Realitas Pendidikan Indonesia: Peta Permasalahan Perlindungan Anak Indonesia
Oleh: Muhammad Akbar
Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas
Negeri Makassar
Berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan anak telah diterbitkan.
Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah diatur
dengan jelas tentang perlindungan anak sampai kepada aturan sanksi pidana bagi
yang melanggar hak anak. Dalam Undang-Undang tersebut juga dijelaskan bahwa
penyelenggaraan perlindungan anak adalah orang tua, keluarga, pemerintah dan
negara.
Merebaknya berbagai
kasus perlindungan anak tentu saja memprihatinkan kita semua. Keluarga sebagai
institusi utama dalam perlindungan anak ternyata belum sepenuhnya mampu
menjalankan peranannya dengan baik. Kasus perceraian, disharmoni keluarga,
keluarga miskin, perilaku ayah atau ibu yang salah, pernikahan sirri, dan
berbagai permasalahan lainnya menjadi salah satu pemicu terabaikannya hak-hak
anak dalam keluarga.
Ironisnya lagi, dalam
institusi sekolah juga kerap terjadi tindak kekerasan maupun diskriminasi
pendidikan pada anak. Demikian pula pada institusi sosial lainnya seperti
yayasan/panti, nampak masih belum sama dalam memaknai kepentingan terbaik bagi
anak. Bahkan pada penanganan anak yang berhadapan hukum, hak-hak anak masih
perlu terus mendapatkan perhatian.
Pada kenyataannya,
berbagai persoalan pelanggaran hak anak kerap masih terjadi dan dianggap biasa
oleh masyarakat kita, bahkan kalau diperkirakan cenderung meningkat seiring
dengan meningkatnya masalah kritis seperti kemiskinan, ketidakadilan, kerawanan
bencana baik bencana alam maupun bencana sosial, akses pornografi dan
pornoaksi, disintegrasi bangsa, sindikat perdagangan narkoba dan sebagainya.
Berita dari berbagai
media baik media cetak, online maupun elektronik terhadap amaraknya kasus
tindakan kekerasan pada anak maupun anak yang berhadapan hukum merupakan
informasi yang tidak dapat disangkal bahwa kasus-kasus tersebut sering
menghiasi pemberitaan di media massa. Belum lagi kasus yang tidak terungkap,
karena luput dari pemberitaan media atau memang sama sekali tidak ada yang
mengetahui maupun melaporkan tentang pelanggaran terhadap hak anak tersebut.
Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI), seperti yang diamanatkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, juga bertugas menerima pengaduan masyarakat yang berkaitan
dengan perlindungan anak. Melalui Bidang Data dan Pengaduan yang dibentuk oleh
KPAI, berbagai macam kasus–kasus perlindungan anak terus mengalir datang dan
diadukan kepada KPAI.
Pada sisi lain,
perlindungan terhadap anak yang terlibat tindak pidana pelanggaran hukum sering
diperlakukan seperti orang dewasa. Hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap
hak anak. Tindak kekerasan terhadap anak semakin bervariasi ragam, bentuk, dan
tempatnya, mulai terjadi dari lingkungan rumah tangga, yayasan/panti asuhan,
sekolah, pondok pesantren, dan tempat umum lainnya (jalanan, terminal,
stasiun), yang tidak banyak diketahui kejadiannya, karena kurangnya kepedulian
masyarakat terhadap perlindungan anak.
Berbagai permasalahan
perlindungan anak yang terjadi di Indonesia dapat dilihat dari berbagai bidang
perlindungan anak, diantaranya :
Bidang
Hak Sipil Dan Kebebasan
a. Akta kelahiran merupakan hak dasar
setiap anak yaitu hak atas pengakuan sah suatu negara terhadap keberadaannya.
