Realitas Pendidikan Indonesia: Lindungi Anak Dari Kekersan Seksual
Oleh: Muhammad Akbar
Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas
Negeri Makassar
Akbarusamahbinsaid.@gmail.com
Anak Sebagai Kelompok Rentan
HAM sebagai hak
universal umat manusia, pemenuhannya bukan saja membutuhkan kerja keras dan
perjuangan, tapi kemajuannya pun selalu memerlukan pengawasan agar selalu
bersesuaian dengan perikemanusiaan dan kemajuan zaman. Demikian halnya dengan
perlindungan dan pemenuhan hak anak Indonesia. Perlindungan terhadap anak
Indonesia bukan saja bagaimana agar mereka memperoleh haknya sebagaimana
mestinya, supaya dapat tumbuh kembang dengan optimal. Adakalanya ancaman
terhadap hak anak justru masuk dari ruang-ruang hak anak itu sendiri, misalnya
kebebasan informasi yang belakangan ini bisa dengan mudah diakses oleh anak
melalui berbagai media dan sarana.
Tantangan
perlindungan anak Indonesia kemudian adalah bagaimana mewujudkan pemenuhan hak
anak, namun sekaligus dalam waktu yang bersamaan mampu memberikan perlindungan
kepada anak dari bahaya yang mengintai mereka, dimana pada akhirnya dapat
menjauhkan anak dari ancaman perampasan hak anak sehingga anak Indonesia dapat
tumbuh dan berkembang dengan optimal. Inilah barangkali yang membuat
perlindungan anak menjadi lebih spesifik bila dibandingkan dengan pemenuhan HAM
pada umumnya, saya mengistilahkannya dengan HAM murni.
Istilah HAM murni
memang tidak dikenal dalam dokumen HAM. Hal ini semata-mata sebagai ungkapan
pembedaan antara HAM sebagaimana diatur dalam DUHAM, KHA, dan instrumen HAM
lainnya, dengan perlindungan HAM bagi kelompok rentan khususnya perempuan dan
anak Indonesia. Kita mengenal non derogable right (hak yang tidak dapat
dikurangi) dan derogable right (hak yang dapat dikurangi). Akan tetapi
pengurangan hak secara bersamaan dengan perlindungan hak yang dimaksudkan bagi
individu yang sama belum banyak dibicarakan. Padahal dalam perlindungan anak
kita mendapati ada pengurangan hak anak untuk melindungi anak dari perampasan
hak-haknya, dengan mempertimbangkan kebutuhan yang terbaik bagi anak untuk
tumbuh kembang.
Inilah kemudian yang
menimbulkan istilah “HAM anak” dengan “HAM murni”. Namun demikian, yang menarik
bukanlah soal semantik dan terminologi “HAM murni” sebagaimana diulas dalam
beberapa jejaring sosial, sebagai kelanjutan diskusi di Cikini – Jakarta Pusat
beberapa waktu lalu.
Bagi Indonesia,
perlindungan terhadap anak sebagai kelompok rentan sangat memerlukan
langkah-langkah afirmatif, yang barangkali bila dikembalikan kepada dokumen HAM
internasional bisa mengalami ketidaksesuaian. Misalnya saja, Mukadimah DUHAM
menyebutkan “… HAM yang mendasar, terhadap martabat dan nilai setiap manusia,
dan terhadap persamaan hak laki-laki dan perempuan….”. Di Indonesia kita
mengenal “quota 30% perempuan” sebagai upaya kesetaraan dan keadilan gender.
Dulu sempat ada yang
mengatakan bahwa langkah afirmatif tersebut tidak sesuai dengan kaidah-kaidah
HAM bagi gender lain karena dianggap tidak mencerminkan persamaan hak laki-laki
dan perempuan, akan tetapi langkah semacam itu diperlukan sebagai upaya awal
mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam aspek yang lebih luas.
