Materi Tarbiyah Ta'rifiyah: Adab-Adab Tarbiyah
Ada 2
pembahasan pokok dari materi adab tarbiyah:
1.
Adab-adab
pada saat bermajelis
2. Bagaimana adab seorang mutarabiyah kepada
murabbiyah
Meskipun biasanya dalam buku-buku para ulama masih
ada tambahan yakni adab-adab murabbi terhadap mutarabbinya atau adab-adab
murabbiyah pada saat bermajelis, namun cukup yang dijelaskan kepada mutarabbiyah
adalah 2 poin di atas, karena ini adalah konsumsi untuk para murabbi saja.
Pembahasan adab-adab tarbiyah diambil dari
buku-buku ulama kita yang menukil tentang adab-adab majelis dan adab para
penuntut ilmu. Begitu banyak (belasan, puluhan bahkan ratusan) buku-buku ulama
yang membahas tentang hal tersebut. Bahkan boleh dikata tidaklah ulama yang
membahas tentang ilmu kecuali membahas persoalan adab-adab terutama para ulama
hadits dalam buku-buku musthalah mereka membahas persoalan yang sangat penting
ini karena adab bermajelis adalah suatu
sebab keberkahan majelis tersebut kita dapatkan sehingga banyak ulama kita
yang ketika mencoba mengamati keadaan majelis-majelis salaf, apa inti perbedaan
antara majelis-majelis kita dengan mereka. Sekarang materi-materi yang kita
bahas juga al Qur’an dan as Sunnah juga kita mau usahakan sesuai dengan
pemahaman salaf. Materinya insaya Allah sama (buku yang kita gunakan adalah
buku yang juga digunakan oleh ulama-ulama terdahulu), namun di antara sisi
perbedaan yang sangat mencolok antara kita dengan mereka yakni persoalan adab,
sehingga banyak majelis-majelis sekarang di berbagai tempat yang kadang
melupakan persoalan ini. Sehingga keberkahan ilmu yang mereka miliki dulu tidak
kita miliki di zaman sekarang ini. Hal ini menunjukkan pentingnya persoalan
adab-adab dalam bertarbiyah. Apalagi, para ulama salaf memandang pembahasan adab adalah pembahasan yang
paling awal sebelum kita terjun dalam pembahasan ilmu syar’i.
à Sebab keberkahan
majelis didapatkan
à Pembahasan paling
pertama sebelum terlalu jauh membahas ilmu-ilmu yang lain.
Ø Al Imam Abu
Abdullah Sufyan ats Tsauri rahimahullahu Ta’ala, seorang tabi’ut tabi’in
berkata, “Ulama salaf, mereka dulu tidak
mengeluarkan/ mengutus anak-anak mereka untuk menuntut ilmu sampai diajarkan
adab terlebih dahulu dan memperbanyak ibadah selama 20 tahun”
Jadi sebelum menuntut ilmu yang begitu banyak
cabang-cabangnya dengan sangat detail para ulama salaf (yakni yang disaksikan
oleh Al Imam Sofyan Ats Tsauri dari kalangan tabi’tabi’in), mereka tidak
mengutus anaknya untuk menuntut ilmu kecuali telah selesai persoalan adab dan
ibadah mereka yakni adab sebelum menuntut ilmu.
Ø Imam Abdullah bin Mubarak Rahimahullahu Ta’ala
(seorang tabi’I tabi’in), beliau menceritakan tentang diri beliau sendiri
tentang metodenya dalam menuntut ilmu (Beliau adalah salah seorang ulama yang
mengumpulkan seluruh cabang ilmu, dari ilmu hadits, qur’an, fiqh dan lain-lain.
