Nasehat Bagi Para Penuntut Ilmu
Oleh: Abu Aslam Benny al-Agami
Assalamu Alaikum.
Segala puji bagi Allah Subhânahu wa
Ta’âla, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami
berlindung kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla dari kejahatan diri kami dan
kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak
ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak
ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada
sesembahan yang berhak untuk diibadahii dengan benar kecuali hanya Allah
Subhânahu wa Ta’âla saja, tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwasanya
Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya yang
tidak ada nabi sesudah beliau shallallahu ’alaihi wa sallam.
Kita mengetahui bahwa menuntut ilmu
agama adalah salah satu perkara yang sangat dianjurkan dalam Islam. Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap
muslim.” (Hadits shahih, Shahih al-Jami’ no. 3913, 3914). Dan dalam riwayat
yang lain: “Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan, maka Allah
jadikan ia faham dalam masalah agama.” (Hadits shahih, Shahih al-Jami’ no.
6611, 6612).
Dan dalam riwayat yang lain:
“Barangsiapa yang meniti suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, berarti dia
sedang meniti suatu jalan dari jalan-jalan surga, dan sesungguhnya malaikat
membentangkan sayap-sayapnya karena ridha terhadap penuntut ilmu, dan
sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibandingkan dengan ahli ibadah
ibarat keutamaan bulan di malam purnama dengan seluruh bintang, dan
sesungguhnya bagi orang yang berilmu akan dimintakan ampunan oleh seluruh
penghuni yang ada di langit dan yang ada di bumi dan oleh segala sesuatu hingga
ikan-ikan yang ada di dalam air. Para ulama adalah pewaris para Nabi, sedangkan
Nabi tidaklah mewariskan dirham ataupun dinar, mereka mewariskan ilmu, maka
barangsiapa yang mendapatkannya berarti dia telah mendapatkan keuntungan yang
berlimpah”. (Hadits shahih/ar-Rihlah fii Thalab al-Hadits, 1/91).
Pada tahun-tahun terakhir ini
semangat sebagian pemuda Islam dalam menuntut ilmu agama tumbuh dan berkembang.
Hal ini sangat menggembirakan dan patut disyukuri. Akan tetapi, patut disayangkan
ada beberapa diantara penuntut ilmu yang mengalami patah semangat dalam
memperlajari ilmu agama dan diantara mereka ada yang larut dengan kondisi
masyarakat di lingkungan mereka. Oleh karena itu, berikut ini akan dikemukakan
nasihat bagi para penuntut ilmu, agar tetap konsisten dalam menuntut ilmu agama
dan mengetahui penyakit-penyakit yang sering menimpa, khususnya bagi para
penuntut ilmu agama. Diantara penyakit tersebut adalah:
A. Salah Niat
Sebagian penuntut ilmu memiliki
semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu, akan tetapi yang menjadi tujuannya
bukan mencari keridhoan Allah Tabâraka wa Ta’âla, bukan untuk meluruskan
kesalahan yang ada pada diri sendiri atau orang lain, dan bukan pula untuk
membela tegaknya Tauhid (Syariat Islam). Padahal telah diketahui bahwa niat
adalah salah satu faktor penentu diterimanya sebuah amalan. Ilmu yang kita
pelajari adalah ibadah, amalan yang mulia, maka sudah barang tentu butuh niat
yang ikhlas dalam menjalaninya. Belajar bukan karena ingin disebut pak Ustadz,
orang ‘alim, ingin terkenal dan semisalnya.
Allah Tabâraka wa Ta’âla berfirman:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…”. (QS. al-Bayyinah:
5). Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang
menuntut ilmu untuk membantah orang bodoh, atau berbangga di hadapan ulama atau
mencari perhatian manusia, maka dia masuk neraka”. (HR. Ibnu Mâjah 253, Syaikh
al-Albani menyatakan hadits ini hasan dalam al-Misykâh 225).
