Materi Tarbiyah Ta'rifiyah: Tarbiyah Bermarhalah
Tarbiyah Islamiyah
Tarbiyah Islamiyah dalam
kapasitasnya sebagai manhaj at-taghyir yang direkomendasikan para ulama
mu'tabarin serta diharapkan menjadi solusi bagi keterpurukan umat, memiliki
definisi sebagai berikut :
Secara etimologis, tarbiyah berasal
dari akar kata rabaa, yarbuu yang bermakna zaada wa namaa' [bertambah dan
berkembang]. Atau rabaa, yarbaa yang bermakna nasya'a wa tara'ra'a [tumbuh dan
berkembang]. Atau rabba, yarubbu yang bermakna ashlahahu [memperbaikinya].
Sedangkan secara terminologi,
Tarbiyah bermakna:
Pertama, menurut Imam ar-Raghib al-Ashfahani:
"Menumbuhkan sesuatu dari satu kondisi ke kondisi lain sampai pada
kesempurnaan".[24]
Kedua, menurut Imam al-Baidhawi: "Menyampaikan
atau mengantarkan sesuatu pada kesempurnaan selangkah demi selangkah.[25]
Dari definisi-definisi ini, Syaikh
Abdur Rahman Albani menyatakan, bahwa tarbiyah itu terdiri dari beberapa unsur:
(1). Menjaga dan memelihara fitrah –matarabbi'- yang sedang tumbuh. (2).
Mengembangkan potensi-potensinya yang banyak dan beragam. (3). Mengarahkan
fitrah dan potensi-potensi tersebut pada kesempurnaan yang sesuai dengannya.
(4). At-Tadarruj (bertahap) dalam melakukan hal-hal tersebut, dan ini sesuai
apa yang diisyaratkan oleh Imam al-Baidhawy, "…sedikit demi sedikit",
juga ar-Raghib: "…dari satu kondisi ke kondisi lain".[26]
Adapun definisi Tarbiyah Marhaliyah
dalam kaitannya sebagai wasilah ad-Da'wah al-Islamiyah, adalah sebuah wasilah
pembinaan berjenjang, melalui pembagian dan pengklasifikasian mad'u dalam
beberapa halaqah, dengan menunjuk seorang naqib (kordinator) dan dibimbing
langsung oleh seorang murobbi. Durasi pertemuan sekali dalam sepekan, yang
meliputi tasmi' hafalan al-Qur'an dan hadits, tashhih bacaan al-Qur'an, tafsir
dan hikmah ringkas dari ayat-ayat yang telah dibacakan, lalu dilanjutkan dengan
materi tarbiyah (muhadharah).
Perlu diketahui, bahwa
halaqah-halaqah tarbawiyah tersebut dibagi menurut tingkat kemampuan ikhwah juga
akhwat menjadi tiga jenjang:
Pertama, marhalah Ta'rifiyah (Materi yang disajikan
adalah kitab Ushulut Tsalatsah, Kitabul Jami', Syarah Ushul al-Imam).
Kedua, marhalah Takwiniyah (Materi yang disajikan
adalah Mujmal Ushul Aqidah Ahlu Sunnah wal Jama'ah, Arba'in an-Nawawiyah, serta
kajian dasar-dasar Islam).
Ketiga, marhalah Tanfidziyah (Materi yang disajikan
adalah Syarah Aqidah at-Thahawiyah, Hadits Fitan, materi-materi kajian
pendalaman Islam).
Perpindahan dari satu marhalah
menuju marhalah selanjutnya, biasanya didahului oleh ikhtibar (ujian) serta
daurah umum untuk melihat sejauh mana pemahaman terhadap materi-materi tarbiyah
pada jenjang sebelumnya. Makanya, ada daurah Ta'rifiyah untuk masuk dalam
marhalah Ta'rif, daurah Takwiniyah untuk lanjut ke marhalah Takwin, serta
daurah Tanfidziyyah untuk terus ke jenjang Tanfidz. Seluruh istilah dan
nama-nama tersebut tujuannya untuk memudahkan klasifikasi dan kordinasi agar
tidak rancu dan kacau.
Sebagai sebuah sarana (wasilah)
memahami ilmu Syar'i, maka marhalah-marhalah tarbawiyah tersebut sifatnya
fleksibel dan tidak kaku. Misalnya, jika ada seorang ikhwah yang ingin
musyarakah (bergabung) di dalamnya dan telah mengantongi gelar kesarjanaan ilmu
syar’i misalnya alumni LIPIA jakarta atau Universitas Islam Madinah, maka ia
dibolehkan dan langsung bergabung dalam marhalah Tanfidziyah tanpa harus melalui
jenjang-jenjang sebelumnya.
Inilah definisi dan gambaran ringkas
tarbiyah bermarhalah dan insyaAllah kami akan rinci tentang substansinya pada
point-point berikutnya.
1.
Dalil-Dalil Umum Tarbiyah
Diantara tugas Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam adalah menegakkan tarbiyah bagi umat. Menjelaskan
dan mengajarkan agama yang haq, membina mereka di atas shirothal mustaqim,
serta mensucikan mereka dari kegelapan syirik dan kungkungan adat jahiliyah.
Allah Ta'ala berfirman :"Dialah
(Allah) yang mengutus Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka
sendiri, membacakan kepada mereka ayat –ayatnya, mensucikan jiwa mereka, dan
mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (as-sunnah), meskipun sebelumnya
mereka benar–benar dalam kesesatan yang nyata". (Qs. al- Jumu'ah : 2).
Allah Ta'ala berfirman:
"Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang–orang yang beriman
ketika mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah–tengah mereka dari kalangan
sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat–ayatnya, menyucikan jiwa mereka,
dan mengajarkan kepada mereka kitab dan sunnah, meskipun sebelumnya mereka
sebelumnya mereka benar–benar dalam kesesatan yang nyata". (Qs. Ali 'Imran
: 164).
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Akan tetapi jadilah kalian ulama–ulama yang Robbani, karena kalian telah
mengajarkan al-qur'an dan mempelajarinya". (Qs. Ali Iimron : 79).
Juga Firman-Nya: "Sebagaimana
kami telah mengutus Rasul di antara kamu yang membaca ayat– ayat kami kepada
kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepada kamu al-qur'an dan al-hikmah
serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui". (Qs.
al-Baqarah :151).
Inilah rangkaian ayat–ayat
al-Qur'an, terkait tugas para Nabi dan Rasul yang intinya terfokus pada
"at-Ta'lim dan at-Tazkiyah" yang biasa di masyhurkan dengan istilah
"at-Tashfiyah dan at-Tarbiyah". Sebab tidak ada ilmu (at-Ta'lim) yang
benar -apalagi di akhir zaman sekarang ini- kecuali melalui at-Tashfiyah dan
tidak ada at-Tazkiyah kecuali dengan at-Tarbiyah.
2. Subtansi
Tarbiyah
Pembaca budiman, merupakan perkara
aksiomatik bagi kalangan thullabul 'ilmi, sebuah kaedah masyhur yang lafadznya,
"La Musyaahata fil Istilah", yakni tidak ada persoalan dalam dalam
masalah istilah. Khususnya istilah-istilah baru yang tidak dikenal oleh para
salaf. Karena hakikat dari sesuatu itu adalah isi (subtansi) dan bukan sekedar
nama. Dengan syarat selama istilah yang digunakan bukan istilah yang mengandung
kemungkinan makna buruk yang diharamkan Allah Ta'ala. Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah
rahimahullah berkata: "Istilah-istilah itu tidak perlu diperdebatkan
(dipermasalahkan) selama tidak mengandung kerusakan".[27]
Sebagai contoh, diantara para ulama
ada yang membagi tauhid menjadi dua, yakni Pertama, Tauhid al-Ma'rifat wal
Itsbat, dimana terkandung padanya Iman terhadap wujud Allah, Rububiyah dan Asma
wa Shifat-Nya. Kedua, Tauhid al-Qashdu wa at-Thalab, yang mengandung iman
terhadap Uluhiyah Allah Ta'ala. Adapula yang lebih terperinci, dimana mereka
membagi tauhid menjadi tiga, Tauhid Rububiyah yang mencakup di dalamnya iman
terhadap wujud Allah Ta'ala, Tauhid Uluhiyah atau Tauhid Ibadah dan Tauhid
Asma' was Shifat.
Namun adapula diantara para ulama
membagi Tauhid menjadi empat: Iman kepada wujud Allah, Iman terhadap Rububiyah
Allah, Iman terhadap Uluhiyah Allah, dan Iman terhadap Nama-nama dan
sifat-sifat Allah Ta'ala. Seluruh pembagian-pembagian tersebut tidak menjadi
persoalan selama tidak menunjukkan pada sesuatu atau makna batil. Disamping
subtansi dari keseluruhannya sama, yakni berkisar pada empat hal: Imam kepada
wujud Allah, Rububiyah, Uluhiyah dan Asma' was Shifat-Nya. Sekali lagi, tidak
ada persoalan dalam masalah nama dan pembagian-pembagian.
Fadhilatus Syaikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: "Bahwasanya pada zaman ini
telah berlaku penyebutan bagi sebagian ilmu-ilmu empirik dengan nama ilmu.[28]
Bahkan sekolah-sekolah setingkat SMU menamakannya sebagai "ilmiy"
atau "adabiy", apakah hal ini benar? Sebagai tambahan, bahwasanya
pembagian-pembagian ini akan terus terngiang di telinga para pelajar yang
kemungkinan akan mempengaruhi mereka di masa depan?". Beliau rahimahullah
menjawab: "Pembagian tersebut, yakni menjadi "ilmiy" atau
"adabiy" hanya merupakan sebuah istilah, dan tidak ada persoalan
dalam masalah istilah, sebab mereka memandang bahwa yang dinamakan mata
pelajaran ilmiyah itu adalah apa yang berkaitan dengan ilmu alam, makhluk
hidup, tumbuh-tumbuhan, dan apa yang semisal dengannya".[29]
Dari sini kami tegaskan, bahwa
kaedah inilah yang bakal menjadi kunci bagi penjelasan kami tentang substansi
tarbiyah, yang InsyaAllah akan kami jabarkan pada point ini dan yang
setelahnya, akan substansi dan hakikat dari tarbiyah. Hingga akan nampak di
hadapan pembacan bahwa substansi dari tarbiyah yang digalakkan oleh WI ternyata
berserakan di dunia Islam tanpa ada pengingkaran dari para ulama Ahlu Sunnah.
