Realitas Pemuda Indonesia: Makalah Kenakalan Remaja
Oleh: Muhammad Akbar
Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas
Negeri Makassar
Akbarusamahbinsaid.@gmail.com
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
masalah
Dalam
UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan
bahwa, Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Berdasarkan definisi ini, dapat difahami bahwa pendidikan
nasional berfungsi sebagai proses untuk membentuk kecakapan hidup dan karakter
bagi warga negaranya dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang
bermartabat, meskipun nampak ideal namun arah pendidikan yang sebenarnya adalah
sekularisme yaitu pemisahan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan
kehidupan secara menyeluruh. Dalam UU Sisdiknas tidak disebutkan bahwa yang
menjadi landasan pembentukan kecakapan hidup dan karakter peserta didik adalah
nilai-nilai dari aqidah islam, melainkan justru nilai-nilai dari demokrasi.
Tawuran
yang sering dilakukan pada sekelompok remaja terutama oleh para pelajar seolah
sudah tidak lagi menjadi pemberitaan dan pembicaraan yang asing lagi ditelinga
kita. Inilah beberapa contoh yang bisa kita kemukakan sebagai bukti terjadinya
tawuran yang dilakukan oleh para remaja beberapa tahun lalu.Dalam hal tawuran,
di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tingkat tawuran antar
pelajar sudah mencapai ambang yang cukup memprihatinkan.
Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun
1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183
kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban
meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus
yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban
meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah
perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat, dalam satu
hari di Jakarta terdapat sampai tiga kasus perkelahian di tiga tempat
sekaligus.
B. Rumusan
masalah
Kalau kita baca uraian diatas jelas sangat tidak sinkron antara
tujuan UU no.20 tahun 2003 tetang system pendidikan dengan kenyataan yang ada
dilapangan, bahkan jauh sebelum UU no. 20 tahun 2003 lahir, tawuran pelajar
sudah terjadi,, pertanyaannya adalah apakah dengan lahirnya UU no. 20
tahun 2003 bisa mengatasi tawuran pelajar ? atau mungkin ada masalah
lain ?.
Bagaimana mengatasi
tawuran yang hampir tiap hari terjadi di Jakarta ? langkah-langkah
apa saja yang bisa dilakukan agar tawuran
bisa diatasi
BAB II
Landasan
Teori
1. Pengertian
Tawuran
Dalam kamus bahasa Indonesia “tawuran”dapat diartikan sebagai
perkelahian yang meliputi banyak orang. Sedangkan “pelajar” adalah seorang
manusia yang belajar. Sehingga pengertian tawuran pelajar adalah perkelahian
yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut dilakukan
oleh orang yang sedang belajar
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia
remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile
deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke
dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik.
a. Delikuensi
situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan”
mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan
untuk memecahkan masalah secara cepat.
b. Delikuensi
sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu
organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu
yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, tumbuh
kebanggaan apabila dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa remaja seorang remaja akan cenderung
membuat sebuah genk yang mana dari pembentukan genk inilah para remaja
bebas melakukan apa saja tanpa adanya peraturan-peraturan yang harus dipatuhi
karena ia berada dilingkup kelompok teman sebayanya.
2. Teori Belajar social
Teori belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari
luar. Bandura (dalam Sarwono, 2002) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-
hari pun perilaku agresif dipelajari dari
model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau
melalui media massa.
3 . Teori Kualitas Lingkungan
Strategi yang dipilih seseorang untuk stimulus mana yang
diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi
positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas
Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition).
Berbicara mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok
(dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi
perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna.
Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi
akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam
Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan
dua efef yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.