Imam asy-Syaukani rahimahullah
berkata: “Pertama kali yang wajib bagi seorang penuntut ilmu adalah meluruskan
niatnya. Hendaklah yang tergambar dari perkara yang ia kehendaki adalah syariat
Allah Subhânahu wa Ta’âla, yang dengannya diutus para Rasul dan diturunkan
al-Kitab. Hendaklah penuntut ilmu membersihkan dirinya dari tujuan duniawi,
atau karena ingin mencapai kemuliaan, kepemimpinan dan lain-lain. Ilmu ini
mulia, tidak menerima selainnya”. (Adabut Thalab wa Muntaha al- Arab, hal. 21).
Seorang yang hendak menuntut ilmu
agama harus menanamkan pada dirinya bahwa tujuan dari menuntut ilmu tidak lain
adalah melaksanakan perintah Allah ‘Azza wa Jalla, dengan mengamalkan ilmu yang
didapatkan, meluruskan kesalahan yang ada pada dirinya kemudian orang lain, dan
menghidupkan kembali apa yang telah terpendam dari warisan para Nabi ’alaihimus
sâlâm, serta membela tegaknya Islam dengan pemahaman yang benar.
B. Tidak merasa diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla
Segala gerak-gerik dan tingkah laku
seorang hamba diawasi oleh Allah Yang Maha Mengetahui. Oleh karena itu,
termasuk hal yang tidak wajar apabila seorang penuntut ilmu tidak merasa
diawasi oleh Dzat Yang Maha Kuasa, sehingga perkataan dan perbuatannya tidak
terkontrol dan tidak takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Padahall seharusnya
merekalah orang yang lebih takut kepada Allah Tabâraka wa Ta’âla daripada
selain mereka.
Allah Subhânahu wa Ta’âla berfirman: “…Sesungguhnya
yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama…”. (QS. Fathir:
28)
Seorang hamba apabila mengetahui bahwa Allah Subhânahu
wa Ta’âla tidak akan lalai sesaatpun dari hamba-Nya, maka ia akan selalu taat
kepada-Nya dalam zhohir dan bathin.
C. Senang berbantah-bantahan (Jidal)
Sebagian penuntut ilmu lebih suka
berdebat daripada berdiskusi. Tidak melewatkan satu kesempatan bersama
saudaranya kecuali diajak berdebat dalam suatu permasalahan, dia menghafalkan
dalil-dalil yang disiapkan untuk menjawab lawan bicaranya bukan untuk
memperbaiki diri dan umat, gemar mencari-cari permasalahan terutama masalah
baru yang diperselisihkan oleh para ulama, merasa benar dengan apa yang ada
pada dirinya, dan tidak mau menerima kebenaran dari orang lain. Penyakit ini
menjurus kepada penyakit sombong yang diingatkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam dalam sabdanya: “Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan
orang lain”. (HR. Abu Dâud, 4092 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam
Shahih wa Dho’if al-Jâmi’, 4608).
Seorang yang merasa di dalam hatinya
ada penyakit seperti ini hendaklah ia mengingat kembali ayat-ayat Allah
Subhânahu wa Ta’âla (seperti dalam Surat al-Hujurât: 11) dan mengingat sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu: “Cukup dikatakan seseorang itu
(melakukan) kejelekan apabila meremehkan saudaranya yang muslim”. (HR. Muslim,
2564).
Jidal yang diperbolehkan adalah
jidal yang baik dan haq sebagaiman firman Allah Tabâraka wa Ta’âla: “Serulah
manusia kepada jalan Robbmu dengan cara hikmah dan nasehat yang bijak, serta
bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. an-Nahl: 125).
Inilah jidal yang baik dan
dibolehkan, bukan sekedar berbantah-bantahan tanpa titik temu dan berujung
saling benci dan permusuhan. Salah satu ciri yang dapat membedakan antara jidal
yang haq dengan jidal yang bathil adalah seseorang yang berjidal secara haq
apabila telah terang baginya al-Haq (kebenaran) maka ia akan segera
meninggalkan pendapat bathilnya dan mengakui kesalahannya serta mengumumkan
taubatnya dari kesalahan tersebut. Sedangkan tanda jidal yang bathil adalah
sebaliknya, karena yang diinginkan adalah membela pendapatnya.