Bahkan boleh jadi, substansi dari praktek tarbiyah, pun dilakukan oleh mereka
yang tergesa menjatuhkan vonis bid'ah bagi terbiyah bermahalah pada
lembaga-lembaga pendidikan mereka. Kendati datang dengan nama dan istilah yang
berbeda. Wallahu musta'an.
MARHALAH
Sebagaimana telah kami jelaskan,
bahwa aktifitas tarbiyah WI tegak atas asas marhalah (penjenjangan). Karenanya,
wasilah inipun dikenal dengan nama Tarbiyah Marhaliyah. Terdapat tiga marhalah
dalam tarbiyah WI, diantaranya, (1). Marhalah Ta'rifiyah, (2). Marhalah
Takwiniyah, (3). Marhalah Tanfidziyah.[30]
Barangkali, yang membuat ikhwah
"salafy" alergi dan tergesa menolak sistem ini, lantaran istilah
marhalah identik dengan istilah–istilah pergerakan, dan kurang familiar di
telinga mereka. Padahal, sekali lagi, substansi dari istilah marhalah sama
dengan substansi dari istilah-istilah yang banyak digunakan dalam proses
pendidikan di seluruh dunia seperti mustawa (semester), kelas, tingkatan atau
istilah–istilah lainnya yang seluruhnya merupakan bentuk manivestasi dari
at-tadarruj fi ad da'wah, [tahapan-tahapan dalam dakwah]. Bahkan ia merupakan
inti dari sifat hikmah dalam berdakwah sebagaimana diperintahkan oleh Allah
dalam al-Qur'an.
Disamping itu tadarruj merupakan
fitrah badhihiyah (perkara alamiah aksiomatik) yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan manusia. Manusia tumbuh melalui proses tadarruj, dimulai dalam
kandungan, lalu masa bayi, kanak–kanak, remaja, dewasa, hingga sampai pada
marhalah masa tua. Demikian pula dalam hal ilmu pengetahuan. Baik yang sifatnya
ilmu diniyah maupun pengetahuan-pengetahuan umum lainnya, bahwa manusia itu
dimulai dari tidak mengetahui sesuatu apa-pun, lalu melalui proses belajar yang
sifatnya tadarruj, barulah ia mengetahui dari ilmu-ilmu tersebut. Allah Ta'ala
memberi isyarat bagi kita dalam hal ini pada firman-Nya: "Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur".
(Qs. An-Nahl : 78).
Lebih dari pada itu, tadarruj
termasuk diantara manhaj al-Qur'an dalam menetapkan sebagian hukum-hukum
syara'. Perhatikan proses tadarruj dalam pengharaman khamar, dimana padanya
berlalu empat marhalah. Dimulai dari pembolehan secara mutlak sebagaimana
disinggung dalam surah an-Nahl ayat 67, lalu larangan mendekati shalat dalam
keadaan mabuk seperti tertera dalam surah an-Nisaa' ayat 43, kemudian
keterangan bahwa khamer itu mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya seperti
dalam surah al-Baqarah ayat 219, terakhir turun pengharamannya secara mutlak
sebagaimana dalam firman-Nya pada surah al-Maidah ayat 90. Demikian pula masalah
jihad dan lain sebagainya.
Oleh karenanya, sangat aneh jika
seseorang itu mengabaikan proses alamiyah (tadarruj) ini, bahkan bisa dikatakan
ia membohongi fitrah dan akal sehat yang merupakan karunia dari Allah Azza wa
Jalla.
Perlu diketahui, para ulama salaf
pun telah menganjurkan metode tadarruj atau marhalah dalam proses pembelajaran,
halaqoh ilmu atau apapun namanya, untuk tujuan menanamkan pemahaman yang baik
dan lurus dalam proses transfer ilmu. Sebab manusia tidak berada di atas
pemahaman yang sama dalam penerimaan ilmu dan pengetahuan. Berikut ini beberapa
nukilan dari ulama salaf diantaranya:
Pertama, perkataan Abdullah bin
Abbas radhiallahu'anhuma tentang firman Allah Ta'ala: "Akan tetapi jadilah
orang–orang yang Robbani karena kamu mengajarkan kitab dan disebabkan kamu
mempelajarinya". (Qs : Ali Imran : 79 ). Ibnu Abbas radhiallahu anhuma
berkata: "Maksud dari Robbani adalah yang mengajarkan ilmu–ilmu kecil sebelum
ilmu –ilmu besar".[31]
Kedua: Imam al-Bukhari berkata dalam
Shahihnya, [Bab Man Khassha bil Ilmi Qauman Duna Qaumin Karahiyata an Laa
Yafhamuu], yakni "Bab Orang yang mengkhususkan ilmu kepada satu kaum dan
tidak pada kaum lain, karena menghindari jangan sampai mereka tidak
memahaminya".
Ketiga: Hadits Mu'adz bin Jabal
radhiallahu anhu, tatkala Nabi shallallahu alaihi wasallam membonceng beliau di
atas untanya dan mengabarkan akan hak Allah Ta'ala atas hamba-Nya dan hak hamba
atas Allah Ta'ala. Lantaran merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan maka
Mu'adz pun berkata pada Nabi shallallahu alaihi wasallam: "Bolehkan aku
sampaikan kabar gembira ini kepada manusia?". Beliau menjawab:
"Jangan engkau kabarkan, agar jangan sampai mereka hanya bersandar (pada
rahmat Allah tersebut)".[32]
Keempat: Ali bin Abi Thalib
radhiallahu anhu berkata: "Berbicaralah pada manusia sebatas apa yang
mereka ketahui (sanggup mereka cerna), sukakah kalian jika mereka mendustakan
Allah dan Rasul-Nya!?.[33]
Kelima, Syaikhul Islam Muhammad bin
Abdil Wahhab rahimahullah berkata: Bab: Mengajak kepada syahadat
Lailahaillallahu, masalah kesebelas: menjelaskan tentang metode pembelajaran
dengan bertahap.[34] Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
berkata dalam al-Qaul al-Mufid syarah Kitabut Tauhid, I/12: "Yang demikian
sebab Nabi shallallahu alaihi wasallam mengkhususkan ilmu ini kepada Mu'adz dan
tidak pada Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Olehnya, boleh mengkhususkan suatu
ilmu pada sebagian manusia, lantaran sebagian manusia jika dikabarkan padanya
sesuatu dari ilmu tersebut, maka akan menjadi fitnah baginya. Dalam hal ini
Abdullah Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu berkata: "Tidaklah engkau berbicara
kepada suatu kaum dengan pembicaran yang tidak sampai pada akal mereka (susah dicerna),
melainkan akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka". Ali bin Abi Thalib
radhiallahu anhu berkata: "Berbicaralah pada manusia sebatas apa yang
mereka ketahui (sanggup mereka cerna), sukakah kalian jika mereka mendustakan
Allah dan Rasul-Nya". Olehnya setiap kita harus berbicara sesuai dengan
kadar pemahaman dan akalnya.
Ketujuh, Fadhilatus Syaikh
al-Allamah Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata: "Barang siapa yang belum
menyempurnakan ushul (ilmu pokok), maka tercegah baginya wushul (menjadi
ulama). Dan barangsiapa yang mendapatkan ilmu dalam sekejap, maka ilmu itu akan
lenyap dalam sekejap pula. Dalam sebuah riwayat: Banyaknya ilmu yang didengar,
akan menghalangi pemahaman. Karenanya, wajib bagi penuntut ilmu untuk
menta'shil dan menguatkan (pembelajaran) semua cabang ilmu yang dipelajari,
dengan mendalami kitab asli atau mukhtashor-nya kepada seorang syaikh, dan
bukan lewat pembelajaran secara pribadi saja. Demikian pula, mempelajari ilmu
tersebut secara tadarruj (bertahap).[35]
Pada tempat lain, setelah memaparkan
akan buku-buku yang harus dipelajari oleh penuntut ilmu secara bertahap, beliau
lalu menegaskan: "….dan tidak diperkenankan (bagi thalib) yang berada pada
tingkat pertama untuk duduk belajar pada tingkat kedua, dan seterusnya untuk
menghindari kekacauan".[36]
Fadhilatus Syaikh Sholih al-Munajjid
hafidhahullah menceritakan tentang sirah Fadhilatus Syaikh Al-Mufti Muhammad
bin Ibrohim rahimahullah[37]: "Beliau rahimahullah memiliki tiga majlis,
mengajar tiga mustawayat (tingkatan), untuk penuntut ilmu yang sudah lama satu
pelajaran, untuk yang pertengahan satu pelajaran, dan untuk penuntut ilmu yang
pemula juga satu pelajaran, dan jika beliau melihat ada seorang penuntut ilmu
yang baru lalu duduk di majlis penuntut ilmu yang lama, maka beliau akan mengusirnya
dan membentaknya, seraya berkata: "Di sini bukan tempatmu, bukan dari sini
kamu memulai, dan perkara ini bisa melahirkan rasa ujub (bagimu)".[38]
Secara spesifik dan terperinci,
masalah ini telah kami tanyakan lansung kepada Fadhilatus Syaikh Pror. Dr.
Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin, dan beliau hafidzahullah berkata:
"Pembagian marhalah-marhalah tersebut mathlub (dituntut), bahkan terkadang
sampai pada hukum wajib".[39]
Pembagian
Halaqah-Halaqah Tarbiyah
Klasifikasi dan pembagian
halaqah-halaqah tarbiyah termasuk sarana yang digunakan untuk memudahkan
ta'shil bagi ilmu syar'i tersebut. Sebab, perlu diketahui jumlah ikhwah dan
akhwat yang berada pada setiap marhalah sangat banyak dan tidak memungkinkan
pelaksanaan tarbiyah efisien dalam jumlah tersebut. Olehnya, cara yang paling
mudah dan lazim adalah memecahnya dalam bentuk halaqah-halaqah, dimana setiap
halaqah itu memiliki nama tersendiri untuk memudahkan pengklasifikasian serta
evaluasi sejauh mana keberhasilan suatu halaqah dalam proses transfer ilmu.
Masalah pembagian halaqah-halaqah
ini, maka cukuplah kami kutipkan fatwa Fadhilatus Syaikh al-Allamah Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah yang memberi keterangan akan hal ini. Beliau
rahimahullah pernah ditanya. Penanya: "Sebagian guru-guru wanita di
sekolah-sekolah atau fakultas-fakultas membagi siswi-siswi yang berada pada
kelas-kelas kuliah menjadi beberapa kelompok atau halaqah-halaqah, dimana ada
halaqah Aisyah, halaqah Khadijah, dan seterusnya untuk tujuan agar tidak
terjadi kerancuan.
Akan tetapi, sebagian akhwat
mengeluhkan seraya berkata: Bahwasanya ada beberapa siswi yang bersama kami di
mushallah menjauh dari Mushallah dengan alasan bahwa pembagian
(halaqah-halaqah) tersebut tidak di atas manhaj dan bukan termasuk jalan salaf.
Lalu mereka keluar dan berkumpul di luar mushallah dan membentuk halaqah
(kelompok) lain di luar mushallah, dimana perbuatan ini menyebabkan
terbagi-baginya shaf dan perpecahan di kalangan para siswi, serta terjadi
sebagian perselisihan. Pertanyaannya: Apa nasehat anda? Apakah metode ini
(pembagian halaqah) salah atau benar?
Syaikh: menjawab: "Saya
katakan, semoga Allah memberkati engkau. Sampaikan pada mereka, bahwa kedua
metode itu tidak benar; tidak pada pembagian wanita-wanita ketika shalat dan
tidak pula yang bersendiriannya mereka di tempat yang lain".
Penanya: "Bukan pada shalat, akan tetapi dalam
halaqah mushallah".
Syaikh: "Apa itu halaqah mushallah?
Penanya: "Pelajaran sekolah dimulai pada jam
7.30, namun siswi-siswi hadir pada pukul 7.00, lalu mereka mengadakan halaqah
untuk mempelajari al-Qur'an dan Tafsir".
Syaikh: "Maksudnya adalah halaqah tahfidz?
Penanya: Iya, halaqah-halaqah ta'lim, yakni Tafsir,
al-Qur'an, Hadits dan Fiqh".
Syaikh: "Yang penting halaqah-halaqah, mereka
menamakan tahfidz al-Qur'an?
Jawabannya, perkara ini tidak mengapa. Adapun saya
mengatakan halaqah ini namanya halaqah Aisyah, ini halaqah Khadijah dan ini
halaqah Fathimah, tidak ada larangan padanya".
Penanya: "Bagaimana dengan wanita-wanita yang
keluar itu?
Syaikh: "Mereka yang keluar, maka ini adalah
kesalahan dari mereka"
Penanya: "Tapi mereka menggunakan hujjah, bahwa
metode ini bukanlah metode salaf?"
Syaikh: "Ini bukan metode salaf, akan tetapi ini
adalah tandzim (pengaturan). Apakah belajar dalam bentuk kelas-kelas pembelajaran
termasuk metode salaf?".
Penanya: "Tidak".
Syaikh: "Ia bukan termasuk metode salaf. Apakah
termasuk metode salaf pengklasifikasian hadits menjadi bab-bab, dimana ada bab
thaharah, shalat, zakat, puasa dan haji? Ini bukan metode salaf. Semua ini tidak
ada kecuali setelah zaman para sahabat setelah buku-buku mulai dikarang.
Olehnya (perbuatan mereka para wanita itu) salah. Katakan pada mereka yang
memisahkan diri itu: Ini adalah satu kesalahan dari kalian; sebab merekalah
yang memisahkan diri dari tempat (mushallah) dan penamaan itu".
Penanya: "Agar jelas –ya Syaikh-. Bahwasanya
setelah terjadi pemisahan diri ini, maka terjadilah perpecahan mereka dari
mahasiswi-mahasiswi, dan terjadi pada…"
Syaikh: "Katakan pada mereka, hendaknya mereka
kembali pada tempat pertama (semula) dan setiap salah satu baginya mustawa
(tingkatan) dan nama khusus".[40]
Bergantian Membaca al-Qur'an.
Salah satu kegiatan Tarbiyah
Marhaliyah, adalah Tahsinul Qira'ah. Formatnya, dengan cara membaca al-Qur'an
secara bergantian dalam satu halaqah tarbawiyah. Sedang anggota halaqoh lainnya
menyimak sembari membenarkan bacaan yang salah dari sang qori', agar para
anggota halaqah dapat belajar makhorijul huruf dan tajwid langsung dengan
prakteknya. Dan hal ini merupakan manifestasi dari sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam: "Yang terbaik diantara kalian adalah, yang mempelajari
al-Qur'an dan mengajarkannya".[41] Juga sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam: "Tidaklah berkumpul suatu kaum dalam satu rumah dari
sekian rumah-rumah Allah, mereka membaca kitabullah dan saling mengajarkan
diantara mereka, melainkan diturunkan atas mereka sakinah (ketenangan jiwa),
diliputi oleh rahmat, dikerumuni oleh para malaikat, dan mereka disebut-sebut
oleh Allah dihadapan yang ada di sisinya (majelis para malaikat)".[42]
Model pembacaan al-Qur'an seperti
keterangan di atas, walaupun ada ulama yang melarangnya namun alhamdulillah
telah direkomendasikan oleh para ulama salaf dan khalaf kita. Berikut ini
perkataan para ulama kita perkara tersebut:
Pertama, perkataan Imam an-Nawawi
rahimahullah :
" فصل في الإدارة بالقرآن"
وهو أن يجتمع جماعة يقرأ بعضهم عُشرًا، أو جزءًا ، ثم يسكت، ويقرأ الآخر من حيث
انتهى الأول، ثم يقرأ الآخر، وهذا جائز حسن، وقد سئل مالك رحمه الله تعالى عنه
فقال: لا بأس به".
Artinya, "Pembahasan tentang membaca al-Qur'an secara bergiliran", yakni berkumpulnya sekelompok orang, sebagian membaca sepersepuluh, atau satu juz kemudian berhenti, dan yang lain meneruskan bacaan dari orang yang pertama, kemudian yang lainnya membaca (lagi), maka ini sangat baik dan diperbolehkan. Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang hal ini, maka beliau menjawab: Tidak mengapa dikerjakan".[43]
Artinya, "Pembahasan tentang membaca al-Qur'an secara bergiliran", yakni berkumpulnya sekelompok orang, sebagian membaca sepersepuluh, atau satu juz kemudian berhenti, dan yang lain meneruskan bacaan dari orang yang pertama, kemudian yang lainnya membaca (lagi), maka ini sangat baik dan diperbolehkan. Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang hal ini, maka beliau menjawab: Tidak mengapa dikerjakan".[43]
Kedua, perkataan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah :
"وقراءة الإدارة حسنة عند أكثر
العلماء, ومن قراءة الإدارة قراءتهم مجتمعين بصوت واحد وللمالكية وجهان في كراهتها
وكرهها مالك وأما قراءة واحد والباقون يتسمعون له فلا يكره بغير خلاف وهي مستحبة
وهي التي كان الصحابة يفعلونها : كأبي موسى وغيره".
Artinya, "Membaca al-Qur'an secara bergiliran merupakan sesuatu yang baik menurut pendapat sebagian besar para ulama. Dan diantara bentuk pembacaan al-Qur'an model ini adalah membaca al-Qur'an secara berjamaah dengan satu suara, madzhab Malikiyah memiliki dua pandangan dalam hukum kemakruhannya, sedang Imam Malik rahimahullah memakruhkannya. Adapun membaca al-Qur'an bergiliran satu persatu sementara yang lainnya mendengarkan, maka tidak di makruhkan tanpa khilaf, bahkan ia disunnahkan dan para sahabat pun telah melakukannya, seperti Abu Musa dan selain beliau".[44]
Artinya, "Membaca al-Qur'an secara bergiliran merupakan sesuatu yang baik menurut pendapat sebagian besar para ulama. Dan diantara bentuk pembacaan al-Qur'an model ini adalah membaca al-Qur'an secara berjamaah dengan satu suara, madzhab Malikiyah memiliki dua pandangan dalam hukum kemakruhannya, sedang Imam Malik rahimahullah memakruhkannya. Adapun membaca al-Qur'an bergiliran satu persatu sementara yang lainnya mendengarkan, maka tidak di makruhkan tanpa khilaf, bahkan ia disunnahkan dan para sahabat pun telah melakukannya, seperti Abu Musa dan selain beliau".[44]
Ketiga, Fatwa dari Lajnah Da-imah
Kerajaan Saudi Arabia :
Redaksi pertanyaan: "Suatu
kebiasaan kami di Maroko, membaca al-Qur'an secara berjamaah setiap pagi dan
sore setiap selesai shalat Subuh dan Maghrib. Namun ada diantara kami yang
mengatakan bahwa hal ini adalah bid'ah ??.