BAB III
PEMBAHASAN
Tawuran pelajar merupakan salah satu bentuk perilaku negatif
yang sangat marak terjadi dikota -kota besar, misalnya Jakarta. Permasalahan
remeh dapat menyulut pertengkaran individual yang berlanjut menjadi perkelaian
masal dan tak jarang melibatkan penggunaan senjata tajam atau bahkan senjata
api. Banyak korban yang berjatuhan, baik karena luka ringan, luka berat, bakan
tidak jarang terjadi kematian. Tawuran ini juga membawa dendam berkepanjangan
bagi para pelaku yang terlibat didalamnya dan sering berlanjut pada tahun-tahun
berikutnya.
Hal ini tentunya merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan.
Generasi yang diharapkan mampu membawa perubahan bangsa kearah yang lebih baik
ternyata jauh dari harapan. Kondisi ini juga dapat membawa dampak buruk bagi
masa depan bangsa. Lickona menyebutkan beberapa tanda dari perilaku manusia
yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa antara lain meningkatnya
kekerasan dikalangan remaja, pengaruh kelompok sebaya terhadap tindakan
kekerasan, dan semakin kaburnya pedoman moral.
1. Faktor-
faktor yang menyebabkan tawuran pelajar
Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan tawuran
pelajar, diantaranya :
a.
Faktor Internal
Faktor internal ini terjadi didalam diri individu itu sendiri
yang berlangsung melalui proses internalisasi diri yang keliru dalam
menyelesaikan permasalahan disekitarnya dan semua pengaruh yang datang dari
luar. Remaja yang melakukan perkelahian biasanya tidak mampu melakukan adaptasi
dengan lingkungan yang kompleks. Maksudnya, ia tidak dapat menyesuaikan diri
dengan keanekaragaman pandangan, ekonomi, budaya dan berbagai keberagaman
lainnya yang semakin lama semakin bermacam-macam.
Para remaja yang mengalami hal ini akan lebih tergesa-gesa dalam
memecahkan segala masalahnya tanpa berpikir terlebih dahulu apakah akibat yang
akan ditimbulkan. Selain itu, ketidakstabilan emosi para remaja juga memiliki
andil dalam terjadinya perkelahian. Mereka biasanya mudah friustasi, tidak
mudah mengendalikan diri, tidak peka terhadap orang-orang disekitarnya.
Seorang remaja biasanya membutuhkan pengakuan kehadiran dirinya
ditengah-tengah orang-orang sekelilingnya. Di antara pelajar laki-laki,
tawuran seperti sudah menjadi tradisi yang harus dilakukan. Kalau enggak
tawuran, enggak jantan, enggak keren, enggak mengikuti perkembangan zaman,
atau banyak lagi anggapan lain.
Dalam studinya tentang kekerasan, Foucault, seorang psikolog
sosial, menyatakan bahwa kekerasan adalah buah dari simbolisasi perlawanan akan
bentukan emosi yang menekan manusia secara eksistensial. Disisi yang lain, Eric
Fromm menyatakan bahwa kekerasan adalah wujud dari ketakutan dan keterancaman.
Dari dua teori diatas, kita tentu memahami mengapa pelajar melakukan kekerasan.
Sebagai manusia remaja, pelajar, dalam pengalaman keseharian mereka, merasakan
bentukan hegemoni dari orang yang lebih dewasa (orang tua, guru dan sekolah itu
sendiri) melalui aturan normative yang membelit kebebasan mereka.
Mereka lebih sering dituntut untuk memahami segala bentuk
tatanan yang sifatnya baru bagi mereka daripada diberikan kebebasan untuk
berpikir kritis atas tatanan-tatanan tersebut. Mereka merasakan sebuah
keterancaman eksistensial dimana keberadaan mereka tidak terlalu diakui sebagai
selayaknya manusia yang setara. Mereka adalah gudang kesalahan yang setiap hari
selalu diposisikan sebagai sosok yang tidak pernah benar di mata orang dewasa.
