Filsafat Ilmu: Menurut Ibnu Sina
Allah SWT merupakan eksistensi yang
absolut diantara eksistensi yang nisbi, semua konsep tuhan telah tertera dalam
al-qur’an dari segi metafisik, alam dan asma’ serta sifat. Namun perkembangan,
pengaruh zaman dan peradaban Islam tidak menutup wawasan intelektual Islam yang
aktif dan produktif dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu pra muslim khususnya
filsafat yang didasari atas konsep tuhan.
Tetapi pandangan filosof Yunani
terutama gagasan Aristoteles terhadap tuhan yang abstrak telah di tolelir oleh
beberapa filosof muslim seperti Ibnu Sina bahwasannya alam dan realitasnya
merupakan kehendak tuhan yang menyatu dalam dzat dan sifat.
Sebetulnya, atas dasar apakah Ibnu
Sina memfilter konsep Tuhan menurut Aristoteles yang kemudian ia modifikasi
dalam Islam? Dan benarkah pernyataan tersebut ? Serta bagaimanakan pertanyaan
serta jawaban sebenarnya yang di uraikan oleh para ulama khususnya Ghozali
terhadap pemikirannya? Oleh sebab itu pada pembahasan ini kami akan menguraikan
secara ringkas tentang biografi Ibnu Sina serta pandaannya terhadap konsep
tuhan yang di pengaruhi oleh filosof Yunani khususnya Aristoteles serta
kritikan ulama dan Ghazali yang menentang keras konsep ketuhanannya.
Semoga dengan pembahasan ini kita
dapat mengambil konklusi yang bersifat afektif dalam mengkaji pemikiran filosof
Islam terhadap konsep tuhan.
Biografi Ibnu Sina
Ibnu Sina lahir pada tahun 370 (H) /
980 (M) di rumah ibunya Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan
(bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari
Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur suatu
daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afghanistan
(dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara .
Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga
sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter
kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Beliau juga
seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang
filosofi dan pengobatan. Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al -Husayn bin
‘Abdullāh bin Sīnā (ÇÈæÚáì ÓíäÇ Abu Ali Sina atau dalam tulisan
arab : ÃÈæ Úáí ÇáÍÓíä Èä ÚÈÏ Çááå Èä ÓíäÇ ). Dia adalah pengarang dari 450
buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak diantaranya memusatkan pada
filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai bapak
kedokteran disamping itu ia telah mengarang buku Al-Qanun fi At Tibb
yang di terjemahkan kebahasa latin dan di cetak di Eropa pada tahun 1593,
kemudian buku tersebut di jadikan mata kuliah pokok di universitas-universitas
Eropa.
Ibnu Sina dididik dibawah tanggung
jawab seorang guru, dan kepandaiannya segera membuatnya menjadi kekaguman
diantara para tetangganya; dia menampilkan suatu pengecualian sikap
intellectual dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya / Child prodigy
yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli puisi
Persia. Dari seorang pedagan sayur dia mempelajari aritmatika, dan dia memulai
untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoleh suatu mata
pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda.
Meskipun bermasalah besar pada
masalah – masalah metafisika dan pada beberapa tulisan Aristoteles. Sehingga,
untuk satu setengah tahun berikutnya, dia juga mempelajari filosofi, dimana dia
menghadapi banyak rintangan. pada beberapa penyelidikan yang membingungkan, dia
akan meninggalkan buku – bukunya, mengambil air wudhu, lalu pergi ke masjid,
dan terus sholat sampai hidayah menyelesaikan kesulitan – kesulitannya. Pada
larut malam dia akan melanjutkan kegiatan belajarnya, menstimulasi perasaannya
dengan kadangkala segelas susu kambing, dan meskipun dalam mimpinya masalah
akan mengikutinya dan memberikan solusinya.
