Realitas Pemuda Indonesia: Dimensi Kehidupan Pemuda & Remaja
Oleh: Muhammad Akbar
Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Makassar
Akbarusamahbinsaid.@gmail.com
1. Dimensi Moral
Masa remaja adalah periode dimana
seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di
lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot
Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri
dalam menghadapi masalahmasalah populer yang berkenaan dengan lingkungan
mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja
tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang
diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan
keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif
lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar
dan membandingkannya dengan
hal-hal
yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya.
Sebagian besar para remaja mulai
melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan
dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan
beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan
seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu
lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak. Kemampuan berpikir dalam
dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai
melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai
dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya.
Mereka lalu merasa perlu
mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru.
Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan"
remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat.
Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang
mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan
mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur
bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu.
Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik
nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika
remaja tidak menemukan jalan keluarnya.
Kemungkinan remaja untuk tidak
lagi mempercayai nilai-nilai yan ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak
masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu
memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak
mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.
Peranan orangtua atau pendidik
amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang
dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua yang bijak akan memberikan
lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih
jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan
dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung. Remaja
tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang
dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban
yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua.
Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.
2. Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang
penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat
cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed
Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk
berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang
dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang
drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah,
pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang
mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau
masalah psikologis.
Dalam hal kesadaran diri, pada
masa remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri
mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain
karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu
mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri.
Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang
direfleksikan (self-image). Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka
sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan
dan ketenaran.
Remaja putri akan bersolek
berjam-jam di hadapan cermin karena ia percaya orang akan melirik dan tertarik
pada kecantikannya, sedang remaja putra akan membayangkan dirinya dikagumi
lawan jenisnya jika ia terlihat unik dan “hebat”. Pada usia 16 tahun ke atas,
keeksentrikan remaja akan berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan
dengan dunia nyata. Pada saat itu, Remaja akan mulai sadar bahwa orang lain
tenyata memiliki dunia tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi
atau pun dipikirkannya. Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh
orang lain kemudian menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai
dihadapkan dengan realita dan tantangan
untuk
menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan.
Para remaja juga sering
menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat “tidak
memikirkan akibat” dari perbuatan mereka. Tindakan impulsif sering dilakukan;
sebagian karena mereka tidak sadar dan belum biasa memperhitungkan akibat
jangka pendek atau jangka panjang. Remaja yang diberi kesempatan untuk
mempertangung-jawabkan perbuatan mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang
lebih berhati-hati, lebih percaya-diri, dan mampu bertanggung-jawab. Rasa
percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai
dasar pembentukan jatidiri positif pada remaja. Kelak, ia akan tumbuh dengan
penilaian positif pada diri sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan
lingkungan.
Bimbingan orang yang lebih tua
sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu
sebagai “seseorang yang baru”; berbagai nasihat dan berbagai cara akan dicari
untuk dicobanya. Remaja akan membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para
“idola”nya untuk menyelesai-kan masalah seperti itu. Pemilihan idola ini juga
akan menjadi sangat penting bagi remaja Dari beberapa dimensi perubahan yang
terjadi pada remaja seperti yang telah dijelaskan diatas maka terdapat
kemungkinan – kemungkinan perilaku yang bisa terjadi pada masa ini. Diantaranya
adalah perilaku yang mengundang resiko dan berdampak negative pada remaja.
Perilaku yang mengundang resiko pada masa remaja misalnya seperti penggunaan
alcohol, tembakau dan zat lainnya;
Aktivitas social yang berganti –
ganti pasangan dan perilaku menentang bahaya seperti balapan, selancar udara,
dan layang gantung (Kaplan dan Sadock, 1997). Alasan perilaku yang mengundang
resiko adalah bermacam – macam dan berhubungan dengan dinamika fobia balik (
conterphobic dynamic ), rasa takut dianggap tidak cakap, perlu untuk menegaskan
identitas maskulin dan dinamika kelompok seperti tekanan teman sebaya.
Semoga Bermamfaat, Shukran
Jazakumullahu Khairan@....
0 Response to "Realitas Pemuda Indonesia: Dimensi Kehidupan Pemuda & Remaja"
Post a Comment