Keagungan Bulan Ramadhan
[1] KEDUDUKAN SHAUM RAMADHAN
“Dan
tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada dengan suatu amalan yang lebih Aku
cintai daripada dengan menunaikan kewajiban yang Aku bebankan kepadanya…”
Kewajiban
Bagi Kaum yang Beriman
Allah ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa,
sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian
bertakwa.” (Qs.
Al-Baqarah [2]: 183)
Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa
Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam. Inilah kedudukannya (yang mulia) di
dalam agama Islam. Hukumnya adalah wajib berdasarkan ijma’/kesepakatan kaum
muslimin karena Al-Kitab dan As-Sunnah menunjukkan demikian.” (Syarh
Riyadhush Shalihin, 3/380)
Ketika menjelaskan ayat di atas beliau mengatakan, “Allah
mengarahkan pembicaraannya (di dalam ayat ini, pen) kepada orang-orang yang beriman.
Sebab puasa Ramadhan merupakan bagian dari konsekuensi keimanan. Dan dengan
menjalankan puasa Ramadhan akan bertambah sempurna keimanan seseorang. Dan juga
karena dengan meninggalkan puasa Ramadhan akan mengurangi keimanan. Para ulama
berbeda pendapat mengenai orang yang meninggalkan puasa karena meremehkannya
atau malas, apakah dia kafir atau tidak? Namun pendapat yang benar menyatakan
bahwa orang ini tidak kafir. Sebab tidaklah seseorang dikafirkan karena
meninggalkan salah satu rukun Islam selain dua kalimat syahadat dan shalat.” (Syarh
Riyadhush Shalihin, 3/380-381)
Menunaikan kewajiban merupakan ibadah yang sangat utama,
karena kewajiban merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda membawakan firman Allah ta’ala (dalam hadits
qudsi),
وَمَا
تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
“Dan
tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada dengan suatu amalan yang lebih Aku
cintai daripada dengan menunaikan kewajiban yang Aku bebankan kepadanya…” (HR. Bukhari [6502] dari Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu).
An-Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil
yang menunjukkan bahwa mengerjakan kewajiban lebih utama daripada mengerjakan
amalan yang sunnah.” (Syarh Arba’in li An-Nawawi yang dicetak dalam
Ad-Durrah As-Salafiyah, hal. 265)
Syaikh As-Sa’di juga mengatakan, “Di dalam hadits ini
terdapat pokok yang sangat agung yaitu kewajiban harus didahulukan sebelum
perkara-perkara yang sunnah. Dan ia juga menunjukkan bahwa amal yang wajib itu
lebih dicintai Allah dan lebih banyak pahalanya.” (Bahjat Al-Qulub Al-Abrar,
hal. 116)
Al-Hafizh mengatakan, “Dari sini dapat dipetik pelajaran
bahwasanya menunaikan kewajiban-kewajiban merupakan amal yang paling dicintai
oleh Allah.” (Fath Al-Bari, 11/388)
Syaikh
Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan, “Amal-amal wajib
lebih utama daripada amal-amal sunnah. Menunaikan amal yang wajib lebih
dicintai Allah daripada menunaikan amal yang sunnah. Ini merupakan pokok agung
dalam ajaran agama yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syari’at dan ditetapkan
pula oleh para ulama salaf.” Kemudian beliau menyebutkan hadits di atas.