Empat puluh kali, dikatakan, dia
membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata – katanya tertulis
dalam ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai suatu hari mereka
menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh Farabi, yang dibelinya di suatu bookstall
seharga tiga dirham. Dia mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya
belajar teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui
perhitungannya sendiri, menemukan metode – metode baru dari perawatan. Anak
muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan
menemukan bahwa "Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun
menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat
memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat
para pasien, menggunakan obat – obat yang sesuai." Kemasyhuran sang
fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa
meminta bayaran.
Disamping itu pekerjaan pertamanya
menjadi fisikawan untuk emir, yang diobatinya dari suatu penyakit yang
berbahaya. Majikan Ibnu Sina memberinya hadiah atas hal tersebut dengan
memberinya akses ke perpustakaan raja Samanids, pendukung pendidikan dan ilmu.
Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal.Samanid dynasty menuju
keruntuhannya pada Desember 1004. Ibnu Sina menolak pemberian Mahmud of Ghazni,
dan menuju kearah Barat ke Urgench di Uzbekistan modern, dimana vizier, dianggap
sebagai teman seperguruan, memberinya gaji kecil bulanan. Tetapi gajinya kecil,
sehingga Ibnu Sina mengembara dari satu tempat ke tempat lain melalui distrik
Nishapur dan Merv ke perbatasan Khorasan, mencari suatu opening untuk
bakat – bakatnya.
Shams al-Ma’äli Qäbtis, sang
dermawan pengatur Dailam, seorang penyair dan sarjana, yang mana Ibn Sina
mengharapkan menemukan tempat berlindung, dimana sekitar tahun (1052) meninggal
dibunuh oleh pasukannya yang memberontak. Ibnu Sina sendiri pada saat itu terkena
penyakit yang sangat parah. Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspi, Ibnu Sina
bertamu dengan seorang teman, yang membeli sebuah ruman didekat rumahnya
sendiri dimana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi.
Sebetulnya, amsih banyak riwayat
Ibnu Sina yang begitu cemerlang namun ajal telah menjemput beliau, pada tahun
1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Beliau wafat ketika
sedang mengajar di sebuah sekolah.Filsafat Wujud.
Metafisika Ibnu Sina
Metafisika Ibnu Sina secara esensial
berkenaan dengan ontologi terhadap wujud serta seluruh distingsi mengenainya
itulah yang menempati peran sentral dalam spekulasi-spekulasi metafisikanya.
Menurutnya,” the reality of a thing
depens upon its existence, and the knowledge og an object is ultimately the
knowledge of its ontological status in the chain of universal existence which
determines all of its attributes and qualities”. Hakekat sesuatu (reality of thing)
tergantung pada eksistensinya dan pengetahuan atas sebuah obyek pada puncaknya
adalah ontology yang tergantung pada rangkaian eksistensi universal yang
menentukan seluruh atribut dan kualitasnya. Segala sesuatu dialam semesta
(universe), berdasarkan kenyataan (exist), dimasukkan ke dalam wujud (being).
Tapi, Tuhan sebagai wujud murni (pure being) merupakan Asal dan Pencipta segala
sesuatu.Maka Tuhan lebih awal dari alam dan bersifat transenden. Ibnu Sina juga
berpendapat, bahwa: ”Necessary being due to itself (wajib al-wujud
bi-dhatihi) is true in itself, while the contingent being is ‘false in itself’
and ‘true due to something else other than itself’. The necessary is the source
of its own being without borrowed existence. It is what always exists.”
Maksudnya,
sesuatu yang being (wajib al-wujud bi-dhatihi ) ada pada diri Tuhan,
tidak berdasarkan kekuatan lain dalam being maka ini merupakan pertanyaan yang
salah dan tidak mungkin wujud melakukan tindakan dengan wujud yang lain. Jadi
wujud Tuhan berdiri sendiri dalam dzat-Nya yang akan selalu eksis.
Begitu
juga kajiannya, tentang eksistensi pada segala
sesuatu tidak terlepas dari distingsi fundamental yang menerangkan kemungkinan
dan kemustahilannya. Maka kapanpun orang berfikir eksistensi secara serta merta
terdapat 2 aspek berbeda pada kerangka berfikirnya, yaitu :
Esensi
atau kuiditasnya (prinsip ashl), yang semua cukup dalam jawaban atas
pertanyaan, apakah sesuatu itu ?.
