Cara Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan
Allah telah menetapkan 12 bulan
dalam al-Quran, Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya bilangan bulan
pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram…” [QS. At-Taubah:
36]
Di
antara 12 bulan tersebut beberapa di antaranya memiliki keterkaitan dengan
ibadah tertentu yang terkait dengan penetapan awal dan akhir suatu bulan.
Secara khusus bulan puasa Ramadhan yang diakhiri dengan lebaran ‘Idul Fitri
pada tanggal 1 Syawal, sangat ditentukan oleh penetapan awal dan akhir
Ramadhan. Oleh karena itu syariat Islam
telah memiliki aturan yang jelas dalam menetapkan awal dan akhir bulan Ramadhan
dan bulan-bulan lainnya.
Penetapan awal Ramadhan dan Syawal
Menetapkan
awal bulan Ramadhan dan Syawal begitu pula bulan-bulan yang lain adalah dengan
melihat hilal (bulan sabit). Jika hilal terlihat, maka keesokan harinya
ditetapkan sebagai awal bulan. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Berpuasalah karena melihatnya (hilal), dan berbukalah (tidak
berpuasa) karena melihatnya, jika terhalang (sehingga tidak terlihat), maka
sempurnakanlah bulan Sya’ban 30 (hari).” [HR. Bukhari]
Hadits
di atas menjelaskan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan dilakukan dengan
melihat hilal, jika tidak terlihat karena disebabkan faktor cuaca dan yang
lainnya maka awal Ramadhan ditentukan dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi
30 hari. Hal ini dikarenakan bulan dalam Islam terkadang 29 hari dan terkadang
30 hari, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari sahabat
Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma:
“Satu bulan (jumlahnya) 29 malam, maka janganlah kalian
(memulai) puasa kecuali dengan melihatnya (hilal), jika terhalang, maka
sempurnakanlah bilangannya 30 (hari).” [HR. Bukhari]
Proses
penetapan awal bulan dikatakan sah jika hilal telah dilihat oleh satu orang dan
persaksiannya diterima oleh hakim (Pengadilan Agama di Indonesia). Sahabat Ibnu
Umar radhiyallahu anhuma berkata:
“Orang-orang berjaga-jaga untuk melihat hilal, lalu aku mengabarkan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa aku telah melihatnya, maka
beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.” [HR. Abu Dawud,
shahih]
Adapun
penetapan awal Syawal, maka jumlah orang yang melihat hilal minimal dua orang
dan persaksiannya diterima oleh hakim. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Abdul Rahman bin Zaid bin Al-Khattab:
Bahwasanya beliau berkhutbah pada hari syak (hari ke 30
Sya’ban), dan berkata: “Ketahuilah sungguh aku pernah duduk bersama
sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan aku telah bertanya
kepada mereka, dan mereka memberitahukan kepadaku, bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berpuasalah karena melihatnya (hilal),
dan berbukalah (tidak berpuasa) karena melihatnya dan mulailah melakukan ibadah
ketika melihatnya, jika terhalang (sehingga tidak terlihat), maka
sempurnakanlah bulan 30 (hari), dan jika dua saksi telah bersaksi, maka
berpuasalah dan berhentilah berpuasa”. [HR. Nasa’i, shahih]
Pada
asalnya, menentukan awal dan akhir Ramadhan dengan dua saksi, tetapi untuk awal
Ramadhan dalil di atas (hadits Ibnu Umar) menjelaskan bolehnya satu saksi untuk
penentuan awal Ramadhan.
Metode Hisab
Dalil-dalil
yang telah disebutkan di atas sekaligus membantah pendapat yang membolehkan
penetapan awal Ramadhan dan Syawal dengan menggunakan metode hisab. Di mana
penggunaan metode melihat hilal (Rukyah) adalah metode yang sesuai dengan
kaidah-kaidah umum syariat Islam yang berlandaskan kemudahan dan dapat
dilakukan oleh seluruh umat tanpa terkecuali di semua tempat di belahan bumi.
Sementara metode hisab membutuhkan keahlian. Dan terbukti secara ilmiah, metode
hisab ini juga memiliki perbedaan secara prinsip yang menyebabkan terjadinya
perbedaan dalam kalangan ahli hisab berkaitan dengan penentuan awal dan akhir
bulan, dan hal ini bertentangan dengan maksud yang diinginkan oleh syariat
secara umum.
Jika terjadi perbedaan dalam menentukan awal
Ramadhan dan Syawal, mana yang kita ikuti?
Sering
kita dihadapkan pada pilihan yang sulit ketika terjadi perbedaan dalam
menetapkan awal dan akhir Ramadhan. Oleh karena itu secara mendasar kita
katakan bahwa dalam ibadah yang sifatnya kolektif melibatkan jamaah (ibadah
jamaiyah), maka pemilik otoritas yang berhak untuk menetapkan keputusan adalah
waliyyul amri (pemerintah). Untuk kasus Indonesia, seharusnya kaum muslimin
merujuk kepada apa yang diputuskan oleh pemerintah, yang dalam hal ini
dilakukan oleh Kementrian Agama dengan mengadakan sidang itsbat yang melibatkan
seluruh ormas kaum muslimin. Hal ini sejalan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu:
“Puasa (Ramadhan) adalah di saat kalian semuanya berpuasa, dan
(hari ‘Ied) fitri (berbuka dan tidak berpusa) adalah di saat kalian semua
ber’iedul fitri, dan hari berkurban (‘Iedul Adha) adalah di saat kalian semua
berkurban.” [HR. Abu Dawud, Tirmidzi, & Ibnu Majah, shahih]
Imam
Tirmidzi berkata: “Makna (hadits) ini adalah bahwasanya (pelaksanaan) puasa dan
idul fitri dilakukan bersama jamaah dan mayoritas manusia (kaum muslimin).”
[Sunan Tirmidzi]
Imam
Al-Khattabi berkata: “Makna hadits tersebut adalah bahwasanya kesalahan dalam masalah
ijtihad adalah perkara yang ditolerir dari umat ini, jika sekiranya satu kaum
berijtihad lantas menggenapkan puasa mereka sebanyak (30 hari) lantaran mereka
tidak melihat hilal kecuali setelah tanggal 30 (Ramadhan), kemudian terbukti
bahwa (Ramadhan) hanya berjumlah 29 hari. Maka puasa dan ‘iedul fitri mereka
tetap sah, dan tidak ada dosa dan celaan buat mereka. Begitu juga dalam ibadah
haji jika sekiranya mereka salah dalam (menetapkan) hari Arafah, maka mereka
tidak perlu mengulangi haji mereka, dan begitu juga dengan kurban mereka
hukumnya tetap sah, dan sesungguhnya ini merupakan salah satu bentuk kasih
sayang dan kelembutan Allah terhadap hamba-Nya.”
[Dinukil oleh Ibnu Al-Atsir dari Al-Khattabi dalam kitab Jami’
Al-Ushul 6/378]
Apalagi
jika setiap ormas Islam yang berbeda pendapat dalam menentukan awal Ramadhan
dan Syawal memahami makna salah satu kaidah fikih “Hukmul Haakim Yarfa’ al-Khilaf” yang bermakna keputusan yang
ditetapkan oleh hakim/pemerintah menyudahi perbedaan yang didasarkan oleh
perbedaan ijtihad.
Baca Juga: Keutamaan Bulan Ramadhan (Bulan Penuh Berkah, Bulan Ibadah, Bulan Maghfirah)
Terimah
Kasih atas kunjungan Ta' semoga artikel ini bermamfaat... @Wassalam
0 Response to "Cara Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan"
Post a Comment