Realitas Penidikan Indonesia: Membangun Indonesia Layak Anak
Oleh: Muhammad Akbar
Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas
Negeri Makassar
Akbarusamahbinsaid.@gmail.com
Ada adegan yang sangat menarik dan sungguh realis dalam film
“Garuda Di Dadaku”, garapan sutaradara muda Ifa Irfansyah, ketika tokoh Bayu
loncat jendela, kemudian berlari-lari menendang bola di gang-gang sempit tempat
tinggalnya, hingga akhirnya menemukan tanah lapang di tengah kuburan sebagai
home base latihan kerasnya untuk menjadi yang terbaik. Itulah potret faktual
kondisi anak-anak Indonesia; terabaikan dan tidak terlindungi.
Memang ada anak-anak Indonesia yang beruntung, tetapi dalam
persepektif hak asasi manusia, bukan banyak atau sedikit jumlahnya, tetapi
setiap (manusia) anak harus memperoleh hak-haknya. Undang-Undang Dasar 1945
pasal 28 ayat 2 b sangat gamblang menyebutkan:”Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”.
Tanpa menampik berbagai upaya yang dilakukan pemerintah
untuk memenuhi hak anak, kita masih melihat wajah buram dan kondisi yang tidak
layak bagi anak-anak Indonesia. Untuk hak sipil dan kebebasan misalnya, dari 80
juta anak baru 40 % yang tercatat oleh Negara dalam bentuk akta kelahiran, dan
baru 219 Kabupaten/Kota dari 495 Kabupaten/Kota yang memiliki kebijakan
penerbitan akta kelahiran gratis bagi anak-anak.
Pada hak pengasuhan, jutaan anak menjadi anak terlantar, 200
ribu di antaranya hidup di jalanan; keras, liar, dan menjadi obyek penertiban
tidak manusiawi petugas Satpol Pamong Praja di banyak Pemda Kabupaten/Kota.
Dari sisi kesehatan lebih menyedihkan lagi di mana kematian bayi masih 31/1000,
sebuah angka yang tinggi karena masih jauh dari target MDGS 2015 yang harus
menmcapai angka 17/1000. Belum lagi dengan tingkat angka kematian balita, angka
kematian ibu, dan penyebaran penyakit menular yang grafiknya terus naik. Masih
ada 4,5 juta anak-anak yang mengalami gisi buruk, anak-anak yang mendapati
lingkungan hidup yang penuh asap rokok, sanitasi jelek, ancaman masifnya
peredaran narkoba, virus HIV/ADS, dan sebagainya. Dalam bidang pendidikan pun,
data wajar Dikdas memiliki sisi buram, karena masih ada sekitar 1 juta anak
SD/MI dan 2,5 siswa SMP/MTS yang drop out.
Dalam hal perlindungan khusus bahkan saya berani katakan
bahwa Negara telah gagal melindungi anak-anak dari perlakuan salah,
eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi. Bagaimana tidak, dari data Depsos,
dari tahun ke tahun pemerintah tidak berhasil menekan secara signifikan
angka-angka anak jalanan yang tidak pernah kurang dari kisaran 200.000 orang,
dan anak terlantar sebanyak 5,4 juta dan hampir terlantar 12 juta orang. Untuk
anak yang dipekerjakan ILO mencatat masih ada 4,05 juta orang, anak yang
dilacurkan dan anak diperdagangkan tidak pernah ada angka pasti tetapi bisa
dipastikan mencapai puluhan ribu anak. Demikian pula anak yang menjadi korban kekerasan
dan diskriminasi, anak yang berhadapan dengan hukum, anak-anak yang
dipenjarakan dan sebagainya angkanya selalu menunjukkan sisi gelap anak
Indonesia. Merekalah anak Indonesia yang kurang beruntung, korban perlakuan
salah, korban kekerasan, tereksploitasi dan terdiskriminasi.
