Filsafat Ilmu: Perseftif Ontologi Pendidikan Islam
Masalah-masalah pendidikan Islam
yang menjadi perhatian ontologi -menurut Muhaimin[16]- adalah
bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai
pandangan manusia, masyarakat dan dunia. Pertanyaan-pertanyaan ontologis ini
berkisar pada: apa saja potensi yang dimiliki manusia? Dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadith terdapat istilah fit}rah, samakah potensi dengan fitrah tersebut?
Potensi dan atau fit}rah apa dan dimana yang perlu mendapat prioritas
pengembangan dalam pendidikan Islam? Apakah potensi dan atau fit}rah itu
merupakan pembawaan (faktor dasar) yang tidak akan mengalami perubahan, ataukah
ia dapat berkembang melalui lingkungan atau faktor ajar ?
Lebih luas lagi apa hakekat budaya
yang perlu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Ataukah hanya
ajaran dan nilai Islam sebagaimana terwujut dalam realitas sejarah umat Islam
yang perlu diwariskan kepada generasi berikutnya? Inilah aspek ontologis yang
perlu mendapat penegasan.
Perspektif Epistemologi Pendidikan
Islam
Analisis epistemologis tentang
pendidikan Islam terkait dengan landasan dan metode pendidikan Islam. Kegiatan
pendidikan tertuju pada manusia, dan oleh karenaya menyentuh filsafat tentang
manusia. Kegiatan pendidikan adalah kegiatan mengubah manusia sehingga
mengembangkan hakikat kemanusiaan. Kegiatan pendidikan dilakukan terhadap
manusia dan oleh manusia, yang bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan, dan
hal ini dapat terjadi jika manusia memang “animal educandum, educabile, dan
educans”.
Epistemologis bahwa manusia adalah
animal educandum, educabile dan educans tersebut merupakan hasil analisis
Langeveld, seorang Paedagog Belanda. Analisis fenomenologis tentang manusia
sebagai sasaran tindak mendidik ini menegakkan paedagogik (ilmu pendidikan)
sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang patut dipertimbangkan. Paedagogik
sebagai ilmu pengetahuan melukiskan bahan pengetahuan pendidikan yang
bermanfaat untuk melakukan pengajaran ilmu pengetahuan di sekolah.
Analisis epistemologis dan metode
fenomenologi tentang kegiatan pendidikan –menurut Dimyati- telah melahirkan
paedagogik sebagai ilmu yang otonom. Sedangkan analisis epistemologi dengan pragmatismenya
melahirkan philosophy of education sebagai cabang filsafat khusus. Secara
analisis pragmatis, kegiatan pendidikan dipandang sebagai bagian integral
kebudayaan; dalam hal ini kegiatan pendidikan dipandang sebagai penerapan
pandangan filsafat manusia terhadap anak manusia.[17]
Implikasinya, dapat diilustrasikan jika manusia dipandang sebagai makhluk
rasional, maka kegiatan pendidikan terhadap manusia adalah membuat manusia
menjadi makhluk yang mampu menggunakan dan mengembangkan akalnya untuk
memecahkan masalah-masalah kebudayaan manusia.
Jelaslah bahwa telaah lengkap atas
tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan
memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogi (pendidikan anak) dan data
andragogi (pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein)
dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak
berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah
Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai
yang normatif tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman
atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan
jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafat.
Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya
pedagogik adalah ilmu yang menyusun teori dan konsep pendidikan. Oleh sebab itu
setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan
prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro.
Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogik (dan
telaah pendidikan mikro) serta pedagogik praktis dan andragogi (dan telaah
pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau
menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat
tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafat yang radikal
dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya dan sebagainya.
Dalam hal epistemologi -menurut
Muhaimin- pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan adalah menyangkut hal-hal
berikut: untuk mengembangkan potensi dasar manusia serta mewariskan budaya dan
interaksi antara potensi dan budaya tersebut, apa saja isi kurikulum pendidikan
Islam yang perlu didikkan? Dengan menggunakan metode apa pendidikan Islam itu
dapat dijalankan? Siapa yang berhak mendidik dan didik dalam pendidikan Islam?
