Realitas Pemuda Indonesia: Data KPAI Astaghfirullah, 63% Remaja Indonesia Berbuat Zina
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا
فِي قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apabila zina dan riba telah nampak di suatu
kampong, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri-diri mereka (ditimpa)
adzab Allah ‘Azza wa Jalla. (HR At-Thabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi dalam
Syu’abul Iman dari Ibnu Abbas. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Al-Bani dalam
Shahihul Jami’ nomor 679, dan dishahihkan Adz-Dzahabi dalam At-Talkhish).
Bicara tentang
perzinaan sebenarnya sangat risih. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika ada wanita yang mengaku dirinya berzina dan minta dihukum rajam
(dilempari batu kerikil sampai mati) pun tidak langsung menyahutnya. Baru
setelah wanita itu berkali-kali mengemukakan pengakuannya dan minta dihukum,
barulah ditanya secara teliti, kemudian disuruh pulang dan mengasuh anaknya
dulu sampai waktu yang ditentukan. Nanti agar kembali untuk mendapatkan hukuman
yang dia minta itu.
Kenapa di sini justru membicarakan
tentang zina?
Karena sudah ada
penelitian dan hasilnya dikemukakan oleh Direktur Remaja dan Perlindungan
Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Pusat (BKKBN) M
Masri Muadz bahwa 63% remaja usia SMP SMA di 33 propinsi di Indonesia telah
berzina.
Penelitian di Bandung
menunjukkan remajanya 56% telah berzina. Ini sangat memprihatinkan. Betapa
rusaknya moral bangsa Indonesia ini, dan telah merambah sampai ke anak-anak SMP
sudah berbuat mesum, bahkan sebagian jadi pelacur beramai-ramai. Itu di
antaranya karena mengejar hidup enak sesuai nafsu yang istilahnya hedonisme.
Dan juga karena tontonan porno-porno ada di mana-mana, di televise dan lainnya.
Siapa yang harus bertanggung jawab?
Ya tentu saja yang
berwenang di negeri ini. Mereka lah penanggung jawab pertama atas rusaknya
bangsa ini.
Lantaran penelitian
itu telah diumumkan, dan berita-berita pun telah tersebar, maka di sini hanya
dirangkum berbagai peristiwa yang sangat memalukan bahkan terancam adzab Allah
ini dituturkan di sini. Agar manusia yang masih tersisa kesadarannya mau
kembali ke jalan yang benar, insya Allah!
Dalam kaitan dengan
seks, setidaknya ada dua hal yang terjadi pada diri Remaja Indonesia. Pertama,
seks bebas (berzina), yaitu mereka yang berusia remaja melakukan aktivitas seks
bebas (berzina) dengan teman sebayanya, atau menjadi pengunjung tempat
pelacuran untuk madon (berzina dengan pelacur). Kedua, pelacuran yang
dilakukan anak-anak remaja, terutama remaja putri. Pelacuran ini dapat terjadi
karena paksaan (ditipu germo dengan janji mendapatkan pekerjaan yang layak),
atau bisa juga karena kesadaran.
Pelacur remaja yang
terjun ke dunia prostitusi/ pelacuran dengan kesadaran, bukan paksaan, antara
lain karena himpitan kemiskinan. Ada juga yang karena didorong oleh keinginan
(bukan kebutuhan) menjalani kehidupan yang hedonistis (ingin punya handphone
yang mahal, baju-baju yang bagus, dan sebagainya).
Zina Di Kalangan Remaja
Menurut hasil survey
yang dilakukan sebuah lembaga di tahun 2008, diperoleh data sekitar 63% remaja
mengaku sudah melakukan hubungan seks bebas (berzina) sebelum nikah. Responden
survey meliputi remaja SMP dan SMA di 33 provinsi di Indonesia. Tiga tahun
sebelumnya (2005), sebuah survey yang diselenggarakan sebuah perusahaan kondom,
mengungkapkan data sekitar 40-45% remaja berusia antar 14-24 tahun menyatakan
bahwa mereka telah berhubungan seks bebas (berzina) di luar pernikahan. Survey
tersebut dilaksanakan di hampir semua kota besar di Indonesia dari Sabang
sampai Merauke. (lihat tulisan berjudul Konser Musik, Zina dan Kerusuhan,
December …)
Bila data survey
tersebut reliable dan valid, maka dari dua data di atas
menunjukkan adanya kenaikan yang cukup signifikan. Dari 40-45 persen di tahun
2005, menjadi 63% di tahun 2008. Artinya, ada kenaikan sekitar hampir 30 persen
dalam jangka waktu ‘hanya’ tiga tahun.
