Bulan Ramadhan: Berbenah Diri Menyambut Ramadhan
Allah Ta’ala telah mengutamakan sebagian waktu
(zaman) di atas sebagian lainnya, sebagaimana Dia mengutamakan sebagian manusia
di atas sebagian lainnya dan sebagian tempat di atas tempat lainnya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَرَبُّكَ
يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
“Dan
Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya, sekali-kali tidak ada
pilihan bagi mereka” (QS al-Qashash:68).
Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat di
atas, beliau berkata, “(Ayat ini menjelaskan) menyeluruhnya ciptaan Allah bagi
seluruh makhluk-Nya, berlakunya kehendak-Nya bagi semua ciptaan-Nya, dan
kemahaesaan-Nya dalam memilih dan mengistimewakan apa (yang dikehendaki-Nya),
baik itu manusia, waktu (jaman) maupun tempat”[1].
Termasuk dalam hal ini adalah bulan Ramadhan yang Allah Ta’ala
utamakan dan istimewakan dibanding bulan-bulan lainnya, sehingga dipilih-Nya
sebagai waktu dilaksanakannya kewajiban berpuasa yang merupakan salah satu
rukun Islam.
Sungguh Allah Ta’ala memuliakan bulan yang penuh
berkah ini dan menjadikannya sebagai salah satu musim besar untuk menggapai
kemuliaan di akhirat kelak, yang merupakan kesempatan bagi hamba-hamba Allah Ta’ala
yang bertakwa untuk berlomba-lomba dalam melaksanakan ketaatan dan mendekatkan
diri kepada-Nya[2].
Bagaimana
Seorang Muslim Menyambut Bulan Ramadhan?
Bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan dan keberkahan, padanya
dilipatgandakan amal-amal kebaikan, disyariatkan amal-amal ibadah yang agung,
di buka pintu-pintu surga dan di tutup pintu-pintu neraka[3].
Oleh karena itu, bulan ini merupakan kesempatan berharga
yang ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang beriman kepada Allah Ta’ala
dan ingin meraih ridha-Nya. Dan karena agungnya keutamaan bulan suci ini,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyampaikan kabar
gembira kepada para sahabat radhiyallahu ‘anhum akan kedatangan bulan
yang penuh berkah ini[4].
Sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, menyampaikan
kabar gembira kepada para sahabatnya, “Telah datang bulan Ramadhan yang penuh keberkahan,
Allah mewajibkan kalian berpuasa padanya, pintu-pintu surga di buka pada bulan
itu, pintu-pintu neraka di tutup, dan para setan dibelenggu. Pada bulan itu
terdapat malam (kemuliaan/lailatul qadr) yang lebih baik dari seribu
bulan, barangsiapa yang terhalangi (untuk mendapatkan) kebaikan malam itu maka
sungguh dia telah dihalangi (dari keutamaan yang agung)”[5].
Imam Ibnu Rajab, ketika mengomentari hadits ini, beliau
berkata, “Bagaimana mungkin orang yang beriman tidak gembira dengan dibukanya
pintu-pintu surga? Bagaimana mungkin orang yang pernah berbuat dosa (dan ingin
bertobat serta kembali kepada Allah Ta’ala) tidak gembira dengan
ditutupnya pintu-pintu neraka? Dan bagaimana mungkin orang yang berakal tidak
gembira ketika para setan dibelenggu?”[6].
Dulunya, para ulama salaf jauh-jauh hari sebelum datangnya
bulan Ramadhan berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala agar
mereka mencapai bulan yang mulia ini, karena mencapai bulan ini merupakan
nikmat yang besar bagi orang-orang yang dianugerahi taufik oleh Alah Ta’ala.
Mu’alla bin al-Fadhl berkata, “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Ta’ala
(selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan,
kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia
menerima (amal-amal shaleh) yang mereka (kerjakan)”[7].
Maka hendaknya seorang muslim mengambil teladan dari para
ulama salaf dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan, dengan bersungguh-sungguh
berdoa dan mempersiapkan diri untuk mendulang pahala kebaikan, pengampunan
serta keridhaan dari Allah Ta’ala, agar di akhirat kelak mereka akan
merasakan kebahagiaan dan kegembiraan besar ketika bertemu Allah Ta’ala
dan mendapatkan ganjaran yang sempurna dari amal kebaikan mereka. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang berpuasa akan merasakan dua
kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika
dia bertemu Allah”[8].
Tentu saja persiapan diri yang dimaksud di sini bukanlah
dengan memborong berbagai macam makanan dan minuman lezat di pasar untuk
persiapan makan sahur dan balas dendam ketika berbuka puasa. Juga bukan
dengan mengikuti berbagai program acara Televisi yang lebih banyak merusak dan
melalaikan manusia dari mengingat Allah Ta’ala dari pada manfaat yang
diharapkan, itupun kalau ada manfaatnya.