Basis hak ini tidak hanya berdasarkan pertimbangan status kewarganegaraan,
tetapi terkait erat dengan aspek proteksi berlangsungnya tumbuh kembang anak
dalam setiap fase perkembangan. Menurut UUD 1945, Pasal 28B ayat (2) : “Setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dalam beberapa kasus, anak yang
tidak memiliki akte kelahiran sering memunculkan perlakukan salah seperti;
pemalsuan identitas, dan semacamnya. Kondisi ini semakin meneguhkan pihak
negara dan pemerintah perlunya political will terhadap pemenuhan akte
kelahiran.
b. Di pihak lain, UU No. 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 27 ayat (1) menegaskan “Setiap
kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada instansi pelaksana ditempat
terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak
kelahiran. Pasal 32 ayat (2) : “Pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu
1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan
penetapan Pengadilan Negeri”.
Sementara, menurut UU
No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 27 ayat (1) : “Identitas
diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya”. Sementara Pasal 28 ayat
(1) menegaskan “Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab Pemerintah yang
dalam pelaksanaannya di selenggarakan serendah–rendahnya pada tingkat
kelurahan/desa. Kemudian, pada Pasal 28 ayat (3) : “Pembuatan akta Kelahiran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai biaya. Dengan demikian jika
mengintegrasikan dua pasal tersebut, makna yang terkandung di dalamnya adalah
posisi pemerintah menjadi “pemenuh”, dan bukan “sekedar membuat atau mencetak
akte kelahiran”.
Perspektifnya adalah
pendekatan “right” bukan “need”. Karena, jika akte kelahiran menjadi “right”
anak, maka dalam kondisi apapun, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, negara
dan pemerintah wajib memenuhi akte kelahiran anak, tanpa pungutan biaya.
Dengan demikian,
klausul “tidak dikenai biaya” dalam pasal tersebut di atas secara substantif
telah menanggalkan “perilaku liar” yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam
proses penerbitan akte kelahiran dengan dalih “uang administrasi”. Karena
“tafsir yuridis tidak dipungut biaya”, itu sama dengan “gratis”, dan tak ada
makna lain selain itu. Meskipun istilah “gratis” sendiri sebenarnya dapat pula
dipahami negatif, seolah-olah “pemerintah sebagai dewa bagi warganya”, padahal
sejatinya bukan itu, “pemerintah hanyalah sebagai eksekutor dari konstitusi
untuk memenuhi hak warganya”.
c. Meski demikian, pada level
operasional, pemerintah terhambat oleh kendala ketidakharmonisan konstitusi.
Jika berkaca pada UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 28
intinya “Pembuatan akta kelahiran gratis dan menjadi tanggungjawab pemerintah”.
Sementara dalam UU
No. 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemudian
diubah dengan UU No. 34 tahun 2000 dan ditindaklanjuti dengan PP 66/2001 :
Daerah diberi kewenangan memungut retribusi penggantian biaya cetak KTP dan
akta Capil (termasuk akta kelahiran). Dalam konteks ini menandakan adanya
kelemahan pada level konstitusi yang inkonsisten.
d. Selain itu, masalah inkonsistensi
dengan semangat pemenuhan akte kelahiran gratis yang diamanatkan undang-undang
terjadi di beberapa daerah. Dengan dalih lebih dari 60 hari, kemudian alasan
urutan anak ke dua, ketiga, dan seterusnya.
Dalam beberapa kasus
daerah yang memiliki Peraturan Daerah (Perda) Gratis, tetapi di dalamnya
terdapat klausul kebijakan mengikat bahwa untuk anak kedua dan ketiga
penerbitan akta kelahiran dipungut biaya. Apakah kebijakan demikian senafas
dengan Undang-undang?. Bukankah suatu Perda seharusnya tidak bertentangan
dengan undang-undang?. Bagaimana sesungguhnya konsistensi kebijakan pemenuhan
akta kelahiran gratis yang menjadi mandat konstitusi?.
e. Di pihak lain, pada level kelompok
kebijakan, hasil monitoring dan evaluasi, tergambar bahwa banyak persoalan yang
terkait dengan masalah pelaksanaan prinsip Pendaftaran Penduduk (Population
Administration) yang tidak sejalan dengan prinsip Pencatatan Sipil, khususnya
mengenai makna pemberian status hukum otentik kepada anak yang juga merupakan
bagian tidak terpisahkan dari.
