Perkara Dunia Bukan Patokan Kebaikan
Sebagian kita mungkin masih tertipu dengan kaidah yang
menyesatkan, yaitu jika seseorang merasa dalam keadaan hebat, kaya raya, harta
melimpah, kedudukan tinggi, itu pertanda bahwa Allah memberinya kebaikan. Dunia
itu menipu, dan ini adalah salah satu tipuannya. Dan ternyata Allah Ta’ala
dalam Al Qur’an telah banyak mengingatkan kita akan hal ini.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di memaparkan sebuah
kaidah berharga: “Al Qur’an membimbing manusia agar memahami bahwa ukuran
kebaikan seorang insan adalah dari iman dan amal shalihnya. Adapun sekedar
merasa dalam kebaikan atau dengan berpatokan dengan karunia duniawi yang Allah
berikan padanya, atau dengan kedudukannya, semua ini merupakan sifatnya kaum
yang menyimpang” (Qawa’idul Hisan, 126).
مَا
أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُم بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِندَنَا زُلْفَىٰ
إِلَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا
عَمِلُوا
“Dan
sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan
kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal-amal (saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda
disebabkan apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Saba: 37)
Allah Ta’ala juga berfirman:
يَوْمَ
لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(yaitu)
di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS. Asy Syu’ara: 88-89).
Dan banyak lagi ayat yang menjadikan iman dan amal shalih
sebagai ukuran kebaikan di hadapan Allah, dan menafikan harta dan perkara dunia
sebagai ukuran kebaikan.
Di sisi lain, Al Qur’an juga memberikan hikmah yang berharga
bahwasanya sikap gemar mengaku-ngaku bahwa ia sudah berada dalam kebaikan tanpa
dibuktikan dengan praktek nyata dan juga sikap gemar menjadikan perkara dunia
sebagai ukuran kebaikan adalah sikapnya orang-orang yang menyimpang.
فَقَالَ
لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا
“maka
ia (orang kafir) berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap
dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku
lebih kuat“” (QS. Al Kahfi: 34).
Ia pun berkata:
وَمَا
أَظُنُّ السَّاعَةَ قَائِمَةً وَلَئِنْ رُدِدْتُ إِلَىٰ رَبِّي لَأَجِدَنَّ
خَيْرًا مِنْهَا مُنْقَلَبًا
“dan
aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku
kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih
baik dari pada kebun-kebun itu”” (QS. Al Kahfi: 36)
Allah Ta’ala berfirman, menceritakan kelakukan kaum
Yahudi dan Nasrani:
وَقَالُوا
لَن يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ
أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Dan
mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga
kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya)
angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti
kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar“” (QS. Al Baqarah: 111).
Allah menjawab pengakuan mereka tersebut:
لَّيْسَ
بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ۗ مَن يَعْمَلْ سُوءًا
يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
“Pahala
dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula)
menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya
akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan
tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah” (QS. An Nisa: 123).
Pengakuan tetapkan hanya pengakuan, Allah Maha Mengetahui
keadaan hamba-Nya. Dengan demikian jelaslah bahwa tidak ada gunanya
mengaku-ngaku dan merasa sudah baik, sudah shalih, sudah rajin beribadah, namun
yang dilihat oleh Allah adalah amalan kita, bukan pengakuannya. Apakah amalan
kita sudah sesuai dengan pengakuan? Apakah amalan kita sudah shalih? Ikhlas
karena Allah dan sesuai dengan tuntunan-Nya? Inilah yang semestinya menjadi
perhatian.
Dan jelaskan bahwa perkara duniawi itu sama sekali bukanlah
patokan kebaikan seseorang. Orang yang mendapat kelebihan dalam perkara
duniawi, bukan berarti Allah merahmatinya. Dan orang yang diuji dengan
kekurangan dalam perkara dunia, bukan berarti Allah memurkainya. Allah Ta’ala
berfirman:
فَأَمَّا
الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ
رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ
فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ كَلَّا ۖ
“Adapun
manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila
Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku
menghinakanku”. Sama sekali bukanlah demikian!” (QS. Al Fajr: 15-17).
Semoga Bermamfaat, Shukran Jazakallah Khairan@
0 Response to "Perkara Dunia Bukan Patokan Kebaikan"
Post a Comment