Nasehat Imam Syafi'i Kepada Penuntut Ilmu
Inilah nasehat Imam Syafi'i
rahimahullah kepada para penuntut ilmu. Inilah nasehat yang dulu dipegangi
dengan kuat dan mengantarkan banyak orang meraih manfaat menuntut ilmu. Mari
sejenak kita perhatikan:
أَخِي لَنْ
تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَاٍ
بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ
وَطُوْلُ زَمَان
Inilah sikap mental yang seharusnya
kita tanamkan kepada anak didik kita. Siap berpayah-payah, semangat
bertekun-tekun belajar.
Sesungguhnya yang dimaksud dirham
bukanlah banyaknya harta, tetapi terutama kesediaan/kerelaan hati mengeluarkan
uang untuk meraih ilmu. Berpijak pada nasehat yang ditanamkan di awal belajar,
lapar itu lebih disukai santri asalkan dapat membeli buku. Sikap ini saya
pegang saat kuliah. Bukan untuk nyentrik jika kuliah pakai kresek (kantong
plastik belanja). Tapi karena buku lebih utama.
Teringat kawan-kawan masa kecil yang
cemerlang. Mereka justru akrab dengan rasa lapar. Tetapi mereka amat
bersemangat. Lapar kerap jadi pilihan karena mendahulukan ilmu dan mereka
justru menjadi cemerlang justru karena itu. Perhatian hanya tertuju pada
belajar. Tidak disibukkan oleh urusan makanan. Maka sulit saya memahami
penjelasan "sebagian ahli": tidak sarapan sulitkan belajar.
Bersahabat dengan Ustadz bukan
karena mengharap nilai yang bagus, tapi untuk meraup ilmu yang barakah dan
berlimpah. Dulu kesempatan memijat ustadz merupakan kesempatan penuh manfaat.
Memijat merupakan kesempatan mendengar limpahan nasehat ustadz. Ini bukanlah
soal joyful learning. Justru ini soal kesediaan berpayah-payah demi
meraih ilmu yang lebih utama. Ada semangat di sana.
Bersahabat dengan ustadz bahkan tak
hanya terkait kesempatan meraup kesempatan lebih banyak untuk memperoleh
curahan ilmu darinya. Lebih dari itu adalah ikatan jiwa antara murid dan guru.
Teringat, ketika guru sakit, sedih sekali perasaan ini & bersegera
mendo'akan. Ikatan semacam ini menjadikan kehadiran guru senantiasa dinanti dan
tutur katanya didengarkan sepenuh hati. Inilah bekal amat berharga.
Ketika murid benar-benar memiliki
keterikatan hati dengan guru, cara mengajar yang monoton pun tetap
membangkitkan antusiasme. Sebaliknya, ketika guru semata hanya mengandalkan
metode mengajar, cara yang atraktif pun tak jarang hanya memikat sesaat di
kelas. Murid betah mendengarnya karena menarik dan lucu, tapi tak menumbuhkan
antusiasme untuk belajar lebih serius di luar kelas. Apalagi jika salah
memahami istilah belajar tuntas sehingga seakan tak perlu lagi belajar setiba
di rumah, bahkan hingga tertidur pulas di malam hari. Padahal antusiasnya anak
belajar sepulang sekolah merupakan salah satu tanda belajar otentik. Jika kita
sangat meminati sesuatu, sakit pun tak menghalangi untuk menekuninya.
Maka membekali murid dengan
menumbuhkan sikap percaya kepada guru, hormat serta ikatan emosi dengan guru
amat mendesak dilakukan. Dalam hal ini, kita dapat membincang dari kacamata
efektivitas pembelajaran. Tapi saya lebih suka melihat dari segi kebarakahan
belajar. Masalah "barakah" memang terasa makin asing dalam
pembicaraan tentang pendidikan, hatta itu sekolah Islam. Padahal ini sangat
penting.
Prinsip lain yang dinasehatkan oleh
Imam Syafi'i rahimahullah bagi penuntut ilmu adalah طُوْلُ زَمَان (memerlukan
waktu lama). Seorang santri (murid) harus menyiapkan diri menghabiskan waktu
yang panjang untuk mencapai pemahaman yang mendalam terhadap ilmu.
Jauhi sikap instant dan tergesa-gesa
(isti'jal) ingin menguasai ilmu dengan segera. Penghambat tafaqquh
(upaya memahami secara sangat mendalam) adalah sikap tergesa-gesa. Pengetahuan
dapat diperoleh dengan cepat, tetapi pemahaman yang matang dan mendalam hanya
dapat diraih dengan kesabaran dan kesungguhan. Grabbing informations dapat
dicapai dengan speed reading. Tetapi untuk pemahaman mendalam, yang diperlukan
adalah deep reading.
Kesediaan mencurahkan perhatian dan
menempuh proses yang lama merupakan kunci untuk meraih keutamaan-keutamaan ilmu
yang sangat tinggi. Banyak hal yang dapat dipelajari dalam waktu singkat. Tapi
untuk menghasilkan penguasaan yang matang kerap memerlukan waktu panjang. Meski
demikian, sekedar siap menjalani masa yang panjang tidak banyak bermakna
apabila tidak disertai ketekunan. Ada kesabaran, ada ketekunan.
Sebagian ilmu menuntut ketekunan
untuk masa yang panjang. Keduanya diperlukan. Ini memerlukan daya tahan yang
tinggi. Ada orang yang cerdas sehingga mudah memahami. Tapi ada sebagian ilmu
yang menuntut ketekunan, masa yang panjang dan sekaligus kecerdasan. Dalam
bidang sains pun sabar, tekun dan cerdas diperlukan secara bersamaan. Semisal
untuk bidang yang memerlukan observasi longitudinal.
Jika ada guru yang bertanya, apa
bekal penting bagi seorang murid, maka nasehat Imam Syafi'i rahimahullah ini
yang seharusnya ditanamkan kuat-kuat. Ditanamkan kuat-kuat hingga membekas.
Bukan sekedar menjadi pengetahuan sekilas. Semoga ini dapat membentuk sikap belajar
yang kuat dan mantap.
Jika adab tertanam kuat dan sikap belajar mengakar
dalam diri murid, maka guru yang monoton pun akan didengar sepenuh perhatian.
Lebih-lebih guru yang bagus kemampuannya mengajar. Tetapi sekedar pintar
mengajar, tak bermakna jika murid lemah adabnya buruk sikapnya.
Semoga Bermamfaat, Shukran Jazakallah Khairan@
Semoga Bermamfaat, Shukran Jazakallah Khairan@
0 Response to "Nasehat Imam Syafi'i Kepada Penuntut Ilmu"
Post a Comment