Sebuah survey yang
melibatkan rata-rata 100 responden remaja usia 15-24 tahun yang ada di setiap
kecamatan di Kota Bandung, pernah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan 25 Messenger Jawa Barat, selama Juni 2008 lalu. Hasilnya, sekitar
56% remaja Kota Bandung sudah pernah berhubungan seks bebas (berzina) di luar
nikah, dengan pacar, teman, dan pelacur. Perilaku remaja yang mengadopsi seks
bebas seperti itu paling banyak dipengaruhi oleh tontonan film porno, termasuk
dari internet dan melalui telepon seluler.
Perilaku seks bebas
di kalangan remaja tidak hanya dipraktekkan remaja kota besar seperti Jakarta
dan Bandung, tetapi juga di kota-kota lain yang bukan tergolong kota
metropolitan. Misalnya, sebagaimana dilakukan oleh seorang siswi salah satu SMK
di Praya, Kabupaten Lombok Tengah, NTB.
Siswi berusia 17
tahun itu, untuk bisa melakukan seks bebas (berzina) dengan pacarnya yang
berusia 21 tahun, harus pergi ke kota yang agak besar (Mataram), di sana mereka
menyewa sebuah kamar di salah satu hotel kelas melati. Seks bebas yang
dilakukannya itu berlangsung siang-siang sekitar jam 11:00 waktu setempat.
Keduanya terjaring razia yang dilakukan aparat Polsek Mataram bersama Satpol PP
Kota Mataram dan aparat kecamatan setempat. Siswi SMK yang masih berusia 17
tahun itu, mengaku sedang menjalani liburan pasca ujian tengah semester.
(http://kompas.co.id/read/xml/2008/12/16/13390917/siang-siang.ngamar.siswi.smk.digaruk)
Di Batam, tiga siswi
sebuah SMP Negeri Tiban, Sekupang, melakukan pesta seks di salah satu hotel.
Dua diantaranya merupakan pasangan yang baru saja bersua. Namun perjumpaan yang
baru sesaat itu tidak menyurutkan keinginan mereka melakukan seks bebas.
Sebagaimana diberitakan Pos Metro edisi Selasa, 21 Oktober 2008, di bawah tajuk
Siswi SMP Pesta Seks di Hotel.
Cerita bermula pada
hari Kamis tanggal 16 Oktober 2008 sore, pemuda Hf (17) ketika itu mengadakan
janji bertemu dengan pacarnya Intan (siswi SMP berusia 14 tahun), di Sungai
Harapan. Hf tak sendiri bertemu Intan. Dua teman Hf yang lain, Rs (18) dan Dd
(18), diajak serta. Di pihak Intan, ia pun membawa serta dua rekan wanitanya,
sebut saja Puput dan Indah (kedua siswi ini juga disamarkan namanya).
Setelah masing-masing
berkenalan (kecuali Hf dan Intan yang sudah kenal dan mengaku berpacaran),
layaknya pasangan remaja yang lain (yang sebenarnya itu adalah haram menurut
Islam), terlibat obrolan apa saja. Hingga larut malam. Puas menghabiskan hari,
tiga sejoli ini makin kepincut dengan pasangannya masing-masing. Hf sibuk
bermesraan dengan Intan. Rs bermanja ria dengan Puput. Sedangkan Dd dengan
Indah. Ketiga pasangan, bahkan sudah bersama selama dua hari.
Hari Jum’at, tiga
pasangan tersebut runtang-runtung tak tentu rimba dengan angkutan umum, antara
lain jalan-jalan ke kawasan Jodoh, Batam Centre, Sekupang. Pukul 12 malam,
ketiga pasangan remaja itupun melanjutkan acara dengan menginap di sebuah
hotel, dan melakukan pesta seks. Hf melakukan persetubuhan dengan Intan. Ketika
Hf dan Intan masuk kamar mandi, Rs pun membangunkan Puput untuk melakukan hal
serupa. Sedangkan Dd dan Indah, mereka ‘hanya’ berciuman. Dalam ajaran Islam,
meski ‘hanya’ berciman, sudah tergolong perzinaan, yaitu zina anggota badan,
seperti zina mata, zina tangan dan sebagainya.
