Realitas Pendidikan Indonesia: Mengapa Pelajar Tawuran?
Oleh: Muhammad Akbar
Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas
Negeri Makassar
Banyaknya tawuran
antar pelajar di Indonesia merupakan fenomena menarik untuk dibahas. “Tawuran”
mungkin kata tersebut sering kita dengar dan baca di media massa. Bagi warga Jakarta,
aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal mungkin sudah merupakan
berita harian. Saat ini beberapa televisi sepertinya membuat program-program
khusus yang menyiarkan berita-berita tentang aksi kekerasan. Dalam
penanggulangan fenomena tawuran, perlu dilakukan kebijakan mengatasi
faktor-faktor akar permasalahan yang mempengaruhi berkembangnya perilaku
tawuran.
Ekpresi Naluri Agresi
Pelajar yang sedang
menempuh pendidikan di SLTP maupun SLTA, bila ditinjau dari segi usianya,
sedang mengalami periode yang sangat potensial bermasalah. Periode ini sering
digambarkan sebagai storm and drang period (topan dan badai). Dalam kurun ini
timbul gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah
menyimpang.
Dari situasi konflik
dan problem ini remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah mencari
identitas dan membutuhkan tempat penyaluran kreativitas. Jika tempat penyaluran
tersebut tidak ada atau kurang memadai, mereka akan mencari berbagai cara
sebagai penyaluran. Salah satu eksesnya, yaitu “tawuran”.
Tawuran merupakan
salah satu bentuk perilaku agresi, karena dalam tawuran terdapat perilaku baik
fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti dan merugikan
orang lain. Masa Remaja merupakan masa manusia mencari jati diri. Pencarian
tersebut direfleksikan melalui aktivitas berkelompok dan menonjolkan
keegoannya.
Yang dinamakan
kelompok tidak hanya lima atau sepuluh orang saja. Satu sekolah pun bisa
dinamakan kelompok. Kalau kelompok sudah terbentuk, akan timbul adanya semacam
ikatan batin antara sesama kelompoknya untuk menjaga harga diri kelomponya.
Maka tidak heran, apabila kelompoknya diremehkan, emosianal-lah yang akan mudah
berbicara.
Pada fase ini, remaja
termasuk kelompok yang rentan melakukan berbagai perilaku negatif secara
kolektif (group deviation). Mereka patuh pada norma kelompoknya yang sangat
kuat dan biasanya bertentangan dengan norma masyarakat yang berlaku.
Penyimpangan yang
dilakukan kelompok, umumnya sebagai akibat pengaruh pergaulan atau teman.
Kesatuan dan persatuan kelompok dapat memaksa seseorang untuk ikut dalam
kejahatan kelompok, supaya jangan disingkirkan dari kelompoknya. Disinilah
letak bahayanya bagi perkembangan remaja yakni apabila nilai yang dikembangkan
dalam kelompok sebaya adalah nilai yang negatif.
Akibat Frustasi
Frustrasi terjadi
bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan,
kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan
salah satu cara berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah
akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur,
keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi
sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku
agresi.
Frustrasi yang
berujung pada perilaku agresi sangat banyak contohnya, salah satunya tawuran
pelajar yang terjadi di Jakarta ada kemungkinan faktor frustrasi ini memberi
sumbangan yang cukup berarti pada terjadinya peristiwa tersebut. Sebagai contoh
banyaknya anak-anak sekolah yang bosan dengan waktu luang yang sangat banyak
dengan cara nongkrong-nongkrong di pinggir jalan dan ditambah lagi saling ejek mengejek
yang bermuara pada terjadinya perkelahian.
Banyak juga
perkelahian disulut oleh karena frustrasi yang diakibatkan hampir setiap saat
dipalak (diminta uangnya) oleh anak sekolah lain padahal sebenarnya uang yang
di palak adalah untuk kebutuhan dirinya.
Frustasi yang muncul
dari akibat faktor luar menimbulkan perilaku agresi yang lebih besar
dibandingkan dengan halangan yang diebabkan diri sendiri. Hasil penelitian
Burnstein dan Worchel menyatakan bahwa frustasi yang menetap akan mendorong
perilaku agresi. Dalam hal ini, orang siap melakukan perilaku agresi karena
orang menahan ekspresi agresi. Frustasi yang disebabkan situasi yang tidak
menentu(uncertaint) akan memicu perilaku agresi semakin besar dibandingkan
dengan frustasi karena situasi yang menentu.
Informasi Adegan Kekerasan
Tidak dapat
dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan
adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan
yang bertema kekerasan. Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir
setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari
film kartun, sinetron, sampai film laga.
Selain itu ada pula
acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer
dikalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau
sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk
tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut
akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya.