Perlindungan Anak (baik
ditegaskan oleh KHA maupun UU PA). Jalan keluar untuk mengatasi kerumitan
tersebut kelihatannya hanya bisa dicarikan melalui revisi berbagai Peraturan
Perundang-undangan yang berlawanan dengan semangat Perlindungan Anak. Salah
satu ganjalan utama adalah interpretasi yang seringkali sepihak oleh pihak
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan mendasarkan diri kepada UU
Adminduk (UU No. 23 Tahun 2006) dan peraturan turunannya (seperti PP No. 37
Tahun 2007, Perpres No. 25 Tahun 2008 dan berbagai Peraturan Menteri Dalam
Negeri).
Meskipun sudah ada
upaya untuk mencari jalan keluar atas berbagai hambatan yang terjadi selama
ini, misalnya melalui Nota Kesepahaman 8 Menteri, namun di lapangan Nota
Kesepahaman ini belum tersosialisasi dengan baik, bahkan ada juga daerah yang
memilih jalan aman dengan tetap mengacu kepada prosedur standar yang banyak
hambatannya kepada anak tersebut.
Dengan demikian,
upaya terpenting yang perlu dilakukan adalah merevisi Peraturan
Perundang-undangan yang ada sebagai prioritas, mengingat pelaksana di lapangan
cenderung menerapkan aturan secara kaku sesuai dengan bidang masing-masing
tanpa mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang bersifat prinsip,
seperti misalnya kepada masalah Perlindungan Anak yang seharusnya menjadi butir
yang masuk ke semua (cross-cutting) permasalahan yang ada.
Bidang Keluarga Dan
Pengasuhan Alternatif
Masalah pokok
perlindungan anak bidang keluarga dan pengasuhan alternatif di dominasi oleh
kasus-kasus yang berakar dari kerentanan keluarga baik rentan secara ekonomi,
sosial, kemasyarakatan dan religiusitas keagamaan, diantaranya :
a. Penelantaran Anak menjadi masalah
serius dan seperti fonomena gunung es, yang terus menunjukan tren peningkatan.
Kasus-kasus penelantaran anak memiliki motif yang sangat beragam, kasus yang
dominan adalah kasus anak jalanan, pembuangan dan penelantaran bayi serta anak
telantar karena orang tua bekerja.
b. Perebutan Hak Kuasa Asuh Anak,
perceraian orang tua adalah sumber dari masalah perebutan hak kuasa asuh anak.
Kasus perceraian tidak lepas dari rendahnya kualitas perkawinan, maraknya
perkawinan siri, kawin kontrak, perkawinan campuran dan perkawinan di usia dini
menjadi sumber masalah perceraian, pada hal semestinya perkawinan adalah sebuah
perjanjian luhur antara dua insan yang salah satu fungsinya merupakan lembaga
reproduksi untuk mempertahankan dan melanjutkan keberlangsungan kehidupan yakni
lahirnya keturunan (anak).
c. Angka perkawinan dini, di Indonesia
secara nasional sangat tinggi, yakni mencapai 34,5 %. Dengan jumlah angka
perkawinan mencapai 2,5 juta pasangan pertahun, berarti ada sekitar 600
pasangan perkawinan dini.
Tinginya angka
perkawinan di usia dini sangat memprihatinkan dan mengkawatirkan karena
perkawinan dini diduga menjadi salah satu penyebab tinginya angka kematian bayi
di Indonesia yakni 34/1000 perkawinan. Banyak perkawinan dini dilakukan pada
usia 11-13 tahun, yang secara fisik belum siap untuk reproduksi. Perkawinan
dini sebagian besar dilakukan tanpa pencatatan oleh negara (nikah siri) karena
petugas pencatat perkawinan (penghulu) tidak bersedia mencatat karena tidak
sesuai dengan UU Perkawinan.
d. Perwalian dan Pengangkatan Anak,
Praktek perwalian dan pengangkatan anak mayoritas dilakukan secara adat,
sehingga proses pengangkatan anak tidak diputuskan melalui putusan pengadilan
dan mayoritas tidak tercatat di dinas sosial, sehingga berakibat pada kaburnya
silsilah keluarga anak dan juga berpengaruh terhadap hak kewarisan anak.
