Sucikan Diri Benahi Hati
Bismillahirrahmani rahim…
Wahai Kaum Muslimin, ketahuilah
menyucikan jiwa yang menjadi penentu, apakah seseorang akan hidup bahagia di
dunia dan akhirat adalah pondasi, ruh, sandaran, dan poros pensucian jiwa yang
tidak lain adalah mentauhidkan Allâh
Diantara yang bisa menyucikan jiwa
dan memperbaiki hati adalah perbaharuan terhadap keimanan secara
berkesinambungan. Iman itu perlu diperbarui karena dia dapat lusuh seperti
pakaian. Diantara yang dapat menyucikan jiwa adalah melakukan amalan-amalan
hati yaitu niat dan tujuan seseorang dalam beramal & bertaubat dari
semua dosa. Sucikan Diri Benahi Hati.
Sejak dahulu kala semua orang yang
berakal, berpendidikan dan berbudaya mendambakan pensucian jiwa dan perbaikan
hati. Mereka menempuh berbagai cara, menerapkan metode-metode dan meniti
banyak jalan untuk menggapai cita-cita tersebut. Namun ada diantara mereka yang
justru menyiksa diri sendiri dengan melakukan perkara-perkara yang melelahkan
dan menyakitkan karena tidak sesuai syariat. Akibatnya, perbuatan-perbuatan
ini menyeret dan menenggelamkan mereka ke dalam syahwat, kelezatan dunia,
menzalimi jiwa, dan menyibukkan diri dengan metode-metode, pemikiran-pemikiran
yang tidak sesuai dengan kenyataan, dan tidak sejalan dengan akal sehat.
Namun, orang yang bisa bersikap adil,
dan bisa menilai perkara-perkara dengan bijak, dia tidak akan segan untuk
menyatakan bahwa kebahagiaan hakiki yang menjadikan kehidupan semakin
bermakna, yang bisa menenangkan hati, dan mensucikan diri telah dijelaskan cara
dan metodenya oleh al-Qur’an dan Sunnah dengan sangat jelas, terperinci namun
tetap simpel dan padat serta dijamin mampu menghantarkan kepada kebahagiaan
yang hakiki.
Allâh Azza wa Jalla mengutus para
rasul dan mewahyukan kitab-kitab untuk menunjukkan kepada manusia bagaimana
metode menyucikan jiwa dan memperbaiki hati.
Realisasi hal ini adalah dengan
mentauhidkan Allâh, yaitu beribadah kepada Allah dengan ikhlas* dan ini
merupakan hikmah penciptaan makhluk, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla.
“Dan tidaklah Aku
menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku” [adz-Dzâriyât
/51:56]
Di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
telah dijelaskan bagaimana cara menyucikan jiwa yang menjadi penentu, apakah
seseorang akan hidup bahagia di dunia dan akhirat ataukah sebaliknya ? Dengan
jelas dan gamblang, al-Qur’an menjelaskan bahwa pondasi, ruh, sandaran, dan
poros pensucian jiwa yang tidak lain adalah mentauhidkan Allâh.
Tauhid mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan dalam menyucikan jiwa dan membenahi hati seorang Muslim. Tauhid
mampu menyatukan tujuan dan maksud, serta menyelaraskan antara ilmu dengan
amal. Sehingga pemahaman, akidah, amalan, kehendak, kecenderungan, dan kegiatan
seorang Muslim berjalan menuju satu arah dan serasi, tidak ada kontradiksi. Dengan
demikian, beban kehidupan dapat hilang dari pundak seseorang, akibat dari
kontradiksi antara tujuan dan perbuatan.
Diantara yang bisa menyucikan jiwa
dan memperbaiki hati adalah perbaharuan terhadap keimanan secara
berkesinambungan. Iman itu perlu diperbarui karena dia dapat lusuh seperti
pakaian. Oleh karena itu, para sahabat Rasûlullâh mengandeng tangan saudaranya
yang lain seraya mengatakan, “Marilah kita memperbarui iman kita meskipun
sesaat” kemudian mereka duduk di suatu majlis, lalu berdzikir kepada Allâh.