Beberapa bulan
sebelumnya, kasus yang sama gilanya terjadi antara remaja belasan tahun, juga
di Sekupang, Batam. Dila (16) berpacaran dengan Teguh (19), namun tidak
direstui kedua orangtua Dila. Meski pendekatan ekstra sudah dilakukan Teguh,
namun hasilnya tetap nihil. Karena menemui jalan buntu, akhirnya Teguh
nekat meminta pengorbanan cinta dari Dila. Sebaliknya, Dila rela menyerahkan
mahkotanya/ kehormatannya untuk pujaan hatinya, sebagai bukti pengorbanan (Pos
Metro edisi Minggu, 26 Oktober 2008).
Peristiwa
‘pengorbanan’ itu pertama kali terjadi di bulan Agustus 2008. Kemudian
berlanjut di hari-hari lain. Dila dan Teguh beranggapan, setelah melakukan
hubungan badan (berzina), orangtua Dila akan luluh melihat anaknya tak lagi
perawan. Nyatanya, kemurkaan orang tua Dila malah kian menjadi. Teguh pun
dilaporkan ke polisi dengan tuduhan membawa kabur dan menggauli (menzinai) anak
di bawah umur. Kalau saja pasangan yang sedang kemasukan godaan setan itu
diberi kondom gratis (seperti yang dipraktekkan oleh para pengaku penanggulang
AIDS), bukan penjara, niscaya aktivitas seks bebas mereka akan semakin jauh
tersesat.
Kemungkinan remaja
putri Dila terlalu banyak nonton sinetron percintaan yang kandungan materinya
banyak ‘mengajak’ remaja melakukan seks bebas. Atau Dila kurang mendapat arahan
dari orangtua, kurang mendapat bekal agama, sehingga ia tidak bisa membedakan
rasa cinta yang datang dari Allah dengan rasa cinta yang datang dari Syaithon.
Rasa cinta yang datang dari Syaithon, cenderung mengarah kepada perbuatan yang
dilarang Allah. Sebaliknya, rasa cinta yang dari Allah, cenderung mengarah
kepada perbuatan yang dibenci syaithon.
Pelacur Remaja
Belum reda
keterkejutan kita terhadap data dan fakta di atas, masih harus ditambah lagi
dengan ditemukannya fakta tentang sejumlah siswi SMP di Jakarta yang menjadi
pelacur, bukan karena paksaan atau himpitan ekonomi, tetapi semata-mata dalam
rangka memenuhi tuntutan hedonisme.
Sebagaimana
diungkapkan Kompas Minggu edisi 28 Desember 2008, tentang kasus 22 siswi SMP
negeri di kawasan Tambora, Jakarta Barat, yang menjalani kehidupan sebagai
pelacur di luar jam sekolah. Sebelum menjalani kehidupan sebagai pelacur,
mereka mengawalinya dengan menjual kegadisannya seharga Rp 2 juta kepada pria
pelaku zina. Selanjutnya, mereka meneruskannya menjadi pelacur dengan tarif
setiap kencan Rp 300.000, di bawah koordinasi seorang mucikari/ germo yang
biasa nongkrong di Taman Hiburan Rakyat Lokasari, Tamansari, Jakarta
Barat.
Kasus ini terungkap
secara tidak sengaja. Salah seorang guru di sekolah tersebut melihat salah
seorang siswi kelas 3 memiliki handphone seharga di atas Rp 4 juta. Ia
lantas menaruh curiga. Kemudian, sang guru memanggil siswi tersebut dan
memeriksa telepon selulernya. Di ponsel itu sang guru mendapati beberapa pesan
singkat yang isinya berupa ajakan untuk berkencan. Dari satu siswi kemudian
informasi berkembang sehingga diperoleh beberapa nama siswi lainnya.
Sang guru tidak
begitu saja percaya, ia kemudian menyamar sebagai pemesan, dan mengajak salah
satu siswi lainnya untuk bertemu dan berkencan. Tanpa diduga, siswi yang dipesannya
itu datang ke tempat yang dijanjikan. Guru yang lain ada yang ikut dalam sebuah
razia yang diadakan Satpol PP DKI. Dari hasil razia, beberapa pelacur yang
tertangkap ternyata siswi SMP-nya.