Tapi persiapan yang dimaksud di sini adalah mempersiapkan diri lahir dan
batin untuk melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah agung lainnya di bulan
Ramadhan dengan sebaik-sebaiknya, yaitu dengan hati yang ikhlas dan praktek
ibadah yang sesuai dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Karena balasan kebaikan/keutamaan dari semua amal shaleh yang
dikerjakan manusia, sempurna atau tidaknya, tergantung dari sempurna atau
kurangnya keikhlasannya dan jauh atau dekatnya praktek amal tersebut dari
petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam[9].
Hal ini diisyaratkan dalam sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Sungguh seorang hamba benar-benar melaksanakan shalat,
tapi tidak dituliskan baginya dari (pahala kebaikan) shalat tersebut kecuali
sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya,
seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, atau seperduanya”[10].
Juga dalam hadits lain tentang puasa, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Terkadang orang yang berpuasa tidak
mendapatkan bagian dari puasanya kecuali lapar dan dahaga saja”[11].
Meraih
Takwa dan Kesucian Jiwa dengan Puasa Ramadhan
Hikmah dan tujuan utama diwajibkannya puasa adalah untuk
mencapai takwa kepada Allah Ta’ala[12], yang hakikatnya adalah kesucian jiwa dan kebersihan hati[13]. Maka bulan Ramadhan merupakan kesempatan berharga bagi
seorang muslim untuk berbenah diri guna meraih takwa kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS al-Baqarah:183).
Imam Ibnu Katsir berkata, “Dalam ayat ini Allah Ta’ala
berfirman kepada orang-orang yang beriman dan memerintahkan mereka untuk
(melaksanakan ibadah) puasa, yang berarti menahan (diri) dari makan, minum dan
hubungan suami-istri dengan niat ikhlas karena Allah Ta’ala (semata),
karena puasa (merupakan sebab untuk mencapai) kebersihan dan kesucian jiwa,
serta menghilangkan noda-noda buruk (yang mengotori hati) dan semua tingkah
laku yang tercela”[14].
Lebih lanjut, Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di menjelaskan
unsur-unsur takwa yang terkandung dalam ibadah puasa, sebagai berikut:
–
Orang yang berpuasa (berarti) meninggalkan semua yang diharamkan Allah (ketika
berpuasa), berupa makan, minum, berhubungan suami-istri dan sebagainya, yang
semua itu diinginkan oleh nafsu manusia, untuk mendekatkan diri kepada Allah
dan mengharapkan balasan pahala dari-Nya dengan meninggalkan semua itu, ini adalah
termasuk takwa (kepada-Nya).
–
Orang yang berpuasa (berarti) melatih dirinya untuk (merasakan) muraqabatullah
(selalu merasakan pengawasan Allah Ta’ala), maka dia meninggalkan apa
yang diinginkan hawa nafsunya padahal dia mampu (melakukannya), karena dia
mengetahui Allah maha mengawasi (perbuatan)nya.
–
Sesungguhnya puasa akan mempersempit jalur-jalur (yang dilalui) setan (dalam
diri manusia), karena sesungguhnya setan beredar dalam tubuh manusia di tempat
mengalirnya darah[15], maka dengan berpuasa akan lemah kekuatannya dan berkurang
perbuatan maksiat dari orang tersebut.
–
Orang yang berpuasa umumnya banyak melakukan ketaatan (kepada Allah Ta’ala),
dan amal-amal ketaatan merupakan bagian dari takwa.
–
Orang yang kaya jika merasakan beratnya (rasa) lapar (dengan berpuasa) maka
akan menimbulkan dalam dirinya (perasaan) iba dan selalu menolong orang-orang
miskin dan tidak mampu, ini termasuk bagian dari takwa[16].
Bulan Ramadhan merupakan musim kebaikan untuk melatih dan
membiasakan diri memiliki sifat-sifat mulia dalam agama Islam, di antaranya
sifat sabar. Sifat ini sangat agung kedudukannya dalam Islam, bahkan tanpa
adanya sifat sabar berarti iman seorang hamba akan pudar. Imam Ibnul Qayyim
menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau, “Sesungguhnya (kedudukan sifat)
sabar dalam keimanan (seorang hamba) adalah seperti kedudukan kepala (manusia)
pada tubuhnya, kalau kepala manusia hilang maka tidak ada kehidupan bagi
tubuhnya”[17].
Sifat yang agung ini, sangat erat kaitannya dengan puasa,
bahkan puasa itu sendiri adalah termasuk kesabaran. Oleh karena itu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih menamakan bulan
puasa dengan syahrush shabr (bulan kesabaran)[18]. Bahkan Allah menjadikan ganjaran pahala puasa
berlipat-lipat ganda tanpa batas[19], sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Semua amal (shaleh yang dikerjakan) manusia dilipatgandakan
(pahalanya), satu kebaikan (diberi ganjaran) sepuluh sampai tujuh ratus kali
lipat. Allah Ta’ala berfirman: “Kecuali puasa (ganjarannya tidak terbatas),
karena sesungguhnya puasa itu (khusus) untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan
ganjaran (kebaikan) baginya”[20].
