'

Selamat Datang di Website Resmi Muhammad Akbar bin Zaid “Assalamu Alaikum Warahmtullahi Wabarakatu” Blog ini merupakan blog personal yg dibuat & dikembangkan oleh Muhammad Akbar bin Zaid, Deskripsinya adalah "Referensi Ilmu Agama, Inspirasi, Motivasi, Pendidikan, Moralitas & Karya" merupakan kesimpulan dari sekian banyak kategori yang ada di dalam blog ini. Bagi pengunjung yang ingin memberikan saran, coretan & kritikan bisa di torehkan pada area komentar atau lewat e-mail ini & bisa juga berteman lewat Facebook. Terimah Kasih Telah Berkunjung – وَالسٌلام عَلَيْكُم

Wisata Budaya adat kawasan Ammatoa Bulukumba, Sulawesi-Selatan

Salah satu destinasi wisata adat Di Sulawesi Selatan, Khususnya Bulukumba adalah Ammatoa, terletak Kecamatan kajang Kabupaten Bulukumba. Masyarakat kajang Ammatoa merupakan salah satu suku tertua yang sangat terkenal Di Sulawesi Selatan. Budaya dan kehidupan sosial masyarakat Ammatoa yang Unik menjadi daya tarik tersendiri bagi para Wisatawan Local maupun mancanegara.
Kawasan adat masyarakat Kajang berada dalam wilayah administrasi desa Tanah Tao yang berjarak 56 km dari kota Bulukumba. Tana Toa Lahir karena ketidak teraturan yang terjadi dimasa lampau, dimana kehidupan didunia termasuk kehidupan manusia pada waktu itu masih dalam keadaan liar. Keadaan ini mendorong sejumlah manusia untuk membentuk sebuah kelompok dengan segala aturan didalamnya yang sampai saat ini masih dipegang teguh dan dilestarikan oleh masyarakatnya.
Saat ini Kajang Ammatoa dipimpin oleh AmmaToa yang ke-22 yang bertanggung jawab melestarikan dan menjadi agar adat dan tradisi bisa berjalan selaras dengan alam sekitar.
Berikut beberap ciri khas yang melekat pada masyarakat Kajang AmmaToa. :
1.      Cara Berpakaian.
Salah satu ciri khas menarik yang dimiliki Masyarakat Kajang AmmaToa adalah pakaian Hitamnya, bahkan mitos berkembang dimasyrakat dengan mengidentikkan masyrakat Kajang dengan Ilmu Spiritualnya.
2.      Kekayaan Alam
Suku Kajang memiliki nilai kearifan budaya yang diaplikasikan dalam pengelolaan kawasan hutan. Suku kajang membagi ke dalam tiga (3) bagian untuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Pembagian kawasan ini dikenal dengan sebutan Borong Karamaka (hutan keramat) yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, terkecuali kegiatan atau acara-acara ritual.
Borong Batasayya (Hutan Perbatasan) merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Ammatoa selaku pemimpin adat. Borong Luara (Hutan Rakyat) merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat. Apabila mengacu pada peraturan kementerian pertanian mengenai klasifikasi pemanfaatan hutan, akan ditemukan konsep yang sama dengan kearifan lingkungan yang telah dijalankan suku Kajang selama bertahun-tahun.Suku Kajang memiliki nilai kearifan budaya yang diaplikasikan dalam pengelolaan kawasan hutan. Suku kajang membagi ke dalam tiga (3) bagian untuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Pembagian kawasan ini dikenal dengan sebutan Borong Karamaka (hutan keramat) yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, terkecuali kegiatan atau acara-acara ritual.
Borong Batasayya (Hutan Perbatasan) merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Ammatoa selaku pemimpin adat. Borong Luara (Hutan Rakyat) merupakan hutan yang bisa dikelola oleh masyarakat. Apabila mengacu pada peraturan kementerian pertanian mengenai klasifikasi pemanfaatan hutan, akan ditemukan konsep yang sama dengan kearifan lingkungan yang telah dijalankan suku Kajang selama bertahun-tahun.
3. Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh orang Kajang sehari-hari adalah Konjo. Bahasa konjo merupakan salah satu rumpun bahasa Makassar yang berkembang tersendiri dalam suatu komunitas masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat Tana Toa memegang teguh pasanga ri Kajang (pesan di Kajang) yang juga adalah ajaran leluhur mereka. Isi pasanga ri Kajang yaitu:
1. tangurangi mange ri turiea arana, yang berarti senangtiasa ingat pada Tuhan Yang Berkehendak.