Beliau adalah sumber rujukan, di samping keutamaan yang lain dari sisi ibadah,
infak, jihad, dst.) bagaimana metode beliau sehingga bisa mencapai tingkatan
yang sangat mulia, beliau mengatakan:
“Saya menuntut adab selama 30 tahun,dan menuntut
ilmu hanya 20 tahun, dan mereka dulu mempelajari adab sebelum menuntut ilmu”
Jadi ternyata
metode beliau bukanlah metode yang beliau buat sendiri, tetapi merujuk dari
orang-orang terdahulu yang berarti bahwa memang mereka (salaf) mendahulukan
adab dibandingkan ilmu, bahkan ketika kita lihat lamanya, imam Abdullah bin
Mubarak lebih lama belajar adab dibanding ilmu.
Ø
Muhammad bin
Sirrin (seorang tabi’in) berkata;
“Mereka dulu mempelajari adab
sebagaimana mempelajari ilmu”
Jangan sampai kita sendiri lupa dengan adab-adab yang kita ajarkan kepada
mutarabbi kita.
§
Adab-adab Bermajelis
1. Memilih majelis
Untuk
dijelaskan kepda mutarabbi, bahwa kita harus memilih majelis (tidak semua
majelis yang dibuat manusia sekarang ini perlu untuk kita hadiri dan kita
semarakkan)
Kita perlu
mengajarkan mereka dari awal untuk selektif dalam memilih majelis dan itu telah
dijelaskan sendiri oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits Abu Musa Al Asy’ari yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim;
“Perumpamaan antara teman duduk yang baik
dengan teman duduk yang buruk seperti perumpamaan penjual minyak wangi dan
tukang besi atau semacamnya”.
Intinya, ketika berteman dangan teman penjual minyak wangi (teman yang
shalih) maka kita akan mendapatkan 3 kebaikan:
1.
Ia akan
menghadiahkan kepada kita minyak wanginya, (ia akan memberikan kita faedah
tanpa diminta)
2.
Kita akan
membeli dari dia minyak wanginya karena dia teman kita; tidak membeli di tempat
lain; dimana kalau kita beli dari teman maka ada harga khusus. Maksudnya tidak
begitu sulit bagi kita untuk meminta faidah darinya, contohnya nasehatnya, dll,
tanpa terlalu banyak permintaan.
3. Kita akan mendapatkan darinya bau yang harum
artinya mungkin ia tidak langsung memberikan atau menghadiahi nasehat kepada
kita dan kita mungkin yang agak segan langsung memintanya tetapi paling tidak
posisi kita yang dekat dengannya itu bisa membantu diri kita untuk bisa
istiqamah. (tidak mau macam-macam selama berada di sisinya).
Jadi,
sangat penting untuk mengkondisikan kita berkumpul dan bermajelis bersama
dengan orang yang beriman dengan majelis yang baik.
Hadits dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seseorang itu sangat bergantung pada agama
temannya, maka perhatikanlah kepada siapa kamu berteman”
Dalil
tersebut jelas memerintahkan kepada kita untuk memilih teman (tidak sembarang
dalam memilih teman dalam bermajelis) pilih teman yang bisa membantumu untuk istiqamah.
Di antara
yang harus dijelaskan adalah untuk lebih selektif. Tapi kita harus menjelaskan
kepada mereka dengan cara yang lembut, sehingga kita tidak dikatakan sebagai
orang yang ashabut tahdzir.
Agar
mereka tidak sembarangan memilih majelis. Bukan dengan melihat penampilan saja,
seperti majelis-majelis yang banyak melucu, dst.
Berinfak dalam bermajelis
Hal ini
tidak didapatkan dalam buku-buku tentang adab, sehingga berinfak dalam majelis
bukan merupakan bagian dari adab tetapi bagian dari kebutuhan dan pelengkap
karena dalil yang digunakan dahulu itu adalah dalil umum. Sehingga infak bisa
disebutkan dalam sisi lain namun bukan disebutkan dalam sisi adab.
Perintah
berinfak dalam QS al Mujadilah dikhususkan bagi Rasulullah, jadi tidak
disebutkan sebagai salah satu adab dalam bermajelis.