Begitu pula dengan
perlindungan anak, disatu sisi kita mengetahui bahwa ada kebebasan bagi anak untuk
memperoleh informasi. Akan tetapi disisi lain, derasnya informasi menjadikan
banyak orang tua risau dengan masa depan dan lingkungan anaknya. Sebab bila
orang tua kurang cermat dalam memberikan informasi atau membiarkan anaknya
mengkonsumsi suatu informasi yang tidak sesuai dengan usia dan kebutuhannya,
maka dapat menyebabkan terganggunya tumbuh kembang anak. Disinilah barangkali
pangkal tolak kenapa pemenuhan hak anak di Indonesia menjadi lebih spesifik dan
perlu ada sosialisasi dan pembahasan yang lebih mendalam tentang HAM Anak yang
“derogable”, ditunda dengan mempertimbangkan kesusilaan dan kepatutan serta
kecerdasan anak.
Negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga dan orang tua perlu memiliki perspektif yang sama mengenai
hak anak yang dapat dikurangi pada HAM anak. Mengingat tanggungjawab
perlindungan anak dalam kesehariannya lebih banyak pada orang tua, maka orang
tua sewajarnya menjadi ujung tombak perlindungan anak sebagaimana DUHAM
mengatur dalam pasal 26 ayat 2 berbunyi ” orang tua mempunyai hak pertama untuk
memilih jenis pendidikan yang akan diberikan pada anaknya”.
Artinya orang tua
bisa memutuskan kepentingan yang terbaik bagi anak-anaknya, terutama dalam hal
informasi dan pendidikan. Oleh sebab itu UU No. 23/2002 pasal 10 membuat
ketentuan yang berbunyi “setiap anak berhak menyatakan dan didengar
pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai
kesusilaan dan kepatutan.”
Melindungi Anak Dari Kekerasan Seksual
Ketika menjadi
narasumber dalam suatu diskusi yang mengambil tema “Darurat Kekerasan Seksual
pada Anak” dimana dalam kesempatan itu ada pertanyaan yang sempat dilontarkan
kepada saya, perlukah anak memperoleh informasi dan pendidikan tentang
keberagaman orentasi seksual? Dalam kesempatan itu saya menjawab bahwa anak –
dalam UU No 23/ 2002 tentang perlindungan anak adalah ia yang berusia antara
0-18 tahun – belum perlu memperoleh informasi dan pendidikan tentang
keberagaman orentasi seksual.
Pertanyaan tersebut
dimaksudkan untuk mengetahui pandangan KPAI terhadap kejahatan seksual pada
anak dari perspektif keberagaman orentasi seksual seperti lesbian, gay,
biseksual, dan transeksual. Mengingat beberapa waktu sebelumnya ada pernyataan
dari salah satu komisioner KPAI yang dipandang menyamakan pelaku kekerasan
seksual dengan mereka yang memiliki orentasi seksual berbeda. Tulisan ini
barangkali bisa menjadi bahan diskusi lebih jauh bagaimana melindungi anak dari
kekerasan seksual.
Anak sebagai sosok
individu juga tidak bisa dipisahkan dengan kontruksi sosial yang dipengaruhi
oleh lingkungan, baik keluarga, pendidikan maupun lingkungan keseharian anak
itu sendiri. Sebagai produk kontruksi sosial, seharusnya anak memang
mendapatkan informasi yang cukup terlebih dahulu tentang relasi keluarga secara
utuh, baru tentang relasi sosial kemasyarakatan dimana infomasi tentang
keberagaman orentasi seksual termasuk di dalamnya.
Dan menurut pendapat
saya, pemahaman dan pengenalan tentang kesehatan reproduksi lebih menjadi
prioritaspilihaninformasibagianak. Hal ini juga mengacu pada UU No.1/1974 yang
masih mengatur perkawinan usia 16 tahun bagi perempuan. Selain daripada itu,
anak sebagai individu pada umumnya, terutama bagi mereka yang akan beranjak
memasuki usia pernikahan, membutuhkan informasi dan pendidikan yang cukup
dimana seksualitas itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan
tanggungjawab.