Perkawinan campuran
berbeda kewarganegaraan juga memunculkan masalah perwalian, karena menyangkut
keabsahan kewarganegaraan anak yang dilahirkan, maka diperlukan kejelian hakim
dalam memutuskan perwalian anak dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi
anak.
e. Rendahnya Kualitas Lembaga
Pengasuhan Alternatif, Berdasarkan penelitian Save The Children, Unicef dan
Kementerian Sosial Republik Indonesia pada tahun 2007 terdapat 5.000-8.000
lembaga pengasuhan alternatif di Indonesia dalam bentuk Panti Asuhan Anak.
Penyelenggara panti
asuhan anak ini mayoritas dimiliki oleh masyarakat yakni sebesar 99% dan hanya
40 panti asuhan anak yang dimiliki oleh pemerintah. Anak-anak ditempatkan di
Panti asuhan didasarkan atas alasan kemiskinan yakni sebesar 90% dan karena
alasan yatim piatu sebesar 6%. Kualitas panti asuhan masih sangat rendah, rasio
perbandingan pengasuh dengan anak yang di asuh tidak se imbang, kualitas
pengasuh panti tidak sesuai standar, bahkan kasus kekerasan anak dengan dalil
penegakan disiplin dan agama juga ditemui dalam sistem pengasuhan berbasis
panti. Sarana prasarana yang terbatas menyebabkan anak tidak dalam situasi yang
lebih baik berada di panti asuhan.
Bidang
Kesehatan Dan Kesejahteraan Dasar
a. Gizi Buruk, Gizi buruk merupakan
masalah yang perlu mendapat perhatian dan penanganan cepat dan menjadi
pekerjaan utama bagi Pemerintah dan Negara.
Saat ini belum adanya
suatu penanganan gizi buruk yang holistik menyebabkan kasus gizi buruk
dikalangan balita semakin meningkat. Berdasarkan data Prevalensi Balita kurang
gizi dan buruk menurut indicator berat badan di Indonesia tahun 2010
menunjukkan 4,9 balita Indonesia kurang gizi dari jumlah populasi anak usia 0-4
tahun sebesar 21.571.500.
b. Pelayanan kesehatan, pelayanan
kesehatan yang masih rendah perlu mendapatkan perhatian lebih, karena masih ada
pelayanan kesehatan yang mengabaikan hak anak. Setiap anak berhak mendapatkan
pelayanan kesehatan karena mnerupakan hak asasi anak.
Sering kali rumah
sakit maupun kilinik pegobatan yang masih mengabaikan pelayanan kepada keluarga
yang tidak mampu seperti keluarga yang memiliki Jamkesmas muapun Jampersal.
Tidak jarang anak yang kurang mendapatkan pelayanan yang diakibatkan karena
tidak memilki uang jaminan di rumah sakit. Disisi lain ada juga anak yang
kehilangan nyawa karena kelalaian dan terlambat dalam penanganan.
c. Anak korban Narkoba dan HIV/AIDS,
masalah narkoba merupakan masalah yang tidak saja terjadi dikalangan orang
dewasa saja, tetapi juga dialami oleh anak-anak. Berbagai hasil penelitian
menunjukkan angka penggunaan narkoba di Indonesia semakin meningkat, serta
penyalahgunaan banyak terjadi pada anak dan remaja.
Data BNN 2010
menyebutkan, pengguna narkoba mencapai 3,6 juta orang. Rinciannya generasi muda
dan usia produktif adalah pengguna narkoba terbanyak. Mereka terdiri dari
mahasiswa dan pelajar berjumlah 921.695. Sementara sebanyak 17.734 pengguna
narkoba mendapat terapi dan rehabilitasi pada 2010.
d. Rokok, jumlah perokok pada kalangan
anak dan remaja meningkat terus setiap tahunnya. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia memperkirakan ada 21 juta anak Indonesia menjadi perokok dan
meningkat setiap tahunnya.Jumlah anak merokok mulai meningkat mulai 2001.
