Rukhsah dalam Berpuasa di Bulan Ramadhan
Agama Islam adalah agama
yang paling sempurna bagi seluruh manusia sepanjang masa. Di antara sekian
banyak bukti kesempurnaan Islam adalah hukum-hukumnya yang jelas dan tegas
namun fleksibel dan mudah dilaksanakan. Setiap muslim wajib melaksanakan ibadah
utama yang termasuk dalam rukun Islam seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
Namun Islam tetap
memperhatikan golongan yang dalam kondisi tertentu tidak dapat menjalankan
ibadah tersebut dengan sempurna. Bentuk perhatian tersebut beraneka ragam, dan
yang paling penting adalah kemudahan dan keringanan yang dikenal dengan istilah
rukhsah.
Definisi dan Hikmah Rukhsah
Rukhsah secara bahasa
berarti keringanan atau izin pengurangan. (Lihat: Lisan Al-Arab, juz VII, h.
40, kata dasar "رخص").
Dalam istilah ushul fikih rukhsah berarti "Hukum yang
ditetapkan berdasarkan dalil dan berbeda dengan hukum asal karena adanya
uzur." [Lihat: Ushul As-Sarakhsi, juz I, h. 117, Raudhatun Nazhir, juz I,
h. 189-190]
Artinya, rukhsah adalah keringanan yang diberikan Allah
sebagai pengecualian dari hukum asli karena adanya halangan/ uzur pada seorang
hamba/mukallaf. Penetapan rukhsah dalam syariat Islam memiliki banyak hikmah,
di antaranya:
1.
Realisasi prinsip
toleransi dan kemudahan dalam syariat Islam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman
yang artinya:
"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu." [QS. Al-Baqarah: 185]
2.
Pembuktian bahwa
syariat Islam tidak kaku, tidak pula ekstrem.
Syariat Islam sering kali dituduh kaku, keras, dan tidak
fleksibel. Tuduhan ini biasanya berasal dari mereka yang tidak memahami syariat
Islam secara benar atau tidak menyeluruh, dengan hanya melihat satu sisi dan
melupakan sisi lainnya.
"Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: agama ini mudah dan tidaklah seseorang berlebih-lebihan
(menyusahkan diri) dalam urusan agama melainkan agama akan
mengalahkannya." [HR. Bukhari]
3.
Menjamin kontinuitas dalam
beribadah dan memperkuat cinta kepada syariat Islam.
Orang yang mendapat keringanan dan kemudahan saat tak mampu
melakukan ibadah secara sempurna, akan terdorong untuk tetap melakukan ibadah
tersebut saat uzurnya hilang. Dengan demikian cinta kepada syariat Islam akan
kian terpatri dalam hati kaum muslimin. Sebaliknya, Allah juga bertambah cinta
kepada hamba-Nya yang memanfaatkan keringanan yang Allah berikan. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah menyukai keringanan-Nya diambil,
sebagaimana Dia membenci kemaksiatan kepada-Nya didatangi/dikerjakan."
[HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban, shahih]
Golongan Yang Mendapatkan Rukshah dalam Ibadah Puasa
Golongan yang mendapatkan rukhsah untuk meninggalkan puasa
adalah orang sakit, musafir, wanita yang haidh atau nifas, wanita hamil atau
menyusui, dan orang tua renta yang tak mampu lagi melaksanakan ibadah puasa.
1.
Orang sakit dan
musafir.
Allah Azza wajalla berfirman yang artinya:
"Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." [ QS. Al-Baqarah :
184]
Orang sakit yang dimaksud adalah mereka yang berat berpuasa
karena sakitnya, atau jika berpuasa penyakitnya akan bertambah parah. Seperti
penderita diabetes, stroke, penyakit ginjal, dll. Juga penyakit yang
mengharuskan si penderita mengonsumsi obat secara teratur di pagi atau siang
hari, jika tidak maka penyakitnya bertambah parah.
Sedangkan musafir yang dimaksud adalah mereka yang
diperbolehkan mengqashar shalat, walaupun safarnya tidak sulit dan tidak
memberatkan. Termasuk mereka yang kerjanya mengharuskan safar secara terus
menerus, seperti kru pesawat terbang dan sopir angkutan umum antar kota/
kabupaten. [Lihat: Prof. Dr. Abdullah al-Jibrin, Syarh Umdatul Fiqh, juz I, h.