Dilakukan dengan
penuh kesadaran artinya seks harus dilakukan tanpa paksaan dan dilandasi cinta
kasih, agar ia menjadi individu yang bebas dari kejahatan dan kekerasan
seksual. Sedangkan dilakukan dengan tanggungjawab merupakan pondasi kesadaran
bahwa ia akan menjadi orang tua yang didalamnya melekat sejumlah kewajiban dan
tanggungjawab, baik terhadap Tuhan maupun anak keturunan yang akan hadir
sebagai generasi penerus. Bahkan lebih daripada itu, ia juga harus memiliki
rasa tanggungjawab kepada bangsa dan negara sebagai bagian dari tanggungjawab
sosial. Walau bagaimanapun peradaban umat manusia dengan kemanusiaannya
ditentukan oleh peradaban bangsa-bangsa, keluarga dan individu yang ada di
dalamnya.
Dalam konteks yang
demikian, sesungguhnya informasi terhadap keberagaman orentasi seksual pada
anak bisa terjadi secara alamiah seiring dengan tumbuh kembang anak (kedewasaan)
dan faktor lingkungan. Untuk itu, orang tua, guru dan tokoh masyarakat perlu
memberikan informasi edukatif apabila ada anak yang memberikan pertanyaan
tentang keberagaman orentasi seksual sehingga tidak memiliki pemahaman yang
salah dan bisa terjerumus kedalam kekerasan.
Singkatnya, pemenuhan
hak anak tetap harus bersendikan pada kebutuhan yang sesuai dengan usia anak
untuk dapat tumbuh kembang dengan optimal. Oleh sebab itu, perlindungan anak
menjadi tanggungjawab semua pihak, mulai dari kedua orang tua, keluarga,
lingkungan masyarakat, lembaga pendidikan, ormas, lsm, media massa, pemeritah
maupun negara.
Kekerasan Dan Kekerasan Seksual
Kekerasan terhadap
anak pada umumnya dibagi dalam 4 kategori yaitu kekerasan fisik, emosional,
penelantaran, dan kekerasan seksual. Adapun kekerasan itu sendiri dapat
diartikan sebagai “penggunaan kekuatan fisik atau kekuasaan, ancaman atau
tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau
masyarakat yang kemungkinan besar mengakibatkan memar, trauma, kematian, dampak
psikolgis, kelainan perkembangan atau perampasan hak”.
Sedangkan kekerasan
seksual dapat diartikan sebagai “bentuk kontak seksual atau bentuk lain yang
tidak diinginkan secara seksual.” oleh sebab itu, kekerasan seksual cenderung disertai
tekanan psikologis atau fisik. Sebagian ahli membedakan perkosaan dengan
kekerasan seksual karena dianggap spesifik dimana perkosaan didefinisikan
sebagai penetrasi seksual tanpa izin atau dengan paksaan, bisa disertai dengan
kekerasan fisik.
Dengan demikian,
kekerasan seksual bisa juga dipahami dengan pemaksaan kontak seksual secara
tidak wajar atau semua hal yang dimaksudkan untuk menstimulasi secara seksual. Maraknya
kekerasan seksual pada anak sesungguhnya bila ditelaah secara mendalam maka pelaku
kekerasan seksual berdasarkan usia dan subyeknya bisa dibagi dalam empat
kategori, yaitu:
Pelaku Adalah Anak Dan Berjenis Kelamin
Berbeda Dengan Korban
Kekerasan seksual
semacaminiseringkaliterjadi akibat anak mendapatkan stimulasi untuk menjadi
pelaku kekerasan seksual, biasanya setelah terpapar oleh konten pornografi atau
memperoleh informasi yang salah dimana kemudian anak pelaku tidak
menemukantempat untuk mengkonfirmasi kepada orang tua atau pihak yang lebih
bertanggungjawab. Oleh sebab itu, pola hubungan komunikasi antara anak dengan
orang tua bisa turut memberi andil kepada perilaku seks pranikah yang bisa
dialami oleh anak.
