang memperoleh pendidikan, maka di pastikan lingkungan tersebut dapat lebih unggul dibandingkan lingkungan yang lainnya.
Oleh karena itu, sudah selayaknya seluruh warga masyarakat dapat memperoleh pendidikan dengan layak. Namun sangat disayangkan masih banyaknya warga yang tidak memperoleh pendidikan membuktikan masih lemahnya pendidikan di Indonesia. Selain itu satu persatu permasalahan dalam dunia pendidikan bermunculan kepermukaan. Pemerintah selayaknya memberikan perhatian lebih terhadap masalah pendidikan tersebut. Karena kesuksesan sebuah negara juga dapat dilihat dari keberhasilan pendidikan dinegara tersebut.
Key words     : pendidikan, lingkungan, masalah

PENDAHULUAN
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting guna meningkatkan sumberdaya manusia yang ada. Karena melalui pendidikanlah kita mampu untuk meningkatkan kemampuan yang kita miliki. Selain itu, pendidikan juga dapat menciptakan generasi yang unggul dan kompetitif dalam upaya untuk menghadapi tantangan yang akan terjadi dimasa depan. Diperlukan sebuah komitmen dalam membangun kemandirian dan pemberdayaan yang dapat menopang kemajuan pendidikan dimasa depan demi tercapainya idealisme pendidikan.
Menurut bahasa pendidikan berasal dari Bahasa Yunani “paedagogik” yang berasal dari kata “pais” berarti anak dan “again” berarti bimbingan. Jadi “paedagogik” artinya bimbingan yang diberikan kepada anak. Dalam Bahasa Inggris pendidikan diterjemahkan menjadi “Eduction. Kata ini berasal dari Bahasa Yunani “educare” berarti membawa keluar yang tersimpan dalam jiwa anak, untuk dituntun agar dapat tumbuh dan berkemang. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik dan kecerdasan pikiran yang berarti pendidikan merupakan sebuah proses pongubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok.
Definisi Pendidikan Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 tahun 2003 Bab I, pasal 1 menggariskan pengertian: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana  belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Selama ini kita mengetahui bahwa pendidikan merupakan sebuah sistem. Salah satu masukan dalam sistem pendidikan ini adalah lingkungan. Lingkungan yang baik akan menciptakan manusia-manusia yang memiliki budi pekerti luhur, sedangkan lingkungan yang buruk hanya akan menciptakan manusia-manusia yang berbudi pekerti buruk pula, seperti sebuah pepatah, “kebo gupak neler-neler” (orang jahat akan mempengaruhi orang lain yang didekatnya untuk berbuat jahat). Selain itu ada pula pepatah yang mengatakan, “wong kang alim kumpulono” (berkumpullah dengan orang-orang yang berilmu). Kedua pepatah ini membuktikan bahwa lingkungan memang sangat mendukung demi terciptanya manusia yang mampu mengembangkan kemampuannya.
Dalam UU RI No 20/2003 (Bab II pasal 3) Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.  
Menurut Ki Hajar Dewantara, Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita mamajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya”.
Ki Hajar Dewantara adalah tokoh sebagai peletak dasar yang kuat pendidikan Nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Beliau juga dikenal sebagai tokoh pelopor dasar Perguruan Taman Siswa. Dasar ini kemudian dikenal dengan “Panca Darma,” dasar-dasar ini adalah dasar kemerdekaan, dasar kebangsaan, dasar kemanusiaan, dasar kebudayaan dan dasar kodrat alam. Dasar kemerdekaan ini dalam pelaksanaannya dimaksudkan agar pendidik mampu untuk memberikan kebebesan kepada anak didik untuk mengatur dirinya sendiri dan mampu mengembangkan individunya sendiri. Namun kebebasan ini harus berdasarkan nilai hidup yang tinggi, sehingga dapat mewujudkan keseimbangan dan keselarasan baik secara individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Melelui konsepsi ini Ki Hajar Dewantara meletakkan dasar kodrat anak sebagai faktor utama yang terkenal dengan semboyan “Marilah kita berhamba kepada sang anak”. Cita-cita ini dapat terlaksana jika kepada anak diberikan kebebasan dan kemerdakaan untuk menjadi manusia yang beradab sesuai dengan kebudayaan dan menghormati bangsanya sendiri.