Mengapa bisa seperti itu? Bukankah dari segi instrumen
regulasi komitmen Negara sudah cukup memadai. Indonesia termasuk Negara paling
awal meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child), UUD
1945 hasil Amandemen keempat tahun 2002 menyebutkan kewajiban negara menjamin
hak tumbuh kembang anak dan melindungi setia anak dari kekerasan dan
diskriminasi. Puncak komitmen negara adalah dengan diintrodusirnya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Soalnya adalah, bahwa instrumen regulasi tidak akan berhasil
membawa perubahan kondisi manakala gagal dalam implementasinya. Dan itulah yang
kini sedang menimpa penyelenggaraan anak di negeri ini. Begitu banyak ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang anak, begitu banyak sektor
pemerintahan yang menggarap isu perlindungan anak, tetapi itu tidak
menghentikan sisi buram perlindungan anak.
Maka kini saatnya, sebagai sebuah bangsa, kita mencanangkan
bersama untuk membangun Indonesia yang layak anak, yaitu di mana anak dijamin
hak-hak dasarnya, teresedia lingkungan yang bisa membantu tumbuh kembang anak,
tersedianya lembaga pendidikan yang ramah anak, terlindunginya anak dari segala
bentuk kekerasan dan diskriminasi, serta tersedianya ruang ekspresi anak yang
luas di semua komunitas.
Bersama 190 negara lainnya, Indonesia adalah peserta Special
Session untuk Anak pada Sidang Umum PBB pada bulan Mei 2002, yang melahirkan
dokumen “Dunia yang layak bagi anak-anak”. Oleh karena itu kewajiban para
penyelenggara perlindungan anak di negeri ini, untuk melaksanakan seruan
tersebut, dengan menjadikan Indonesia sebagai negeri yang layak anak.
Karena fungsi-fungsi perlindungan anak berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan ada pada
Kabupaten/Kota, maka pada jajaran Pemda Kabupaten/Kotalah kita menaruhkan
harapan. Kalau setiap Bupati/Walikota mencanangkan dan berusaha betul
mewujudkan Kabupaten/Kota layak anak, maka seluruh Indonesia menjadi wilayah
Negara yang layak anak.
Untuk mencapai tataran tersebut ada persyaratan yang harus
dipenuhi oleh semua Pemda Kabupaten/Kota. Pertama, lahirnya kebijakan
pemerintah yang memihak anak yang terlihat dari pemenuhan hak dan perlindungan
khusus. Kedua, pemerintah memiliki program-program yang jelas untuk menjamin
setiap anak bisa memperoleh hak-haknya dan terlindungi dari perlakuan penuh
keras dan diskriminasi. Ketiga, keberadaan kelembagaan yang secara khusus
menangani isu perlindungan anak secara memadai. Keempat, tersedianya anggaran
yang cukup untuk menopang penyelenggaraan perlindungan anak secara optimal.
Untuk bisa mewujudkan keempat hal tersebut, sangat
bergantung pada sensitifitas Bupati/Walikota terhadap perspektif perlindungan
anak. Bukan berarti Pemerintah Pusat dan Propinsi tidak penting, tetapi de
facto, pada era otonomi daerah ini, yang memiliki wilayah dan rakyat adalah
Bupati atau Walikota. Maka sesitifitas dan responsibilitas Bupati/Walikota
sangat menentukan implementasi penyelenggaraan perlindungan anak.
Tentu saja kerjasama dengan berbagai pihak dalam membangun
Indonesia layak anak merupakan prasyarat mutlak karena pemenuhan hak dan
perlindungan anak sangat kompleks dan berat. Tanpa aliansi dan sinergitas,
target-target akan berjalan lambat, malahan boleh jadi yang satu membangun,
yang lain merusak, di satu pihak bekerja keras, di lain pihak bertindak
destruktif, menebar teror dan bom untuk mematahkan harapan dan menghancurkan
kegembiraan anak. Yang pasti, harus diingat, bahwa pengelolaan atas anak yang
salah pada hari ini, akan menjadi persoalan bangsa yang besar di masa yang akan
datang.
Maka sebelum persoalan besar itu datang, kelolalah anak
dengan baik. Pastikan mereka memperoleh hak-haknya, pastikan setiap anak
memperoleh perlidungan dari kekerasan dan diskriminasi. Itulah saat di mana,
kita memberikan lingkungan kehidupan yang layak bagi setiap anak Indonesia.
Syukrhan
wahazakumullahu khairhan@
0 Response to "Realitas Penidikan Indonesia: Membangun Indonesia Layak Anak"
Post a Comment