2. alemo sibatang, abulo sipappa, tallang sipahua, manyu siparampe, sipakatau tang sipakasiri, yang artinya memupuk persatuan dan kesatuan dengan penuh kekeluargaan dan saling memuliakan.
3. lambusu kigattang sabara ki pesona, yang artinya bertindak tegas tetapi juga sabar dan tawakkal.
4. Sallu riajoka, ammulu riadahang ammaca ere anreppe batu, alla buirurung, allabatu cideng, yang artinya harus taat pada aturan yang telah dibuat secara bersama-sama kendati harus menahan gelombang dan memecahkan batu gunung.
5. Nan digaukang sikontu passuroangto mabuttayya, yang artinya melaksanakan segala aturan secara murni dan konsekuen
Kelima ajaran inilah yang menjadi pedoman masyarakat dan para pemimpin dalam kehidupan sehari-hari. Dari kelima pesan ini lahir prinsip hidup sederhana dan saling menyayangi diantara mereka. Lebih dari itu adalah bentuk kasih sayang terhadap lingkungan mereka. Implementasinya dapat kita lihat dengan adanya hukum adat yang melarang mengambil hasil hutan dan isinya secara sembarangan. Masyarakat adat Tana Toa sangat peduli terhadap lingkungannya terutama pada kelestarian hutan yang harus tetap dijaga.
4. Nilai-Nilai Tradisi Pada Rumah Tinggal Masyarakat Ammatoa Kajang
Satu falsafah hidup yang sangat sederhana namun memiliki nilai pemeliharaan lingkungan adalah pemilihan tipe bangunan. Masyarakat Suku Kajang memilih tinggal dalam rumah panggung dibanding harus membangun rumah dari batu bata. Menurut masyarakat suku Kajang, walaupun penghuni rumah yang tinggal di rumah (terbuat dari batu bata) masih hidup, mereka menganggap penghuni rumah tersebut sudah meninggal karena sudah dikelilingi tanah. Membangun rumah dari batu bata dianggap sebuah pantangan karena untuk membangunnya harus menggunakan kayu bakar.
Batu bata yang digunakan bahan bakunya adalah tanah setelah itu dicetak kemudian dibakar. Tahapan menghasilkan batu bata inilah yang dianggap merusak hutan. Padahal mereka sangat ketat melindungi hutan adatnya, sehingga bangunan dari batu bata menjadi pantangan bagi mereka. Jika ditinjau dari dari aspek lingkungan, kita akan temui kebenaran (rasionalitas) kepercayaan masyarakat suku Kajang dalam melestarikan hutan adat.
1. Membangun rumah dari batu bata membutuhkan tanah liat, untuk menyediakan bahan baku tanah diperoleh dengan melakukan pengerukan tanah.
2. Pembakaran batu bata membutuhkan banyak kayu bakar, yang bersumber dari hutan.
3. Menghasilkan polusi udara, akibat pembakaran batu bata
4. Limbah bangunan batu bata tidak banyak yang bisa digunakan, berbeda dengan kayu yang masih bisa didaur ulang.
Dlihat dari struktur dan konstruksi rumah tradisional Ammatoa Kajang dibedakan atas Bola Hanggang dan Bola Paleha. Bola Hanggang adalah rumah yang tiangnya ditanam kedalam tanah 100 cm dan tidak mempunyai pattoddo (balok yang menghubungkan tiang-tiang pada arah lebar bangunan bagian bawah lantai). Sementara balok yang menghubungkan deretan tiang pada arah lebar yang terletak pada bagian atas di bawah lantai para (padongko), disalah satu sisinya tidak boleh melewati tiang (rata dengan tiang tempatnya bertumpu) yakni pada sisi kanan rumah, sisi dimana terletak dapur. Sedangkan Bola Paleha adalah merupakan rumah yang tiangnya tidak ditanam tetapi berdiri diatas umpak (Kajang: Pallangga Bola) dan deretan tiang dihubungkan oleh patoddo sebagaimana konstruksi rumah tradisional Bugis-Makassar.
Letak rumah tradisional di luar kawasan adat sekalipun masih dipengaruhi sistim kekerabatan dimana anggota keluarga yang sudah berkeluarga dan merasa mampu untuk mandiri cenderung menetap disekitar rumah keluarga inti, aturan-aturan yang mengikat mengenai tata letak seperti mempertimbangkan hubungan kekerabatan antara orang tua dan anak atau antara saudara (kakak dan adik)/antara yang muda dan tua tidak lagi menjadi hal yang harus dipertimbangkan. Hal ini diakibatkan karena kondisi alam/lingkungan mereka tinggal dan tergantung dari letak/tersedianya lahan kosong yang mereka miliki.