Tahun ini
diperkirakan ada kenaikkan hingga 38 persen dari jumlah anak yang merokok di
Indonesia, tingkatnya diperkirakan mencapai 80 persen. Prevalensi anak merokok
di Indonesia sudah pada tingkat sangat memprihatinkan. Kini usia prevalensi
anak merokok bergeser hingga usia tujuh tahun. Karena itu, harus segera dikeluarkan
larangan merokok bagi anak-anak.
e. Pemberian ASI dan Susu Formula,
Target MDG4 adalah menurunkan angka kematian bayi dan balita menjadi 2/3 dalam
kurun waktu 1990 – 2015. Penyebab utama kematian bayi dan balita adalah diare
dan pneumonia dan lebih dari 50% kematian balita didasari oleh kurang gizi.
Pemberian ASI secara
eklusif selama 6 bulan dan diteruskan sampai usia 2 tahun disamping pemberian
makanan pendamping ASI (MP ASI) secara adekuat terbukti merupakan salah satu
intervensi efektif dapat menurunkan AKB. Dalam pelaksanaannya tidak semua aktor
melaksanakan kebijakan tersebut dengan bukti cakupan pemberian ASI eklusif
masih rendah dibawah target nasional (80%).
Bidang
Pendidikan, Rekreasi Dan Aktivitas Budaya
a. Masalah Ujian Nasional (UN). Posisi
KPAI dalam menyikapi UN tetap memberikan suara kritus, karena banyaknya
pengaduan masyarakatkan yang mengeluhkan UN yang telah menjelma menjadi bentuk
kekerasan psikis terhadap anak. Tidak sedikit anak yang stress, jatuh sakit,
bahkan bunuh diri saat menghadapi UN.
Oleh karena itu KPAI
akan terus berada pada posisi kritis agar evaluasi pendidikan lebih kredibel
dan akuntabel. Dalam pandangan KPAI, UN akan memiliki nilai akuntabilitas
tinggi apabila dilaksanakan oleh sekolah sesuai dengan semangat otonomi
sekolah, sementara Pemerintah bertindak sebagai pengawas dan membuat
rambu-rambu standar kualitas. UN yang dipaksakan bertentangan dengan perspektif
“Sekolah Ramah” anak, di mana sejak dari masuk pertama, proses belajar
mengajar, hingga evaluasi anak harus mengikuti dengan rasa gembira.
b. Minimnya sarana dan prasarana
pendidikan, penyediaan anggaran 20% dari APBN dan APBD untuk pendidikan juga
belum sepenuhnya terealisasi. Terlebih khusus alookasi anggaran untuk sarana
dan prasarana yang sangat minim. Sehingga masih banyak ditemukan sekolah dengan
kondisi bangunan tidak layak pakai dan minim sarana serta prasarana pendukung
lainnya.
Terlebih untuk
sekolah non formal yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Akhir-akhir
ini sering kita jumpai gedung sekolah yang roboh atau mengalami kerusakan yang
parah. Berdasarkan investigasi yang dilakukan terhadap banyanknya sekolah
rusak, 80% diantarnya karena kondisi fisik bangunan yang sudah tua. Sementara
sisanya diakubatkan kondisi konntruksi dan faktor alam.
c. Diskriminasi Pendidikan, Hak anak
untuk mengakses pendidikan sering tidak didapat diantaranya akibat adanya
sistem penerimaan siswa berbasis nilai dan mekanisme seleksi yang penyebarannya
tidak berdasar Rayon. Hal ini menyebabkan calon siswa yang tidak memenuhi
kualifikasi tidak bisa diterima di sekolah yang diharapkan.
Pemberlakuan
mekanisme seleksi siswa baru yang ketat ini juga terjadi pada sekolah negeri.
sehingga calon siswa dari kalangan miskin yang tidak memenuhi kualifikasi
terpaksa harus sekolah di sekolah swasta yang biaya pendidikannya lebih mahal
dibanding sekolah negeri. Akibat lain mekanisme seleksi ini menyebabkan ada
beberapa sekolah yang terkesan menerima siswa kelas buangan.
d. Kekerasan dilingkungan pendidikan,
lingkungan pendidikan yang seharusnya bisa memberikan kenyamanan bagi seorang
anak ternyata belum sepenuhnya benar. Salah satu kasus yang pernah ada yaitu
terjadinya kekeran psikis yang dilakukan oleh seorang oknum guru kepada
muridnya di salah satu sekolah dasar swasta di Depok.
