Realitas Bangsa Indonesia: Makna Kemerdekaan Bagi Ummat Islam
Bulan ini bangsa Indonesia kembali memperingati hari
kemerde-kaannya yang ke 72 tahun. Semarak menyambutnya telah nampak sejak jauh
hari. Spanduk, bendera, umbul-umbul, dan baliho-baliho bertuliskan “Dirgahayu
Kemerdekaan Republik Indonesia” menghiasi jalan-jalan raya. Semuanya
menjadi semarak menyambut hari bersejarah itu. Namun di balik kesemarakannya,
masih terselip berbagai pertanyaan di benak kita; benarkah kita sudah merdeka
secara hakiki? apa makna kemerdekaan bagi kita? bagaimana
kita mengisi kemerdekaan yang kita rasakan saat ini?. Sebelum kita
melihat lebih jauh, ada baiknya kita mencoba mengingat kembali bagaimana
kemerdekaan itu bisa hadir di negeri tercinta ini.
Ketika kita membuka kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa
ini, maka kita akan menemukan jejak Islam di setiap lembarannya. Ya, jejak
perjuangan kaum muslimin dan para ulama yang menentang penindasan dan
mengagungkan nama Islam. Bahkan perjuangan kemerdekaan tersebut telah ada jauh
sebelum terbayangnya sebuah komunitas bernama Indonesia.
Dalam sejarah itu, kita dapat melihat bagaimana semangat
jihad melebur ke dalam budaya masyarakat Indonesia, yang memang menjadi
mayoritas muslim kala itu. Tampilnya para pejuang Islam di beberapa wilayah
seperti ; di Aceh dengan Hikayat Perang Sabil-nya, di Jawa dengan dengan Pangeran Diponegoro yang hendak merdeka
dan melawan penjajahan, di Makassar dengan Sultan
Alauddin yang berdiri tegak mempertahankan kesulta-nannya dari rongrongan
VOC, KH Hasyim
Asy’ari dengan Resolusi Jihad-nya dan daerah-daerah lainnya,
semuanya menjadi warna perjuangan dalam kemerdekaan bangsa kita.
Bertumpuk-tumpuk badan telah menjadi syahid, insyaa Allah.
Bersahut-sahut takbir memanggil, mengantar nyawa mereka bercerai dari badannya,
yang dengannya mereka mempertanggungjawabkan jihadnya di hadapan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan, ketika perjuangan beralih ke zaman setelah itu,
Islam tetap menjadi sumbu dari berputarnya usaha-usaha menuju kemerdekaan.
Tak heran, jika para ulama dan tokoh Islam, ketika memiliki
kesempatan untuk mewarnai lahirnya Indonesia, mereka memanfaat-kannya dengan
memperjuangkan Islam sebagai pondasi negara. Melalui Piagam Jakarta (Jakarta Charter),
umat Islam mencoba menyalurkan citanya untuk menjadikan Indonesia sebagai
negara merdeka yang bertauhid. Meskipun akhirnya pupus karena suatu sebab yang
disesalkan para tokoh Islam waktu itu.
Makna Kemerdekaan Manusia sebagai makhluk Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah dianugerahi keistimewaan tersendiri yang tidak diperoleh oleh
makhluk-makhluk lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami berimereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.” (QS. Al-Isra’ : 70).
Salah Kaprah Pemahaman
kemerdekaan yang sempit adalah ketika seorang hanya memandang bahwa kemerdekaan
itu hanya ketika pasukan musuh berhasil dipukul mundur dari wilayah perbatasan
sebuah bangsa. Ya, itu memang adalah bagian dari indikasi kemerdekaan, namun
bukan esensi (pokok). Mengapa demikian? Hal ini karena penjajahan terhadap
suatu negeri, bukan hanya berupa penghancuran negeri tersebut oleh pasukan
musuh, dirampasnya berbagai kekayaan alam dan sumberdaya oleh para penjajah,
dan semacamnya, melainkan dengan corak dan ragamnya yang banyak, dan bahkan lebih buruk dari bentuk penjajahan
fisik tersebut.
Seberapa besar keuntungan yang diraih dengan kepulangan pasukan musuh ke negerinya, jika sistem kehidupan
para penjajah, yang bertentangan dengan Islam dan jatidiri bangsa masih
diterapkan di negeri ini? Jika demikian adanya, bukankah sebenarnya kita masih
tetap dijajah, meski tidak dengan mesiu dan peluru? Memang, entah karena tidak
tahu, lupa atau disengaja, masalah ini kerap dilupakan oleh generasi saat ini.
Maka, penjajahan dalam
arti yang sebenarnya adalah upaya untuk menjauhkan dan menghalangi manusia
untuk mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh). Dari sini,
kemerdekan itu sejatinya bersifat bertingkat-tingkat, antara satu individu atau
komunitas dengan individu atau komunitas lainnya. Semuanya tergantung dari
sejauh mana ia mampu menerapkan Islam dan nilai-nilainya yang agung dan mulia
dalam hidup dan kehidupannya. Wallahu a’lam. Bentuk Penjajahan Corak dan ragam
penjajahan itu bermacam-macam.
Pertama, iblis adalah
penjajah yang paling berbahaya bagi manusia. Bahayanya seperti apa? Ia
senantiasa berupaya untuk menyesatkan manusia dari jalan hidayah dan Islam
hingga hari kiamat. Iblis berkata sebagaimana disebutkan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala,
“Karena
Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan
(menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan
mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri
mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al-A’raf : 17).
Kedua, penjajah manusia yang tidak
kalah bahayanya adalah nafsu dan syahwatnya, yang selalu mengajak kepada
kejelekan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan” (QS.
Yusuf : 53). Nafsu di sini adalah nafsu lawwamah yaitu jiwa yang selalu
goncang, yang jika tidak diarahkan, akan mengantarkan manusia kepada keburukan.
Nafsu dan syahwat seperti ini akan bisa diatasi di antaranya dengan ilmu
(agama) untuk memperkuat ruhiyah.
Ketiga, penjajah dalam rupa dunia,
juga kerap menampakkan kedigyantaraannya dalam menjajah jiwa manusia. Penjajah
yang satu ini, tak puas-puas membuat ulah, padahal hampir semua darah yang
tertumpah di permukaan bumi atas namanya. Ya, cinta dunia adalah racun dalam
kehidupan umat manusia. Karena seorang yang cinta dunia dikhawatirkan akan
membuang cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, demikian pula sebaliknya,
seseorang yang cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak akan memberikan
tempat bagi dunia itu menempel di hatinya.
Akhirnya, mari kita syukuri kemerdekaan ini dengan
mempertahankan
keutuhan jati diri bangsa ini dengan nilai-nilai Islam yang tinggi dan cinta
kepada negeri ini sebagai negeri Islam. Dengan itu, insyaaAllah kita akan mampu
meraih kejayaan di masa yang akan datang dan meneruskan sejarah bangsa ini
menjadi sebuah “baldatun thayyibatun warabbun ghafuur“ yaitu sebuah negara dan
bangsa yang meraih maghfirah (ampunan), kesejahteraan dan kedamaian dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala selama-lamanya. Amin…
Wallahu a’lam bishowwab…
0 Response to "Realitas Bangsa Indonesia: Makna Kemerdekaan Bagi Ummat Islam"
Post a Comment