Setelah itu beliau mengatakan, “Maka hadits ini memberikan penunjukan yang
sangat gamblang bahwa amal-amal wajib lebih mulia dan lebih dicintai Allah
daripada amal-amal sunnah.” Kemudian beliau menukil ucapan Al-Hafizh Ibnu Hajar
di atas (lihat Tajrid Al-Ittiba’ fi Bayan Tafadhul Al-A’maal, hal. 34)
[2]
KEUTAMAAN SHAUM
“Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa
lebih wangi di sisi Allah daripada harumnya minyak kasturi…”
Menghapuskan
Dosa-Dosa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa
yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari [38, 1901, 2014] dan Muslim [760] dari sahabat
Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Yang dimaksud dengan iman di sini adalah meyakini wajibnya
puasa yang dia lakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan mengharapkan
pahala/ihtisab adalah keinginan mendapatkan balasan pahala dari Allah ta’ala (Fath
Al-Bari, 4/136)
An-Nawawi mengatakan bahwa pendapat yang populer di kalangan
para ulama ahli fikih menyatakan bahwa dosa-dosa yang terampuni dengan
melakukan puasa Ramadhan itu adalah dosa-dosa kecil bukan dosa-dosa besar
(lihat Al-Minhaj, 4/76). Hal itu sebagaimana tercantum dalam hadits Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
الصَّلَوَاتُ
الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ
مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“Shalat
lima waktu. Ibadah Jum’at yang satu dengan ibadah jum’at berikutnya. Puasa
Ramadhan yang satu dengan puasa Ramadhan berikutnya. Itu semua merupakan
penghapus dosa antara keduanya, selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim [233])
Di dalam kitab Shahihnya, Bukhari membuat sebuah bab yang
berjudul ‘Shalat lima waktu sebagai penghapus dosa’ kemudian beliau menyebutkan
hadits yang senada, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Nabi bersabda,
أَرَأَيْتُمْ
لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا
تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ قَالُوا لَا يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا
قَالَ فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا
“Bagaimana
menurut kalian kalau seandainya ada sebuah sungai di depan pintu rumah kalian
dan dia mandi di sana sehari lima kali. Apakah masih ada sisa kotoran yang
ditinggalkan olehnya?” Para sahabat menjawab, “Tentu saja tidak ada lagi
kotoran yang masih ditingalkan olehnya.” Maka beliau bersabda, “Demikian itulah
perumpamaan shalat lima waktu dapat menghapuskan dosa-dosa.” (HR. Bukhari [528] dan Muslim
[667])
Ibnu Hajar mengatakan, “Zahir hadits ini menunjukkan bahwa
yang dimaksud dengan dosa-dosa di sini lebih luas daripada dosa kecil maupun
dosa besar. Akan tetapi Ibnu Baththal mengatakan, ‘Dari hadits ini diambil
kesimpulan bahwa yang dimaksudkan adalah khusus dosa-dosa kecil saja, sebab
Nabi menyerupakan dosa itu dengan kotoran yang menempel di tubuh. Sedangkan
kotoran yang menempel di tubuh jelas lebih kecil ukurannya dibandingkan dengan
bekas luka ataupun kotoran-kotoran manusia.'”
Meskipun demikian, Ibnu Hajar membantah ucapan Ibnu Baththal
ini dengan menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadits bukanlah kotoran ringan
yang sekedar menempel di badan, namun yang dimaksudkan adalah kotoran berat
yang benar-benar sudah melekat di badan. Penafsiran ini didukung oleh bunyi
riwayat lainnya yang dibawakan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari hadits Abu
Sa’id Al-Khudri dengan sanad la ba’sa bihi yang secara tegas menyebutkan
hal itu.
Oleh sebab itulah Al-Qurthubi mengatakan, “Zahir hadits ini
menunjukkan bahwa melakukan shalat lima waktu itulah yang menjadi sebab
terhapusnya dosa-dosa, akan tetapi makna ini janggal. Namun terdapat hadits
lain yang diriwayatkan sebelumnya oleh Muslim dari penuturan Al-Alla’ dari Abu
Hurairah secara marfu’ Nabi bersabda, ‘Shalat yang lima waktu adalah penghapus
dosa di antara shalat-shalat tersebut selama dosa-dosa besar dijauhi.’