Sebab, adakalanya
anak melakukan kekerasan seksual dengan maksud untuk menirukan suatu adegan
tertentu yang belum tentu mereka pahami maksudnya. Walaupun ada juga kejadian
akibat pergaulan anak remaja dimana biasanya dilakukan dengan bujuk rayu yang
lebih cenderung mengarah pada “silent crime” atasnama cinta, sayang, dan
sejenisnya.
Pelaku Adalah Orang Dewasa Dan Berjenis
Kelamin Berbeda Dengan Korban
Kejahatan seksual
jenis ini pelakunya seringkali adalah orang-orang yang dikenal oleh korban,
bisa keluarga, tetangga, guru atau orang terdekat dari korban. Oleh sebab itu,
penting untuk memberikan pengertian kepada anak bahwa bagian- bagian tertentu
dari anatomi tubuhnya tidak boleh disentuh, dipegang atau diraba oleh orang
lainsebagai upaya preventif untuk menghindarkan anak dari kekerasan seksual.
Pelecehan seksual
anak merupakan gambaran untuk suatu kejadian yang menggambarkan tindak kriminal
dimana orang dewasa terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak untuk tujuan
kepuasan seksual atau eksploitasi seksual. Walaupun beberapa pelaku masih dapat
didiagnosa sebagai pedofilia, akan tetapi kejahatannya pada anak tetap tidak bisa
ditolerir.
Pelaku Adalah Anak Dan Berjenis Kelamin
Sama Dengan Korban
Dalam kasus kekerasan
seksual semacam ini, anak biasanya telah mengalami stimulan sebelumnya, apakah
hal itu dari film, gambar, bacaan, cerita, atau bahkan melihat secara langsung,
atau pernah menjadi korban kekerasan seksual serupa. Disinilah barang kali
pangkal tolak pandangan bahwa keberagaman orentasi seksual kemudian
dipersepsikan seolah sama dengan pelaku kekerasan seksual, walaupun tidak
selaludemikian.
Pelaku Adalah Orang Dewasa Dan Berjenis
Kelamin Sama Dengan Korban
Dalam konteks
kejahatan seksual semacam ini sesungguhnya mengandung unsur paksaan atau bujuk
rayu, karena anak tidak dalam posisi menyetujui aktivitas seksual dengan orang
dewasa. Seorang dewasa yang terlibat aktivitas seksual dengan anak berarti
melakukan tindak pidana, tidak bermoral dan tidak bisa dianggap normal sehingga
tidak bisa diterima secara sosial. Dan praktek kejahatan seksual semacam ini
bisa menyebabkan anak korban menjadi pelaku, multiplyer effect, terutama bila
korban memilih diam sehingga tidak ditangani dengan benar atas trauma yang
dialami.
Segala bentuk
kekerasan seksual yang terjadi pada anak patut menjadi perhatian bersama
mengingat disana seringkali ada ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dengan
korban yang membuat korban sulit untuk mengungkap kejadian dan pelakunya dengan
berbagai faktor seperti malu, stress, depresi, gelisah dan jenis trauma
psikologis dan fisik lainnya. Anak sebagai korban kekerasan seksual yang tidak
tertangani dengan baik dampaknya bisa sangat serius, sebab selain trauma yang
dapat mengganggu proses tumbuh kembangnya, seorang anak yang menjadi korban
kekerasan seksual bisa menjelma menjadi pelaku kekerasan seksual berikutnya.
SAVE OUR CHILD FROM SEXUAL ABUSE…….!!!!!!!
Semoga
Bermamfaat, Syukran Jazakumullahu Khairan@
By
:
Maria Advianti
Wakil Ketua KPAI
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Jl. Teuku Umar No. 10-12 Jakarta Pusat
Kantor : 021 31901446
Fax : 021 3900838
Hp : 082125555905
Maria Advianti
Wakil Ketua KPAI
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Jl. Teuku Umar No. 10-12 Jakarta Pusat
Kantor : 021 31901446
Fax : 021 3900838
Hp : 082125555905
0 Response to "Realitas Pendidikan Indonesia: Lindungi Anak Dari Kekersan Seksual"
Post a Comment