Bulan Ramadhan dan Kebhinekaan
Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA. Peneliti MIUMI; Dosen STKIP
Enrekang
Detik-detik terakhir menjelang bulan
Ramadhan, bangsa Indonesia masih harus menguras energi untuk kembali menyamakan
persepsi tentang agama dan kebangsaan. Dan jika berbicara masalah agama, umat
Islam tidak bisa lepas dari bulan Ramadan yang padanya kaum muslimin diwajibkan
berpuasa. Demikian pula, jika berbicara masalah kebangsaan, maka masyarakat
Indonesia sangat kenal dengan frase Bhineka. Apa relasi dari kedua kata kunci
di atas?
Ditilik dari sisi linguistik,
kata bhinneka sama dengan "beraneka ragam" atau berbeda-beda.
Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi
pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal bermakna
"satu". Karena itu, Bhinneka Tunggal Ika jika diterjemahkan
berarti "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda
tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap satu kesatuan. Semboyan ini
digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras,
suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Jika merujuk pada terminologi Bhineka
di atas, maka agama dan kepercayaan adalah satu kesatuan dalam kebhinekaan, itu
artinya baik antar pemeluk agama, atau pemeluk sesama agama harus saling
menghormati dan memuliakan.
Dalam penjabaran Pancasila lewat buku
teks Pelajaran Moral Pancasila (PMP) yang dituangkan dalam Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4), salah satu etika yang harus dimiliki oleh bangsa
Indonesia adalah sikap tenggang rasa yang arti sesungguhnya adalah menghargai
perasaan orang lain.
Sikap tenggang rasa ini sangat
sesuai dengan ajaran Islam. Contoh kecilnya, dalam sebuah Hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang bersumber dari Ibnu Mas'ud (Shahih Bukhari,
6290), Nabi bersabda, jika kalian bertiga, maka janganlah dua orang di antara
kalian berbisik-bisik sembari meninggalkan yang lainnya hingga kalian bercampur
dengan manusia karena hal itu membuat orang lain bersedih.
Kerap saya jumpai, ada suku yang
tidak bisa mengenal situasi. Ketika berbelanja barang misalnya, mereka dengan
seenaknya menggunakan bahasa sendiri di antara mereka tanpa peduli apakah
pembeli paham atau tidak. Bahkan ada kesengajaan agar orang lain tidak paham
apa yang mereka bicarakan sehingga menggunakan bahasa yang tidak dimengerti
kecuali di antara mereka. Tentu saja ini adalah salah satu ciri hilangnya sikap
tenggang rasa sebagai satu bangsa satu bahasa yaitu bangsa Indonesia di bawah
bingkai NKRI.
Ada masa kita menggunakan bahasa kita
sendiri, di lain waktu kita wajib menggunakan bahasa persatuan. Itulah ciri
sebuah negara kesatuan, memiliki bahasa yang seragam, bahasa adalah alat
pengikat dan pemersatu paling ampuh, dan kita bersyukur punya bahasa Indonesia.
Jika berhubungan dengan bahasa dan
bisik-bisik saja umat Islam diatur oleh agama, apalagi yang terkait dengan
puasa di bulan Suci Ramadan. Tentu harus saling menghormati dan menghargai baik
sesama umat beragama terlebih lagi sesama umat Islam, baik yang taat
menjalankan ibadah maupun Islam yang hanya di KTP.
Umat Islam Indonesia secara umum
sangat antusias menyambut Ramadan, berbagai persiapan dilakukan, baik fisik
maupun non fisik. Maka kita saksikan masjid-masjid bersolek, perantau kembali
dari rantau, bahkan ada yang meliburkan diri hanya untuk fokus beribadah di Bulan
Puasa. Tidak diragukan lagi bahwa salah satu cara untuk merawat kebhinnekaan
adalah menghormati mereka yang sedang menjalankan ibadah bulan puasa yang
disyariatkan.
Kecuali itu, Ramadan adalah momentum
paling tepat untuk merajut kembali ukhuwah yang retak, menyatukan
serpihan-serpihan dendam untuk menjadi cinta. Bulan penuh berkah semestinya
menjadi wadah menangguk kemuliaan setinggi mungkin. Sangat merugi mereka yang
tidak memanfaatkan Ramadan sebagai wadah untuk menyucikan jiwa yang terdiri
dari akal, nafsu dan kalbu.
Ketika jasad dilaparkan hakikatnya
ruh yang sedang dikenyangkan,di kala jasad terkontrol sebenarnya ruh yang
sedang dikuatkan. Begitu pula tatkala jasad diistirahatkan sejatinya ruh yang
sedang dibahagiakan, yang selama ini terlupakan. Itulah esensi puasa di bulan
Ramadhan.
Perbedaan antara kalbu dan bejana
adalah jika bejana dipenuhi dengan benda-benda maka akan semakin sempit. Namun,
kalbu semakin diisi iman maka akan semakin lapang. Maka pahami esensi diri kita
sendiri. Lapang dan sempit kehidupan seseorang tergantung alam kalbu. Bagi yang
alam kalbunya sempit maka akan sempit pula kehidupannya, meskipun tinggal di
rumah yang luas dan mewah. Akan tetapi, alam kalbu yang lapang maka dimanapun
berada pasti kelapangan yang selalu didapatkan.
Bulan Ramadhan 1438 Hijriah telah
tiba. Inilah bulan yang menjadi solusi atas semua permasalahan hidup baik
secara individu maupun dalam konteks kebangsaan. Selamat menjalankan ibadah
Ramadan, semoga !
Enrekang, 25 Mei 2017.
Baca Juga: Bukan Sekedar Berpuasa di Bulan Ramadhan
Terimah Kasih atas kunjungan Ta'
semoga artikel ini bermamfaat... @Wassalam
0 Response to "Bulan Ramadhan dan Kebhinekaan"
Post a Comment