Dzikrullâh, membaca al-Qur’an,
melakukan ketaatan adalah cara ampuh untuk memperbarui iman yang bersemayam
dalam jiwa seorang Mukmin. Karena iman itu bisa bertambah dengan sebab
perbuatan taat dan berkurang dengan sebab kemaksiatan. Dalam usaha meningkatkan
keimanan seorang Mukmin mestinya benar-benar bersandar kepada Allâh sehingga
akan menghasil buah yang penuh barakah yaitu kesucian jiwa, sebagaimana di
sabdakan oleh Nabi yang mulia dalam do’anya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ya Allâh ! Berikanlah
ketaqwaan kepada jiwaku dan sucikanlah jiwaku, sesungguh Engkau Pembersih jiwa
terbaik
Termasuk jalan untuk mensucikan jiwa dan memperbaiki hati
adalah selalu mengingat-ingat nikmat-nikmat yang Allâh Azza wa Jalla berikan
kepada kita. Nikmat-nikmat itu terlampau banyak sehingga terhitung. Allâh Azza
wa Jalla berfirman.
“Dan jika engkau
menghitung nikmat Allâh kamu tidak akan mampu menghitungnya” [an-Nahl/16:18]
Orang yang senantiasa mengingat
nikmat-nikmat ini akan menyadari ketergantungannya kepada Allâh Azza wa Jalla ,
sehingga dia akan memfokuskan diri dalam beribadah dengan khusyu’. Bagaimana
tidak ?! Semua yang dia rasakan saat ini seperti hidup, sehat, harta, anak,
terhormat dan lain-lainnya adalah pemberian dari Allâh Azza wa Jalla . Allâh
memberikannya dengan cara dan dalam waktu yang Allâh Azza wa Jalla pilih, bisa
saja pemberiaan ini diambil setiap saat, tanpa ada yang mampu menghalangi-Nya.
Kesadaran akan pemberian Allâh Azza
wa Jalla yang melimpah ini bisa mendorong seorang hamba untuk menyadari
kelemahan dirinya dan menyadari betapa ia sangat butuh kepada Rabbnya dalam
semua urusan. Namun, mengingat nikmat mesti diiringi dengan amalan yang
diridhai dan dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla sehingga bernilai pada hari
Kiamat. Realisasinya yaitu dengan mengerjakan kebaikan-kebaikan dan
meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, dengan tetap mengutamakan amalan-amalan
fardhu, karena amalan fardhu merupakan amalan yang paling bisa mendekatkan
seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla.
Diantara yang dapat menyucikan jiwa
adalah melakukan amalan-amalan hati. Hati ibarat raja bagi anggota badan, jika
hati itu baik maka semua anggota badan akan baik dan apabila hati rusak maka
semua anggota badan ikut rusak.
Termasuk perbuatan hati yang paling
penting dan paling agung adalah niat dan tujuan seseorang dalam beramal. Niat
ini memiliki peran penting dalam masalah diterima atau tertolaknya amal seorang
Muslim. Oleh karena itu hendaknya kita senantiasa bertakwa kepada Allâh Azza wa
Jalla dan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar kita dijadikan termasuk
orang-orang yang ikhlas dalam beramal.
Sarana berikutnya yang bisa
menyucikan jiwa dan membenahi hati seorang Muslim adalah bertaubat dari semua
dosa. Karena tidak seorang manusiapun yang luput dari dosa. Ibnu Qayyim
mengatakan bahwa taubat adalah ibadah yang paling dicintai dan dimuliakan oleh
Allâh. Sungguh Allâh mencintai orang-orang yang bertaubat. Seandainya taubat
itu bukan amalan yang paling dicintai oleh Allâh, tentu Allâh tidak menguji
manusia yang paling mulia dengan dosa. (Namun) karena Allâh mencintai taubat
hamba-Nya maka Allâh menguji hamba tersebut dengan dosa.
Taubat mempunyai kedudukan yang tidak
dimiliki ketaatan-ketaatan lain. Oleh karena itu Allâh sangat senang dengan
taubat hamba-Nya. Sebagaimana digambarkan oleh Rasûlullâh seperti senangnya
orang saat menemukan kembali hewan tunggangannya yang hilang padahal berisi
semua bekal perjalanannya, ketika dia sedang safar di tanah yang sangat gersang
sekali.