Jika terjadi perbedaan pendapat
diantara penuntut ilmu hendaklah mereka mengembalikan hal tersebut kepada
al-Qurân da as-Sunnah. Allah Subhânahu wa Ta’âla berfirman: “Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kalian.
Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah hal
itu kepada Allah (al-Qurân) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dari hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya”. (QS. an-Nisaa’: 59).
D. Malas mengulang ilmu yang telah dipelajari
Ini adalah salah satu penyakit para
penuntut ilmu yang tergolong dominan, hampir setiap mereka tertimpa oleh
penyakit ini kecuali yang dirahmati oleh Allah Subhânahu wa Ta’âla. Mereka
menulis ilmu yang mereka dapatkan, akan tetapi tidak menjadi berfaedah bahkan
mereka selalu kesulitan ketika ingin merujuk kembali ilmu tersebut, karena
terlalu lama ia tinggalkan dan tidak pernah diingat kembali.
Untuk menghindari penyakit ini,
seorang penuntut ilmu harus mengingat kembali tujuan yang benar dalam menuntut
ilmu, kemudian rajin mengulang kembali dan membuka lembaran catatannya yang
telah berlalu, baik sendirian ataupun dengan belajar bersama saudaranya sesama
penuntut ilmu dan satu sama lain saling mengingatkan karena tujuan mereka sama
yaitu menuntut ilmu.
E. Banyak berbicara dan tertipu dengannya
Betapa banyak orang yang pandai
berbicara tetapi tidak pandai mengamalkannya. Suatu saat mereka berdalih bahwa
berbicara tentang ilmu lebih baik daripada diam, tetapi pada akhirnya mereka
tertipu dengan banyak pembicaraannya sendiri. Padahal Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir,
maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. [Imam at-Tirmidzi mengatakan;
“Hadits Hasan Shahih” (Lihat Riyâdusshalihin, no. 530). Syaikh Salim al-Hilali
mengatakan; “Shahih karena banyak jalannya” (Lihat Bahjatun Nâzhirîn, III/18].
Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam
juga bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan sesuatu yang ia tidak
memikirkan (apakah baik atau buruk), lalu ia tergelincir ke dalam api neraka
sejauh timur dan barat karenanya”. (Muttafaqun ‘alaihi, lihat Riyâdusshalihin,
no. 1522)
Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah
mengatakan: “Kebanyakan orang sekarang mengira bahwa banyak berbicara, suka
berjidal suka membantah dalam masalah agama adalah menandakan lebih tahu dari
orang yang tidak demikian, inilah suatu kebodohan”. (Fadhlu Ilmi as-Salaf, hal
37).
F. Berlebihan dalam hal makanan
Seorang penuntut ilmu tidak
selayaknya selalu memikirkan apa yang akan dimakan pagi hari ini, siang nanti,
malam hari ini, besok pagi, lusa dan seterusnya, tetapi penuntut ilmu
selayaknya sibuk dengan apa yang menjadi kewajibannya yaitu berusaha
mendapatkan ilmu dengan berbagai cara yang dibenarkan. Tidak ditemukan dari
kalangan ulama yang dikenal dengan sifat banyak makan dan tidak akan terpuji
seseorang yang dijuluki dengan sifat itu.
Allah Subhânahu wa Ta’âla berfirman: “Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah
dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan”. (QS. al-A’raf: 31).
Ketahuilah bahwasanya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah tidak pernah terdengar darinya bahwa ia minta
didatangkan makanannya, baik makan siang atau makan malam, karena tersibukkan
dengan ilmunya. Bahkan suatu saat didatangkan makanannya, sampai terkadang dia
tidak memakannya sehingga makanan itu hanya ditoleh saja. Apabila dia makan,
maka dia makan hanya sedikit saja. (Ghoyâtul Amani 2/173, dinukil dari Adab
Tholib al-Ilmi, hal. 84-85).
G. Berlebihan dalam hal tidur
Penuntut ilmu hendaknya
menyedikitkan tidurnya selama tidak membahayakan fisik dan jiwanya, karena
waktu adalah umur dan kesempatan baginya yang tidak akan pernah terulang
kembali.