Berdasarkan dalil yang muqayyad (khusus) ini maka hadits lain yang muthlaq (umum)
harus diartikan kepada makna ini.” (lihat Fath Al-Bari, 2/15)
Hadits-hadits yang menyebutkan tentang penghapusan dosa
karena amal kebaikan di atas sesuai dengan kandungan firman Allah ta’ala,
إِنَّ
الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
“Sesungguhnya
amal-amal kebaikan itu akan menghapuskan dosa-dosa.” (Qs. Huud [11]: 114)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah menyatakan bahwa mengerjakan
amal-amal kebaikan akan dapat menghapuskan dosa-dosa di masa silam…” (Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4/247). Syaikh As-Sa’di menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan dosa-dosa di dalam ayat di atas adalah dosa-dosa kecil (Taisir
Al-Karim Ar-Rahman, hal. 391)
Sebagaimana Allah juga menjadikan tindakan menjauhi
dosa-dosa besar sebagai sebab dihapuskannya dosa-dosa kecil. Allah berfirman,
إِنْ
تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا
“Jika
kalian menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang kepada kalian niscaya Kami akan
menghapuskan dosa-dosa kecil kalian dan Kami akan memasukkan kalian ke dalam
tempat yang mulia (surga).”
(Qs. An-Nisaa’ [4]: 31)
Syaikh As-Sa’di menjelaskan bahwa definisi yang paling tepat
untuk dosa besar adalah segala bentuk pelanggaran yang diberi ancaman hukuman
khusus (hadd) di dunia atau ancaman hukuman tertentu di akhirat atau ditiadakan
status keimanannya atau timbulnya laknat karenanya atau Allah murka kepadanya (Taisir
Al-Karim Ar-Rahman, hal. 176).
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan ucapan Ibnu Abbas mengenai
firman Allah di atas. Ibnu Abbas mengatakan, “Dosa besar adalah segala bentuk
dosa yang berujung dengan ancaman neraka, kemurkaan, laknat, atau adzab.” (HR.
Ibnu Jarir, disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, 2/202)
Ibnu Abi Hatim menuturkan: Abu Zur’ah menuturkan kepada
kami: Utsman bin Syaibah menuturkan kepada kami: Jarir menuturkan kepada kami
riwayat dari Mughirah. Dia (Mughirah) mengatakan, “Tindakan mencela Abu
Bakar dan Umar radhiyallahu’anhuma juga termasuk dosa besar.” Ibnu Katsir
mengatakan, “Sekelompok ulama bahkan berpendapat kafirnya orang yang mencela
Sahabat, ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Malik bin Anas
rahimahullah.” Muhammad bin Sirin mengatakan, “Aku tidaklah mengira
bahwa ada seorang pun yang menjatuhkan nama Abu Bakar dan Umar sementara dia
adalah orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi). (lihat keterangan ini dalam Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2/203)
Qatadah mengatakan tentang makna ayat di atas, “Allah hanya
menjanjikan ampunan bagi orang yang menjauhi dosa-dosa besar.” (Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2/203)
Termasuk
bagian dari menjauhi dosa besar ialah dengan senantiasa menunaikan kewajiban
yang apabila ditinggalkan maka pelakunya terjerumus dalam dosa besar seperti
halnya meninggalkan shalat, meninggalkan shalat Jum’at, atau meninggalkan puasa
Ramadhan (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 176)
Memasukkan
ke Dalam Surga
Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu’anhu menceritakan
bahwa suatu ketika ada seorang lelaki badui datang menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam keadaan rambutnya acak-acakan. Dia mengatakan,
“Wahai Rasulullah. Beritahukan
kepadaku tentang shalat yang Allah wajibkan untuk kukerjakan?”
Beliau menjawab,
“Shalat lima waktu, kecuali kalau kamu mau menambahnya dengan shalat sunnah.”
“Shalat lima waktu, kecuali kalau kamu mau menambahnya dengan shalat sunnah.”
Lalu dia berkata,
“Beritahukan kepadaku puasa yang Allah wajibkan untukku?”
“Beritahukan kepadaku puasa yang Allah wajibkan untukku?”