Eksistensi.
Misalnya, ketika seseorang memikirkan tentang kuda gagasan tentang kuda
tersebut atau kuiditasnya, yang meliputi keadaan, warna dan bentuk yang
membentuk sebuah esensi.
Yang
terkait erat dengan distingsi mendasar antara kuiditas dan eksistensi adalah
pemilahan Ibnu sina atas wujud (being) menjadi ” tidak mungkin” ( mumtani’),
mungkin (mumkin) dan niscaya (wajib). Pemilah ini, yang diterima oleh para
filosof muslim serta kaum skolastik latin, tidak etrlihat dalam formulasi
Aristoteles, tapi asli dari Ibnu Sina. Hakikatnya, Ibnu Sina mendasarkan
seluruh filsafatnya pada distingsi diantara tiga pemilahan tersebut dan
terdapat keterkaiatan yang dimiliki oleh kuiditas dan eksistensi dalam setiap
hal dengan yang lain.
Pandangannya
tentang wujud tuhan, merupakan wujud niscaya (wajib al-wujud), atau tuhan yang
tidak bisa ”tidak-ada”, karena esensi dan wujud-Nya adalah hal yang sama. Wujud
adalah esensi-Nya, dan Esensi adalah wujud-Nya yang memiliki self-subsistent.
Sedangkan, semesta dan segala sesuatu yang ada didalamnya merupakan wujud
mungkin dan secara metafisik tergantung kepada Wujud – Niscaya dan mungkin
wujud-wujud tersebut terdiri dari dua macam: 1). wujud yang, sekalipun mungkin
dalam dirinya sendiri, dijadikan niscaya oleh wujud Niscaya dan 2). wujud yang
sama sekali mungkin tanpa ada sifat niscaya yang diapsangkan padanya seperti
malaikat yang abadi akibat abadi dari Tuhan.
Wujud
abadi dan abadi menurut ibnu Sina adalah substansi atau aksidensi` sesuai
dengan kategorinya yang dibagi menjadi tiga macam :
Intelek (‘aql) yang sepenuhnya terlepas dari materi dan potensialitas.
Jiwa (nafs) yang sekalipun terlepas dari materi tapi butuh pada tubuh
untuk bertindak.
Tubuh (jism) yang bisa dibagi serta memiliki panjang lebar dan luas,
karena itu mungkin elemen-elemen semesta ini terbagi menjadi tiga unsur
tersebut.
Sifat Tuhan menurut Ibnu Sina
Menurut
Ibnu Sina, "Perlu diperhatikan bahwa setiap pelaku yang apabila melakukan
suatu perbuatan maka dia akan menjadi lebih baik atau mengerjakan sesuatu
baginya lebih baik daripada tidak melakukannya, jika perbuatan itu tidak
dilakukan dan dia tak menciptakan sesuatu itu maka secara riil dia akan
kehilangan kebaikan dan kesempurnaan, yakni dia tak memiliki kesempurnaan
tertentu dan untuk memperolehnya ia mesti berusaha. Maujud yang membutuhkan
upaya untuk mencapai suatu kesempurnaan tak bisa dikategorikan sebagai Wâjibul
Wujûd , karena maujud seperti itu adalah maujud yang tak sempurna dan
maujud yang tak sempurna bukanlah Wâjibul Wujûd .