2.
Memperbanyak
dzikir kepada Allah
Ini perlu
kita lakukan agar majelis kita tidak berubah fungsinya menjadi sekedar
pertemuan melepaskan kerinduan yang akhirnya bahan obrolannya tidak karuan kesana
kemari dan lupa berdzikir. Sehingga kita perlu mengkondisikan diri kita dan
mutarabbiyah kita untuk senantiasa berdzikir kepada Allah.
Imam Abu Daud, Imam At Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abdullah Bin Umar
Radiyallahu Anhuma berkata,
“Kami dulu biasa menghitung dalam satu majelis saja
yang diadakan yang Rasulullah biasa membacanya sebanyak 100 kali. Beliau
membaca Rabbigfirli watublayya innaka antattawwaburrahim.”
Ancaman majelis yang kosong dengan dzikir disebutkan Imam Abu Daud dalam
sunannya hadits riwayat Abu Hurairah
“Tidaklah dari suatu kaum yang berdiri dari suatu
majelis tapi majelisnya tidak ada zikirnya kecuali mereka yang bangkit adalah
bangkai-bangkai keledai, bagi mereka adalah kerugian.”
Dan tentu saja kita tidak sepemahaman dengan dzikir berjamaah.
Di antara dzikir yang penting yakni memperbanyak shalawat. Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan,
“Tidaklah duduk suatu kaum dalam majelis lalu di
dalamnya mereka tidak berdzikir kepada Allah dan tidak bershalawat kepada nabi
mereka kecuali bagi mereka kerugian. Kalau Allah menginginkan Allah siksa
mereka dan kalau Allah menginginkan Allah mengampuni dosa-dosa mereka.”
Karena itu hal yang perlu kita ingatkan kepada mutarabbiyah kita terutama
dengan adanya syubhat-syubhat dzikir berjamaah mereka yang menyebarkan
pemahaman dzikir berjamaah kebanyakan membawa hadits…
Padahal
kita perlu memahamkan kembali dan menegaskan kepada para mutarabbiyah kita
bahwa majelis ilmu itu adalah maje0lis dzikir.
Oleh karena itu, Atho bin Rabah, muftinya orang Mekkah mengatakan tentang
majelis dzikir yang disebutkan dalam banyak hadits, beliau berkata yang
dimaksud adalah majelis ilmu. Jadi hendaknya tidak menghadiri majelis yang
tidak sesuai dengan sunnah.
3.
Berpenampilan
yang sebaik-baiknya
Perlu juga
diajarkan di awal kepada para mutarabbiyah kita agar penampilannya dalam
menghadiri majelis yang di dalamnya ada tarbiyah tsaqafiyah berbeda ketika ia
menghadiri majelis tarbiyah jasadiyah. Apalagi bila majelisnya di masjid.
QS. 7 : 3
Wahai Bani Adam pakailah pakaian terindahmu ketika
engkau memasuki masjid
Sebagai
salah satu dalil yang digunakan untuk menutup aurat ketika shalat. Dalam hal
ini tidak hanya mengkhususkan persoalan pakaian.
Hadits
Jibril alaihis salam (hadits ke 2 dalam hadits Arbain Annawawiyah) ketika
beliau datang mengunjungi para sahabat untuk menjelaskan persoalan bagaimana
cara bermajelis yang baik. Di antaranya penampilan Jibril yang patut untuk
menjadi perhatian kita adalah apa yang disifatkan oleh Umar bin Khattab, beliau
mengatakan, “Berpenampilan yang terbaik,
pakaian yang sangat putih, rambut yang sangat hitam………”
Dalam
buku-buku ulama ada yang sangat detail dalam menyebutkan persoalan ini, di
antaranya memotong kuku, merapikan janggut dsb pada saat menghadiri majelis
ilmu. Tapi tanpa menjelaskan lebih detail para mutarabbiyah dapat mengambil
manfaat atau pelajaran dari murabbiyahnya. Karena murabbiyah itu adalah contoh yang terbaik bagi mutarabbiyahnya.