 Kemudian Ki Hajar Dewantara membagi lingkungan pendidikan menjadi tiga macam, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Ketiga lingkungan ini lebih dikenal sebagai tripusat pendidikan. Ki Hajar Dewantara sendiri menyebut ketiga lingkungan ini sebagai perkumpulan pemuda.
Berbeda dengan Ki Hajar Dewantara, Philip H. Coombs merancu ketiga lingkungan tersebut dengan pemilihan pendidikan yang sudah dikembangkannya. Pemilihan tersebut antara lain pendidikan formal, pendidikan infromal dan pendidikan non formal. Menurutnya pendidikan formal adalah pendidikan berprogram, berstruktur yang berlangsung di persekolahan. Pendidikan informal adalah pendidikan yang tidak terprogram dan tidak berstruktur. Serta pendidikan non fromal adalah pendidikan yeng berstruktur, berprogram yang berlangsung di luar sekolahan.
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama yang dialami oleh anak. Keluarga termasuk dalam lembaga pendidikan yang bersifat informal, selain itu lembaga ini juga bersifat kodrati orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Disinilah peran orang tua terutama ibu akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak tersebut. Disebut pendidikan utama karena di dalam lingkungan keluarga segenap potensi yang dimiliki manusia terbentuk dan sebagaian dikembangkan. Bahkan seringkali ada beberapa potensi yang telah berkembang dalam pendidikan keluarga.
Perlu kita ketahui bahwa lingkungan keluarga yang harmonis dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebaliknya, lingkungan keluarga yang sering ada masalah baik dari dalam maupun dari luar akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Darisinilah kita bisa melihat bahwa peran serta orang tua dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya agar menjadi insan yang cerdas dan mandiri memang sangat diperlukan.
Kita pasti mengetehui dengan jelas bahwa tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Untuk itulah orang tua membutuhkan sebuah lembaga khusus yang mampu mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan pada anak. Dengan alasan inilah dibentuk ebuah lembaga formal yang dikenal dengan sebutan sekolah, yang kemudian tercipta dari adanya pertimangan pemikiran efisiensi dan efeektivitas terhadap pemberian pendidikan dalam lingkungan masyarakat.
Sekolah memang diciptakan dari, oleh dan untuk warga masyarakat itu sendiri.  Sekolah tentunya harus mampu untuk bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak selama mereka diserahkan kepadanya. Untuk itulah sudah selayaknya jika sekolah mengikuti haluan dari masyarakat bersangkutan, yang tercermin dalam falsafah dan tujuan pendidikan, kurikulum hingga pengelolaannya.
Pendidikan yang dialami dalam lingkungan masyarakat, telah dimulai ketika anak-anak sudah mulai lepas dari asuhan kelurga dan berada di luar lingkungan pendidikan sekolah. Namun orang tua tidak sepenuhnya melepasnya begitusaja, mereka tetap mengontrol perkembangan atau pendidikan yang didapatkan anak-anak mereka. Kerena pengaruh yang didapat dari lingkungan masyarakat lebih luas di banding dengan lingkungan pendidikan yang lain. Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam masyarakat ada begitu banyak, ini meliputi berbagai bidang yang ada, baik pembentukan kebiasaan-kebisaan, pembentukan pengetahuan, sikap dan minat, bahkan pembentukan kesusilaan dan kegamaan.
            Seperti yang kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia saat ini semakin memburuk. Hal ini dapat kita lihat dari rendahnya kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Bisa dikatakan guru-guru saat ini kurang berkompeten. Banyak guru muda yang masuk ke jurusan keguruan hanya kerena tidak diterima di jurusan lain atau bahkan karena alasan kekurangan dana saat kuliah. Pemandangan ini sangat berbeda dengan guru-guru yang memang sudah lama mendidikasikan dirinya untuk mengajar. Mereka sudah memiliki banyak pengalaman mengajar murid dan pengalaman mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Selain itu ada pula masalah gaji guru yang menjadi penghambat guru untuk bekerja secara kompeten. Jika fenomena ini dibiarka begitu saja, sudah dapat dipastikan pendidikan di Indonesia akan hancur, mengingat sebentar lagi akan ada banyak guru berpengalam yang pensiun.