Mereka berkelompok karena mereka merasakan sebuah perasaan
senasib. Perasaan senasib tersebut menimbulkan sebuah solidaritas masal yang
sifatnya fanatis dan simbolik. Mereka yang tidak bisa memenuhi tuntutan
solidaritas tidak akan terekrut dalam kelompok-kelompok yang ada. Disinilah
mereka harus menunjukan jati diri eksistensi mereka. Minuman keras, narkoba,
dan perkelahian bukan sekedar eksperimentasi mereka sebagai remaja melainkan
juga menjadi semacam metode simbolik untuk bisa diterima oleh kelompok-kelompok
yang ada.
Tanpa kelompok-kelompok itu, mereka akan mengalami perasaan
kesepian yang mendalam karena teralienasi baik oleh kelompok manusia dewasa
maupun seusia mereka.
b. Faktor
Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar individu,
yaitu :
1. Faktor
Keluarga
Keluarga adalah tempat dimana pendidikan pertama dari orangtua
diterapkan. Jika seorang anak terbiasa melihat kekerasan yang dilakukan didalam
keluarganya maka setelah ia tumbuh menjadi remaja maka ia akan terbiasa melakukan
kekerasan karena inilah kebiasaan yang datang dari keluarganya. Selain itu
ketidak harmonisan keluarga juga bisa menjadi penyebab kekerasan yang
dilakukan oleh pelajar. Suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan
tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan
bahaya psikologis bagi setiap usia terutama pada masa remaja.
Menurut Hirschi (dalam Mussen dkk, 1994). Berdasarkan hasil
penelitian ditemukan bahwa salah satu penyebab kenakalan
remaja dikarenakan tidak berfungsinya orang tua sebagai figure teladan yang
baik bagi anak (hawari, 1997).
Berdasarkan hasil
penelitian ditemukan bahwa salah satu penyebab kenakalan remaja dikarenakan
tidak berfungsinya orang tua sebagai figure teladan yang baik bagi anak (hawari,
1997). Jadi disinilah peran orangtua sebagai penunjuk jalan anaknya untuk
selalu berprilaku baik.
2. Faktor
Sekolah
Dalam beberapa diskusi atau tulisan yang dimuat di media masa,
beberapa ahli atau penggiat pendidikan sering mengopinikan adanya kebutuhan
akan kegiatan-kegiatan positif yang mampu mewadahi kreativitas dan dinamisasi
kehidupan remaja dalam rangka mengurangi angka terjadinya tawuran antar siswa
baik di tingkat SMP atau SMU. Kegiatan-kegiatan positif bisa dibentukan dalam
aktivitas persahabatan antar sekolah yang lebih menitikberatkan kepada
persoalan-persoalan ilmiah. Dari kegiatan tersebut akan muncul sebuah keakraban
universal diantara mereka para pelajar.
Sekolah tidak hanya untuk menjadikan para siswa pandai
secara akademik namun juga pandai secara akhlaknya . Sekolah merupakan wadah
untuk para siswa mengembangkan diri menjadi lebih baik. Namun sekolah juga bisa
menjadi wadah untuk siswa menjadi tidak baik, hal ini dikarenakan hilangnya
kualitas pengajaran yang bermutu. Contohnya disekolah tidak jarang
ditemukan ada seorang guru yang tidak memiliki cukup kesabaran dalam mendidik
anak muruidnya akhirnya guru tersebut menunjukkan kemarahannya melalui
kekerasan. Hal ini bisa saja ditiru oleh para siswanya. Lalu disinilah peran
guru dituntut untuk menjadi seorang pendidik yang memiliki kepribadian yang
baik.
Menjadi
guru lebih mudah ketimbang menjadi sahabat mereka. Pelajar membutuhkan perasaan
diterima dan diakui sebagai manusia yang berkedudukan setara dengan siapapun
juga. Mereka muak untuk dipaksa memahami tanpa memiliki kesempatan untuk
dipahami. Perilaku mereka adalah sebuah kompensasi atas perasaan teralienasi
dalam dunia belajar mengajar. Satu satu solusi jangka panjang yang mungkin
dilakukan adalah merubah paradigma guru.