Dengan
demikian, hal-hal yang berkaitan dengan Wâjibul Wujûd dan
perbuatan-perbuatan-Nya sama sekali tidak bisa berhubungan dengan pencapian dan
perolehan segala bentuk kebaikan, keindahan, dan kesempurnaan." Ibnu Sina
juga mendefinisikan maujud sempurna yang sama sekali tak bergantung pada
sesuatu yang lain dan lantas menentukan wujud tak sempurna yang bergantung pada
yang lain. Poin ini merupakan mukadimah untuk menegaskan bahwa Wâjibul Wujûd
tidak berupaya mencapai suatu tujuan tertentu dalam menciptaan alam. Menurut
Ibnu Sina, "Anda ketahui bahwa mana di antara maujud yang Maha Kuat dan
Maha Kaya (tak membutuhkan sesuatu)? Suatu maujud bisa dikatakan yang Maha Kuat
dan Kaya itu jika tidak bergantung pada selain dirinya dari tiga aspek:
1. Dari
sisi zat,
2. Dari
sisi sifat hakiki,
3. Dari
sisi kesempurnaan hakiki yang terkait dengan zat.
Oleh
karena itu, setiap maujud yang butuh dan bergantung kepada maujud lain dari
dimensi zat, sifat hakiki, dan kesempurnaan (seperti bentuk, ilmu, kodrat,
keindahan) ialah maujud yang tak sempurna, fakir, dan lemah. Sedangkan Wâjibul
Wujûd merupakan sifat yang Esa pada tuhan dari sisi zat dan sifat-Nya sama
sekali tidak mengandung kekurangan dan kelemahan. Maka sangat mustahil Tuhan
melakukan sesuatu disebabkan oleh maujud-maujud yang rendah seperti manusia.
Oleh sebab
itu, menurut Ibnu Sina sifat-sifat tidak menyatakan atas wajibul wujud kecuali
dengan dzat-Nya. Maka sifat Tuhan yang satu merupakan dasar dari sifat-sifat
Tuhan. Tidak di sekutukan menyatu dengan dzatnya, bersatu dengan tindakan
(fi’il) Tuhan pernyataan ini menyatakan bahwa tindakan dan keinginan tuhan
menyatu dalam dzat-Nya. Jika Tuhan memiliki sifat yang universal, maka tidak
diperkenankan sebagai wajibul wujud. Hal tersebut sangat berkaitan dengan
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan
sebagai berikut :
Pertama,
perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah
selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah Ibnu
Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala
segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar) – dari wujud-Nya,
malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak
yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada
suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan
sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina,
seolah – olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.
Kedua, perbuatan Ilahi itu
tidak ada tujuan apapun. Seakan – akan telah hilang dari perbuatan sifat akal
yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai
perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.
Ketiga,
manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud,
keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan
dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
Yang
dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang
paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian”
pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah
itu menjadi sia – sia, akrena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan
perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang
sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah
melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih – lebih lagi pada dzat-Nya.
Keempat, perbuatan itu
hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu
Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh
(melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama – nama ini dipakai
oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena
ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai
“sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan
sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada
materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh
kesempurnaan.
Dalam
empat catatan tersebut para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu
memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai
“sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan
konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai
“tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke arah-Nya seperti
yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan
alam dengan Tuhan.
Emanasi
Bagi kaum
sufi, kemurnian tauhid mempunyai wujud dan semua yang lainnya tidak ada pada
hakikatnya (wihdatul wujud) pada diri tuhan yang berhubungan dengan proses
penciptaan alam, paham ini merupakan emanasi atau al-faidh . Sementara
kajian emanasi Ibnu Sina mengikuti kosmologi platonisme yang mendasar pada
distingsi berusaha menunjukkan bagaimana yang banyak itu dilahirkan dari yang
Satu (ex uno non fit nisi unum) atau inteleksi tuhanlah (akal pertama)
penciptaan itu terjadi, yang pada saat bersamaan transenden dalam kaitannya
dengan seluruh keragaman (multiplicity). Tapi oleh karena tujuan
metafisika Ibnu Sina secara esensial adalah menampilakan sifat tergantung
(contingent). Semesta maka tujuannya dalam emanasi adalah untuk menggambarkan
konsep kesinambungan yang ada antara Prinsip dan manifestasi-Nya. Sedangkan
proses penciptaan, atau manifestasi, terkait erat dengan fungsi dan signifikan
malaikat sebagai alat yang mewujudkan tindakan penciptaan.