Demikian pula sifat sabar, ganjaran pahalanya tidak
terbatas, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{إِنَّمَا
يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ}
“Sesungguhnya
orang-orang yang bersabar akan disempurnakan (ganjaran) pahala mereka tanpa
batas” (QS az-Zumar:10).
Imam Ibnu Rajab al-Hambali menjelaskan eratnya hubungan
puasa dengan sifat sabar dalam ucapan beliau,“Sabar itu ada tiga macam: sabar
dalam (melaksanakan) ketaatan kepada Allah, sabar dalam (meninggalkan) hal-hal
yang diharamkan-Nya, dan sabar (dalam menghadapi) ketentuan-ketentuan-Nya yang
tidak sesuai dengan keinginan (manusia). Ketiga macam sabar ini (seluruhnya)
terkumpul dalam (ibadah) puasa, karena (dengan) berpuasa (kita harus) bersabar
dalam (menjalankan) ketaatan kepada Allah, dan bersabar dari semua keinginan
syahwat yang diharamkan-Nya bagi orang yang berpuasa, serta bersabar dalam
(menghadapi) beratnya (rasa) lapar, haus, dan lemahnya badan yang dialami orang
yang berpuasa”[21].
Penutup
Demikianlah nasehat ringkas tentang keutamaan bulan
Ramadhan, semoga bermanfaat bagi semua orang muslim yang beriman kepada Allah Ta’ala
dan mengharapkan ridha-Nya, serta memberi motivasi bagi mereka untuk
bersemangat menyambut bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan dan mempersiapkan
diri dalam perlombaan untuk meraih pengampunan dan kemuliaan dari-Nya, dengan
bersungguh-sungguh mengisi bulan Ramadhan dengan ibadah-ibadah agung yang
disyariatkan-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pada setiap malam (di bulan Ramadhan) ada penyeru (malaikat) yang menyerukan:
Wahai orang yang menghendaki kebaikan hadapkanlah (dirimu), dan wahai orang
yang menghendaki keburukan kurangilah (keburukanmu)!”[22].
Semoga Bermamfaat, Shukran
Jazakallah Khairan@
Keterangan.
[1] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 622).
[2] Lihat kitab “al-‘Ibratu fi syahrish shaum” (hal. 5) tulisan
guru kami yang mulia, syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad – semoga Allah
menjaga beliau dalam kebaikan – .
[3] Sebagaimana yang disebutkan dalam HSR al-Bukhari (no. 3103)
dan Muslim (no. 1079).
[4] Lihat keterangan imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab
“Latha-iful ma’aarif” (hal. 174).
[5] HR Ahmad (2/385), an-Nasa’i (no. 2106) dan lain-lain,
dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam kitab “Tamaamul minnah” (hal.
395), karena dikuatkan dengan riwayat-riwayat lain.
[6] Kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 174).
[7] Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab
“Latha-iful ma’aarif” (hal. 174).
[8] HSR al-Bukhari (no. 7054) dan Muslim (no. 1151).
[9] Lihat kitab “Shifatu shalaatin Nabi r” (hal. 36) tulisan
syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
[10] HR Ahmad (4/321), Abu Dawud (no. 796) dan Ibnu Hibban (no.
1889), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-‘Iraqi dan syaikh al-Albani dalam
kitab “Shalaatut taraawiih (hal. 119).
[11] HR Ibnu Majah (no. 1690), Ahmad (2/373), Ibnu Khuzaimah
(no. 1997) dan al-Hakim (no. 1571) dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah,
al-Hakim dan syaikh al-Albani.
[12] Lihat kitab “Tafsiirul Qur’anil kariim” (2/317) tulisan
syaikh Muhammad bin Shaleh al-‘Utsaimin.
[13] Lihat kitab “Manhajul Anbiya’ fii tazkiyatin nufuus” (hal.
19-20).
[14] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (1/289).
[15] Sebagaimana dalam HSR al-Bukhari (no. 1933) dan Muslim (no.
2175).
[16] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 86).
[17] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 97).
[18] Lihat “Silsilatul ahaaditsish shahiihah” (no. 2623).
[19] Lihat kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 177).
[20] HSR al-Bukhari (no. 1805) dan Muslim (no. 1151), lafazh ini
yang terdapat dalam “Shahih Muslim”.
[21] Kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 177).
[22] HR at-Tirmidzi (no. 682), Ibnu Majah (no. 1642), Ibnu
Khuzaimah (no. 1883) dan Ibnu Hibban (no. 3435), dinyatakan shahih oleh Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban dan syaikh al-Albani.
0 Response to "Bulan Ramadhan: Berbenah Diri Menyambut Ramadhan"
Post a Comment