Guru sebaiknya memahami mereka sebagai remaja yang lahir dari
kultur keluarga, masyarakat dan pribadi yang berbeda. Kultur remaja memiliki
belief dan values sendiri yang tidak bisa ditekan untuk menerima kultur dewasa
yang universal. Menekan mereka hanya akan membentuk bangunan hegemoni kepada
mereka yang terkompensasi dalam perilaku destruktif mereka sebagai sebuah
simbol perlawanan eksistensial demi mendapatkan pengakuan
3. Faktor
Lingkungan
Lingkungan rumah dan lingkungan sekolah dapat mempengaruhi
perilaku remaja. Seorang remaja yang tinggal dilingkungan rumah yang tidak baik
akan menjadikan remaja tersebut ikut menjadi tidak baik. Kekerasan yang sering
remaja lihat akan membentuk pola kekerasan dipikiran para remaja. Hal ini
membuat remaja bereaksi anarkis. Tidak adanya kegiatan yang dilakukan untuk
mengisi waktu senggang oleh para pelajar disekitar rumahnya juga bisa
mengakibatkan tawuran.
Dosen Psikologi Universitas Indonesia, Winarini Wilman, dalam
diskusi bersama Litbang Kompas, bulan lalu, mengatakan, fenomena tawuran
pelajar di Jakarta sudah terjadi selama puluhan tahun. Dari kacamata
psikologis, ujar Winarini, tawuran merupakan perilaku kelompok. Ada sejarah,
tradisi, dan cap yang lama melekat pada satu sekolah yang lalu terindoktrinasi
dari siswa senior kepada yuniornya.
Tawuran lebih sering terjadi di jalanan, jauh dari sekolah.
Tawuran juga sering kali terjadi di titik yang sama dan waktu yang sama. Aparat
keamanan pun sering berjaga di titik tersebut, tetapi siswa yang hendak tawuran
selalu bisa mencari cara untuk tetap tawuran.
Dalam penelitian untuk disertasi berjudul ”Student Involvement
in Tawuran: A Social-psychological Interpretation of Intergroup Fighting among
Male High School Students in Jakarta”, tahun 1996-1997, Winarini menemukan
adanya fenomena barisan siswa (basis) yang terdiri atas 10-40 siswa. Mereka
bersama-sama pergi dan pulang sekolah naik bus umum. Basis itu terbentuk
berdasarkan keyakinan bahwa mereka akan diserang oleh sekolah musuh bebuyutan
mereka (Kompas, 26/11).
2. Hal yang
menjadi pemicu tawuran
Fenomena tawuran yang terjadi di Indonesia beberapa pekan
terakhir membuka mata kita kembali akan maraknya kekerasan dalam pergaulan
sosial remaja pelajar Indonesia yang lama sempat tengelam ditengah hiruk pikuk
carut marut pendidikan nasional. Bila dicermati, respon masyarakat awam maupun
kalangan pendidikan terhadap fenomena tawuran selalu saja mengkambing- hitamkan
problem-problem sosial di luar sekolah yang mempengaruhi pembentukan perilaku
negatif pelajar.
Disinilah letak penyimpangan intepretasi sosial yang terkadang
mewujud kepada penanganan yang selama ini terbukti tidak efektif mengurangi
angka kejadian tawuran pelajar di Indonesia. Seorang Psikolog tersohor, Maslow,
mengkategorikan beberapa motif perilaku kepada bangunan piramida motivasi
manusia. Dalam teori motivasinya, Maslow menyebutkan bahwa salah satu motivasi
tindakan manusia adalah untuk memperoleh pengakuan eksistensial dari sesamanya.
Disinilah titik penting yang sering terlepas dari kesadaran kritis kita dalam
menyoroti fenomena tawuran antar pelajar selama ini.