Apakah semua yang ada di alam semesta ini, ataukah hanya manusia saja, atau
hanya Muslim saja yang dapat mendidik dalam pendidikan Islam?[18]
Pertanyaan-pertanyaan diatas
mengarah pada upaya pengembangan pendidikan Islam yang secara mendasar berkaitan
dengan persoalan dasar dan sekaligus metodologis. Oleh karena itu jika subtansi
pendidikan Islam merupakan paradigma ilmu, menurut Abdul Munir Mulkhan
maka problem epistemologis dan metodologis pemikiran Islam adalah juga
merupakan problem pendidikan Islam.[19]
Untuk menjawab
permasalahan-permasalahan epistemologis seperti dikemukakan Muhaimin diatas,
maka sangat berhubungan dengan landasan/ dasar dan metode pendidikan dalam
islam. Oleh karenanya, pembahasan berikut menjelaskan landasan dan metode
tersebut.
Untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidikan Islam yang telah ditetapkan, maka diperlukan landasan pendidikan.
Pendidikan Islam dengan karakteristiknya agama juga menjadikan dasar-dasar
agama sebagai landasan pendidikannya. Menurut Darajat bahwa pendidikan Islam
berlandaskan pada tiga hal berikut: Al-Qur’an,Al-Sunnah dan Ijtihad.[20] Al-Nahlawi
sependapat bahwa Al-Qur’an, dan al-Sunnah sebagai asas pokok pendidikan
Islam.[21] Karena nyata
sekali bahwa dimasa rasul dan sahabat pendidikan sangat tergantung dengan
ajaran Al-Qur’an, Terlebih ketika ‘Aishah menegaskan, sesungguhnya akhlak rasul
itu adalah Al-Qur’an.
Adapun pembahasan tentang metode
pendidikan islam, secara umum perhatian para ulama klasik telah tertuju pada
upaya tersebut. Hal ini terbukti dengan munculnya pemikir-pemikir pendidikan.
Menurut Abd al-Ghani ‘Abud mereka ini secara preodik dimulai dari Shahnun
(Wafat 240 H), Muhammad Ibn Shahnun (wafat 256 H), Al-Ajari ( 360 H),
Al-Khawarizmi (377 H), Al-Qabisi (403 H), Ibn Jazzar Al-Qairawani (395 H), Ibn
Afif (420 H), Ibn Abd Al-Barr (423 H), Al-Ghazali (505 H), Al-Zanuji (591 H),
Ibn Jama’ah (733 H), Ibn Al-Hajj Al-Abdari (737 H), Al-Maghrawi (902 H), Ibn
Hajar Al-Haithami (947 H), ditambah para pemikir kontemporer lainya seperti
Burhan Al-Ddin Al-Aqsharani, Al-Qathmuni, Al-‘Amuli, Abi Yahya Zakariya
Al-Ansari, dll.[22]
Mereka ini menurut Abud tergolong
pemikir pendidikan murni dari islam, termasuk Ibn Khaldun (732-808 H). Disisi
lain Abud menggolongkan pemikir (pendidikan) islam yang terpengaruh dengan
model filsafat Yunani, diantaranya Ibn Sina (370-428 H) dan Ibn Maskawaih
(325-421 H).[23]
Para pemikir pendidikan muslim
tersebut mewariskan khzanah pemikirannya dalam kitab-kitab pendidikan.
