Membiasakan Diri Berprasangka Baik
Berperangka Baik atau sering kita sebut
dengan istilah Khusnozhon adalah suatu kajian aqida akhlak Islam yang selalu
dianjurkan bahkan diwajibkan kepada kita sebagai seorang muslim sebagaimana
firman Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian
kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari
persangkaan itu merupakan dosa.” [Q.S Al-Hujurat: 12]
Berperasangka baik bertitik berat pada
hati dan pikiran kita, memerlukan kesabaran dan keimanan yang baik.
Seseorang yang ditimpa musibah, sedang berada dalam kesedihan atau
sebagainya yang bersifat melukai hatinya sering kali mencari kambing hitam dari
semua masalah yang dialaminya.
Saudaraku...., bukannya
berperasangka baik itu adalah suatu usaha untuk melapangkan dan membersihkan
hati? Sebaliknya, bukankan berperasangka buruk itu menyesakkan dadamu? Membuat
pikiranmu sibuk serta emosimu susah untuk engkau kendalikan? Dalam al-quran
Allah berfirman :
"Wahai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam jama'ah
hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku."
[Q.S al-Fajr : 27-30]
Jiwa yang tenang di
atas maksudnya adalah jiwa-jiwa yang telah dipenuhi rahmat dan petunjuk Allah,
hati jiwa yang tunduk terhadap perintah Allah. Secara ilmu tafsir, Adapun
kata al-muthmainnah yang berarti jiwa yang tenang dalam ayat tersebut
merupakan ism al-fâ’il dari al-thuma’nînah wa al-ithmi’nân. Secara bahasa, kata
al-thuma’nînah berarti as-sukûn (diam, tenang, tidak bergerak). Dijelaskan
juga oleh al-Asfahani, kata tersebut berarti as-sukûn ba’da al-inzi’âj (tenang
setelah gelisah atau cemas). Menurut at-Tunisi, kata ithma’anna digunakan
ketikahâdiran ghayra mudhtharib wa lâ munza’ij (tenang, tidak cemas dan tidak
gelisah). Kata itu juga bisa juga digunakan untuk menunjuk ketenangan jiwa
karena membenarkan apa yang dalam al-Quran tanpa ada keraguan dan kebimbangan.
Oleh karena itu, penyebutan tersebut
merupakan pujian atas jiwa tersebut. Bisa pula, ketenangan jiwa tersebut tanpa
takut dan fitnah di akhirat. Jiwa yang tenang itu jua tak luput dari jiwa yang
berperasangka baik, bersabar karenan Allah. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
pernah menyampaikan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
artinya :
“Hati-hati kalian dari persangkaan yang buruk (zhan)
karena zhan itu adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah kalian mendengarkan
ucapan orang lain dalam keadaan mereka tidak suka. Janganlah kalian
mencari-cari aurat/cacat/cela orang lain. Jangan kalian berlomba-lomba untuk menguasai
sesuatu. Janganlah kalian saling hasad, saling benci, dan saling membelakangi.
Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana yang Dia
perintahkan. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, maka
janganlah ia menzalimi saudaranya, jangan pula tidak memberikan
pertolongan/bantuan kepada saudaranya dan jangan merendahkannya. Takwa itu di
sini, takwa itu di sini.” Beliau mengisyaratkan (menunjuk) ke arah dadanya.
“Cukuplah seseorang dari kejelekan bila ia merendahkan saudaranya sesama
muslim. Setiap muslim terhadap muslim yang lain, haram darahnya, kehormatan dan
hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat ke tubuh-tubuh kalian, tidak pula ke
rupa kalian akan tetapi ia melihat ke hati-hati dan amalan kalian.”
[HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no.
6482]
Zhan yang disebutkan dalam hadits di
atas dan juga di dalam ayat, kata ulama kita, adalah tuhmah (tuduhan). Zhan
yang diperingatkan dan dilarang adalah tuhmah tanpa ada sebabnya. Seperti
seseorang yang dituduh berbuat fahisyah (zina) atau dituduh minum khamr padahal
tidak tampak darinya tanda-tanda yang mengharuskan dilemparkannya tuduhan
tersebut kepada dirinya. Dengan demikian, bila tidak ada tanda-tanda yang benar
dan sebab yang zahir (tampak), maka haram berzhan yang jelek. Terlebih lagi
kepada orang yang keadaannya tertutup dan yang tampak darinya hanyalah
kebaikan/keshalihan. Beda halnya dengan seseorang yang terkenal di kalangan
manusia sebagai orang yang tidak baik, suka terang-terangan berbuat maksiat,
atau melakukan hal-hal yang mendatangkan kecurigaan seperti keluar masuk ke
tempat penjualan khamr, berteman dengan para wanita penghibur yang fajir, suka
melihat perkara yang haram dan sebagainya. Orang yang keadaannya seperti ini
tidaklah terlarang untuk berburuk sangka kepadanya. [Al-Jami’ li Ahkamil
Qur`an 16/217, Ruhul Ma’ani 13/219]
Saudaraku, Islam memfasilitasi umat
manusia agar dapat menikmati hidup ini dengan tenang, damai dan tanpa beban.