574]
Jika orang sakit dan musafir meninggalkan puasa, maka
keduanya wajib mengganti puasa tersebut di hari yang lain dengan jumlah hari
yang sama. Jika penyakit yang diderita tidak ada harapan sembuh, maka ia boleh
menggantinya dengan membayar fidyah. Jika orang sakit atau musafir tetap
memilih untuk berpuasa, maka puasanya sah.
2.
Wanita haid atau nifas.
Semua ulama sepakat bahwa wanita yang sedang haidh atau nifas
wajib meninggalkan puasa dan mengqadha’ (mengganti) puasanya. Berdasarkan
hadits Aisyah radhiyallahu 'anha:
"Kami (para wanita) diperintahkan mengqadha’ puasa dan
tidak diperintahkan mengqadha’ shalat." [HR. Muslim]
Jika seorang wanita keguguran, atau mengalami pendarahan saat
hamil, kemudian dioperasi untuk mengeluarkan janin, jika janinnya sudah
berbentuk manusia (kira-kira berumur lebih dari 80 hari), maka ia dihukumi
nifas. Ia harus berbuka puasa, dan mengganti puasanya. Tetapi jika janinnya
belum berbentuk manusia (kurang dari 80 hari), maka wanita tersebut tidak
dianggap nifas, dan ia wajib berpuasa. [Lihat: Majmu' Fatawa Syekh Al-Utsaimin,
juz XIX, h. 261-262]
3.
Wanita hamil atau
menyusui.
Keduanya boleh tidak berpuasa jika takut bahaya atas dirinya
atau bayinya. Jika keduanya meninggalkan puasa karena takut atas dirinya
sendiri saja, maka ia hanya wajib mengqadha’ puasa yang ditinggalkan. Begitu
pula jika keduanya berbuka karena takut atas bayinya saja, maka keduanya wajib
mengqadha’ puasanya.
Tetapi jika keduanya meninggalkan puasa karena takut atas
bayinya, apakah selain mengqadha’ puasa keduanya juga harus membayar fidyah?
Ada dua pendapat masyhur di kalangan ulama:
a.
Pendapat pertama mengharuskan
keduanya membayar fidyah dan
mengqadha’ puasanya.
b.
Pendapat kedua dan
inilah pendapat yang kuat, bahwa keduanya cukup mengqadha’ puasanya, dan tidak
wajib membayar fidyah. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wata’ala yang
artinya:
“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." [QS. Al-Baqarah: 184]
Wanita hamil dan menyusui hukumnya lebih mendekati hukum
orang sakit dan musafir, dan keduanya hanya diwajibkan mengqadha’ puasa. Juga
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: "Sesungguhnya Allah menggugurkan setengah shalat atas musafir, dan
menggugurkan kewajiban puasa atas musafir, wanita menyusui dan wanita
hamil." [HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Abu Dawud, hasan shahih]
Dalam hadits ini, hukum musafir, wanita hamil, dan menyusui disamakan,
artinya semuanya hanya wajib mengqadha’ puasa. Kalaupun memilih pendapat yang
wajib mengeluarkan fidyah, maka ukurannya adalah 1 mud, yaitu sekitar 7,5 ons
untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Wallahu A'lam.
4.
Orang tua renta yang
tak mampu lagi menjalankan ibadah puasa.
Orang tua renta yang tidak mampu lagi melaksanakan ibadah
puasa boleh meninggalkan puasa, dan menggantinya dengan membayar fidyah, yaitu
memberi makan seorang fakir miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan.
Allah Azza wajalla berfirman:
"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin." [QS. Al-Baqarah: 184]
Fidyah makanan bisa diberikan berupa makanan jadi (siap saji)
dengan mengundang beberapa fakir miskin sesuai jumlah hari yang ditinggalkan.
Inilah yang biasa dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
setelah beliau tua.
Bisa pula dengan membagikan beras mentah atau sejenisnya
sebanyak 1 mud (sekitar 7.5 ons). Lebih afdhal lagi jika bersama beras tersebut
ditambahkan lauk pauk, seperti daging, ayam, ikan, dll.
Demikianlah penjelasan singkat tentang rukhsah dalam ibadah
puasa. Semoga Allah Azza wajalla memberi kita kekuatan untuk melaksanakan
ibadah puasa dan ibadah lainnya dengan sempurna, serta mengampuni segala khilaf
dan kekurangan yang ada.
0 Response to "Rukhsah dalam Berpuasa di Bulan Ramadhan"
Post a Comment