Ketahuilah bahwasanya Muhammad ibnu
al-Hasan asy-Syaibani rahimahullah sangat jarang tidur di malam hari, dia
selalu meletakkan bukunya di sisinya. Apabila dia sedang bosan dengan suatu
permasalahan, dia segera meneliti permasalahan yang lain. Dia meletakkan
segelas air di sisinya untuk mengusir rasa kantuknya dan dia dia mengatakan;
“Tidur (kantuk) itu sesuatu yang panas, maka harus diusir dengan (lawannya)
yaitu air dingin”. (Ta’limul Muta’allim Turûqut Ta’allum , hal. 23, dinukil
dari Adab Tholib al-Ilmi, hal. 86-87).
H. Menuruti hawa nafsu dalam perkara keji
Perbuatan dosa akibat hawa nafsu
terutama bagi mereka yang mengetahui/memiliki ilmu adalah penyebab kerusakan
hati. Akibat buruk menuruti hawa nafsu telah dijelaskan oleh Allah Subhânahu wa
Ta’âla dalam firman-Nya: “Maka pernahkah kamu melihat seorang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya tersesat karena ilmunya,
sehingga Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan memberi penututp
diatasnya, maka siapakah yang dapat memberi petunjuk selain Allah? Mengapa kamu
tidak mengambil (ini) sebagai pelajaran?”. (QS. al-Jâtsiyah: 23).
Perhatikanlah wahai penuntut ilmu!!!
Memperturutkan hawa nafsu menjadi faktor utama matinya hati dan pendengaran.
Apabila hati dan pendengaran telah mati, maka tiada yang dapat menghidupkannya
kembali kecuali Allah Subhânahu wa Ta’âla. Oleh karena itu, segeralah kembali kepada
Allah Tabâraka wa Ta’âla sebelum hati kita menjadi sakit atau bahkan mati.
(Dinukil secara bebas dari Sholahul Qulub oleh Dr. Kholid al-Mushlih, hal. 22).
Jauhilah segala kemaksiatan walau
sekecil apapun, sejauh jarak antara timur dan barat. Imam Syafi’i rahimahullah
berkata; ”Aku mengadukan jeleknya hafalanku kepada Waki’, lalu beliau
menunjukiku supaya meninggalkan kemaksiatan. Dia berkata; “Ketahuilah bahwa
ilmu adalah fadhilah (keutamaan) dan fadhilah Allah Tabâraka wa Ta’âla tidak
akan diberikan kepada ahli maksiat. (al-Jawabul Kafi, hal. 54).
Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah
mengatakan, “Bisa jadi seseorang mengetahui dan memiliki ilmu yang sempurna,
tetapi tidak cukup hanya ilmu saja untuk bisa mengikuti kebenaran. Ada syarat
lain yaitu harus bersih atau siap untuk menerima kebenaran, siap untuk
dibersihkan. Apabila dia belum dibersihkan maka kebenaran akan sulit untuk
diterima, apalagi untuk diikuti. Apabila tempatnya tidak bersih dan tidak siap
untuk dibersihkan, maka seumpama tanah yang gersang meskipun turun hujan tetapi
tidak menumbuhkan tanaman disebabkan tanah itu tidak pantas untuk tumbuhnya
tanaman. Apabila seseorang memiliki hati yang keras seperti batu, ia tidak akan
menerima pembersihan hati. Nasehat-nasehat tidak akan berdampak kepadanya, maka
tidak akan bermanfaat ilmu yang dimiliki oleh orang tersebut. Sebagaimana tanah
tandus meskipun hujan turun setiap hari, tetap tidak bisa menumbuhkan
tanaman-tanaman”. (Buletin Istiqomah, volume 14/Th 4/1427 H).
I. Akrab dengan pelaku maksiat
Sebagian penuntut ilmu tidak
membatasi diri ketika bergaul dengan pelaku maksiat. Tidak membedakan antara
sekedar mengingatkan dengan menjadikan mereka sebagai sahabat, bahkan ketika
diingatkan kadang-kadang beralasan: “Kalau kita tidak bersama mereka, lalu
siapa yang mendakwahi mereka?”