Jawaban: "Membaca al-Qur'an
secara berjamaah dengan satu suara setiap selesai menunaikan shalat Subuh dan
Maghrib atau selainnya adalah bid'ah. Adapun jika setiap orang membaca
masing–masing, atau semuanya mempelajari al-Qur'an, setiap selesai satu orang
membaca diikuti dengan bacaan yang lainnya, sementara yang lainnya diam dan
menyimak, maka ini adalah salah satu ibadah yang mulia.[45]
Sebenarnya masih banyak fatwa–fatwa
lainnya, namun lantaran keterbatasan halaman, kami cukupkan fatwa tersebut
sampai di sini. Dan kami yakin, tiga fatwa dari ulama beda generasi ini sudah
cukup mewakili fatwa–fatwa ulama lainnya. Walillahilhamd.
· Tasmi' hafalan al-Qur'an dan Hadits
Diantara kegiatan rutin dalam
Tarbiyah Marhaliyah adalah tasmi' hafalan al-Qur'an dan hadits-hadits
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kegiatan ini biasanya dilakukan
setelah selesai membaca al-Qur'an secara bergiliran, dan pada setiap marhalah
ditetapkan muqarrar (kurikulum) hafalannya masing–masing.[46
Tujuan dari kegiatan tasmi' hapalan
ini adalah agar setiap kader memiliki pembendaharaan hafalan al-Qur'an dan
hadits-hadits nabawy, sebagai suatu hal yang mutlak sebelum terjun secara
langsung dalam medan dakwah ilallah. Demikian pula sebagai bentuk semangat
meraih kemuliaan dan ketinggian derajat di sisi Allah Ta'ala. Dalam sebuah
hadits, dari Aisyah radhiallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda: "Sesungguhnya jumlah tingkatan surga sebanyak bilangan ayat-ayat
al-Qur’an.
Maka siapa yang masuk surga dari
kalangan huffadz (para penghafal al Qur’an), niscaya tidak ada yang
menandinginya di dalam surga”.[47] Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam: "Akan dikatakan kepada seorang penghapal al-Qur’an
tatkala akan memasuki surga, bacalah dan naiklah, lalu ia membaca al-Qur’an dan
naik setingkat setiap selesai membaca satu ayat. Demikian seterusnya hingga ayat
terakhir yang ia hapal”.[48]
· Mabit
Yakni kegiatan bermalam bersama yang
diikuti oleh perserta Tarbiyah di suatu tempat tertentu, bisa di masjid,
kantor, rumah, atau di tempat lainnya. Namun kebanyakannya di Masjid, yang
penetapan waktunya sesuai dengan kesepakan peserta Mabit.
Kegiatan-kegitan dari Mabit itu
sendiri menyerupai kegiatan dalam tarbiyah namun durasi pertemuannya lebih
lama. Dimulai dengan membaca al-Qur'an, tasmi' hafalan al-Qur'an dan hadits,
meskipun tasmi'nya lebih luas, biasanya berupa muroja'ah ayat–ayat dan hadits yang
pernah dihafalkan. Lalu disusul dengan taushiyah baik dari sang murabbi ataupun
selainnya dan pembacaan kisah Salafussalih dari kalangan Shahabat, Tabi’in dan
Imam-Imam Ahlu Sunnah. Dan di akhir malam dilanjutkan dengan Qiyamul lail, baik
secara sendiri-sendiri maupun secara berjama'ah.[49]
Perlu pembaca ketahui, bahwa
substansi dari Mabit persis dengan Program Mukhoyyam yang banyak dilakukan para
Masyaikh di Saudi Arabia, yaitu mengadakan perkemahan atau menyewa sebuah
Istirahah/Mustarah (tempat istirahat yang terdiri dari kolam renang, lapangan
sepak bola, lapangan bola voli dll), lalu mereka mengadakan acara olah raga
bersama, shalat berjamaah, makan bersama, lalu ada tausiyah dari para
masyayaikh. Dan sepanjang pengetahuan kami, tidak ada satu pun dari para ulama
kibar Ahlu Sunnah yang mengeluarkan tahdzir berkaitan dengan kegiatan ini.
Bahkan ada indikasi Syaikh Robi' bin Hadi al-Madkhali hafidhohullah pun
melakukan kegiatan serupa, seperti disinyalir dari beberapa judul kaset beliau
"al-Jalsah ats-Tsaaniyah Min Mukhoyyam ar- Rabi'", wallahu a'lam.
Adapun atsar yang digunakan sebagai
landasan bagi kegiatan Mabit tersebut, khususnya yang diselenggarakan di mesjid
adalah sebagai berikut:
Pertama: Imam al-Bukhari berkata dalam Shahihnya,
Kitabus Shalat: "Bab Naum al-Mar'ah fil Masjid", [Bab: Tidurnya
wanita di dalam masjid]. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani menerangkan judul bab
di atas, beliau berkata: "Yakni, bolehnya wanita tidur di mesjid dan
berdiam di dalamnya".
Kedua: Imam al-Bukhari berkata pula: "Bab Naum
al-Rijal fil Masjid", [Bab: Tidurnya kaum lelaki di dalam masjid]. Abu
Qilabah berkata dari Anas bin Malik: "Datang sekelompok orang dari 'Uklin
menghadap Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu mereka tinggal di
shuffah". Abdur Rahman bin Abi Bakr as-Shiddiq berkata: "Adalah
mereka yang tinggal di shuffah itu para fuqara'". Al-Hafidz Ibnu Hajar
al-Asqalani berkata: Bab Tidurnya kaum lelaki di masjid, yakni bolehnya hal
tersebut, dan ini merupakan pendapat mayoritas (jumhur) ulama".
Ketiga: Imam at-Tirmidzi berkata dalam Sunan-nya,
Kitabus Shalah: Dari Ibnu Umar radhiallahu anhu: "Adalah kami, pada masa
hayat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sering tidur di dalam masjid, (dan
saat itu) kami masih muda".[50]
Keempat: Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: "Apa hukum mabit (bermalam) di
masjid secara umum dan I'tikaf secara khusus?". Beliau rahimahullah
menjawab: "Bermalam di masjid pada i'tikaf maka ia harus. Sebab orang yang
sedang i'tikaf itu sebagaimana firman Allah Ta'ala, tempatnya di dalam
masjid…Adapun selain orang yang i'tikaf, maka boleh bagi seseorang untuk tidur
di dalam masjid jika ada hajat. Adapun menjadikannya (masjid) hanya sebagai
tempat tidur (bermalam) maka ini menyalahi tujuan dibangunnya mesjid tersebut.
Masjid dibangun untuk ditegakkan shalat di dalamnya, membaca al-Qur'an dan
thalabul ilmi. Akan tetapi (sekali lagi) tidak mengapa jika terkadang seseorang
menjadikannya sebagai tempat untuk tidur".[51]
Kelima: Mabit Ibnu Abbas radhiallahu anhuma di sisi
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di rumah Maimunah radhiallahu anha untuk
mengambil beberapa faidah-faidah ilmu dan amalan sunnah dari beliau[52]
Keenam: Mabit Rabi'ah bin Ka'ab al-Aslamy di sisi
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Imam Muslim meriwayatkan dari Rabi'ah
bin Ka'ab al-Aslamy, ia berkata: "Aku pernah bermalam bersama Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, dan aku melayani beliau pada setiap kebutuhan dan
menyiapkan air wudhunya. Lalu beliau berkata padaku: "Mintalah !".
Maka aku berkata: "Aku minta dapat bersamamu di dalam surga.....".
Ketujuh: Mabit Salman al-Farisy radhiallahu anhu di
rumah Abu Darda' radhiallahu anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Kedelapan: Mabit Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu
anhuma di rumah salah seorang yang dikatakan oleh Nabi shallallahu alaihi
wasallam sebagai penduduk surga, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin
Hambal.
Kesembilan: Berkata Abu 'Ishmah 'Ashim bin 'Ashim
al-Baihaqy: "Aku pernah bermalam bersama Imam Ahmad bin Hambal. Lalu
beliau datang membawa air dan meletakkan (di dekat tempat tidurku). Tatkala
fajar menjelang, beliau melihat ke arah air (yang ia sediakan semalam) dan
ternyata belum berubah sedikit pun. Maka beliau berkata dengan heran: "Subhanallah,
seorang yang menuntut ilmu, namun ia tidak memiliki wirid (amalan shalat dan
selainnya) di waktu malam!?".[53]
Kesepuluh: Berkata seorang yang berasal dari Qais,
kunyahnya adalah Abu Abdillah: "Kami pernah mabit (bermalam) di sisi Hasan
al-Bashri. Lalu beliau bangkit pada waktu malam dan shalat. Ia terus menerus
mengulang-ulang ayat ini hingga menjelang fajar, yakni: "Jika kalian
menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak akan sanggup
(menghitungnya)….".[54]
Dari keterangan hadits dan atsar para
salaf serta fatwa ulama Ahlu Sunnah mu'tabar, maka jelas bagi kita bahwa amalan
mabit (atau bermalam) bersama khususnya bersama orang-orang shaleh untuk saling
mengingatkan, mengambil manfaat ilmu dan amalan serta muhasabah diri, merupakan
sunnah para salafussalih, dan bukan perkara baru. Bahkan seluruh
riwayat-riwayat yang kami ketengahkan tersebut diungkapkan dengan istilah
bittu, atau bitnaa yang merupakan pecahan-pecahan dari kata mabit. Dan dari
sini pula terjawab sudah syubhat yang dilontarkan oleh salah satu majalah Islam
yang menyatakan bahwa amaliyah mabit termasuk dalam perkara bid'ah[55].
Apalagi, persoalan Mabit ini telah kami tanyakan secara langsung kepada
Fadhilatus Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin, murid Fadhilatus
Syaikh al-Allamah Abdulllah bin Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dan beliau
menganggapnya sebagai sesuatu yang baik sekali.[56] Alhamdulillah.