Dimana karena kesalan
kecil seorang murid yang sedang saling ejek dengan murid lainnya dihukum dengan
mengambil beberapa butir kotoran kambing dan harus dating ke tiap-tiap kelas
dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 sambil minta maaf di depan kelas. Sementara
kasus kekerasan fisik juga banyak terjadi di lingkungan sekolah.
Baik kekerasan
tersebut melibatkan antara penyelenggara pendidikan dengan anak didik, ataupun
kekerasan antar anak didik itu sendiri. Masih banyak ditemukan kekerasan psikis
dan fisik dalam penyelengggaraan MOS. Kekerasan ini seakan-akan telah menjadi
tradisi turun menurun sebagai warisan budaya negative. Salah satu pemicu
terjadinya kekerasan disekolah karena lemahnya unsur moralitas, keagamaan dan
karakter dalam kurikulum pendidikan ataupun lemahnya pengawasan di lingkungan
Keluarga.
e. Kesadaran orang tua yang rendah,
hingga saat ini WAJARDIKDAS 9 tahun belum tercapai secara maksimal sesuai
dengan prioritas pemerintah. Hal ini disebabkan oleh
Rendahnya tingkat
pendidikan orangtua dan rendahnya kesadaran orang tua terhadap pendidikan
anaknya tanpa memberikan alternative bentuk pendidikan atau ketermapilan lain.
Tuntutan ekonomi menjadikan orang tua lebih senang jika anaknya ikut membantu
menopang kebutuhan ekonomi keluarga disbanding harus duduk manis di sekolah.
f. Akses pendidikan dan kualitas SDM
yang tidak merata, akses pendidikan yang tidak merata pada setiap daerah masih
menjadi kendala dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Faktor geografis
menjadi sebab sulitnya penyebaran layanan pendidikan.
Daerah terpencil dan
pedalaman memiliki akses yang rendah terhadap pendidikan, sehingga menyebabkan
terbatasnya guru, buku penunjang dan sarana dan prasarana lainnya. Di samping
itu SDM Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang tidak memenuhi kualifikasi juga
menjadi pemicu siswa tidak mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana di
sekolah lain.
g. Tawuran antar pelajar, dimana
tawuran antar pelajar masih sering terjadi di beberapa titik, khususnya di
Jakarta. Tawuran antar pelajar ini biasanya melibatkan tawuran antar sekolah
satu dengan sekolah lainnya. Hampir setiap hari kita disuguhi tontonan tawuran
antar pelajar.
Bidang
Perlindungan Khusus
a. Program Anak Berhadapan dengan Hukum
(ABH), KPAI menyerukan wacana penghapusan pemenjaraan anak. Program ini selain
dilakukan dengan mengajukan permohonan uji materi (judicial review) atas UU
Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan Anak di Mahkamah Konstitusi, juga
mengawal proses penyusunan RUU Revisi/Pengganti UU Pengadilan Anak.
Menurut KPAI, yang
harus dibangun ke depan adalah UU Peradilan Anak yang mandiri, yang bukan
berada di bawah sistem peradilan umum, melainkan sistem peradilan tersendiri.
Filosofis peradilan anak bukanlah pembalasan sebagaimana filosofis peradilan
orang dewasa, melainkan dalam kerangka mencapai kesejahteraan anak.