Kegembiraan Allâh Azza wa Jalla tentu
memiliki pengaruh besar pada hati orang yang bertaubat. Orang yang bertaubat
yang menyadari ini akan merasakan kegembiraan yang tidak bisa diungkap dengan
kata-kata. Ini termasuk rahasia kenapa seorang hamba ditakdirkan berdosa lalu
bertaubat. Karena saat bertaubat, seseorang akan menyadari dengan hati dan
mengakui dengan jujur betapa hina dan rendah dirinya dihadapan Allâh Azza wa
Jalla Kesadaran dan pengakuan seperti lebih dicintai oleh Allâh daripada
perbuatan-perbuatan dzahir dalam jumlah yang banyak. Inilah inti penghambaan
seseorang kepada Allâh Azza wa Jalla.
Memang semua ibadah yang dilakukan
seseorang akan memunculkan rasa tunduk dan patuh kepada Allâh, namun ketundukan
yang muncul dari taubat lebih kuat daripada yang lainnya. Perbuatan dosa yang
dilakukan seseorang lalu disesali dan bertaubat darinya akan mendorong dia
untuk melakukan berbagai perbuatan taat, baik yang bersifat fisik maupun
bersifat amalan hati seperti muncul rasa takut kepada Allâh Azza wa Jalla ,
malu kepada Allâh Azza wa Jalla, bersimpuh dihadapan Rabbnya mengakui,
menangisi kesalahannya serta sangat berharap magfirah dari Allâh Azza wa Jalla
Ini jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan perbuatan taat namun menimbulkan
rasa ujub pada diri pelakunya.
Taubat yang dilakukan oleh seseorang
wajib memenuhi syarat-syaratnya yaitu bertekad untuk berhenti dari perbuatan
dosanya dan bertekad untuk tidak akan mengulanginya, menyesali dosa-dosa yang
telah dilakukan, dan apabilaa dosa itu berhubungan dengan manusia maka harus
ada syarat keempat, yaitu meminta maaf kepadanya. Disamping hal-hal di atas,
taubat seharusnya juga mendorong seseorang untuk tetap istiqamah melakukan
berbagai perbuatan taat. Karena inti taubat itu adalah kembali kepada Allâh
dengan cara mengerjakan apa yang Allâh cintai dan meninggalkan apa yang Allâh
benci atau haramkan.
Taubat adalah kembali dari hal-hal
yang dibenci menuju hal-hal yang dicintai. Jadi menuju hal-hal yang dicintai
adalah bagian dari taubat, begitu juga meninggalkan hal-hal yang dibenci adalah
bagian dari taubat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
“Dan bertaubatlah
kalian semua kepada Allâh agar kalian beruntung” [an-Nûr/24:31]
Semua yang bertaubat adalah orang
yang beruntung, namun seseorang tidak dikatakan beruntung kecuali jika dia
menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Allâh berfirman;
“Dan barangsiapa yang
belum bertaubat, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.” [al-Hujurat/49:11]
Orang yang meninggalkan perintah
adalah orang zhalim, sebagaimana orang yang mengerjakan larangan juga zhalim.
Seseorang akan disebut tidak zhalim jika dia menjalankan kedua-duanya yaitu
menjalankan perintah dan menjauhi larangan.
Itulah beberapa hal yang bisa
membersihkan dan menyucikan jiwa seorang Mukmin. Dan masih banyak lagi
sarana-sarana yang bisa dilakukan oleh seseorang untuk menggapai kesucian jiwa.
Intinya semua yang perintah dan larangan dari Allâh dan Rasul-Nya menjadi
sarana untuk membersihkan diri manusia dari noda dosa.
Akhirnya, jika kita hendak menjaga
dan ingin menggapai kebersihan jiwa maka hendaklah kita senantiasa mengambil
metode dan sarananya dari Kitabullah dan Sunnah Nabi, dengan tujuan mencari
ridha Allâh, dan meniru jejak-jejak orang-orang yang dipilih oleh Allâh. Allâh
Azza wa Jalla berfirman.
“Mereka itulah
orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allâh dan mereka itulah orang-orang yang
berakal.” [az-Zumar/39:18]
Makassar 5 Agustus 2017
Muhammad
Akbar bin Zaid, S.Pd
Wallahu
a’lam bishowab…
0 Response to "Sucikan Diri Benahi Hati"
Post a Comment