Dengan
menyandarkan pada pada skema Platonian tentang pancaran hirarkie malaikat
berurutan, Ibnu Sina mulai menggambarkan proses penurunan Semesta bahwa dari
Satu atau Kesatuan hanya mungkin melahirkan satu wujud (ex uno non fit nisi
unum). Ibnu Sina juga menggunakan gagasan bahwa melalui inteleksilah penciptaan
itu terjadi. Proses penciptaan dan inteleksi adalah sama, karena melalui
kontemplasi tatanan realitas yang lebih tinggi itulah yang lebih bisa muncul.
Kemudian
dari Wujud Niscaya Tunggal- yang merupakansumber segala sesuatu – wujud tunggal
tercipta sesuai dengan prinsip sebelumnya- yaitu akal pertama (First
intellect/al-’Aql al-Awwal) yang disetarakan dengan malaikat muncullah akal
yang kedua yaitu jiwa dan tumbuh akal langit pertama melalui kontemplasi akal
pertama melahirkan akal ketiga, yaitu jiwa dan tubuh langit pertama. Lalu
proses ini berlangsung hingga langit kesembilan dan melahirkan Akal kesepuluh,
yaitu bulan Akal kesepuluh juga berfungsi sebagai pemberi cahaya kepada fikiran
manusia. Dari sinilah substansi semesta tidak lagi memiliki kemurnian untuk
melahirkan langit yang lain. Karena itu, dari kemungkinan kosmik yang tersisa
dunia turun temurun dan berubah muncul. Ia juga berpendapat bahwa dari akal
kesupuluhlah terpancar illuminasi dan penciptaan Tuhan.
Karena
itulah emanasi Ibnu Sina pada dasarnya terkait dengan angelologi dan sangat
mengikuti kosmologi Platonian. Menurutnya, konsepsi Islam tentang hubungan
antara Tuhan dan Semesta selalu berusaha menunjukkan sifat tergantung seluruh
tatanan ciptaan terhadap Sang Pencipta.
Kritik Ghozali terhadap Ibnu Sina
Menurut
Ghazali Allah mempunyai sifat dzatiyah dan fi’liyah yang berealitas dalam
wujudnya. Realitas itu adalah Eksistensi Mutlak yang tidak lain adalah
Kebenaran (al-Haqq, Truth), salah satu aspek Allah swt. Seperti, Allah
mengetahui dengan ilmu-Nya dan Allah berkehendak dengan kekuatan-Nya. Wujud
lain yang menerangkan bahwasannya Allah ada yaitu, Allah Maha mendengar dan
mengetahui seluruh kejadian di bumi ini. Maka manusia akan merasakan secara
dekat keberadaan Tuhan melalui doa dan interaksi spiritual. Sedangkan segala kejadian di bumi ini merupakan tindakan Allah yang luar
biasa dan tak bias di jangkau oleh ciptaan-Nya. Jadi
Ghazali berpendapat pada mahiyah dalam diri manusia dan ciptaany-Nya berada di
kekuasaan tuhan bukan bergantung pada eksistensinya sendiri setelah diciptakan
Tuhan.
Kemudian
kritik al-Ghazali terhadap Ibnu Sina dan para falasifah, meliputi dua puluh
masalah yang paling utama tentang metafisika dan emanasi karena sangat
bersangkut paut dengan tauhid Asma dan Sifat, yaitu:
Al-Ghazali
menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia.
Disini al-Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi
ada sebab di ciptakan oleh tuhan, karena sifat alam yang qadim dalam arti sejak
zaman tak bermula atau tidak dicptakan padahal alam sendiri berasal dari Tuhan
yang azali.
Al-Ghazali
menyerang pendapat kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam.
Ia berpendapat soal keabadiaan alam itu terserah kepada Tuhan semata. Mungkin
saja alam itu terus menerus tanpa akhir andaikata tuhan menghendakinya. Akan
tetapi bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh
dirinya sendiri di luar Iradah Tuhan.