Oleh sebab itu,
hukuman terhadap anak yang melanggar hukum bukanlah berupa pemidanaan tetapi
cukup tindakan, yang tidak dilakukan pada lembaga-lembaga di bawah Kemenhukham,
melainkan lembaga-lembaga pendidikan di bawah Kementerian Sosial atau bahkan di
bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Sampai hari ini, kami
masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi untuk uji materiil UU Nomor 3 Tahun
1997 Pengadilan Anak setelah melalui beberapa kali persidangan. Putusan
Mahkamah Konsitusi diharapkan akan menjadi rujukan di dalam menyusun UU Sistem
Peradilan Anak.
b. Pornografi. KPAI begitu gencarnya
melawan pornografi karena dalam perspektif perlindungan anak, pornografi adalah
sebuah kejahatan yang sangat berbahaya bagi anak, di antaranya;
1) Pornografi memiliki tingkat
ketergantungan yang sangat tinggi dan sulit dihapus dari memori anak;
2) Mengganggu tumbuh kembang anak,
khususnya perusakan terhadap sistem hormonal dalam tubuh anak;
3) Penonton pornografi berminat
melakukan acting out atau menirukan adegan yang ada dalam gambar/video
tersebut.
4) Pornografi berkaitan erat dengan
tindak kriminalitas dalam masyarakat, termasuk delikuensi remaja.
c. Trafficking (Perdagangan Manusia)
– Kerja Paksa Seks & Eksploitasi
seks, baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia. Dalam banyak kasus,
perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, PRT, pekerja
restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian
dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan.
Dalam kasus lain,
berapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka
ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan
tidak diperbolehkan menolak bekerja.
– Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik di
luar ataupun di wilayah Indonesia. PRT baik yang di luar negeri maupun yang di
Indonesia di trafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk: jam
kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar
atau yang dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik ataupun
psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan, dan
tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya.
Beberapa majikan dan
agen menyita paspor dan dokumen lain untuk memastikan para pembantu tersebut
tidak mencoba melarikan diri.
– Bentuk Lain dari Kerja Migran, baik
di luar ataupun di wilayah Indonesia. Meskipun banyak orang Indonesia yang
bermigrasi sebagai PRT, yang lainnnya dijanjikan mendapatkan pekerjaan yang
tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran, industri cottage, atau toko
kecil.
Beberapa dari buruh
migran ini ditrafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya
dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang
dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan, atau
kekerasan.
– Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya,
terutama di luar negeri. Perempuan dan anak perempuan dijanjikan bekerja
sebagai penari duta budaya, penyanyi, atau penghibur di negara asing. Pada saat
kedatangannya, banyak dari perempuan ini dipaksa untuk bekerja di industri seks
atau pada pekerjaan dengan kondisi mirip perbudakan.
– Pengantin Pesanan, terutama di luar
negeri. Beberapa perempuan dan anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri
dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus
semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru ini untuk bekerja untuk
keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri
seks.
– Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak,
terutama di Indonesia. Beberapa (tidak semua) anak yang berada di jalanan untuk
mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti jermal, dan bekerja di
perkebunan telah ditrafik ke dalam situasi yang mereka hadapi saat ini.
– Trafficking/penjualan Bayi, baik di
luar negeri ataupun di Indonesia. Beberapa buruh migran Indonesia (TKI) ditipu
dengan perkawinan palsu saat di luar negeri dan kemudian mereka dipaksa untuk
menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal. Dalam kasus yang lain, ibu rumah
tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang melarikan bayi ibu
tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap.
– Eksploitasi Organ Tubuh, Pengambilan
nagian organ tubuh untuk anak di jual.
Di indonesia belum
terdeteksi secara penuh tapi harus di antisipasi semaksimal mungkin perlu agar
peluang kejahatan tersebut tidak terjadi.
d. Kekerasan Seksual terhadap Anak
Kekerasan seksual
terhadap anak menjadi salah satu program subtantif
selama tahun 2011 karena kecenderungan
kasus kekerasan seks terhadap anak makin meningkat.
Tahun 2011 misalnya,
dari 2266 pengaduan, 28 % berupa kasus kekerasan seksual seperti pelecehan
seks, perkosaan, maupun eksploitasi seks bermotifkan ekonomi. Pelaku kekerasan
seks tidak sebatas masyarakat awam tetapi juga kaum terpelajar, bahkan beberapa
di antaranya adalah pejabat publik.
Semoga
Bermamfaat, Syukran Jazakumullahu Khairan@
0 Response to "Realitas Pendidikan Indonesia: Peta Permasalahan Perlindungan Anak Indonesia"
Post a Comment