Model pahlawan di
film-film seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindak
kekerasan. Hal ini sudah barang tentu membuat penonton akan semakin mendapat
penguatan bahwa hal tersebut merupakan hal yang menyenangka dan dapat dijadikan
suatu sistem nilai bagi dirinya. Dengan menyaksikan adegan kekerasan tersebut
terjadi proses belajar peran model kekerasan dan hal ini menjadi sangat efektif
untuk terciptanya perilaku agresi.
Selain model dari
yang di saksikan di televisi belajar model juga dapat berlangsung secara
langsung dalam kehidupan sehari-hari. Bila seorang yang sering menyaksiksikan
tawuran di jalan, mereka secara langsung menyaksikan kebanggaan orang yang
melakukan agresi secara langsung. Hal itu dapat memperkuat perilaku agresi
yang sangat efektif bagi dirinya.
Model kekerasan juga
seringkali ditampilkan dalam bentuk mainan yang dijual di toko-toko. Seringkali
orang tua tidak terlalu perduli mainan apa yang di minta anak, yang penting
anaknya senang dan tidak nangis lagi. Sebenarnya permainan-permainan sangat
efektif dalam memperkuat perilaku agresif anak dimasa mendatang.
Permainan-permainan
yang mengandung unsur kekerasan yang dapat kita temui di pasaran misalnya
pistol-pistolan, pedang, model mainan perang-perangan, bahkan ada mainan yang
dengan model Goilotine (alat penggal kepala sebagai hukuman mati di Perancis
jaman dulu). Mainan kekerasan ini bisa mempengaruhi anak karena memberikan
informasi bahwa kekerasan (agresi) adalah sesuatu yang menyenangkan.
Pengaruh Kualitas Lingkungan
Setidaknya ada 3
faktor lingkungan yang ikut membentuk pribadi agresif yaitu lingkungan sekolah,
keluarga dan lingkungan tempat tinggal.
1. Lingkungan Sekolah
Yang petama faktor
fisik lokasi sekolah seperti berdekatan dengan pusat-pusat hiburan/ keramaian,
kurangnya sistem pengamanan lingkungan, serta tidak tersedianya sarana yang
membuat anak-anak betah di sekolah. Selanjutnya adalah faktor psikoedukatif,
yaitu ketertiban dan kelancaran proses belajar-mengajar di sekolah. Selain itu
faktor efektivitas interaksi edukatif di sekolah juga berpengaruh pada perilaku
anak didik.
2. Rumah Tangga
Ketidakharmonisan
rumah tangga dan pola asuh yang tidak tepat (pola asuh keras menguasai maupun
pola membebaskan) serta hubungan dapat menyebabkan anak tidak betah di rumah
dan mencari pelampiasan kegiatan di luar bersama teman-temannya. Hal ini
tidak jarang menyeret mereka kepada pergaulan remaja yang tak sehat, seperti
perkelahian.
3. Kampung
Kondisi lingkungan
tempat tinggal yang tidak berkualitas, tidak nyaman dan tidak layak, akan
mempengaruhi remaja dalam menyikapi dan membangun hubungan dengan dunia
sekitarnya. Bagi remaja yang hidup di tempat kumuh dan kotor kemungkinan besar
mereka tidak akan nyaman tinggal di rumah sehingga akan melarikan diri dari kenyataan.
Pada kondisi inilah remaja mudah tergiur untuk berbuat menyimpang karena lepas
dari norma dan pengawasan di rumah .
Remaja yang tidak
merasa dihargai, tidak dipahami, dan tidak diterima seperti apa adanya oleh
orangtua di rumah juga akan cenderung untuk lari dari situasi riil. Dalam
kondisi ini remaja yang secara psikologis mudah goyah dalam
pendirian akan mudah terangsang untuk
berperilaku menyimpang.
Penanggulangan
masalah tawuran pelajar tidak bisa diserahkan kepada penyelenggara pendidikan
(sekolah) dan lembaga keamanan - ketertiban (polisi) saja, akan tetapi menjadi
tanggungjawab seluruh komponen masyarakat dari lembaga sosial paling dekat
yaitu keluarga sampai pimpinan daerah pengambil kebijakan pengelolaan wilayah.
Dari segi penegakan hukum dan pembinaan pelaku tawuran atas kasus perkasus
harus tetap dilaksanakan supaya tawuran tidak terulang.
Faktor-faktor yang
ikut mempengaruhi perkembangan perilaku agresif pada anak harus segera
ditangani, pembinaan pembentukan karakter positif anak didik perlu mendapat
porsi yang lebih.
Semoga
Bermamfaat, Syukran Jazakumullahu Khairan@
0 Response to "Realitas Pendidikan Indonesia: Mengapa Pelajar Tawuran?"
Post a Comment