4. Menjawab
Syubhat
Pembaca budiman, seperti biasa,
segala kegiatan yang lakukan WI selalu diteropong oleh ikhwah "salafi",
untuk mengais-ngais dalih agar dapat mendepak WI dari barisan dakwah Ahlu
Sunnah. Termasuk di dalamnya, wasilah yang kami gunakan untuk membina dan
mentarbiyah pemuda–pemuda Islam agar menjadi generasi yang tangguh. Olehnya,
dalam poin ini kami akan sebutkan beberapa syubhat yang ramai dilontarkan
kelompok "salafi" beserta jawabannya :
Tasyabbuh Dengan Ikhwanul Muslimin`
Syubhat ini sering dibidikkan kelompok "salafi" terhadap Tarbiyah
Marhaliyah yang merupakan sarana pembinaan pemuda–pemuda Islam, yang kemudian
dikaitkan dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari sahabat
Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma: "Man tasyabbaha bi qaumin fahuwa
minhum", [Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk
golongan kaum tersebut][57], maka kami katakan sebagai berikut:
Pertama, sebuah atsar dari Abu
Burdah radhiallahu anhu yang di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah: "Hikmah
adalah barang hilang seorang mukmin, hendaknya dia mengambilnya di mana saja
dia mendapatkannya".[58] Maka bertolak dari atsar di atas, bukanlah suatu
aib bagi kita untuk mengambil hikmah atau sesuatu yang baik dari kelompok yang
berselisih dengan kita. Dan kami memandang bahwa Tarbiyah Marhaliyah merupakan
sarana yang efektif untuk membina dan membentuk pemuda–pemuda Islam.
Kedua, Sikap kami terhadap gerakan
dakwah Ikhwanul Muslimin jelas, bahwa mereka adalah saudara-saudara kami dalam
perjuagan agama ini, dan tergolong paling dekat dengan dakwah Ahlu Sunnah,
kendati terdapat beberapa kekeliruan pada mereka sebab kapasitas mereka sebagai
manusia mangharuskan adanya kesalahan dan kekeliruan.[59]
Ketiga, Sepanjang pengetahuan kami,
tidak ada tahdzir khusus dari para ulama Ahlus Sunnah terkait model pembinaan
Ikhwanul Muslimin. Seandainya model pembinaan seperti ini bermasalah, maka
tentu para ulama tidak akan tinggal diam dan pasti akan menjelaskan cacatnya.
Keempat, taruhlah kami bertasyabbuh
dengan Ikhwanul Muslimin dalam masalah ini, maka sungguh seluruh dunia Islam
termasuk kelompok “Salafy” juga terjatuh dalam masalah ini. Banyak sekali
sarana dakwah yang tersebar pada saat ini, mulanya berasal dari ikhwanul
muslimin. Siapakah yang mempopulerkan seminar, bedah buku, dauroh–dauroh dan
selainnya, kecuali dari Ikhwanul Muslimin?, Bahkan, kaum muslimin pada saat ini
jatuh dalam tasyabbuh bil kuffar (jika menggunakan kaidah mereka), melalui
sistem SKS [sistem kredit semester] yang diadopsi oleh Universitas–Universitas
timur tengah (di antaranya universitas Islam Madinah) dari sistem barat yang
kafir??
Sirriyah
Syubhat ini termasuk paling sering
dikemukakan kelompok "salafy" terhadap Tarbiyah bermarhalah, dengan
asumsi pembinaan model seperti ini dilakukan dengan sembunyi–sembunyi, penuh
kerahasiaan, dengan memasukkan sandal, dan lain sebagainya. Asumsi lainnya,
pembinaan seperti ini mencegat mutarabbi tingkat bawah mengikuti materi
Tarbiyah tingkat yang di atasnya, misalnya mutarabbi Marhalah Ta'rifiyah tidak
dibolehkan mengikuti materi di marhalah takwiniyah, dan seterusnya. Dengan
memohon pertolongan Allah Ta'ala kami katakan sebagai berikut:
Pertama, untuk asumsi pertama, maka
kami jawab, bahwa sirriyah dalam konteks seperti yang dikatakan di atas, selama
sepuluh tahun belakangan sudah tidak ada lagi. Bahkan kami yang telah bergabung
dalam dakwah dan Tarbiyah WI selama kurang lebih 17 tahun (terhitung sejak
tahun 1993) tidak pernah mengalami apa yang digambarkan tersebut. Kalau tokh
benar, boleh jadi itu terjadi pada masa-masa kuatnya tekanan Orde Baru terhadap
segala pergerakan dakwah.
Dimana setiap halaqah-halaqah ta'lim,
pertemuan umum hingga pengajian-pengajian yang sifatnya umum berada di bawah
tekanan dan intimidasi kekuasaan saat itu. Dan jika kita menengok tarikh dakwah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka kita akan dapatkan bahwa sirriyah
merupakan satu diantara marhalah da'wah yang pernah diaplikasikan oleh beliau,
yang tentunya dipantik oleh keadaan dan situasi saat itu, yakni di rumah
sahabat Arqam bi Abi Arqam radhiallahu anhu, yang kemudian dikenal dengan Darul
Arqam. Dan hal ini-pun tidak ada kaitannya dengan baik dan buruknya manhaj
sebuah dakwah. Bahkan kalau mau jujur, pengajian-pengajian kelompok
"salafy" yang diadakan di rumah-rumah pun sangat tertutup dan tidak
sembarang orang bisa ikut nimbrung dalam pengajian tersebut.
Kedua, untuk asumsi kedua, kami
katakan, bahwa mengkhususkan ilmu pada sebagian orang adalah salah satu sunnah
Nabi shallallahu alaihi wasallam, di bawah ini kami nukilkan beberapa perkataan
ulama salaf terkait masalah tersebut :
a). Berkata imam Bukhori rahimahullah: [Bab seseorang
yang mengkhususkan suatu kaum dengan ilmu tanpa kaum yang lain karena ditakutkan
mereka tidak memahami].
قَالَ عَلِىٌّ : حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ ،
أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu berkata:
"Berbicaralah kalian dengan manusia sesuai yang mereka pahami, apakah
kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?".[60]
b). Perkataan Ibnu Mas'ud radhiallahu anhu:
قال عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ َ : مَا أَنْتَ
بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلاَّ كَانَ
لِبَعْضِهِمْ فِتْنَة
"Tidaklah engkau berbicara sesuatu pada suatu
kaum yang akal mereka tidak memahaminya, melainkan akan mendatangkan fitnah
bagi sebagian mereka".[61]
c). Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullah mengatakan: kedua puluh: [Bolehnya mengkhususkan sebahagian
manusia dengan ilmu tanpa sebagian lainnya]. Syaikh Muhammad bin Sholih
al-'Utsaimin berkata ketika menjelaskan perkataan ini : Hal ini disebabkan
karena Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam mengkhususkan bagi Mua'adz
ilmu yang tidak di ketahui oleh Abu Bakar, Umar , Utsman dan Ali, maka
diperbolehkan bagi kita untuk mengkhususkan ilmi untuk sebahagian manusia, yang
mana jika sebahagian manusia kamu ajarkan ilmu (yang tidak mereka pahami ) maka
akan terfitnah[62]
d). Fadhilatus Syaikh Sholih al-Munajjid hafidhahullah
menceritakan tentang siroh Syaikh al-Allamah Muhammad bin Ibrahim rahimahullah:
Beliau memiliki tiga majlis, mengajar tiga mustawayat ( tingkatan ), untuk
penuntut ilmu yang sudah lama satu pelajaran, untuk yang pertengahan satu
pelajaran, dan untuk penuntut ilmu yang pemula juga satu pelajaran, dan jika
beliau melihat ada seorang penuntut ilmu yang baru duduk di majlis penuntut
ilmu yang lama maka beliau akan mengusirnya dan menghardiknya.
Pembaca budiman, sebagai penutup
kami ketengahkan perkataan Fadhilatus Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin rahimahullah berkenaan dengan masalah wasaail dakwah, serta
bantahan beliau terhadap pemuda-pemuda semisal al-akh Abu 'Aqilah yang datang
dengan syubuhat yang sama semisal apa yang disinggung oleh Fadhilatus Syaikh.
Pertanyaan: Fadilatus Syaikh,
sebagian sekolah saat ijazah musim panas (liburan panjang) menjelang, membuka
al-Marakiz as-Shaifiyyah (perkemahan untuk mengisi liburan panjang) untuk
memanfaatkan waktu para pemuda yang senang keluyuran di jalan, pada
perkara-perkara yang baik berupa ceramah, diskusi, perlombaan-perlombaan dan
selainnya berupa hal-hal yang positif. Dan kadang pula, dalam perkemahan ini
para pemuda akan bermain sepak bola serta pertunjukan-pertunjukan sandiwara.
Akan tetapi, ada sebagian pemuda
lantas berkata: "Perkara ini tidak pantas dan tidak boleh, sebab ia bukan
thariqah (metode) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Yang wajib adalah,
pelajaran-pelajaran ini harus dilakukan di masjid !?". Mereka juga
menambahkan, "Bahwasanya wasaail (sarana) dakwah itu tauqifiyyah".
Akibatnya, banyak dari kalangan pemuda yang ragu dan terpengaruh". Kami
mohon dari anda, wahai Syaikh taujih (penjelasan) yang cukup dan baik dalam hal
ini, untuk membedakan antara wasilah dan tujuan, agar perkara ini menjadi
jelas, semoga Allah Ta'ala memberi pahala bagi Anda, dan Jazakumullah
khairan".
Syaikh al-Utsaimin menjawab: Dengan
menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji Bagi
Allah, Shalawat dan Salam semoga senantiasa tercurah atas Nabi kita Muhammad,
keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga
hari kiamat kelak. Tidak diragukan, bahwa upaya pemerintah dalam pembentukan
al-marakiz al-shaifiyah ini patut disyukuri. Sebab dengan adanya al-marakiz
ini, maka ia dapat mencegah kerusakan dan fitnah yang besar.