Pelajar adalah manusia yang hidup dalam situasi transisi antara
dunia anak menuju dewasa. Disinilah ruang dimana seorang manusia remaja mulai
menyadari kebutuhan-kebutuhan sosialnya untuk diterima sekaligus diakui oleh
komunitas masyarakat disekitarnya. Ruang baru yang mereka huni tersebut
terkadang menuntut hadirnya kultur solidaritas yang dalam beberapa kasus, bukan
tidak mungkin, menyimpang menjadi sebuah sikap fanatisme dan vandalisme. Inilah
mengapa kemunculan fenomena tawuran selalu diwarnai dengan kehadiran
kelompok-kelompok vandalistik (baca: gank) yang biasanya mengundang
perasaan-perasaan fanatisme berlebih dari setiap anggotanya.
Banyak sekali alasan yang bisa menjadikan tawuran antar-pelajar
terjadi. Pelajar sering kali tawuran hanya karena masalah sepele, seperti
saling ejek, berpapasan di bus, pentas seni, atau pertandingan sepak bola.
Bahkan, yang baru terjadi awal bulan ini, tawuran dipicu saling ejek di
Facebook, yang kemudian sampai menyebabkan nyawa seorang pelajar melayang.
Padahal, jejaring sosial, kan, hanya untuk having fun, bukan untuk menjadi
pemicu tawuran.
Tak jarang disebabkan oleh hanya saling menatap antar sesama
pelajar yang berbeda sekolahan. Bahkan saling rebutan wanita pun bisa menjadi
pemicu tawuran. Dan masih banyak lagi sebab-sebab lainnya. Selain
alasan-alasan yang spontan, ada juga tawuran antar-pelajar yang sudah menjadi
tradisi.
Dari jajak pendapat Kompas pada bulan Oktober, dengan responden
di 12 kota di Indonesia, diketahui sebanyak 17,5 persen responden mengakui
bahwa saat dia bersekolah SMA, sekolahnya pernah terlibat tawuran
antar-pelajar. Tidak sedikit pula responden atau keluarga responden yang
mengaku pada masa bersekolah terlibat tawuran atau perkelahian massal pelajar.
Jumlahnya mencapai 6,6 persen atau sekitar 29 responden.
Di antara pelajar laki-laki, tawuran seperti sudah menjadi
tradisi yang harus dilakukan. Kalau enggak tawuran, enggak jantan, enggak
keren, enggak mengikuti perkembangan zaman, atau banyak lagi anggapan lain.
Dosen Psikologi Universitas Indonesia, Winarini Wilman, dalam
diskusi bersama Litbang Kompas, bulan lalu, mengatakan, fenomena tawuran
pelajar di Jakarta sudah terjadi selama puluhan tahun. Dari kacamata
psikologis, ujar Winarini, tawuran merupakan perilaku kelompok. Ada sejarah,
tradisi, dan cap yang lama melekat pada satu sekolah yang lalu terindoktrinasi
dari siswa senior kepada yuniornya.
Tawuran lebih sering terjadi di jalanan, jauh dari sekolah.
Tawuran juga sering kali terjadi di titik yang sama dan waktu yang sama. Aparat
keamanan pun sering berjaga di titik tersebut, tetapi siswa yang hendak tawuran
selalu bisa mencari cara untuk tetap tawuran.
Dalam penelitian untuk disertasi berjudul ”Student Involvement
in Tawuran: A Social-psychological Interpretation of Intergroup Fighting among
Male High School Students in Jakarta”, tahun 1996-1997, Winarini menemukan
adanya fenomena barisan siswa (basis) yang terdiri atas 10-40 siswa. Mereka
bersama-sama pergi dan pulang sekolah naik bus umum. Basis itu terbentuk
berdasarkan keyakinan bahwa mereka akan diserang oleh sekolah musuh bebuyutan
mereka (Kompas, 26/11).