4.
Penghormatan
/ Mengucapkan salam kepada hadirin pada saat tiba di majelis dan pada saat
pulang
Ucapan salam adalah
ucapan yang disyariatkan pada saat menghadiri majelis (ketika masuk dan pada
saat meninggalkannya). Dan ini tidak bertentangan dengan pendapat sebagiannya.
Para ulama memandang tidak mesti mengucapkan salam pada saat memulai majelis
dzikir karena mungkin telah dating lebih dahulu dan telah mengucapkan salam
pada saat memasuki majelis.
Tetapi tidak masalah
ketika kita memulai majelis dengan salam, namun perlu diingat hadits-hadits
yang menunjukkan disyariatkannya salam hanya pada saat masuk dan ketika hendak
meninggalkan majelis.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
“ Jika salah seorang diantara kalian masuk majelis
maka ucapkanlah salam, dan apabila mau duduk maka dipersilahkan, dan jika ia
berdiri ingin pulang maka hendaklah ia memberi salam.salam yang pertama tidak
lebih berhak dari salam yang kedua.”
Rasulullah masuk masjid
pada saat sudah mau khutbah, maka pada saat masuk majelis beliau langsung
mengucapkan “ Assalamu ‘alaikum” lalu beliau duduk, adzan dan ketika selesai
adzan beliau memulai ceramahnya tanpa mengucapkan salam kembali karena
sebelumnya beliau telah salam pada saat masuk majelis. Dan mengakhiri
khutbahnya beliau tidak salam karena memang beliau belum mau pergi (masih di
masjid), beliau mengucapkan salam pada saat
mau meninggalkan masjid.
Salam kepada hadirin peserta tarbiyah boleh tetapi boleh juga kepada
orang-orang yang di dekatnya saja (kalau dikhawatirkan akan mengganggu jika
setiap orang yang baru datang mengucapkan salam).
Satu sunnah yang juga perlu diangkat
adalah berjabat tangan, hadits-hadits yang menunjukkan syariat berjabat tangan
yang hanya pada saat kita bertemu dan tidak ada hadits yang tegas pada saat
berpisah, hanya ada sebuah hadits saja yaitu:
“ Kesempurnaan ucapan salam adalah berjabat
tangan.”
Hadits ini dihasankan
oleh sebagian ulama kita, dan syaikh Al Albani berkata hadits ini sanadnya
lemah tapi maknanya benar sehingga beliau memandang tidak mengapa, bahkan baik,
beliau anjurkan saat berpisah kita mengucapkan salam.
Faedahnya: eratnya
hubungan, menghilangkan dengki dan merupakan salah satu menambah rasa cinta
kepada saudara kita.
5.
Dimakruhkannya
membangunkan atau menyuruh berdiri seseorang dari majelis tempat duduknya
kemudian ia duduk di tempat temannya tersebut.
Hukum makruh dalam hal ini
kemungkinannya ada 2, makruh yang memang makruh atau makruh yang haram. Untuk
amannya kita gunakan makruh saja. Bisa saja hukumnya haram, ataukah sangat
dibenci.
Dari ibnu Umar, “ Tidaklah boleh
seseorang menyuruh orang lain untuk berdiri lalu ia mengambil tempat duduknya, ”
Kalau kita mau maka kita
minta dilapangkan. Kecuali jika seseorang memberikan kita kesempatan sebelumnya
kepada kita tanpa kita menyuruh dia.
6. Berlapang-lapang
dalam majelis
Ada kaitannya dengan point
yang ke-3 dari terakhir, sebaik2 majelis yang paling luas, yang paling lapang.
-
Kita berusaha mencari t4 yang paling ,uas yang memuat
banyak hadirin. Karena masalah kelapangan majelis mempengaruhi kondisi hati
kita.