Jika seandainya para pemuda itu yang
jumlahnya sangat banyak justru memenuhi pasar-pasar, keluar menuju tempat hiburan,
gurun-gurun sahara, bukit dan pegunungan-pegunungan, maka apa yang ada dalam
benak kalian berupa keburukan yang bakal terjadi pada mereka? Saya yakin, bahwa
setiap manusia yang berakal mengetahui kenyataan bahwa akan terjadi musibah
pada para pemuda tersebut berupa penyimpangan, kerusakan akhlak, pemikiran yang
nyeleneh, dan selainnya. Akan tetapi al-marakiz ini –alhamdulillah- dapat
menjaga kebanyakan dari para pemuda, dan saya tidak mengatakan lebih banyak
dari para pemuda dan tidak pula seluruh kaum muda sebagaimana kenyataanya.
Dan mereka para pemuda itu dapat
memetik kebaikan yang sangat banyak berupa undangan pada seorang ulama untuk
mengetengahkan pada mereka ceramah agama yang akan menjadi bekal ilmu yang
banyak, nasehat yang bermanfaat, kasih-sayang antara pemuda dan masyaikh, dan
semua ini, tidak diragukan lagi padanya meshlahat sangat besar.
Adapun yang dilakukan untuk
menghibur diri, berupa permainan sebak bola, pertunjukan sandiwara-sandiwara
dan yang serupa demikian, maka ini termasuk dalam kategori hikmah, sebab jiwa
jika dipaksa untuk terus bersungguh-sungguh pada setiap waktu dan keadaan maka
ia akan bosan dan lemah. Perhatikan contoh para sahabat radhiallahu anhu, yang
mengatakan: "Wahai Rasulullah, jika kami berada di sisimu dan engkau
menyebutkan tentang surga dan neraka, maka sungguh kami seakan-akan
menyaksikannya dengan mata kami. Akan tetapi jika kami pulang ke rumah-runah
kami, lalu bercanda dengan keluarga dan anak-anak, kami pun menjadi lupa".
Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Sa'atan,
sa'atan", maknanya sekali-kali demikian dan kali lain demikian pula ….
Olehnya, memberikan jiwa bagiannya
berupa kesenangan yang dibolehkan, tidak diragukan lagi merupakan puncak dari
hikmah itu. Kemudian, bahwasanya bermain sepak bola itu disamping sebagai
hiburan dan dapat menghilangkan keletihan jiwa, maka padanya juga terdapat
faidah bagi tubuh, sebab ia dapat lebih mengaktifkan dan menguatkannya. Akan
tetapi wajib menjaga hal-hal sebagai berikut: Pertama, hendaknya meninggalkan
apa yang dilakukan oleh sebagian orang-orang jahil berupa mengenakan celana
pendek, sebab ia tidak boleh. Sebab memang tidak boleh bagi pemuda Islam
mengenakan celana pendek; jika kita katakan bahwa paha itu aurat, maka perkara
ini jelas.
Aurat tidak boleh diperlihatkan dan
tidak boleh memandang padanya. Namun jika kita tidak katakan sebagai aurat, maka
menyingkap paha seorang pemuda dapat menyebabkan fitnah bagi sebagian yang
lain. Dan mafsadat ini wajib untuk ditinggalkan. Kedua, hal itu tidak
menyebabkan keluarnya kata-kata kasar dan kotor berupa caci maki dan selainnya,
sebab apa saja yang dapat menyampaikan pada perbuatan mengeluarkan kata-kata
kotor dapat menghancurkan muru'ah, dan ini tidak boleh.
Ketiga, tidak menyebabkan pelakunya
melakukan perbuatan yang menafikan muru'ah, sebagaimana yang terjadi pada
sebagian para pemain sepak bola, jika salah seorang dari mereka berhasil
mencetak gol, maka ia akan digendong, dipeluk, diangkat di atas pundak dan
sebagainya berupa perubuatan-perbuatan yang menafikan muru'ah. Sebab seluruh
perbuatan-perbuatan ini berasal dari negara-negara yang tidak mengenal muru'ah
dan agama ….
Adapun perkataan seseorang, bahwa
tempat memberi nasehat itu harus dimesjid, maka ia benar. Namun apakah Rasul
shallallahu alaihi wasallam tidak memberi nasehat kepada manusia kecuali hanya
di dalam masjid? Tidak, bahkan beliau memberi nasehat pada mereka di masjid,
pasar, dalam keadaan safar, beliau juga pernah membuat perjanjian hari pada
para wanita untuk memberi nasehat pada mereka, lalu beliau mendatangi mereka di
rumah salah satu dari mereka. Benar, tempat memberi nasehat adalah di
masjid-masjid, dan ini adalah asalnya. Akan tetapi tatkala kebutuhan
mengharuskan memberi nasehat pada selain (masjid) maka hendaklah memberi
nasehat padanya….
Saya katakan pada saudara yang
menyampaikan keberatan ini (bahwa nasehat harus di masjid): "Wajib bagi
seseorang memiliki pemahaman dan ilmu, serta menempatkan perkara-perkara pada
tempatnya, dan tidak boleh melihat sesuatu dari satu sisi saja, atau melihat
dari atas loteng. Bahkan hendaknya manusia itu paham dan mengukur segala
perkara dengan tepat. Disamping melihat apa-apa yang dapat mendatangkan
mashlahat dan mafsadat dari perbuatan-perbuatan.
Dan kaidah bagi syariat yang kamil
yakni: Mengambil manfaat dan mencegah mudharat, dimana al-marakiz tersebut
telah mendatangkan mashlahat dan mencegat mafsadat…. Kami juga mengingatkan
pada saudara ini: Tolong berpikirlah dalam setiap perkara, dan ketahuilah bahwa
agama itu lebih luas dari apa yang engkau pikirkan, lebih luas dari akalmu, dan
ia datang dengan segala mashlahat dari arah mana saja, selama tidak mengandung
mudharat yang setaraf atau yang lebih besar dari (manfaatnya), maka ia
dilarang.
Sedang perkataan anda, bahwa wasaail
dakwah itu tauqifiyyah, maka dari sisi kalimatnya saja, yakni wasaail (sarana)
sudah menunjukkan bahwa ia bukan tauqifiyyah. Selama ia berposisi sebagai
wasilah, maka kita dapat menggunakannya selama bukan perkara diharamkan,
demikian pula kita gunakan kendati tidak disebutkan jenisnya dalam syari'at,
selama bukan perkara haram, sebab wasilah baginya hukum tujuannya. Bukankah
saat ini untuk menyampaikan pada manusia kita menggunakan pengeras suara?! Dan
ia termasuk wasilah. Apakah ia (pembesar suara) tersebut ada pada zaman Nabi
shallallahu alaihi wasallam?! Jawabannya pasti tidak ada.
Bukankah kita menggunakan kacamata
untuk membaca buku-buku untuk tujuan memperbesar huruf-hurufnya?! Dan ini
merupakan wasilah untuk membaca buku-buku serta mendapatkan ilmu darinya. Maka
apakah (kacamata) ini ada pada zaman Nabi shallallahu alaihi
wasallam?...olehnya, selama kita menetapkan ia sebagai wasilah, maka kita harus
melihat pada tujuannya. Jika wasilah diharamkan, maka ia menjadi haram secara
zatnya … maka saya menyambut al-marakiz al-shaifiyyah tersebut, dan menurut
pendapatku ia termasuk kebaikan pemerintah, serta aku menganjurkan para
pemimpin-pemimpin untuk mengikutsertakan anak-anak mereka padanya….
Dan perlu saya ulangi, khususnya
bagi para thullabul ilmi, hendaknya thullabul ilmi itu memiliki pikiran luas,
serta pemikiran mendalam. Tidak boleh mengambil perkara sesuai zahirnya dan
satu sisinya saja. Namun hendaklah ia melihat Maqashidus Syari'ah
(tujuan-tujuan dari syari'at), dan apa yang dilahirkan olehnya berupa kebaikan
hamba. Demikian pula hendaknya ia tidak mencegat segala apa yang dapat
mendatangkan kebaikan atau apa yang dapat mencegat bagi mafsadat yang lebih
besar, kecuali jika terdapat nash yang melarangnya".[63]
Demikian sekilas pemaparan ilmiyah
akan landasan yang dijadikan pijikan oleh WI dalam merumuskan sebuah wasilah
dakwah ilallah demi terwujudnya izzul Islam wal muslimin. Dan akhir dari seruan
kami, segala Puji Bagi Allah Rabb seru sekalian Alam. Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurah atas junjungan kita Nabi besar Muhammad shallallahu alaihi
wasallam, keluarga, para sahabat dan segenap pengikutnya hingga hari kiamat kelak.
Wallahu a'lam bis Showab
[1] . Mulanya, istilah tarbiyah menjadi dilema bagi
kelompok “salafy”. Alasannya, karena yang mula memomulerkannya dalam medan
dakwah adalah gerakan Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, kala ulama-ulama Ahlu
Sunnah menggunakan istilah ini, utamanya setelah Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani rahimahulloh beredar, "at-Tarbiyah wa at-Tashfiyah",
barulah istilah ini diterima oleh mereka.
[2] . Misalnya, dalam pengantarnya penulis risalah
mengatakan: "Namun kami berharap suatu hari Allah menambahkan ilmu-Nya
untuk membuat tulisan yang berisikan nasehat kepada setiap kelompok yang
menyimpang dari jalan salaf….". yang dipahami dari ibarat ini, bahwa Allah
Ta'ala yang menambah ilmu bagi diri-Nya untuk menuliskan nasehat bagi mereka
yang menyimpang dari jalan salaf!?. Ta'alallahu amma yaquul. Ini masih pada
muqaddimah. Silahkan pembaca menengok sendiri ibarat-ibarat yang sulit dipahami
yang berserakan dalam risalah sederhana tsb.