Para siswi itu
mengaku nekat menjalani kehidupan sebagai pelacur karena silau oleh
‘keberhasilan’ seorang rekan mereka yang telah lebih dulu jadi pelacur,
sehingga memiliki banyak uang dan barang-barang berharga mahal.
Perilaku remaja siswi
setingkat SMP yang menjalankan kehidupan sebagai pelacur, juga terjadi di
Bandung. Sebagaimana diberitakan Tribun Jabar edisi Sabtu, 30 Agustus 2008:
Satpol PP Kota Bandung, dalam rangka menyambut bulan Ramadhan menertibkan
wanita malam di jalan-jalan protokol Kota Bandung, Jumat (29/8) dini hari.
Berhasil dijaring 42 pelacur, salah satu di antaranya siswi SMP swasta kelas
dua. Dengan alasan kemanusian, siswi SMP itu dilepaskan, setelah dinasehati. Ia
menjadi pelacur karena butuh uang untuk biaya sekolah dan makan karena kedua
orangtuanya tidak mampu membiayai. (http://72.14.235.132/search?q=cache:gaEuCybkccgJ:www.lodaya.web.id/%3Fp%3D1364+Siswi+SMP+Jajakan+Diri&hl=id&gl=id&strip=1)
Kalau benar ia
menjadi pelacur semata-mata untuk biaya sekolah dan makan, bukan karena
mengikuti gaya hidup yang hedonistis, dan benar-benar karena kedua oangtuanya
tidak mampu, maka apa yang ia lakukan menjadi tanggung jawab masyarakat di
sekitarnya, dan menjadi tanggung jawab pimpinan (umara, pemerintah) di
lingkungan terdekatnya.
Sejauh ini penelitian
tentang remaja putri yang menjalani kehidupan sebagai pelacur, pernah dilakukan
di Medan oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), pada September hingga
November 2007, dengan mewawancarai secara mendalam sejumlah 50 responden, di
antaranya terdiri dari 14 siswi SMP dan 27 berstatus siswi SMA/SMK.
(http://www.eska.or.id/news/detail/?id=27)
Dari pengakuan para
responden, di sekolah mereka terdapat sejumlah teman sebaya yang juga terlibat
dalam pelacuran, yang jumlahnya bervariasi antara 30 hingga 60 orang. Salah
seorang responden yang masih duduk di kelas 3 SMP menuturkan, di kelasnya saja
ada 15 teman sebayanya yang sudah biasa berkencan dengan pria dewasa, dengan
kisaran usia 30-50 tahun. Aktivitas pelacuran itu dipraktekkan pada siang hari,
kebanyakan antara jam 3 hingga jam 6 sore. Namun ada juga yang melakukannya
pada malam hari.
Menurut Ahmad Sofian
(Direktur PKPA), “Kami menemukan modus baru dalam bisnis seks ini, yaitu pulang
sekolah tidak pulang ke rumah tetapi dibawa ke hotel. Untuk meyakinkan
orangtua, teman-temannya ikut meminta izin dengan dalih mengajak renang atau
jalan-jalan, sehingga orangtua anak tidak curiga.”
Para pelacur muda ini
oleh orangtuanya sampai saat ini dikenal sebagai anak yang rajin sekolah, anak
rumahan dan penurut dengan nasihat orangtua. Dengan demikian bukan faktor
internal yang mendorong mereka menjalani kehidupan sebagai pelacur, tetapi
faktor eksternal, yaitu:
- Sebagian besar dari mereka adalah gadis-gadis yang sudah berpacaran kelewat batas atau dikecewakan pacar (18 kasus).
- Mereka yang terjerat konsumerisme, ingin mengikuti gaya hidup mewah seperti punya handphone, baju bagus dan sebagainya (8 kasus).
- Karena diajak teman (24 kasus).
- Menggunakan uang sekolah (6 kasus).
Sedangkan yang
menjadi faktor pemicu adalah karena keadaan mereka sudah tidak perawan
lagi.
Kasus Tambora
(Jakarta Barat) sebagaimana diungkapkan Wartakota dan Kompas di atas, nampaknya
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan KPKA. Sebagaimana di Tambora,
pelacur muda ini mengawali dengan menjual keperawanannya dengan harga Rp 2 juta
hingga Rp 5 juta. Selanjutnya mereka mendapat bayaran antara Rp 200 ribu hingga
Rp 800 ribu per kencan.
