Kaidah Tafsir Pada Ayat yang Sering Disalah Pahami
Terdapat sebuah kaidah yang berharga dalam ilmu tafsir:
المحترزات
في القرأن تقع في كل المواضع في اشد الحاجة إليها
“muhtarazat
yang terdapat dalam Al Qur’an itu terletak pada tempat-tempat yang memang
penjelasannya sangat-sangat dibutuhkan”
Yang dimaksud muhtarazat di sini adalah penjelasan
yang dapat menghilangkan kesalah-pahaman yang muncul dalam benak ketika membaca
suatu ayat. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah
menjelaskan: “ini adalah kaidah yang sangat besar manfaatnya dan sangat agung.
Yaitu, setiap pembahasan dalam Al Qur’an yang Allah paparkan, baik berupa hukum
maupun kabar, lalu yang timbul dalam benak pembacanya adalah sesuatu hal yang
lain, pasti di sana Allah telah memberikan penjelasan yang digandengkan dengan
pemaparan tersebut sehingga jelaslah perkaranya sejelas-jelasnya. Inilah bentuk
pengajaran yang tidak meninggalkan isykal sedikitpun. Dan tidak meninggalkan
kemungkinan-kemungkinan yang salah sedikitpun. Ini menunjukkan betapa luasnya
ilmu Allah dan betapa luasnya hikmah-Nya” (Al Qawa’idul Al Hisan Al
Muta’alliqah bi Tafsirin Qur’an, 73).
Jadi, ketika ada ayat yang berpotensi dipahami secara salah
oleh pembacanya, atau pembaca memiliki prasangka yang salah, akan ditemukan
penjelasan yang sangat jelas dalam ayat lain yang digandengan dengan ayat
tersebut sehingga maknanya dipahami dengan pas dan benar. Dan beliah rahimahullah
membawakan beberapa contoh:
Contoh pertama, Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا
أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ رَبَّ هَٰذِهِ الْبَلْدَةِ الَّذِي حَرَّمَهَا
“Aku
hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Mekah) Yang telah
menjadikannya suci” (QS. An Naml: 91).
Terkadang dalam benak pembaca akan memahami dari ayat ini
bahwa Allah adalah Tuhannya orang Mekah saja, maka setelahnya terdapat muhtaraz,
penjelasan yang menghilangkan sangkaan tersebut,
وَلَهُ
كُلُّ شَيْءٍ
“dan
kepunyaan Allah lah segala sesuatu” (QS. An Naml: 91)
Contoh kedua, Allah Ta’ala berfirman:
لَّا
يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Tidaklah
sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang)” (QS. An Nisa:
95)
Terkadang pembaca berprasangkan bahwa semua orang yang
enggan berjihad maka ia bukan mukmin, walaupun orang tersebut memiliki
udzur-udzur yang menggugurkan hukum wajib baginya untuk berjihad. Maka
Allah menghilangkan sangkaan ini pada ayat selanjutnya:
غَيْرُ
أُولِي الضَّرَرِ
“kecuali
orang memiliki udzur” (QS. An Nisa: 95)
Contoh ketiga, Allah Ta’ala berfirman:
لَا
يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ ۚ أُولَٰئِكَ
أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا
“Tidak
sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum
penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang
menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu” (QS. Al Hadid: 10)
Bisa jadi ada yang menyangka bahwa para sahabat yang
berinfaq setelah Fathul Makkah tidak memiliki keutamaan sama sekali dan tidak
mengangkat derajat mereka. Allah mencegah prasangka demikian dengan berfirman:
وَكُلًّا
وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ
“dan
bagi kedua golongan tersebut Allah janjikan bagi mereka kebaikan” (QS. Al
Hadid: 10).
Dan bisa jadi juga pembaca menyangka bahwa keutamaan yang
didapatkan orang-orang yang berinfaq sebelum Fathul Makkah itu didapatkan
semata-mata karena amal mereka atau karena harta yang mereka miliki tanpa
melihat keikhlasan dan keimanan serta kecintaan mereka kepada Allah yang
mendasari perbuatan tersebut. Maka Allah pun menutup ayat ini dengan berfirman:
وَاللَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Dan
Allah Maha Mengetahui (perkara batin dari) yang kalian amalkan” (QS. Al
Hadid: 10).
Para ulama mengatakan, sifat Al Alim dan Al Khabir terkadang
maknanya sama, yaitu bahwa ilmu Allah itu sangat luas, dalam dan mencakup
segala sesuatu. Namun terkadang juga berbeda, Al Alim terkait perkara zhahir
sedangkan Al Khabir terkait perkara batin.
Contoh keempat, Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّكَ
لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya” (QS. Al Qashash:
56).
Terkadang bisa dipahami dari ayat ini bahwa hidayat Allah
itu datang begitu saja secara seketika tanpa sebab. Maka Allah pun menyangkal
pemahaman demikian dengan firman-Nya:
وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“dan
Allah lebih mengetahui orang-orang yang menerima petunjuk” (QS. Al Qashash:
56).
Hidayah akan didapatkan oleh orang-orang yang mengambil
sebab-sebab untuk mendapatkan hidayah. Syaikh As Sa’di mengatakan: “maksudnya,
Allah lebih mengetahui siapa orang yang mau menerima hidayahnya karena kesucian
hatinya dan kebaikan yang ada pada dirinya. Dan Allah juga lebih mengetahui
orang yang tidak demikian” (Al Qawa’idul Hisan, 75).
Demikian
beberapa contoh dari kaidah ini. Ini semua menunjukkan betapa tingginya metode
pengajaran yang ada dalam Al Qur’an dan betapa mendalam hikmah yang terkandung
di dalamnya.
Semoga Bermamfaat, Shukran Jazakallah Khairan@
Sumber
rujukan: Al Qawa’idul Al Hisan Al Muta’alliqah bi Tafsirin Qur’an, Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Dar Ibnul Jauzi
0 Response to "Kaidah Tafsir Pada Ayat yang Sering Disalah Pahami"
Post a Comment