            Faktor lainnya yang menjadikan pendidikan di Indonesia semakin terpuruk khususnya bagi penduduk di daerah terbelakang adalah permasalahan yang menyangkut sarana pembelajaran. Meskipun begitu bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai untuk hidup dan kerja. Ada banyak penyebab yang menjadikan mereka tidak dapat memperoleh pendidikn secara normal layaknya kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain masalah kekurangan pendidik dan jarak rumah ke sekolah yang jauh.
Presiden Susio Bambang Yudhoyono mengungkapkan, “Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya.” Selain itu Presiden juga memaparkan berbagai langkah praktis yang akan diambil oleh pemerintah guna meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, yaitu :
Langkah pertama adalah meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia yang diukur berdasarkan angka partisipasi.
Langkah kedua adalah menghilangkan ketidak merataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan yang terjadi di desa dan antar gender.
Langkah ketiga adalah meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
Langkah keempat adalah pemerintah nantinya akan menambah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan demi terciptanya tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
Langkah kelima adalah pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
Langkah keenam adalah pemerintah akan meningkatkan annggaran pendidikan.
Langkah ketujuh adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan akan ditingkatkan.
Langkah kedelapan adalah pembiayaan bagi masyarakat miskin agar dapat menikati fasilitas pendidikan yang ada.
Penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia yang pertama adalah masalah rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia yang disesbabkan karena tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Padahal pendidikan yang efektif dapat memungkinkan peserta didik untuk belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Maka dari itu seorang pendidik dituntut untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran yang berlangsung dapat berguna.
Kedua adalah kurangnya efisiensi pengajaran di Indonesia. Efisiensi adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam sebuah proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan lebih teliti lagi untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal ini pulalah yang kurang dalam pendidikan di Indonesia, kurang dalam mempertimbangkan prosesnya hanya memikirkan bagaimana caranya dapat meraih standar hasil yang telah disepakati. Selain itu adapula masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pengajar dan masalah-masalah lainnya yang menyebabkan kurangnya efisiensi proses pendidikan di Indonesia. Masalah-masalah ini akan berpengaruh terhadap peningkatan sumber daya manusia Indonesia ke jalur yang lebih baik.
Berbicara tentang mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, kita tidak hanya akan berbicara tentang biaya sekolah, training, kursus ataupun lembaga pendidikan formal atau informal lain, namun kita juga akan berbicara mengenai properti pendukung seperti buku dan biaya transportasi yang dikeluarkan. Di Sekolah Dasar Negeri saat ini sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, namun dibeberapa SD Negeri masih di temui kasus tentang para peserta didik yang tetap dituntut untuk memenuhi  perlengkapan belajar mereka sendiri seperti buku teks pelajaran, seragam, alat tulis dan lain sebagainya. Selain itu ada pula pendidik yang mewajibkan peserta didiknya mengikuti les dengan pendidik tersebut yang tentu dengan bayaran dan nantinya bayaran tersebut untuk sang pendidik ini sungguh mengejutkan.
Waktu pengajaran di Indonesia jika kita bandingkan dengan negara lainnya relative lebih lama. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah, misalnya ada sekolah yang memulai jam belajar mengajarnya dari pukul 07.00 dan berakhir pada pukul 16.00. Hal ini sangatlah tidak efisien, karena jika kita amati lagi banyak peserta didik yang kemudian mengikuti jam tambahan di lembaga-lembaga pendidikan informal padahal mereka sebelumnya telah menghabiskan banyak faktu untuk menikuti pendidikan formal di sekolah. Ini benar-benar terlihat sangat tidak efektif, karena peserta didik pada akhirnya mengikuti pendidikan informal demi melengkapi pendidikan formal yang dinilai masih sangat kurang.
Kurangnya mutu mengajar juga menjadi masalah dalam efisiensi pendidikan. Karena dari kurangnya mutu pengajar inilah yang menyebabkan peserta didik akhirnya kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga mengeluarkan banyak biaya. Masalah ini disebabkan karena pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Sebagai contoh saja seorang yang mempunyai pendidikan dasar di bidang bahasa, namun mengajarkan teknologi, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal ini bisa kita lihat dalam kondisi pendidikan di lapangan yang memang nyata adanya. Penyebab lainnya juga bisa diakibatkan karena pendidik kurang mampu untuk mengkomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, hingga mudah dimengerti dan menarik perhatian peserta didik.