Beliau menjawab,
“Puasa di bulan Ramadhan, kecuali kalau kamu mau menambah dengan puasa sunnah.”
“Puasa di bulan Ramadhan, kecuali kalau kamu mau menambah dengan puasa sunnah.”
Lalu dia berkata,
“Beritahukan kepadaku zakat yang Allah wajibkan untukku.”
“Beritahukan kepadaku zakat yang Allah wajibkan untukku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun memberitahukan kepadanya syari’at-syari’at Islam. Orang itu lalu
mengatakan, “Demi Dzat yang telah memuliakan anda dengan kebenaran. Aku
tidak akan menambah sama sekali, dan aku juga tidak akan menguranginya barang sedikitpun
dari kewajiban yang Allah bebankan kepadaku.”
Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun bersabda,
“Dia beruntung jika dia memang jujur.”
“Dia beruntung jika dia memang jujur.”
Atau beliau mengatakan,
“Dia akan masuk surga jika dia benar-benar jujur/konsekuen dengan ucapannya itu.” (HR. Bukhari [46, 1891, 2678, dan 9656] dan Muslim [11]).
“Dia akan masuk surga jika dia benar-benar jujur/konsekuen dengan ucapannya itu.” (HR. Bukhari [46, 1891, 2678, dan 9656] dan Muslim [11]).
Membentengi
Pelakunya Dari Perbuatan Buruk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصِّيَامُ
جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ
إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ
أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ
وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
“Puasa
adalah perisai, maka janganlah dia berkata kotor dan bertindak dungu. Kalau pun
ada orang yang mencela atau mencaci maki dirinya hendaknya dia katakan
kepadanya, “Aku sedang puasa.” Dua kali. Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah
daripada harumnya minyak kasturi. (Allah berfirman) ‘Dia rela meninggalkan
makanannya, minumannya, dan keinginan nafsunya karena Aku. Puasa itu untuk-Ku,
dan Aku sendiri yang akan membalasnya.’ Setiap kebaikan itu pasti
dilipatgandakan sepuluh kalinya.” (HR. Bukhari [1894] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Yang dimaksud dengan kata-kata kotor (rofats) di
dalam hadits ini adalah ucapan yang keji. Kata rofats juga terkadang
dimaksudkan untuk menyebut jima’ beserta pengantar-pengantarnya. Atau bisa juga
maknanya lebih luas daripada itu semua (Fath Al-Bari, 4/123)
Al-Qurthubi
menjelaskan bahwa ini bukan berarti di selain waktu puasa orang boleh
mengucapkan kata-kata kotor. Hanya saja ketika sedang berpuasa maka larangan
terhadap hal itu semakin keras dan semakin tegas (Fath Al-Bari, 4/124)
Kata rofats dengan makna jima’ bisa dilihat dalam
ayat,
أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
“Dihalalkan
untuk kalian pada malam (bulan) puasa melakukan rafats (jima’) kepada
isteri-isteri kalian.”
(Qs. Al-Baqarah [2] : 187)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kata rofats di dalam
ayat ini maksudnya adalah jima’. Inilah tafsiran Ibnu Abbas, Atha’, Mujahid,
Sa’id bin Jubair, Thawus, Salim bin Abdullah, Amr bin Dinar, Al-Hasan, Qatadah,
Az-Zuhri, Adh-Dhahhaak, Ibrahim An-Nakha’i, As-Suddi, Atha’ Al-Khurasani, dan
Muqatil bin Hayan (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1/286)
Dan
yang dimaksud dengan bau mulut -orang yang puasa- tersebut adalah bau mulut
yang timbul akibat berpuasa, bukan karena sebab yang lain (Fath Al-Bari,
4/125).