-
Hanya saja jika tempatnya memang tidak muat maka pada
saat itu kita harus berlapang-lapang dalam majelis (memberi kesempatan kepada
saudari kita untuk bermajelis). Inilah maksud dari QS. Al Mujadilah : 3.
Hal yang perlu untuk diingat:
Jika ada seseorang yang
bangkit dari tempat duduknya kemudian dia akan kembali di tempat duduk itu,
maka ia lebih berhak untuk duduk di majelis tersebut.
Ada kebiasaan ikhwah kita
bila berdiri dari majelis dan berniat kembali lagi mereka menyimpan barang
(mis. songkok) sebagai tanda bahwa ia akan kembali. Namun hal ini kita belum
mendapat adanya dalil tentang ha tersebut, dalam artian tidak harus begitu.
Abdullah bin Umar setiap
melihat seseorang keluar dari majelis beliau tidak mau mengambil tempat
duduknya, walaupun beliau tidak tahu orang tersebut akan kembali atau tidak.
Inilah sikap kehati-hatian. Atau sebaiknya bila ada yang mau keluar, kita tanya
terlebih dahulu apakah ia akan kembali atau tidak. Tetapi kalau tidak ada
jawaban maka jalan hati-hati adalah jangan mengambil tempat duduknya.
7. Anjuran untuk
berkumpul di dalam sebuah majelis dan tidak berpencar pada saat bermajelis.
Hadits Riwayat Imam Muslim
”Ketika nabi Shallallahu ’alaihi wasallam melihat halaqah yang banyak,Nabi
berkata:
”Mengapa
kalian berpencar pada saat bermajelis?”
Hal ini kadang terjadi pada
saat majelisnya agak luang.
Ada riwayat yang insya Allah
shahih yang menceritakan tentang sahabat mengatakan bahwa, karena rapatnya
sebuah majelis jika sekiranya ada daun jatuh maka daunnya tidak akan jatuh menyentuh
tanah. Berarti tidak adanya tempat yang kosong dalam majelisnya.
Tadi dikatakan bahwa mencari
majelis yang lapang, yang bisa memuat sebanyak-banyak hadirin. Maksudnya bahwa
masing-masing lapang dalam mengisi ujung majelis. Ada kebiasaan yang tidak
baik, yaitu masing-masing mencari tiang. Seakan tiang untuk para senior, dan
bagian depan diisi oleh yang muda. Ini adalah kebiaaan yang tidak perlu untuk
dilestarikan.
Hal ini memberikan kesan
menandakan eratnya ukhuwah, terutama rapatnya dalam shaf ketika shalat. Ketika
berjauhan sepeertnya ada masalah antara kita dengan saudara kita.
8. Tidak memisahkan
antara 2 orang kecuali meminta izin kepada keduanya.
Hadits dari Abdullah bin Amr
bin Ash, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam berkata:
”Tidak
halal bagi seseorang, memisahkan dua orang kecuali atas izin keduanya” Meskipun ada tempat
yang agak lowong di antara keduanya.Dengan kata lain kita harus meminta izin
kepada keduanya. Jika mereka berkeberatan maka tidak boleh ita duduk di antara
mereka. Hal ini adalah hal yang diharamkan.
Kita duduk di tempat
pemberhentian majelis atau akhir dari majelis. Jangan kita mau lompat ke depan.
Dari Abu Dawud berkata:
”Kami
para sahabat jika kamu mendatangi Rasulullah, salah seorang di antara kami
duduk di tempat perhentiannya.”
Maka sunnah,
barangsiapa yang datang di awal mengambil posisi di depan.
9. Bolehnya ke depan
bagi yang melihat di depannya ada tempat yang lowong tanpa menyakiti orang
lain.
Dari hadits riwayat
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam HR Imam Bukhari tentang kisah tiga
orang pemuda yang datang melewati majelis Rasulullah tersebut. Tiga orang
tersebut adalah:
-
Melihat tempat/majelis Rasulullah langsung bergabung dan
melihat yang kosong maka ia langsung ke depan.