3. Dampak
karena tawuran pelajar
a. Kerugian
fisik, pelajar yang ikut tawuran kemungkinan akan menjadi korban. Baik
itu cedera ringan, cedera berat, bahkan sampai
kematian
b. Masyarakat
sekitar juga dirugikan. Contohnya : rusaknya rumah warga apabila pelajar yang
tawuran itu melempari batu dan mengenai rumah warga
c. Terganggunya
proses belajar mengajar
d. Menurunnya
moralitas para pelajar
e. Hilangnya
perasaan peka, toleransi, tenggang rasa, dan saling menghargai
4.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi tawuran pelajar
Untuk menghilangkan tawuran antar-pelajar yang sudah mengakar,
tentu dibutuhkan usaha keras. Banyak usulan yang dilontarkan untuk mengurangi
tawuran antar-pelajar. Beberapa di antaranya memindahkan sekolah, memotong
generasi di sekolah, atau memotong mata rantai tradisi tawuran.
Salah satu upaya mengurangi tawuran yang juga pernah dilakukan
adalah memindahkan letak sekolah karena diduga lingkungan sekolah yang terlalu
ramai di tengah kota mengakibatkan tekanan mental lebih berat bagi siswa. Pada
periode 1980-an, SMA 7 Gambir, Jakarta, terlibat konflik dengan STM Boedi Oetomo
Pejambon. Kemudian, pada awal tahun 1990-an, SMA 7 dipindahkan ke wilayah Karet
Pejompongan untuk memutus tawuran dengan STM Boedi Oetomo.
Ketua KPAI Maria Ulfah Anshor mengungkapkan, tradisi tawuran
bisa diputus dengan menanamkan nilai-nilai kepada anak-anak di rumah. ”Keluarga
mempunyai peranan penting untuk menanamkan nilai menghargai perbedaan, yang
nyata dalam kehidupan dan tidak bisa dihindari. Nah, bagaimana menghargai
perbedaan itu menjadi sesuatu yang positif,” kata Maria Ulfah.
Untuk itulah, ketika melakukan mediasi antara SMA 6 dan SMA 70
Jakarta, KPAI juga mengundang pihak orangtua. ”Sistem pendidikan kita
seharusnya juga ikut mendukung itu. Dulu ada pelajaran budi pekerti, tetapi
kurikulum menghilangkannya dengan alasan sudah terintegrasi dengan pelajaran
lain. Padahal, kenyataannya, nilai-nilai dari budi pekerti itu memang tidak
diajarkan, hilang begitu saja,” ujarnya.
Maria Ulfah juga mengusulkan memotong mata rantai pemicu
tawuran. Terkadang kita tidak tahu apa yang menjadi penyebab tawuran, yang
kemudian mengakar sampai ke generasi berikutnya. Nah, kata Maria Ulfah, mengapa
tidak mengubah paradigma tawuran, permusuhan antar-pelajar tak perlu disikapi
dengan perlawanan.
”Harus diputus
tradisi senior yang memanas-manasi yuniornya supaya terlibat tawuran. Ada
baiknya pula menghidupkan kembali pertandingan persahabatan antarsekolah. Kalau
zaman dulu pertandingan olahraga bisa mempererat hubungan antarpelajar, kenapa
sekarang tidak?” ungkapnya. Harapan KPAI tentu menjadi harapan kita
semua.(suSIE berindra)
Cara mengatasi
tawuran, sekolah juga bisa melakukan dengan cara:
a. Memberikan
pendidikan moral untuk para pelajar
b. Menghadirkan
seorang figur yang baik untuk dicontoh oleh para pelajar.