[3] . Misalnya, penulis membangun risalah sederhananya
hanya berlandaskan sms dengan salah seorang kader "biasa" WI, juga
keterangan dari satu atau dua orang asatidzah (melalu sms) yang kemudian
disalahpersepsikan. Alangkan lebih bijak dan ilmiyah, jika sebuah risalah untuk
"menasehati" kekeliruan sebuah lembaga besar disusun berdasarkan
interview langsung ke pusat lembaga tersebut, bertanya dan melihat secara
langsung, dan bukan hanya mereka-reka sesuai dengan pengalaman, lantaran pernah
belajar di dalamnya.
[4] . Misalnya, sudah jelas penulis mengakui bahwa
pihak WI berkeyakinan bahwa Tarbiyah Bermarhalah itu termasuk wasilah da'wah
yang sifatnya ijtihady. Lalu kemudian penulis datang dengan logika,
"Dengan penjelasan di atas timbul pertanyaan besar, Siapa ulama Ahlu
Sunnah yang telah berfatwa bahwa Tarbiyah Bermarhalah masuk dalam ruang
Khilafiyah Ijtihadiyah?? InsyaAllah mereka tidak akan mampu menjawab, kenapa?
Karena para ulama salaf tidak mengenal metode bid'ah seperti ini? Lalu siapa
yang telah lancang berijtihad akan bolehnya metode dakwah seperti ini?
Jangan-jangan semua ini hasil ijtihad Dewan Syuro mereka ?? atau memang
ustadz-ustadz mereka telah memenuhi syarat untuk menjadi seorang mujtahid??"
(Lihat: NBPPMTB, hal. 10).
Kalau menggunakan logika akh Abu
'Aqilah ini, akan muncul pula pertanyaan serupa, "Siapa ulama Ahlu Sunnah
yang berfatwa bahwa bedah buku, seminar, dauroh, mukhayyamat da'wiyah dan
sebagainya masuk dalam ruang Khilafiyah Ijtihadiyah??", Apakah para ulama
salaf sebelumnya mengenal bedah buku, seminar, dauroh, mukhayyam da'wiyyah,
kelas-kelas pembelajaran dan lain sebagainya?? Padahal merupakan perkara
mubazzir, jika para ulama menghabiskan waktu mentafshil (merinci) satu persatu
seluruh sarana-sarana dakwah yang pada asalnya dibangun di atas ijtihady,
sebagiamana dalam perkara mu'amalah yang berkembang sejalan dengan perkembangan
zaman. Sejatinya, pertanyaan yang harus diketengahkan oleh sang penulis adalah,
"Siapa ulama Ahlu Sunnah yang melarang Tarbiyah Bermarhalah, dan apa dalil
pelarangan tersebut??".
Atau kami akan balik bertanya pada
sang penulis: "Siapakah ulama ahlus sunah yang menfatwakan bahwa wasilah
ini (Tarbiyah Bermarhalah) tidak masuk dalam kategori khilafiyah ijtihadiyah??
ataukah penulis menganggap bahwa tidak diperlukan fatwa seorang mujtahid untuk
menganulir wasilah ini dari ranah khilafiyah ijtihadiyah?, sebab ia telah
merasa diri telah sampai pada derajat seorang mujtahid sehingga boleh saja
baginya menganulir wasilah ini dari ranah khilafiyah ijtihadiyah? Sebab,
penulis tidak menyebutkan dalam artikelnya fatwa ulama yang tidak memasukkan
tarbiyah bermarhalah dalam ranah khilafiyah ijtihadiyah. (alhamdulillah,
syubhat yang dilontarkan oleh penulis ini dapat dijawab dengan fatwa Syaikh
al-Utsaimin dalam pembahasan masalaha "Pembagian Halaqah-Halaqah
Tarbiyah".
[5] . Misalnya, klaim bahwa risalahnya tersebut telah
begitu mantap hingga tak ada yang bisa menjawabnya, "InsyaAllah mereka
tidak akan mampu menjawab, kenapa? Karena para ulama salaf tidak mengenal
metode bid'ah seperti ini? Dan pernyataan ghurur kekanak-kanakan ini diulang
beberapa kali dalam artikelnya!?
[6] . Misalnya, penulis risalah ini berkata:
"Khilafiyah Ijtihadiyah adalah salah satu kaidah fiqhi yang bermakna
perbedaan pendapat yang mu'tabar (dianggap) dan tidak ada dalil jelas yang
menguatkan salah satu pendapat, sehingga para ulama berijtihad dengan pendapat
mereka untuk memilih mana yang lebih kuat". (Lihat: NBPPTB, hal. 10).
Sepanjang pengetahuan kami, wallahu a'lam, tidak ada kaidah fiqhi yang bernama
Khilafiyah Ijtihadiyah itu !??".
[7] . Lihat: Majmu’ al-Fatawa, III/358. Program al-Maktabah
al-Syamilah.
[8] . Muhadharah ini didengarkan langsung oleh salah
seorang ikhwah saat perkuliahan di Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah
al-Munawwarah.
[9] . Lihat: al-Furusiyah, hal. 83. Program al-Maktabah
al-Syamilah.
[10] . Lihat: Maqayiis al-Lughah, Abul Husain Ibnul
Faris, VI/83. Program al-Maktabah al-Syamilah.
[11] . Lihat: Tahdzib al-Lughah, IV/320, Mukhtar as-
Shihaah, I/341, as- Shihaah Fi al-Lughah, II/278. Program al-Maktabah
al-Syamilah.
[12] . Lihat at-Ta'rifat, hal. 84 , Mukhtar as-
Shihaah, I/341, as- Shihaah Fil Lughah, II/279. al-Maktabah al-Syamilah
[13] . Lihat: al-Hikmah Fid Da'wat Ilallah, Dr. Sa'id
bin Ali al-Qahthany, h. 103.
[14] . Untuk lebih jelasnya, silahkan ruju' kitab
al-Hikmah fi ad-Da'wati Ilallahi, hal. 103 -105.
[15] . Dari sini jelas bagi kami kesalahan persepsi
Ust. Amiruddin Abdul Jalil, Lc hafidzahullah akan pernyataan Ust. Ilham Jaya,
Lc dan Ustadz Yusran Anshar, Lc dalam hal Tarbiyah Marhaliyah. Kalau beliau
kaget dengan jawaban kedua Ustadz yang zahir lafadz-nya berbeda, maka kami
lebih kaget lagi dengan pertanyaan seputar dalil Tarbiyah Bermarhalah. Sebab,
sebagaimana kami yakini melalui fatwa dan penjelasan para ulama, bahwa wasail
dakwah itu dibangun atas ijtihad, maka termasuk diantaranya wasilah yang
bernama Tarbiyah Bermarhalah ini. Lantaran ia merupakan salah satu dari
wasilah-wasilah da'wah, maka hukum asal baginya adalah jawaz (boleh) hingga ada
dalil dan keterangan yang melarangnya.
Olehnya, kami melakukan klarifikasi
pada kedua ustadz tersebut akan hal ini. Adapun maksud ucapan Ust. Ilham bahwa
hukum tarbiyah bermarhalah itu seperti hukum muamalah yang dibangun di atas
hukum asal al-jawaz (boleh) hingga ada dalil yang melarangnya. Sedang maksud
ucapan Ust. Yusran sebagai ibadah ghairu mahdhah, sebab tidak ada dalil khusus
yang menyatakan ia sebagai ibadah, namun dapat menjadi ibadah jika diniatkan
sebagai ibadah, sebagaimana pada hal mu'amalah tersebut dan bukan bagi hukum
asal ibadah ghairu mahdhah tersebut. Jadi tidak ada perbedaan dari kedua penyataan
di atas. Walhamdulillah.
[16] . Lihat Tahdzib al-Lughah, IV/289, al-Muhithu Fi al-Lughah, II/263. al-Maktabah al-Syamilah.
[16] . Lihat Tahdzib al-Lughah, IV/289, al-Muhithu Fi al-Lughah, II/263. al-Maktabah al-Syamilah.
[17] . Lihat: al-Hikmah Fi Da'wah Ilallahi, h. 102.
[18] . Untuk lebih jelasnya, silahkan ruju' kitab
al-Hikmah Fi ad-Da'wati Ilallahi, hal 103.
[19] . Perhatikan ungkapan Syaikh al-Utsaimin
rahimahullah ini, bahwa hukum asal wasilah da'wah adalah boleh, selama bukan
pada sesuatu yang diharamkan Allah Ta'ala. Abu 'Aqilah dalam artikelnya,
berusaha memaksa bahwa Tarbiyah Bermarhalah itu masuk dalam uslub dan bukan
wasilah. Bahkan ia mengqiyaskan dengan Jama'ah Tabligh, bahwasanya jika kita
katakan Tarbiyah Bermarhalah itu boleh, maka kita pun akan mengatakan bahwa
khuruj-nya jama'ah tabligh untuk dakwah itu juga boleh?
Olehnya, kami akan ajukan pertanyaan
pada penulis risalah sederhana ini, "Siapa yang melarang kita untuk keluar
berdakwah?? Siapa yang mengingkari bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam
mengutus para sahabatnya keluar berdakwah ke luar Jazirah Arabiyah juga para
khulafa' al-Rasyidin? Siapa yang mengingkari kisah Mus'ab bin Umair yang keluar
berdakwah dari kota Mekkah ke Madinah lalu masuk ke kampung-kampung suku suku Aus
dan Khazraj?? Pada asalnya, keluar dari rumah atau kampung untuk berdakwah
adalah sesuatu yang harus bahkan dituntut.