Konsep efisiensi dapat tercipta jika produk yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya mengandalkan masukan yang relative tetap, atau bisa juga masukan kecil namun mampu untuk menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep ini terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efesiensi teknologis penerapannya dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang telah ditetapkan. Sedangkan untuk efisiensi ekonomis tercipta ketika ukuran nilai kepuasan atau harga yang sudah diterapkan terhadap keluaran atau hasil produk.
Ketiga adalah masalah standarisasi pendidikan di Indonesia. Apabila kita ingin meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, kita nantinya juga akan membicarakan tentang standarisasi pengajaran yang akan kita terapkan seiring dengan perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan yang terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Kompetensi  yang dibutuhkan masyarakat juga ikut berubah sesuai dengan modernisasi dan globalisasi. Kualitas pendidikan juga dapat diukur dari standar kompetensi di dalam berbagai versi, sehinga di bentuklah badan-badan baru untuk melaksanakan standarisasi dan kompetensi tersebut. Contohnya Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Standarisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan ini dapat memicu munculnya kemungkinan terburuk yakni dengan adanya pendidikan yang terkukung oleh standarisasi dan kompetensi saja hingga dapat menghilangkan makna dan tujuan pendidika yang ada. Nantinya peserta didik hanya akan memikirkan bagaimana agar dapat tercapainya standar pendidikan, bukan bagaimana agar pendidikan tersebut dapat berjalan dengan efektif dan dapat digunakan. Mereka cenderung tidak memperdulikan bagaimana cara meraih hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang dipentingkan adalah bagaimana memenuhi nilai di atas standar saja.
Kita juga dapat mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Kasus pelaksanaan UAN hampir selalu menjadi kontrofesi, padahal sistem evaluasi UAN sudah cukup baik. Namun sangat disayangkan evaluasi seperti itu digunakan untuk menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan. Pelaksanaan yang hanya dilakukan satu kali saja tanpa melihat proses yang dilalui oleh peserta didik selama beberapa tahun menempuh proses pendidikan. Selain daripada itu evalusi seperti ini hanya mengevaluasi tiga bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lainnya yang telah diikuti oleh peserta didik. Hal inilah yang menjadi pertimbangan banyak orang tentang keberhasilan pelaksanaan UAN selama beberapa tahun ini.
Ada banyak hal lainnya yang dapat kita lihat sebagai penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia lebih jauh lagi. Penyebab-penyebab ini dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam lagi pada akar permasalahan yang ada. Dan apabila kita nantinya sudah menemukan akar permasalahannya niscaya kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga menjadi lebih baik lagi.
Dengan adanya langkah-langkah yang diambil oleh Presiden pada pembahasan diatas, diharapkan dapat segera menuntaskan segala permasalahan pendidikan yang ada di Indonesia. Mengingat pendidikan memiliki arti yang sangat penting bagi masa depan. Selain itu sebagai manusia yang berpendidikan kita juga dituntut untuk lebih kritis lagi terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia ini. Jika nantinya kita masih menemui permasalahn dalam dunia pendidikan selayaknya kita dapat menemukan solusi terbaik untuk memcahkan masalah tersebut dan bukan hanya mempersalahkan masalah yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
Munib, Achmad., dkk. 2012. Pengantar Ilmu Pendidikan.  Semarang: UPT MKK UNNES.
Tirtarahardja, Umar., La Sulo, S L. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Asdi
Mahasatya.
Setiawan, Benni. 2008. Agenda Pendidikan Nasional. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.
Sukrisno Santoso. 2012. Makalah Masalah Pendidikan di Indonesia. http://meilanikasim.
wordpress.com/2009/03/08/makalah-masalah-pendidikan-di-indonesia.
Ibnu Hamad. 2013. Mari, Memerdekakan Pendidikan Kita! Kompas Online Jumat,
18 Oktober 2013. http://edukasi.kompas.com.
Ibrahim Bafadal. 2013. Pendidikan Berkualitas untuk Generasi Emas. Kompas Online Jumat, 18 Oktober

 


Read More