-
Bergabung juga di tempat lowong tapi ia agak malu-malu, maka ia menyelinap di
majelis dengan agak malu-malu.
-
Yang tidak peduli dengan majelis ilmu, dia melihat
majelis Rasulullah tapi ia tidak mempunyai keinginan dan minat dengan majelis
tersebut.
Nabi ketika menjelasakn ketiga
orang tersebut mengatakan:
Orang pertama adalah orang yang berlindung kepada Allah,
maka Allah melindunginya, orang yang kedua bergabung dalam majelis tapi
malu-malu, maka Allah juga malu terhadapnya, sedangkan orang yang ketiga ia
berpaling maka Allah juga bepaling darinya.
Imam Bukhari ketika menjelaskan hadits ini memberikan
judul bolehnya ke depan jika melihat ada lowong di depan, tetapi sekali lagi
jangan sampai menyakiti orang lain sebagaimana ketika Nabi melihat adanya orang
yang mau ke depan, beliau berkata: ”Duduk
saja, kamu telah menyakiti banyak orang”.
10. Menjauhkan diri dari
duduk yang dilarang
Duduk yang paling bagus
adalah duduk iftirasy atau seperti duduknya Jibril alaihis salam di hadapan Rasulullah
ketika datang untuk menjelaskan konsep keimanan kepada para sahabat.
Duduk yang dilarang oleh Rasulullah
pada saat bermajelis adalah ada dua, yaitu:
-
Duduk di mana seseorang meletakkan tangan kirinya ke
belakang lalu ia bersandar pada tangan kirinya tersebut atau bertopang
dengannya.
Hadits
Rasulullah dari Sunan Abu Dawud dari Syahid bin Fulaid, beliau berkata
”Rasulullah melewati aku dan pada waktu itu aku duduk di sini, saya meletakkan
tangan kiriku di belakang punggungku dan saya bertopang dengannya. Kemudian
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”Apakah kamu mau duduk dengan
duduknya orang yang Allah murkai?”
Syaikh Utsaimin mengatakan:
Hadits ini menunjukkan bahwa jika kita menggunakan tangan
kanan maka itu tidak mengapa atau kedua-duanya jika kita memiliki hajat namun
tidak untuk dilakukan terus-menerus, dan pada saat diperlukan saja.
-
Duduk di tempat yang sebagian badannya terkena matahari
dan sebagian lainnya terlindungi.
Sunan
Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu ’anhu, Abul Qasim Shallallahu ’alaihi
wasallam bersabda: ”Jika salah seorang diantara kamu berada di matahari dan
sebagian lainnya dinaungi, maka ia harus bangkit darinya.”
Wallahu a’lam ketika dalam
hal darurat.
11. Menutup majelis
dengan doa kafaratul majelis.
Menutup majelis dengan
membaca Subhanakallahumma wabihamdika
Asyahadu anla ilaha ilal anta wa astagfiruka wa atubu ilaik.
Doa ini merupakan khatam dan
penghapus dosa dalam majelis.
Jadi tidak ada hadits yang
shahih yang menjelaskan bahwa do’a penutup majelis adalah subhanakallahumma Rabbana...karena
ini merupakan doa ruku’ dan sujud.
Adapun membaca ”Subhana
Rabbika Rabbil izzati amma yasifuun.... ” dilemahkan sanadnya.
Abdullah
bin Umar Radiyallahu Anhuma mengatakan bahwa Rasulullah tidak pernah sama
sekali atau jarang berdiri dari majelisnya kecuali membaca doa ”
Allahummagfirlana minkhasyatika....”