Menikmati hidup dengan selalu tersenyum, ringan dalam melangkah, serta memandang
dunia dengan berseri-seri. Inilah implementasi dari ajaran Islam yang memang
dirancang untuk selalu memudahkan dan menjadi rahmat bagi sekalian alam. Untuk
mewujudkan hidup yang selalu tersenyum, ringan dan tanpa beban tersebut; Islam
memberikan beberapa tuntunan. Yaitu di antaranya: menjaga keseimbangan, selalu
berbaik sangka (husnuzhon), juga dengan berpikir positif.
Secara naluriah, setiap manusia pasti
merindukan perubahan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupannya.Baik secara
individu, maupun sosial untuk membangun jiwa serta pikiran yang bersih.
Terutama dalam menyikapi kehidupan yang sarat dengan tantangan di era
globalisasi saat ini.
Banyak langkah yang ditempuh untuk
membangun jiwa menuju pola pikir yang positif dan pikiran yang bersih berdasarkan
hati nurani yang fitrah. Dimulai dengan mengubah paradigma dan meluluskan tekad
dan niat yang tulus untuk meraih perubahan. Tidak berpikiran statis (jumud),
tak angkuh, aniaya, egoisme, menjadi sosok yang berbeda, teguh dalam prinsif,
istiqomah serta ridho dalam menerima takdir Allah subhanahu wata’ala.
Upaya membangun jiwa positif dalam
kajian fokus kali ini, mari kita mengambil beberapa penelitian yang membahas
tema kecemasan jiwa dari sisi pandang agama Islam yang dilandasi oleh keimanan
yang telah meresap dalam qalbu manusia yang hatinya mati dapat dibangkitkan
dengan ketenangan dan ketenteraman jiwanya. Ada beberapa kiat bagaimana
membangun jiwa yang memiliki perasangka yang baik secara Islam yakni sebagai
berikut:
Pertama,
luruskan pikiran. Berdasarkan firman Allah dalam surah Ar-Ra’du: 11,
Allah menjelaskan tentang hukum perubahan dalam kehidupan manusia. Oleh
karenanya keadaan anda tidak akan berubah dari satu kondisi selama anda belum
mengenal hukum perubahan ini dengan baik. Maka tinggal upaya anda untuk
mengatasi rasa cemas atau agar terbebas dari keresahan.Tidak akan berguna hidup
anda adalah refleksi dari gaya berpikir anda dengan kapasitas anda pula. Anda
bisa sakit atau juga bisa menikmati sehat. Kedudukan seseorang bukan penentu
kebahagiaan atau kesengsaraan seseorang. Tetapi bagaimana menyikapinya mengubah
cobaan berat menjadi sebuah karunia seperti diungkap oleh Mujtahid dan ulama
besar Ibnu Taimiyah berkata,
Apa yang dilakukan oleh musuh-musuhku? Tamanku dan
surgaku berada dalam dadaku. Membunuhku sama halnya dengan mati syahid.
Mengasingkanku sama dengan bertamasya, memenjarakanku sama dengan berkhalwat.
Kedua, tinggalkan sifat
perfeksionisme, yaitu sifat orang-orang yang menginginkan segala sesuatunya
berjalan dengan semestinya atau berjalan dengan sekehendaknya. Sifat ini banyak
menjadikan orang stress dan gangguan jiwa berupa cemas atau gangguan-gangguan
lainnya.
Ciri-ciri
sifat perfeksionisme adalah :
Ø Mereka
tidak mau menerima kekurangan yang ada pada dirinya.
Ø Mereka
ingin segala maksud dan tujuannya tercapai dengan mulus tanpa rintangan sesuai
dengan yang diinginkan.
Ø Memiliki
sifat hipokrit (munafik). Ada hadits Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam.,
yang mengandung makna demikian: “Orang yang mati syahid, orang yang berilmu,
orang yang mengaku dermawan, ketiga-tiganya terlempar ke neraka lantaran
lahiriahnya berjiwa malaikat, tapi karakternya berhati iblis”.