Seperti hadirnya seorang guru, orangtua, dan teman sebaya yang dapat
mengarahkan para pelajar untuk selalu bersikap baik
c. Memberikan
perhatian yang lebih untuk para remaja yang sejatinya sedang
mencari jati diri
d. Memfasilitasi
para pelajar untuk baik dilingkungan rumah atau dilingkungan
sekolah untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat
diwaktu luangnya. Contohnya : membentuk ikatan remaja masjid atau
karangtaruna dan membuat acara-acara yang bermanfaat, mewajibkan setiap siswa
mengikuti organisasi atau ekstrakulikuler disekolahnya.
e. Bahkan
antara tahun 2002 sampai tahun 2005 tawuran mulai berkurang
karena pada saat itu Dinas Pendidikan DKI Jakarta memberikan instruksi kepada
seluruh sekolah khususnya SLTA agar tiap-tiap sekolah
siswanya mengikuti kegiatan kesiswaan dengan system mentoring.
Kartini kartono pun menawarkan beberapa cara untuk mengurangi
tawuran remaja, diantaranya :
1. Banyak mawas
diri, melihat kelemahan dan kekurangan sendiri dan melakukan koreksi terhadap
kekeliruan yang sifatnya tidak mendidik dan tidak menuntun
2. Memberikan
kesempatan kepada remaja untuk beremansipasi dengan cara
yang baik dan sehat
3. Memberikan
bentuk kegiatan dan pendidikan yang relevan dengan
kebutuhan remaja zaman sekarang serta kaitannya dengan
perkembangan bakat dan potensi remaja
BAB IV
KESIMPULAN DAN
SARAN
1. Kesimpulan
Faktor yang menyebabkan tawuran remaja tidak lah hanya datang
dari individu siswa itu sendiri. Melainkan juga terjadi karena faktor-faktor
lain yang datang dari luar individu, diantaranya faktor keluarga, faktor sekolah,
dan faktor lingkungan.
Para pelajar yang umumnya masih berusia remaja memiliki
kencenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang mana kemungkinan
dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, maka inilah peran orangtua
dituntut untuk dapat mengarahkan dan mengingatkan anaknya jika sang anak
tiba-tiba melakukan kesalahan. Keteladanan seorang guru juga tidak dapat
dilepaskan. Guru sebagai pendidik bisa dijadikan instruktur dalam pendidikan
kepribadian para siswa agar menjadi insan yang lebih baik.
Begitupun dalam mencari teman sepermainan. Sang anak haruslah
diberikan pengarahan dari orang dewasa agar mampu memilih teman yang baik.
Masyarakat sekitar pun harus bisa membantu para remaja dalam mengembangkan
potensinya dengan cara mengakui keberadaanya.
2. Saran
Dalam menyikapi masalah remaja terutama tentang tawuran pelajar
diatas, penulis memberikan beberapa saran. Diantaranya :
a. Keluarga
sebagai awal tempat pendidikan para pelajar harus mampu membentuk pola pikir
yang baik untuk para pelajar
b. Masyarakat
mesti menyadari akan perannya dalam menciptakan situasi yang kondusif
c. Lembaga
pendidikan formal sudah semestinya memberikan pelayanan yang baik untuk
membantu para pelajar mengasah kemampuan dan mengembangkan segala potensi yang
ada didalam dirinya
Semoga Bermamfaat, Shukran
Jazakumullahu Khairan@....
DAFTAR PUSTAKA
Hartono, Agung.,
Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta Jakarta.,2006
Sarwono, S.W. 2002. “Psikologi Sosial
(Individu dan Teori- teori Psikologi Sosial)”. Jakarta : Balai Pustaka.
Watson, D.L. 1994. Social Psychology. Science and Aplication. Illinois: Scott and Foresmanand Co.
Worchel, S. dan Cooper, J. 1986. Understanding Social Psychology.Illinois: The Dorsey Press.
www.liputan6.com.
Watson, D.L. 1994. Social Psychology. Science and Aplication. Illinois: Scott and Foresmanand Co.
Worchel, S. dan Cooper, J. 1986. Understanding Social Psychology.Illinois: The Dorsey Press.
www.liputan6.com.
0 Response to "Realitas Pemuda Indonesia: Makalah Kenakalan Remaja"
Post a Comment