§ Adab-adab mutarabbi
kepada murabbinya
1. Menjaga kehormatannya
Hadits dari Ubadah bin Qamud
:
”Bukanlah golongan kami orang yang tidak
memuliakan/menghormati orang tua dari kami, dan tidak menyayangi orang yang
muda, dan orang yang tidak tahu memberi hak kepada orang yang alim diantara
kami”.[HR Imam Ahmad, dihasankan oleh Syaikh al Albani]
Orang alim di sini termasuk
juga murabbi.
Abdullah bin Abbas pernah
memegang tali kekang hewan tunggangan Zaid bin Tsabit, kemudian Zaid bin Tasbit
merasa risih akan hal ini karena Abdullah bin Abbas walaupun masih kecil tapi
ia adalah seorang alim dan seorang ahlul bait sampai beliau (Zaid bin Tsabit)
mau turun tapi Abdullah bin Abbas mengatakan kami diperintahkan bersikap baik
kepada ulama dan orang tua kami.
Ini sebagai bentuk rasa
terima kasih atau syukur kita akan ilmu yang telah mereka sampaikan.
2. Menulis apa yang
dikatakan murabbi
Dari Abdullah bin Umar, dari Anas bin
Malik dari Umar bin Khattab Rasulullah bersabda,
”Ikatlah ilmu dengan menulis” HR. Imam Baihaqi.
Asy Sya’di mengatakan ”Bila kau mendengarkan satu ilmu maka tulislah walaupun
itu di dinding atau di tembok. Jangan pernah engkau meninggalkan suatu ilmu
kecuali engkau telah menulisnya”
3. Mendengarkan apa yang
disampaikan oleh murabbi
Umar bin Khattab mengatakan:
”Jadilah
kamu orang alim atau mutaallim atau mustami’ (pendengar) dan jika kamu menjadi
yang ke empat maka kamu celaka”.
Abu Darda mengatakan:
”Tidak apa-apa menjadi orang yang keempat,
tapi orang yang keempat adalah simpatisan. Dan jangan menjadi orang yang kelima
karena kamu akan binasa. Mustami’ artinya mendengarkan murabbiyah dengan kesan
menempatkannya di tempat yang tinggi (menghormatinya).
Salah satu sikap tersebut adalah bersikap tawadhu seperti
Abdullah bin Abbas yang begitu tawadhu terhadap guru-gurunya, meskipun gurunya sendiri kadang risih sebab
mereka tahu bahwa Ibnu Abbas lebih ’alim dari mereka, namun ibnu abbas sendiri
tidak mau memberikan kesan seperti itu. Dan inilah yang juga harus senantiasa
diingatkan kepada mutarabbiyah-mutarabbiyah kita tentang bagaimana menghormati
murabbinya.
4.
Memuliakan dan bersungguh-sungguh dalam berkhikmat kepada
murabbi
5. Tidak mendahului dari
ustadz-ustadznya (jangan menimpali jika ada yang disampaikan oleh murabbiyah),
Walaupun posisi Rasulullah tidaklah persis sama dengan
posisi guru sekarang namun paling tidak seorang murid tidak boleh mendahului
ustadznya dalam segala sesuatu. Ini juga dicontohkan oleh sikap nabi Musa
terhadap nabi Khidr dimana beliau selalu meminta izin dulu, sampai-sampai
ketika mau belajar kepada nabi Khidr pun beliau meminta izin terlebih dahulu.
6. Bermulazamah atau
dekat kepada murabbiyah dengan tujuan :
·
Mengambil manfaat dari adabnya
·
Mengambil manfaat dari ilmunya
Kata imam Syafi’i, salah satu cara untuk mendapatkan ilmu
adalah dengan banyak menemani ustadz dalam waktu yang panjang. Ini yang
seharusnya diajarklan kepada mutarabbiyah untuk banyak bermulazamah dengan
murabbinya, sehingga dia bisa mendapatklan banyak ilmu, baik ilmu yang
disampaikan secara langsung maupun ilmu berupa adab-adab Rasulullah yang
dicontohkan langsung oleh seorang murabbiyah dalam kehidupan sehari-harinya.