Diantaranya yang relevan dengan pendidikan anak; Ta’lim al-Sibyan wa ahkam
al-Mu’alimin (Al-Qabisi), ayyuha al-Walad (Al-Ghazali), adab al-Mua’alimin (Ibn
Sahnun), Ta’lim al-Muta’alim (Al-Zanuji)[24], Tahrir
Al-Maqal fi adab wa ahkam wa fawaid yahtaj ilaiha muaddib al-Athfal (Ibn Hajar
Al-Haithami), Jami’ Bayan Al-‘Ilm (Ibn abd Al-Bar)[25], Siyasat
al-Shibyan wa tadbirihim (Ibn Jazzar al-Qairawani), Jami’ Jawami’ Al-Ihtishar
(Al-Maghrawi), Tadhkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim fi adab al-Alim wa
al-Muta’allim (Ibn Jama’ah).[26]
Kitab-kitab tersebut secara umum
menjelaskan bagaimana pendidikan islam dilakukan. Sayangnya kitab-kitab
tersebut banyak yang tidak ditemukan. Adapun dalam hal metode (Tariqah)
pendidikan, menurut Ibn Taimiyah yang dinukil oleh Majid Arsan Kailani
ada dua yaitu pertama; tariqah ‘ilmiah yakni berhubungan dengan bangunan
penyampaian ilmu mencakup media pengajaran, kurikulum dan keseimbangan antara
teoritis dan praktis. Cara (Uslub) yang digunakan dengan uslub hikmah,
al-Mauidah Hasanah dan jadal al-Hasan. Kedua: tariqah iradah yakni metode untuk
mendorong beramal yaitu dengan cara memahami Al-Qur’an, bersedekah,
meninggalkan perbuatan keji, dan ibadah.[27]
Al-Nahlawi menjelaskan tujuh model
(uslub) pendidikan. Pertama: model pendidikan dengan materi percakapan dari
qur’an dan hadith (Al-Tarbiyah bi al-hiwar al-Qur’ani wa al-Nabawi). Kedua:
model cerita dari Qur’an dan Hadith. Ketiga: model perumpamaan (Al-Amthal).
Keempat: model memberi contoh (Qudwah). Kelima: model latihan dan pembiasaan
(al-Mumarathah). Keenam: model nasehat. Ketuju: model memotivasi dan menakuti
(Targhib wa Tarhib).[28]
Al-Abrashi menawarkan sepuluh metode
pengajaran (Tariqat Al-Tadris) ialah istiqra’iyah (inductive), qiyasiyah
(deductive), muhadarah (ceramah), hiwariyah (percakapan), tanqibiyah
(penugasan), I’jab (appreciation), ibtikar (creation), tadrib (drill), dirasat
al-irshadiyah (supervised study) dan ikhtibar (testing).[29]
Perspektif Aksiologi Pendidikan
Islam.
Dalam bidang aksiologi, masalah
etika yang mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan, sangat
prinsip dalam pendidikan Islam. Hal ini terjadi karena kebaikan budi pekerti
manusia menjadi sasaran utama pendidikan Islam dan karenanya selalu
dipertimbangkan dalam perumusan tujuan pendidikan Islam. Nabi Muh}ammad sendiri
diutus untuk misi utama memperbaiki dan menyempurnakan kemuliaan dan kebaikan
akhlak umat manusia.
Disamping itu pendidikan sebagai
fenomena kehidupan sosial, kultural dan keagamaan, tidak dapat lepas dari
sistem nilai tersebut. Dalam masalah etika yang mempelajari tentang hakekat
keindahan, juga menjadi sasaran pendidikan Islam, karena keindahan merupakan
kebutuhan manusia dan melekat pada setiap ciptaan Allah. Tuhan sendiri Maha
Indah dan menyukai keindahan.
Disamping itu pendidikan Islam
sebagai fenomena kehidupan sosial, kulturan dan seni tidak dapat lepas dari
sistem nilai keindahan tersebut. Dalam mendidik ada unsur seni, terlihat dalam
pengungkapan bahasa, tutur kata dan prilaku yang baik dan indah.
Unsur seni mendidik ini dibangun
atas asumsi bahwa dalam diri manusia ada aspek-aspek lahiriah, psikologis dan
rohaniah. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena pendidikan adalah
paduan antara manusia sebagai fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia
memiliki nilai tertentu sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai
individual, sosial dan bobot moral.
