Filsafat Islam: Filsafat Ketuhanan Dalam Islam
Perkataan ilah, yang
diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai obyek
yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45 (Al-Jatsiiyah):
23, yaitu:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai Tuhannya….?”
Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai
oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:
“Dan Fir’aun berkata: Wahai pembesar kaumku, aku tidak
mengetahui tuhan bagimu selain aku.”
Contoh ayat-ayat tersebut di atas
menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda,
baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun atau
penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai
dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:ilaahaini),
dan banyak (jama': aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin.
Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat,
berdasarkan logika Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu
yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga
manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Perkataan dipentingkan
hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai,
diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan,
dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah
sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan
penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri di hadapannya, takut,
dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan,
berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan
dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta
kepadanya (M.Imaduddin, 1989:56)
Atas dasar definisi ini, Tuhan itu
bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang pasti, manusia tidak
mungkin ateis, tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran,
setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu,
orang-orang komunis pada hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah
ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat
“la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan,
yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan “melainkan
Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari
segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada
satu Tuhan, yaitu Allah.
Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
- Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan
menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran
baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian
rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori
evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang
amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut
mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor,
Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses perkembangan pemikiran tentang
Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:
- Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak
zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan.
Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda
mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang
berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan nama yang
berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti
(India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera
dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius.
Meskipun nama tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.
- Animisme
Masyarakat primitif pun mempercayai
adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik,
mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang
aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai
sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa senang, rasa tidak senang apabila
kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek
negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh.
Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah satu usaha untuk
memenuhi kebutuhan roh.
- Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme
lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang menjadi
sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa
mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang
bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yangmembidangi masalah air, ada yang
membidangi angin dan lain sebagainya.
- Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan
terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui
diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama.
Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu).
Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia
masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk
satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).
- Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme
melangkah menjadi monoteisme. Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk
seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari
filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme, panteisme, dan
teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan
terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877),
ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam
masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah
juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai
kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan
mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew
Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya
sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan
memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa
ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau
wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam
kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam
penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat
primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu
Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993:26-27).
2. Pemikiran Umat Islam
Pemikiran terhadap Tuhan yang
melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat
Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara garis besar, ada aliran
yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara
keduanya. Sebab timbulnya aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan
metodologi dalam memahami Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual
sehingga lahir aliran yang bersifat tradisional. Sedang sebagian umat Islam
yang lain memahami dengan pendekatan antara kontektual dengan tektual sehingga
lahir aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional. Ketiga corak
pemikiran ini telah mewarnai sejarah pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam.
Aliran tersebut yaitu:
a. Mu’tazilah yang merupakan kaum rasionalis di
kalangan muslim, serta menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua
ajaran dan keimanan dalam Islam. Orang islam yang berbuat dosa besar, tidak
kafir dan tidak mukmin. Ia berada di antara posisi mukmin dan kafir (manzilah
bainal manzilatain).
Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai bantuan
ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan
keimanan. Hasil dari paham Mu’tazilah yang bercorak rasional ialah muncul abad
kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya
menurun dengan kalahnya mereka dalam perselisihan dengan kaum Islam
ortodoks. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah,
sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.
b. Qodariah yang berpendapat bahwa manusia mempunyai
kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang menghendaki
apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan manusia harus
bertanggung jawab atas perbuatannya.
c. Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah
berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan
berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.
d. Asy’ariyah dan Maturidiyah yang pendapatnya berada
di antara Qadariah dan Jabariah.
Semua aliran itu mewarnai kehidupan
pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat islam periode masa lalu. Pada
prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan ajaran
dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja diantara
aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan
ia keluar dari islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu pengetahuan
sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan al-Quran
dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Di
antara aliran tersebut yang nampaknya lebih dapat menunjang perkembangan ilmu
pengetahuan dan meningkatkan etos kerja adalah aliran Mu’tazilah dan Qadariah.
Tuhan Menurut Agama-agama Wahyu
Pengkajian manusia tentang Tuhan,
yang hanya didasarkan atas pengamatan dan pengalaman serta pemikiran manusia,
tidak akan pernah benar. Sebab Tuhan merupakan sesuatu yang ghaib, sehingga
informasi tentang Tuhan yang hanya berasal dari manusia biarpun dinyatakan
sebagai hasil renungan maupun pemikiran rasional, tidak akan benar.
Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan
antara lain tertera dalam:
- QS 21 (Al-Anbiya): 92, “Sesungguhnya agama yang diturunkan Allah adalah satu, yaitu agama Tauhid. Oleh karena itu seharusnya manusia menganut satu agama, tetapi mereka telah berpecah belah. Mereka akan kembali kepada Allah dan Allah akan menghakimi mereka.
Ayat tersebut di atas memberi
petunjuk kepada manusia bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan konsep
tentang ajaran ketuhanan sejak zaman dahulu hingga sekarang. Melalui
Rasul-rasul-Nya, Allah memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang dibawa
para Rasul, Adam sebagai Rasul pertama dan Muhammad sebagai terakhir.
Jika terjadi perbedaan-perbedaan
ajaran tentang ketuhanan di antara agama-agama adalah karena perbuatan manusia.
Ajaran yang tidak sama dengan konsep ajaran aslinya, merupakan manipulasi dan
kebohongan manusia yang teramat besar.
2. QS 5 (Al-Maidah):72, “Al-Masih berkata: “Hai Bani
Israil sembahlah Allah Tuhaku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya
syurga, dan tempat mereka adalah neraka.
3. QS 112 (Al-Ikhlas): 1-4, “Katakanlah, Dia-lah
Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya segala
sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun
yang setara dengan Dia.”
Dari ungkapan ayat-ayat tersebut,
jelas bahwa Tuhan adalah Allah. Kata Allah adalah nama isim jumid atau personal
name. Merupakan suatu pendapat yang keliru, jika nama Allah diterjemahkan
dengan kata “Tuhan”, karena dianggap sebagai isim musytaq.
Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran
adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62,
surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19. Dalam al-quran diberitahukan pula
bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah
Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah
ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut
ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.
Dengan mengemukakan alasan-alasan
tersebut di atas, maka menurut informasi al-Quran, sebutan yang benar bagi
Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah
tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal
ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi.
Esa menurut al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal
dari bagian-bagiandan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia
tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam,
yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus
menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.
Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber
dari al-quran memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk
mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan
praktik menjalani kehidupan
Semoga
Bermamfaat, Shukran Jazakallah Khairan@
0 Response to "Filsafat Islam: Filsafat Ketuhanan Dalam Islam"
Post a Comment