Maka kita jawab: “Berapa banyak
penuntut ilmu yang tadinya tidak mengenal perkara keji, lalu menjadi
mengetahuinya, dan pada akhirnya terjatuh pada perbuatan keji itu, disebabkan
karena bergaul dengan para pelaku maksiat. Awalnya ingin merubah mereka tetapi
ternyata dialah yang berubah”. Bukankah kita telah mengetahui bahwa Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Seseorang dinilai menurut (kadar)
agama teman karibnya. Maka hendaklah setiap kalian melihat siapa yang ia
jadikan teman karibnya”. (HR. at-Tirmidzi, 2378 dan Abu Daud, 4833, dishahihkan
oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shohiihah, 927).
Janganlah hendaknya kita menjadi
orang yang berkata pada hari kiamat kelak: “Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya
aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku)”. (QS. al-Furqon: 28).
J. Jauh dari lingkungan yang baik agamanya
Sebagian penuntut ilmu ketika pulang
ke tempat asalnya, yang jauh dari suasana agama, jauh dari ta’lim/pengajian,
jauh dari suasana da’wah dan lebih sering menjumpai kemaksiatan daripada
kebenaran, maka diantara mereka berubah seperti layaknya orang biasa yang tidak
pernah mengenyam pendidikan agama di pesantren atau seperti orang awam yang
tidak pernah mendengar pengajian sama sekali. Dan pada akhirnya, dia menjadi
orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya.
Seharusnya yang dilakukan seorang
penuntut ilmu adalah terus istiqomah diatas al-Qurân dan Sunnah Rasul
shallallahu ’alaihi wa sallam, tampil di hadapan manusia dengan sosok hamba
Allah Subhânahu wa Ta’âla yang bertaqwa dan terus menambah ilmu.
Dan di akhir tulisan ini, kami
katakan hendaknya bagi setiap penuntut ilmu agama berusaha untuk mengamalkan
ilmunya, melaksanakan perintah Allah Subhânahu wa Ta’âla dan meninggalkan larangan-Nya
dan berdo’a kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla agar diberi pertolongan dalam
menghadapi penyakit-penyakit diatas dan agar Allah Subhânahu wa Ta’âla
menjadikan kita temasuk penduduk surga sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam: “…Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka
Allah mudahkan baginya dengan ilmu tersebut jalan menuju surga…”. (Hadits
Shahih: Diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 6299, Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hibban
dan at-Tirmidzi).
Dalam suatu hadits dikabarkan kepada
kita mengenai keadaan Jannah yaitu, dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu
bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Di dalam Jannah
terdapat pasar yang akan dikunjungi setiap Jum’at. Lalu angin utara berhembus
menerpa wajah dan pakaian mereka, sehingga mereka bertambah tampan dan baik.
Mereka akan kembali kepada isteri mereka sedangkan rupa mereka bertambah tampan
dan baik. Isteri-isteri mereka berkata: “Demi Allah, kamu semakin tambah tampan
dan menawan”. Mereka menjawab: “Demi Allah, kamu juga semakin cantik dan
menawan”.
Allah Tabâraka wa Ta’âla menyebutkan sifat-sifat
wanita Jannah dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka
(bidadari-bidadari) dengan langsung dan kami jadikan mereka gadis-gadis perawan
penuh cinta lagi sebaya umurnya”. (QS. al-Waaqi’ah: 35-37)
Wallahu A’lam.
Semoga shalawat dan salam senantiasa
Allah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa
sallam beserta keluarga dan para sahabatnya radiyallahu anhum ajmain dan orang-orang
yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
‘’Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran
itu sebagai kebenaran dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya, serta
tunjukkanlah kebatilan itu sebagai sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan
untuk menjauhinya.
Maha Suci Engkau Ya Allah, dan
dengan memuji-Mu, saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah
melainkan Engkau, saya memohon ampun dan aku bertaubat kepada-Mu. Semoga
bermamfaat.
Wassalam Jasakallah.
0 Response to "Nasehat Bagi Para Penuntut Ilmu"
Post a Comment