Itu sebabnya pendidikan dalam
prakteknya adalah fakta empiris yang syarat nilai dan interaksi manusia dalam
pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan
harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi. Untuk mencapai tingkat manusiawi
itulah pada intinya pendidikan bergerak menjadi agen pembebasan dari kebodohan
untuk mewujutkan nilai peradaban manusiawi.
C. Signifikansi
Filsafat Ilmu
Di mana posisi filsafat ilmu ketika
dihadapkan dengan Islamisasi ilmu pengetahuan. Pada dasarnya filsafat ilmu
bertugas memberi landasan filosofi untuk minimal memahami berbagai konsep dan
teori suatu disiplin ilmu, sampai membekalkan kemampuan untuk membangun teori
ilmiah. Secara substantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan
dan disiplin ilmu masing-masing agar dapat menampilkan teori subtantif.
Selanjutnya secara teknis dihadapkan dengan bentuk metodologi, pengembangan
ilmu dapat mengoprasionalkan pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari
disiplin ilmu masing-masing.
Sedangkan kajiaan yang dibahas dalam
filsafat ilmu adalah meliputi hakekat (esensi) pengetahuan, artinya filsafat
ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan
seperti; ontologi ilmu, epistimologi ilmu dan aksiologi ilmu. Dari ketiga
landasan tersebut bila dikaitkan dengan Islamisasi ilmu pengetahuan maka letak
filsafat ilmu itu terletak pada ontologi dan epistimologinya. Ontologi disini
titik tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas sikap dan
pendirian filosofis yang dimiliki seorang ilmuwan, jadi landasan ontologi ilmu
pengetahuan sangat tergantung pada cara pandang ilmuwan terhadap realitas.
Manakala realitas yang dimaksud
adalah materi, maka lebih terarah pada ilmu-ilmu empiris. Manakala realitas
yang dimaksud adalah spirit atau roh, maka lebih terarah pada ilmu-ilmu
humanoria. Sedangkan epistimologi titik tolaknya pada penelaahan ilmu
pengetahuan yang di dasarkan atas cara dan prosedur dalam memperoleh kebenaran.
Penutup
Bahasa mempunyai fungsi yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat dan bangsa. Bahasa bukan saja merupakan alat
komunikasi tetapi lebih dari itu bahasa dapat merupakan alat politis untuk
mempersatukan bangsa. Bahasa juga merupakan sarana untuk menyerap dan
mengembangkan pengetahuan. Bangsa-bangsa yang sudah mengalami kemajuan-kemajuan
yang mengagumkan dan masuk dalam kategori bangsa maju pada umumnya mempunyai
struktur bahasa yang sudah modern dan mantap. Hal ini menimbulkan suatu
pemikiran bahwa bahasa merupakan salah satu faktor pendukung kemajuan suatu
bangsa karena bahasa merupakan sarana untuk dapat mengantarkan suatu bangsa
untuk membuka wawasannya terhadap pengetahuan dan teknologi yang berkembang.
Semoga
Bermamfaat, Shukran Jazakallah Khairan@
KETERANGAN
[16] Muhaimin,
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan
Perguruan Tinggi ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 65
[19] Abdul Munir
Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan
Dakwah (Yogyakarta: SIPRES, 1993), 213.
[21] Abd
al-Rahman al-Nahlawi, Usul al-Tarbiyah a-Islamiyah wa asalibiha fi-Albait
wa al-Mujtama’ (Mesir:Dar al-Fikr, 1988), 28
[27] Majid
‘Arsan Kailani, Alfikr Al-Tarbawi Ind Ibn Taimiyah (Madinah: Maktabat Dar
Al-Turath, 1986), 145-156.
0 Response to "Filsafat Ilmu: Perseftif Ontologi Pendidikan Islam"
Post a Comment