Ketiga, hilangkan rasa
cemburu terhadap apa yang dimiliki orang lain. Rasa cemburu salah satu
sebab timbulnya rasa cemas. Rasa cemburu timbul lantaran kurangnya memiliki
sifat kepercayaan diri. Rasa cemburu tidak hanya menimpa pada sektor kehidupan
rumah tangga saja, akan tetapi bisa dalam sector lainnya. Bisa cemburu lantaran
orang tersebut kurang dihormati di masyarakat, padahal orang tersebut pintar,
alim dan lainnya. Bisa cemburu lantaran kurang sukses dalam bidang ekonomi,
politik, sosial, jabatan, gelar akademik dan sebagainya. Ingatlah, bahwa
berpikir cemburu adalah cara berpikir yang keliru dan salah. Kita memiliki rasa
percaya diri terhadap kemampuan yang kita miliki. Ingatlah, kebahagiaan anda
bukan dari orang lain, tetapi muncul dari diri anda sendiri.
Keempat,
jadilah sosok berbeda dan jadilah diri sendiri.Islam sebagai agama kita
telah menentang sifat ikut-ikutan. Islam sangat mengagumkan dalam independensi
dalam kepribadian individu. Dalam Islam istilah ikut-ikutan dinamakan
imma’iyyah, yang diambil dari kata imma’a yang tersusun dari 2 kata yang berarti
jika dan ma’a, bersama-sama. Jadi artinya, jika orang berbuat ini, maka saya
bersama mereka. Rasulullah sallallahu
alaihi wasallam., bersabda,
“Janganlah kalian ikut-ikutan. Para sahabat
bertanya: Apa arti Imma’atan ya Rasulullah?Rasulullah sallallahu alaihi
wasallam., menjawab, “Saya bersama orang-orang yang jika orang-orang berbuat
baik, maka saya pun berbuat baik. Jika mereka berbuat zalim, maka saya pun
berbuat zalim, melainkan aturlah dirimu sendiri,”
(HR. Tirmidzi).
Sistem tarbiyah yang dilakukan Nabi
Muhammad sallallahu alaihi wasallam., kepada para sahabatnya tak berdasarkan
metode ikut-ikutan, dengan tujuan agar menghasilkan karakter yang berbeda beda,
tapi memiliki keunggulan masing-masing. Sesuai dengan porsinya. Mari kita
renungkan hadis Rasulullah sallallahu alaihi wasallam., yang maknanya,
“Orang yang paling penyayang kepada ummatku adalah
Abu Bakar. Orang yang paling tegas dalam urusan agama atau hukum Allah adalah
Umar bin Khotob, orang yang memiliki rasa malu adalah Utsman bin Affan, orang
yang pandai membaca Quran adalah Ubay bin Ka’ab, orang yang pandai ilmu
faroo-idl adalah Zaid bin Tsabit, orang yang paling pandai atau ‘alim adalah
Mu’adz bin Jabal. Bukankah setiap umat ini ada yang berjiwa pemimpin? Dan orang
yang memiliki jiwa ini adalah Abu Ubaidah bin Zarrah,”
(HR. At-Tirmidzi, An Nasa’i, At-
Thabarani dan Al Bayhaqqi).
Kelima, berusaha
untuk menghilangkan penyakit hati. Penyakit ini tentu bukan virus atau
sejenis mikroba. Akan tetapi penyakit ini akibat adanya kerusakan pikiran yang
bersumber dari hati manusia. Dan akibat tipisnya iman kita kepada Allah swt.
Bahaya sifat ini ditegaskan Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam.,
"Waspadalah kalian dari sifat iri, karena sifat
iri itu akan memakan kebaikan-kebaikan, sebagaimana api memakan kayu bakar atau
rerumputan kering". (HR. Abu Dawud).
Tantangan hidup manusia di era
globalisasi saat ini berkaitan dengan bagaimana cara membangun nilai-nilai
positive thinking. Maka yang perlu kita sikapi sebagai da’i adalah bagaimana
seharusnya profil seorang da’i yang selalu memberi pencerahan dan tausiyah
kepada umat dalam membangun masyarakat madani yang berperadaban seperti
diungkap oleh Nurcholis Madjid mengutip masyarakat yang pernah dibangun oleh
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam., di Madinah.
Ada
5 pilar dalam membangun masyarakat madani:
1. Masyarakat
rabbaniyah, masyarakar religius, yang dilandasi semangat berketuhanan atau
tauhidiyah.
2. Masyarakat
demokratis, hidup dalam suasana musyawarah dalam memecahkan persoalan
kemasyarakatan atau muamalat.
3. Masyarakat
toleran. Masyarakat Madaniyah adalah masyarakat majemuk, plural, baik dari suku
maupun agama.
4. Masyarakat
yang berkeadilan.
5. Masyarakat
yang berilmu.
walloohu
a'lam,
0 Response to "Membiasakan Diri Berprasangka Baik"
Post a Comment