Sedangkan
yang dimaksud dengan ‘keinginan nafsunya’ di dalam hadits ini adalah hasrat
untuk berjima’, sebab penyebutannya digandengkan dengan makan dan minum (Fath
Al-Bari, 4/126)
Sebuah
Pintu Khusus di Surga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ
فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ
فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
“Sesungguhnya
di dalam Surga terdapat sebuah pintu yang disebut Ar-Royyan. Orang-orang yang
rajin berpuasa akan masuk Surga melewatinya pada hari kiamat nanti. Tidak ada
orang yang memasukinya selain mereka. Diserukan kepada mereka, ‘Manakah
orang-orang yang rajin berpuasa?’ Maka merekapun bangkit. Tidak ada yang masuk
melewati pintu itu selain golongan mereka. Dan kalau mereka semua sudah masuk
maka pintu itu dikunci sehingga tidak ada lagi seorangpun yang bisa
melaluinya…”
(HR. Bukhari [1896] dari Sahl radhiyallahu’anhu)
Yang dimaksud dalam hadits dengan orang yang rajin puasa
bukanlah orang yang hanya mengerjakan puasa dan tidak mengerjakan shalat, sebab
orang seperti ini tidak akan masuk surga akibat kekafirannya (meninggalkan
shalat, pen). Akan tetapi yang dimaksud adalah kaum muslimin yang banyak-banyak
berpuasa
maka dia akan dipanggil agar melalui pintu tersebut. Sehingga setiap penghuni
surga akan memasuki surga melalui pintu-pintunya yang berjumlah delapan (lihat Syarh
Riyadhush Shalihin oleh Ibnu Utsaimin, 3/388-389)
Masing-masing pintu di surga memiliki kekhususan. Hal itu
sebagaimana dikabarkan oleh Nabi dalam haditsnya,
مَنْ
أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ نُودِيَ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَا
عَبْدَ اللَّهِ هَذَا خَيْرٌ فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاةِ دُعِيَ مِنْ
بَابِ الصَّلَاةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ دُعِيَ مِنْ بَابِ
الْجِهَادِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ
وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ فَقَالَ
أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ
مَا عَلَى مَنْ دُعِيَ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ مِنْ ضَرُورَةٍ فَهَلْ يُدْعَى
أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا قَالَ نَعَمْ وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ
مِنْهُم
“Barangsiapa
yang berinfak dengan sepasang hartanya di jalan Allah maka ia akan dipanggil
dari pintu-pintu surga, ‘Hai hamba Allah, inilah kebaikan.’ Maka orang yang
termasuk golongan ahli shalat maka ia akan dipanggil dari pintu shalat. Orang
yang termasuk golongan ahli jihad akan dipanggil dari pintu jihad. Orang yang
termasuk golongan ahli puasa akan dipanggil dari pintu Ar-Royyan. Dan orang
yang termasuk golongan ahli sedekah akan dipanggil dari pintu sedekah.”
Ketika
mendengar hadits ini Abu Bakar pun bertanya, “Ayah dan ibuku sebagai penebus
anda wahai Rasulullah. Apa lagi yang akan dicari oleh orang yang dipanggil dari
pintu-pintu itu, mungkinkah ada orang yang dipanggil dari semua pintu
tersebut?” Maka beliau pun menjawab, “Iya ada. Dan aku berharap kamu termasuk
golongan mereka.”
(HR. Bukhari [1897 dan 3666] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Al-Qadhi menukil ucapan Al-Harawi ketika menerangkan makna
‘sepasang hartanya': Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘sepasang
harta’ adalah dua ekor kuda, dua orang budak, atau dua ekor onta (Al-Minhaj
oleh An-Nawawi, 4/351). Sedangkan yang dimaksud dengan berinfak di jalan Allah
dalam hadits ini mencakup berinfak untuk segala bentuk amal kebaikan, bukan
khusus untuk jihad saja (Al-Minhaj, 4/352).