Baca Juga: Cara Pembuatan Perahu Pinisi Bulukumba Alat Transportasi Laut Tradisional Bugis Sulawesi Selatan

5. Gaya Hidup
Gaya hidup dapat didefenisikan sebagai cara hidup yang diikuti oleh kelompok tertentu, melibatkan peran sosial mereka dan karakterisitik yang tercermin dalam tingkah laku yang terkait dengan perannya di tempat tersebut
Gaya hidup komunitas ammatoa adalah sederhana (kamase-masea) sebagaimana aturan-aturan yang terdapat dalam Pasang ri Kajang, yang menjadi persepsi, kognisi dan attiitudes mereka. Sehingga tingkah laku mereka pada akhirnya adalah tingkah yang sesuai dengan ajaran Pasang ri Kajang, yang mendasari gaya hidup komunitas ammatoa Kajang.
Mereka menganggap tidak perlu hidup berlebihan karena hidup berlebihan akan menimbulkan konflik-konflik diantara masyarakat yang pada akhirnya menghasilkan ketidakharmonisan dalam masyarakat tersebut. Gaya hidup sederhana ini tercermin mulai dari cara berpakaian, cara berkomunikasi, cara menyambut tamu dan sampai pada bentuk dan tatanan ruang/hunian mereka.
Setia Suku pasti memiliki keunikan masing-masing begitu halnya dengan suku Kajang AmmaToa. Dan dengan segala keunikan itulah suku itulah yang membuat Indonesia kaya akan keindahan Suku.
Jadi Buat agan-agan yang tertarik dengan kebudayaan, maka salah satu destinasi tempat wisata budaya yang saya anjurkan adalah AmmaToa, Kajang. Cintai Budaya, Lestarikan Budaya.

Terimah Kasih atas kunjungan Ta' semoga artikel ini bermamfaat... @Wassalam

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Wisata Budaya adat kawasan Ammatoa Bulukumba, Sulawesi-Selatan"

Unknown said...

Barakallahu fik, kemarin sempat ke kajang ke acara walimah mso tapi tdk sempat ke kawasan ammatoa. Semoga bisa rihlah bersama ikhwah kesana...

Muhammad Akbar bin Zaid said...

Sangat tepat bagi Anda untuk berlibur di tempat wisata yang di bulukumba, bisa di jamin sekali pergi mau lagi. Dan yakin Anda tidak akan bosan dengan tempaat wisata ini. Langsung sja siapkan barang Anda dan berngkat ketempat wisata ini... @Ayo Ke Bulukumba