Adapun yang menjadikan metode
Jama'ah Tabligh menyimpang adalah bukan zat khurujnya, akan tetapi apa-apa yang
menyertai khuruj itu berupa amal-amal bid'ah, pembatasan diri pada buku-buku
tertentu, dan pelaziman sesuatu yang tidak dilazimkan oleh syari'at, termasuk
mejadikan waktu-waktu khuruj tersebut sebagai sesuatu yang lazim. Kalau
seandainya zat khuruj itu yang bid'ah dan terlarang, tidak mungkin Syaikh
al-Utsaimin dan Syaikh bin Baz menganjurkan keluar (khuruj) bersama mereka
(khususnya Jama'ah Tabligh yang berasal di Saudi) untuk tujuan mengajarkan
mereka agama dan meluruskan hal-hal yang menyimpang padanya (huruf tebal, kami
dengar langsung dari Fadhilatus Syaikh Prof. Dr. Abdullah al-Jibrin
hafidzahullah). Dan alhamdulillah, metode Tarbiyah Bermarhalah sangat berbeda
dari wasilah ini. Sebab ia bukan sesuatu yang lazim dan tidak boleh tidak
harus. Banyak keluwesan dan kelapangan padanya demi terwujudnya tujuan dari
dakwah tersebut.
[20] . Lihat: Fatawa Islamiyah, IV,372.
[21] . Lihat: al-Fatawa al-Tsuliyah, I/42.
[22] . Liqoat al-Baab al-Maftuuh, Juz 222/36.
[23] . Yang aneh, justru beliau sangat heran dengan
perkataan ini. "Bagaimana mungkin wasail (sarana) dakwah itu
tauqifiyyah??, bahkan beliau menegaskan, tinggalkan semua apa yang diucapkan
(seputar wasilah dakwah) oleh "mereka-mereka" itu (beliau sangat
paham siapa yang kami maksudkan dalam pertanyaan ini. Padahal, yang kami sebutkan
dalam pertanyaan tersebut adalah "ba'dhul ikhwah" atau sebagian
ikhwah).
Lalu beliau menambahkan, "Apa
yang mereka katakan tentang fatwa Lajnah Daimah? Demikian pula dengan fatwa
Syaikh al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin??, yang jelas mereka
menyatakan bahwa wasaail ad-Dakwah itu Ijtihadiy??". (Pertanyaan ini kami
ajukan pada beliau malam jum'at tanggal 11/02/2010 M, saat pertemuan antara
beliau dengan para asatizah WI di kantor PP Wahdah Islamiyah Makassar).
Pendapat ini dikatakan pula oleh Samahatus Syaikh al Imam Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah. (Lihat: Qawaid Al Wasa-il Fisy Syari’ah Al Islamiyyah, hal 318,
catatan kaki no. 2
[24] . Ar-Raghib al-Ashfahani, dalam Mufradat-nya,
hal. 195.
[25] .Lihat Tafsir al-Baidhawy, I/8. Dari definisi yang
disinggung Ar-Roghib dan Al-Baidhowy sangat jelas menunjukkan, bahwa tarbiyah
harus dilakukan secara berproses dan bertahap atau dengan istilah yang lazim
kita gunakan, yakni secara bermarhalah.
[26] . Lihat: Ushul at-Tarbiyah al-Islamiyah, Abdur
Rahman an-Nahlawy, h. 13.
[27] . Lihat: Madarij as-Salikin, III/306.
[28] . Sebab, istilah ilmu itu jika dimutlakkan maka
ia bermakna ilmu ad-dien atau ilmu agama.
[29] . Lihat: Kitab al-Ilmi, I/162.
[30] . Perlu pembaca sekalian ketahui, bahwa pembagian
marhalah menjadi 3 tingkatan ini merupakan pembagian yang baru setelah
sebelumnya pembagian tersebut ada 4 tingkatan, yakni sebelumnya ada tingkatan
Tamhidiyyah. Dan ini sangat menguatkan, bahwa pembagian-pembagian tersebut
hanya sebagai sarana dan wasilah untuk memudahkan proses talaqqi ilmu Syar'i,
dan bukan sesuatu yang baku, kaku atau untuk maksud ta'abbud, al-Hamdulilah.
[31] . Lihat: Shohih al-Bukhori, bab: al-Ilmu Qobl
al-Qouli wa al-'Amali, lihat pula: Tafsir al-Qurthubi, IV/122. Ibnu Hajar
al-Asqalani rahimahullah berkata: "Maksud shigarul ilmi (ilmu-ilmu yang
kecil) adalah ilmu yang telah jelas masalah-masalah (hukum)nya. Sedangkan
kibarul ilmi (ilmu-ilmu yang besar) adalah ilmu yang lebih pelik (hukum-hukum)
darinya". (Lihat: Fath al-Bari, I/162).
[32] . HR. Bukhari dan Muslim
[33] . Riwayat Bukhari.
[34] . Kitabut Tauhid, bab ad-Da'watu ila as-Syahadah.
[35] . Lihat: Hilyah Tholibil 'Ilmi, hal : 12.
[36] . Lihat : Hilyah Thalabil Ilmi, hal. 13
[37] Beliau adalah guru besar dari seluruh para
masyayikh besar Saudi kontemporer dan Mufti ‘Aam kerajaan Saudi Arabia sebelum
Samahatus Syaikh Abdul Aziz rahmihullah
[38] . Lihat: Majmu'ah Muhammad al-Munajjid, Mawaaqif
Tarbawiyah Muattsirah min Siyar al-Ulama, Juz 33/29. al-Maktabah al-Syamilah.
[39] . Nash pertanyaannya: "Fadhilatus Syaikh,
menyambung pertanyaan Ust….. seputar masalah Tarbiyah tadi, maka kami ingin
tambahkan satu hal, bahwa program Tarbiyah kami (WI) tersebut dibuat dalam
bentuk marhalah-marhalah (berjenjang) yang tentunya untuk memudahkan dalam
penyampaian ilmu tersebut, apa hukum marhalah-marhalah tersebut, ya
Syaikh?". Beliau hafidzahullah menjawab: "Pembagian marhalah-marhalah
tersebut mathlub (dituntut), bahkan terkadang sampai pada hukum wajib….".
(Rekaman ada pada kami, dan pertanyaan ini diajukan pada beliau pada malam
sabtu 12/02/2010 M, saat pertemuan khusus beliau dengan para asatidzah WI di
kantor PP Wahdah Islamiyah Makassar).
[40] . Lihat: Liqoat al-Baab al-Maftuh, 173/15.
[41] . HR. Bukhari dari sahabat Utsman bin Affan
radhiallahu anhu.
[42] . HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah
radhiallahu anhu.
[43] . at-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur'an, hal. 103.
[44] . Fatawa al-Kubra, V/345.
[45] . Fatawa Lajnah Da-imah, IV/118.
[46] . Dan ini pula yang kami dan para asatidzah
dapatkan di Jami'ah-Jami'ah Islamiyah, baik Jami'ah Islam Madinah al-Munawwarah
atau Ma'had al-Ulum al-Islamiyah wal 'Arabiyah (LIPIA) Jakarta. Bahwa dalam
setiap semester mahasiswa diwajibkan menghapal 1 juz al-Qur'an dan dimulai dari
surah al-Baqarah.
[47] . HR. Ahmad, al-Musnad 1/356. al-Baihaqi dalam
Syu’ab al-Iman, no: 1998, beliau berkata: Imam al-Hakim berkata: Sanad hadits
ini shohih. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, 7/155.
al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah, 4/435. Berkata peneliti kitab At Tadzkirah
Fii Ahwal al-Mauta wa al-Akhirat: Hasan mauquf.
[48] . HR. Imam Ahmad, al Fath al-Rabbani 18/7. Abu Daud,
no: 1464. al-Tirmidzi, no:
2914. Ibnu Majah, no: 2780. Ibnu Hibban, al-Baihaqi,
dan al-Hakim, 1/553. Disepakati oleh al-Hafidz al-Dzahabi dan dishahihkan oleh
Syaikh al-Albani dalam Shohih al-Jami’, no: 8121.
[49] . Persoalan ini (sesuai dengan apa yang tertera
pada poin kedua tersebut di atas) telah kami tanyakan langsung kepada
Fadhilatus Syaikh Prof. Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin hafidzahullah
pada malam sabtu, 12/02/2010 M, dalam pertemuan beliau dengan para asatidzah WI
di kantor PP Wahdah Islamiyah Makassar, setelah dijelaskan secara terperinci
tentang hal-hal yang berkaitan tentang masalah Mabit, maka beliau menjawab:
"Ini merupakan sesuatu yang sangat baik". (Rekaman tanya jawab ada
pada kami, alhamdulillah).
[50] . HR. Imam at-Tirmidzi, dan beliau berkata:
Hadits ini Hasan Shahih.
[51] . Majmu' Fatawa wa Rasaail Ibni Utsaimin,
XX/128-129.
[52] . HR. Bukhari dan Muslim.
[53] . Lihat: al-Madkhal Ila as-Sunan al-Kubra Li
al-Baihaqi, I/429.
[54] . Lihat: al-Tidzkar, al-Qurthubi, hal. 25.
[55]. Mungkin mabit bid’ah yang dimaksudkan adalah
ketika di dalamnya terdapat beberapa amalan mungkar dan bid’ah, seperti
bercampur baur antara laki-laki dan perempuan atau adanya acara renungan /
muhasabah yang kadang direkayasa agar semua peserta menangis secara
bersama-sama, wallahu a’lam
[56] . Hal ini ditanyakan kepada beliau pada malam
Sabtu, 12/2/2010, di kantor PP Wahdah Islamiyah Makassar saat pertemuan beliau
dengan para asatidzah WI. (Rekaman ada pada kami).
[57] . HR. Abu Daud.
[57] . HR. Abu Daud.
[58]. Atsar ini juga diriwayatkan Tirmidzi dan Abu
Daud secara marfu’ namun sanadnya lemah, tapi makna dari atsar ini didukung
oleh nash-nash yang banyak, lihat : Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah no. 21010,
Maktabah Asy Syamilah 26/357
[59] . Untuk lebih jelasnya, yakni sikap kami terhadap
gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin, silahkan simak artikel "Silsilah Pembelaan
Para Ulama dan Du'at".
[60] . Diriwayatkan Bukhari.
[61] . Diriwayatkan Muslim.
[62] . Lihat: al-Qaul al-Mufid, I/34.
[63] . Lihat: Liqoaat al-Baab al-Maftuh, 21/16.