Hadits ini juga menunjukkan bahwa setiap orang yang beramal
akan dipanggil dari pintunya masing-masing. Hal ini didukung dengan hadits dari
jalur lain juga dari Abu Hurairah yang mengungkapkannya secara tegas, Nabi
bersabda,
لِكُلِّ
عَامِل بَاب مِنْ أَبْوَاب الْجَنَّة يُدْعَى مِنْهُ بِذَلِكَ الْعَمَل
“Bagi
setiap orang yang beramal terdapat sebuah pintu khusus di surga yang dia akan
dipanggil melalui pintu tersebut karena amal yang telah dilakukannya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah
dengan sanad sahih, demikian kata Al-Hafizh dalam Fath Al-Bari, 7/30)
Hadits ini juga menunjukkan betapa mulia kedudukan Abu Bakar
radhiyallahu’anhu. Sebab Nabi mengatakan di akhir hadits ini, “Dan aku
berharap kamu termasuk golongan mereka -yaitu orang yang dipanggil dari semua
pintu surga-.” Para ulama mengatakan bahwa harapan dari Allah atau Nabi-Nya
pasti terjadi. Dengan pernyataan ini maka hadits di atas termasuk kategori
hadits yang menunjukkan keutamaan Abu Bakar radhiyallahu’anhu. Hadits
ini juga menunjukkan bahwa betapa sedikit orang yang bisa mengumpulkan berbagai
amal kebaikan di dalam dirinya (Fath Al-Bari, 7/31).
Abu Bakar adalah orang yang memiliki berbagai bentuk amal
shalih dan ketaatan. Hal itu terbukti sebagaimana disebutkan dalam hadits
berikut.
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ
الْيَوْمَ صَائِمًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ تَبِعَ مِنْكُمْ
الْيَوْمَ جَنَازَةً قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ أَطْعَمَ مِنْكُمْ
الْيَوْمَ مِسْكِينًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ عَادَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ
مَرِيضًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا اجْتَمَعْنَ فِي امْرِئٍ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya (kepada para sahabat), “Siapakah di
antara kalian yang pada hari ini berpuasa?”. Abu Bakar berkata, “Saya.” Beliau
bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengiringi
jenazah?” Maka Abu Bakar berkata, “Saya.” Beliau kembali bertanya, “Siapakah di
antara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?”. Maka Abu Bakar
mengatakan, “Saya.” Lalu beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang
hari ini sudah mengunjungi orang sakit.” Abu Bakar kembali mengatakan, “Saya.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Tidaklah ciri-ciri
itu terkumpul pada diri seseorang melainkan dia pasti akan masuk surga.” (HR. Muslim [1027 dan 1028] dari
sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Abu Bakar Al-Muzani berkomentar tentang sahabat Abu Bakar
Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu, “Tidaklah Abu Bakar itu melampaui para
sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (semata-mata) karena (banyaknya)
mengerjakan puasa atau sholat, akan tetapi karena sesuatu yang bersemayam di
dalam hatinya.” Mengomentari ucapan Al-Muzani tersebut, Ibnu ‘Aliyah
mengatakan, “Sesuatu yang bersemayam di dalam hatinya adalah rasa cinta
kepada Allah ‘azza wa jalla dan sikap nasihat terhadap (sesama) makhluk-Nya.”
(Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam oleh Ibnu Rajab, hal. 102)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا
وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا
فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah,
sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, akan
baiklah seluruh anggota tubuh. Dan apabila ia rusak, rusaklah seluruh anggota
tubuh. Ketahuilah, bahwa segumpal daging itu adalah jantung.” (HR. Bukhari [52] dan Muslim [1599]
dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma)
Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, “Di dalam hadits ini
terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa kebaikan gerak-gerik anggota badan
manusia, kemauan dirinya untuk menjauhi perkara-perkara yang diharamkan,
kesanggupannya meninggalkan hal-hal yang berbau syubhat (ketidakjelasan) adalah
sangat tergantung pada gerak-gerik hatinya. Apabila hatinya bersih, yaitu
tatkala di dalamnya tidak ada selain kecintaan kepada Allah dan kecintaan
terhadap apa-apa yang dicintai Allah, rasa takut kepada Allah dan khawatir terjerumus
dalam hal-hal yang dibenci-Nya, maka niscaya akan menjadi baik pula gerak-gerik
seluruh anggota badannya. Dari sanalah tumbuh sikap menjauhi segala macam
keharaman dan sikap menjaga diri dari perkara-perkara syubhat untuk
menghindarkan diri dari hal-hal yang diharamkan…” (Jami’ Al-‘Ulum wa
Al-Hikam, hal. 93)
An-Nawawi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan penegasan
agar bersungguh-sungguh dalam upaya memperbaiki hati dan menjaganya dari
kerusakan.” (Al-Minhaj, 6/108)
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa salah satu pelajaran
penting yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah, “Poros baik dan rusaknya
(amalan) adalah bersumber dari hati. Apabila hatinya baik maka seluruh tubuh
juga akan baik. Dan jika ia rusak, maka seluruh anggota tubuh akan ikut rusak.
Dari faidah ini muncul perkara yang lain yaitu : sudah semestinya memperhatikan
masalah hati lebih daripada perhatian terhadap masalah amal anggota badan.
Sebab hati adalah poros amalan. Dan hati itulah yang nanti pada hari kiamat
akan menjadi objek utama ujian yang ditujukan kepada manusia. Hal itu
sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apakah mereka tidak
mengetahui ketika mayat yang ada di dalam kubur dibangkitkan dan dikeluarkan
apa-apa yang tersembunyi di dalam dada.” (Qs. Al-‘Adiyat: 9-10). Allah
ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Dia Maha Kuasa untuk
mengembalikannya. Pada hari itu akan diuji perkara-perkara yang tersembunyi (di
dalam hati).” (Qs. Ath-Thariq: 8-9). Maka sucikanlah hatimu dari
kesyirikan, kebid’ahan, dengki dan perasaan benci kepada kaum muslimin, serta
(bersihkanlah hatimu) dari akhlak-akhlak dan keyakinan lainnya yang
bertentangan dengan syari’at, karena yang menjadi pokok segala urusan adalah
hati.” (Syarh Arba’in, hal. 113)
Beliau juga mengatakan, “Apabila Allah di dalam kitab-Nya,
serta Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya juga
telah menegaskan agar memperbaiki niat, maka wajib bagi setiap manusia untuk
memperbaiki niatnya dan memperhatikan adanya keragu-raguan yang tertanam di dalam
hatinya untuk kemudian dilenyapkan olehnya menuju keyakinan. Lantas
bagaimanakah caranya?”
Beliau melanjutkan, “Hal itu dapat ditempuh dengan cara
memperhatikan ayat-ayat. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam
sungguh-sungguh terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang
menggunakan akal pikiran.” (Qs. Ali ‘Imran: 190). Allah juga berfirman
(yang artinya), “Sesungguhnya di langit dan di bumi benar-benar terdapat
tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman, begitu juga dalam
penciptaan diri kalian dan hewan-hewan melata yang bertebaran adalah tanda
kebesaran Allah bagi orang-orang yang yakin.” (Qs. Al-Jatsiyah: 4). Maka
silakan anda perhatikan ayat-ayat Allah yang lain.”
“Kemudian
apabila syaitan membisikkan di dalam hati anda keragu-raguan, perhatikanlah
ayat-ayat Allah, perhatikan alam semesta ini siapakah yang telah mengaturnya,
perhatikanlah bagaimana keadaan bisa berubah-ubah, bagaimana Allah
mempergilirkan perjalanan hari di antara umat manusia sampai anda benar-benar
yakin bahwa alam ini memiliki pengatur yang maha bijaksana (yaitu Allah) ‘azza
wa jalla…” (Syarh Riyadhush Shalihin, 1/41)
Semoga Bermamfaat, Shukran Jazakallah Khairan@
0 Response to "Keagungan Bulan Ramadhan"
Post a Comment