AL-Ghazali
juga menyatakan akan kemungkaran mereka terhadapTuhan dengan pengingkarannya
akan hari kiamat.
Kesimpulan
Bagaimanapun
konsep tuhan yang di pengaruhi oleh filosof Yunani khusus Aristoteles, bahwa
adalah bumi dan semesta alam merupakan pancaran dari akal pertama sampai akal
ke- sepuluh, sedangkan wujud tuhan merupakan kesatuan dari dzat dan sifatnya
tidak disekutukan oleh sifat-sifat serta tujuab-tujuan yang di pandang rendah
seperti manusia. Sehingga tanpa disadari ia menyatakan hakekat ciptaan Tuhan
pada alam dan seisinya ada dari yang telah ada bukan dari adam dan menafsirkan
bahwa Allah tidak bertindak hanya berkehendak yang menunjukkan pada kevakuman.
Oleh sebab itu Ghazali menyerang pendapatnya yang mendasar bahwa alam seisinya
dari tidak ada kemudian ada menjadi tidak ada lagi dan Allah memiliki sifat
dzatiyah dan fi’liyah sebagai wujud dari Kemaha Besaran Allah.
Semoga
Bermamfaat, Shukran Jazakallah Khairan@
Daftar Pustaka
Aburoyan, Dr. Muhammad ‘Ali,
Tarikhul Fikri al-Falsafi , (Darul Ma’rifah, Iskandar 1983).
Avicenna, Kitab
al-shifa’, Metaphysics II , (eds.) G. C. Anawati, Ibrahim Madkour, Sa’id
Zayed (Cairo, 1975).
Gawsharin, S.S, Hujjat
al-haqq Abu ‘Ali Sina, (Teheran:1331).
Ghazali, Tahafut
al-Falasifah, (Beirut:1927)
Ghoicon, A.M, La Philosophie
d”Avicenne et son influence en Europe medivale.
Ghoicon, A.M. "L’unite
de la pensee avicennienne ,” Archives Internationales d histore des
Sciences, No. 20-21 (1952).
Hamdi.Z, Muhammad, Al-Manhaj
al-Falsafi baina al-Ghazali wa Decartes, (Darul al-Ma’arif: Kairo, 1997)
Harun Nasution, Islam
Rasional ; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung : Mizan. 1995).
Http://id.wikipedia.org/wiki/Ibnu_Sina
Ibn Sina, Abu `Ali al-Husayn
ibn `Abd Allah, al-Isharat wa-al-Tanbihat . Ed. Nasir al-Din al-Tusi dan
Qutb al-Din al-Razi, 3 volume, (Tehran 1377-1379).
Ibnu Sina, Al-Najah ,
ed. M. Fakhri, (Beirut, 1985).
Nader El-Bizri,
"Avicenna and Essentialism," Review of Metaphysics , Vol. 54
(2001).
Nasr, Sayyed Hossein Nasr,
“Polarization of Being, Philosophical Journal 3 , (Pakistan: October
1995).
Nasr, Sayyed Hossein, Three
Muslim Sages ( Avicenna- Suhrawardi-Ibn ‘Arabi ), (Caravan Books:
Delmar, New York 1976).
Nasr, Sayyed Hossein, Tiga
Mazdhab Utama Filsafat Islam , IRCiSoD, (Yogyakarta, Maret 2006).
Nasr, Seyyed Hossein (2007),
"Avicenna", Encyclopedia Britannica Online.
Schoun, F, The
Transcendent Unity of Relegions , (New York: 1953).
Sudarsono, Drs, M.Si, Filsafat
Islam , ( Rineka Cipta, Jakarta:2004).
Syed Naquib al-Attas,
Intuition of Existence : A Fundamental Basis of Islamic Metaphisics.
(Kualalumpur : ISTAC.1990).
0 Response to "Filsafat Ilmu: Menurut Ibnu Sina"
Post a Comment