Ibrahim an Nasa’i pernah mengatakan ”kami mendatangi Masruq bin Ajra’ salah seorang murid dari Abdullah bin
Mas’ud (salah seorang tabi’in), lalu kami belajar dari akhlak dan budi
pekertinya”.
Inilah di antara manfaat dekat dengan murabbi.
Abdullah bin Wahab (beliau
termasuk perawi yang paling tsiqah terhadap Imam Malik) mengatakan ”yang saya pelajari dari Imam Malik dari
adabnya lebih banyak kemudian ilmunya”
Padahal tentu saja
begitu banyak ilmu Imam Malik yang bisa diserap tapi beliau mengatakan saya
lebih banyak belajar adabnya daripada ilmunya. Jadi beliau tidak belajar ilmu
saja tetapi juga merekam bagaimana adaba-adab yang diajarkan oleh guru
tersebut.
Husain bin Ismail dari
bapaknya, beliau menceritakan ”majelis
Imam Ahmad dihadiri oleh sekitar lima ribu lebih orang dan hanya sekitar lima
ratus orang yang menulis ilmu yang disampaikan, dan selebihnya hadir untuk
sekedar mempelajari adab dan perilaku imam Ahmad”.
Kadang untuk mengenal adabnya Syeikh Utsaimin kita
melihat siapa muridnya yang terdekat.
7.
Beradab pada saat duduk di depan murabbi dengan cara
mengkonsentrasikan pemikiran kita kepadanya, menghadirkan seluruh panca indra
kita.
Hasan bin Ali (cucu
Rasulullah) pernah menasehati anaknya dengan mengatakan ”wahai anakku jika engkau menghadiri majelis para ulama maka hendaknya
engkau lebih bersemangat mendengar daripada berbicara, jangan mengambil sikap
diam dan jangan engkau memotong pembicaraan seseorang hingga dia berhenti
berbicara”.
Jadi hendaknya kita duduk dengan cara yang terbaik yang
menunjukkan perhatian kita terhadap apa yang disampaikan.
8. Bersikap sabar
terhadap murabbi dalam segala hal.
Termasuk dalam hal penyampaian ilmu dari murabbi, sebab
terkadang ada murabbi yang menahan ilmunya atau menunda penjelasannya meski
tetap akan disampaikan. Ini dicontohkan dengan kesabaran Umar bin Khattab
ketika terjadi peristiwa Jibril. Beliau mengetahui tentang siapa yang datang
setelah tiga hari, padahal sebenarnya beliau sangat ingin mengetahuinya namun
beliau bersabar hingga Rasulullah sendiri yang menyampaikannya.
9. Mendengarkan dengan
baik
Satu perkataan dari
Atha’ bin Abi Rabah (thabi’in yang hidup di Mekah) beliau mengatakan ”sesungguhnya aku kadang mendengarkan hadits
dari seseorang padahal aku lebih mengetahuinya dari dia, namun aku menampakkan
seolah-olah aku tidak mengetahui hadits tersebut sama sekali”,
Dalam perkataan yang
lain beliau menyampaikan ”sesungguhnya
aku kadang mendengarkan seorang pemuda berbicara tentang suatu hadits lalu saya
memperhatikan perkataannya seakan-akan belum pernah mendengarkan hadits itu
sebelumnya padahal sya telah mendengarkan hadits itu sebelum anak muda itu
lahir.”
Ini perlu diajarkan
kepada mutarabbiyah, kadang dalam tarbniyah murabbiyah menyampaikan sesuatu
yang mungkin sudah pernah ia dengar sebelumnya maka seorang mutarabbi jangan
menunjukkan kesan tidak membutuhkannya lagi.
Firman Allah, ”dan berilah peringatan, sesungguhnya
peringatan itu selalu saja dibutuhkan oleh orang yang beriman”.
0 Response to "Materi Tarbiyah Ta'rifiyah: Adab-Adab Tarbiyah"
Post a Comment