Kasus yang hampir
serupa juga terjadi di Bogor, Jawa Barat, sebagaimana diberitakan harian SIB
edisi 14 Desember 2008. (http://hariansib.com/2008/ 12/14/perawan-anak-sma-rp-15-juta/).
Akibat bekapan
kemiskinan dan keterbatasan ekonomi orangtua untuk melanjutkan sekolah, lima
siswi SMA di Kota Bogor terpaksa masuk ke dalam sindikat pelacuran yang
dikendalikan seorang napi dari balik jeruji penjara. Mereka sudah menggeluti
dunia pelacuran sejak SMP. Tarifnya jauh di atas pelacur cilik Tambora dan
Medan. Sekali kencan, mereka dibayar Rp 5 juta. Bila masih perawan, dihargai Rp
15 juta.
Salah satu pelacur
remaja ini (Ls, 18 tahun) mengaku menjadi wanita panggilan lantaran ekonomi
keluarganya yang pas-pasan. Ayahnya cuma seorang petani penggarap, sehingga
tidak bisa membiayai keinginan Ls melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi. Dia tergiur menjadi pelacur remaja setelah melihat temannya yang
bergaya hidup mewah. “Waktu itu saya diajak sama dia untuk kerja sampingan. Eh
nggak tahunya kerja seperti ini,” katanya.
Di Surabaya April
2008 lalu pernah diungkap kasus pelacuran yang dilakoni pelajar SMP dan SMA.
Terungkapnya kasus pelacur pelajar ini setelah anggota Reskoba Idik II
Polwiltabes Surabaya menangkap seorang pelacur pelajar berinisial IWP di sebuah
hotel. Dari pengakuan IWP, akhirnya terungkap jaringan bisnis pelacuran yang
melibatkan pelajar SMP dan SMA di Surabaya. Para pelacur pelajar itu dihargai
mulai Rp 500.000 hingga Rp 1,5 juta. Tersangka IWP sendiri saat pertama naik
kelas III SMA kegadisannya dijual dengan harga Rp 10 juta kepada seseorang di
Bali. Bahkan IWP pernah melayani tamunya yang ada di Makassar dengan imbalan Rp
2 juta. (http://www.surya.co.id/web/index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=42126)
Penelitian di Medan
(2007) yang didukung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan, akan sangat
disambut baik oleh rakyat Indonesia bila hal serupa dapat dilakukan di berbagai
provinsi yang ada, terutama provinsi-provinsi rawan seperti DKI Jakarta,
Bandung, Surabaya, Semarang, DI Yogyakarta, dan sebagainya. Bukan mustahil,
dari hasil penelitian itu kelak, akan membuat mata kita terbelalak. Namun yang
paling penting, bukan bagaimana membuat mata kita terbelalak, tetapi menemukan
solusinya secepat dan setepat mungkin. Sarana-sarana yang mengakibatkan
rusaknya moral para remaja bahkan masyarakat pada umumnya, perlu segera
dihentikan. Tontonan porno lewat televise, CD, internet, majalah, tabloid,
suratkabar, buku porno dan sebagainya perlu dirazia, dan penyelenggaranya
ditindak. Kalau dibiarkan, maka ancaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam cukup tegas:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ
كِتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. (الطبرانى
، والحاكم ، والبيهقى فى شعب الإيمان عن ابن عباس ، ولفظ الحاكم : عَذَابَ الله)
Dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: Apabila zina dan riba telah nampak di suatu kampong, maka sungguh
mereka telah menghalalkan diri-diri mereka (ditimpa) kitab (ketetapan) Allah
‘Azza wa Jalla. (HR At-Thabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari
Ibnu Abbas. Lafal Al-Hakim: Azab Allah. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Al-Bani
dalam Shahihul Jami’ nomor 679, dan dishahihkan Adz-Dzahabi dalam At-Talkhish).
Al-Munawi dalam
Faidhul Qadir (1/ 513) menjelaskan, artinya mereka menyebabkan jatuhnya adzab
atas mereka karena mereka menyelisihi ketentuan hikmah Allah yaitu menjaga
nasab (keturunan) dan tidak campur baurnya air (mani tanpa sah).
(haji/tede)
Semoga Bermamfaat, Syukrhan
Jazakumullahu Khairan@
0 Response to "Realitas Pemuda Indonesia: Data KPAI Astaghfirullah, 63% Remaja Indonesia Berbuat Zina"
Post a Comment