Kisah Para Pecinta Sejati (Cinta Yusuf dan Sulaikha, Muhammad dan Khadijah, Ali bin Abi Thalib dan Fatimah)
Oleh: Muhammad Akbar, S.Pd
(Penulis & Guru SMP IT Wahdah
Islamiyah)
Putri Rasulullah Yang Menikah Dengan
Suami Kafir
JIKA ditanya tentang kisah cinta paling inspiratif dalam
Islam, semua orang pasti akan menjawab kisah cinta Yusuf dan Zulaikha, Muhammad
shallallahu 'alaihi wasallam dan Khadijah, atau Fathimah dan Ali bin Abi
Thalib. Kisah ketiga pasangan ini selalu disebut-sebut dalam banyak tulisan.
Zulaikha yang sangat mencintai Yusuf selama bertahun-tahun,
Rasulullah yang tetap bersedia menikahi Khadijah meski jauh lebih tua darinya,
dan Fathimah dan Ali yang diam-diam saling mencintai. Melihat bagaimana mereka
akhirnya dipersatukan dalam ikatan pernikahan, mejadikan kita sadar betapa
kuasa Allah membuat skenario indah untuk setiap hamba-Nya di muka di bumi ini.
Tapi tahukah, di antara 3 kisah tadi, masih ada satu kisah
cinta lagi yang tidak kalah menariknya? Kisah yang mengabarkan pada kita, bahwa
cinta itu bukan memaksakan kehendak. Kita tidak pernah dilarang untuk
mencintai, namun saat tiba masanya untuk memilih antara cinta dan Allah, kita
tidak akan punya jawaban lain selain tetap setia pada Allah. Muslim yang baik
pasti akan menempatkan Allah di mahligai teratas dalam hatinya, hingga apabila
seluruh manusia di muka bumi ini benci padanya, itu tidak akan jadi masalah
selagi cinta Allah tetap mengucur deras untuknya.
Inilah inti kisah cinta kali ini, yaitu kisah cinta putri
Rasulullah, Zainab, dan seorang pemuda Quraisy bernama Abil Ash bin Rabi.
Inilah kisah cinta yang terjalin antara seorang Muslimah dan seorang Non
Muslim. Kisah yang insyaAllah akan menjadi pembelajaran bagi kita semua.
Abil Ash, Pemuda Quraisy Yang Telah
Mencuri Hati Zainab
Zainab dilahirkan saat Nabi berusia 30 tahun. Ketika
mencapai usia perkawinan, Halah binti Khuwailid meminang Zainab untuk putranya,
Abil Ash bin Rabi, seorang lelaki mulia dengan kekayaan yang melimpah. Halah
binti Khuwailid sendiri adalah saudara perempuan Khadijah binti Khuwailid.
Khadijah juga telah yang mengasuh Abil Ash seperti anak
kandung sendiri sehingga ia diijinkan keluar masuk rumah Rasulullah seperti
rumah sendiri. Karena itu, sejak kecil ia bergaul dengan Zainab putri
Rasulullah seperti saudara kandung sendiri. Zainab sangat senang mendengar
cerita perjalanannya dan cerita lain yang menarik.
Karena itulah pinangan Abil Ash diterima Zainab dengan suka
cita, juga Rasulullah dan Khadijah. Pernikahan akhirnya digelar. Seluruh
penjuru Makkah berbahagia atas bersatunya pasangan yang serasi ini. Usai pesta
pernikahan, Khadijah pergi menemui kedua suami istri yang saling mencintai itu
dan mendoakan agar keduanya mendapatkan berkah. Kemudian dia melepas kalungnya
dan menggantungkannya ke leher Zainab sebagai hadiah. Sejak itu Zainab tinggal
di rumah suaminya.
Islam Menjadi Anugerah Sekaligus
Ujian Bagi Zainab
Zainab dan Abil Ash memang selalu hidup dalam keharmonisan,
namun perkawinan itu berlangsung sebelum turun wahyu kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam. Ketika Islam datang, Zainab pun tanpa ragu
langsung beriman. Akan tetapi Abil Ash tidak mudah meninggalkan agamanya. Maka
kedua suami istri itu merasa bahwa kekuatan yang lebih kuat dari cinta mereka
berusaha memisahkan antara keduanya.
"Tidak akan tercapai tujuan di antara kita, wahai
Zainab, kecuali engkau tetap dalam agamamu dan aku tetap dalam agamaku. Demi
Tuhan, ayahmu bukanlah seorang yang tertuduh. Tetapi aku tidak ingin dikatakan
bahwa aku meninggalkan kaumku, dan menjadi kafir mengingkari agama nenek
moyangku hanya demi menyenangkan istri. Ucap Abil Ash saat baru saja pulang
dari perniagaan.
Pasangan suami istri itu terdiam sebentar sambil merenung.
Keduanya kaget tatkala mendengar sebuah bisikan, "Jika agama memisahkan
antara kedua jasad mereka, maka cinta mereka akan tetap ada hingga keduanya
dipersatukan oleh sebuah agama."
Zainab masih terus tinggal di Makkah bersama suaminya karena
pada saat itu belum ada larangan pernikahan beda agama. Mereka baru berpisah
setelah kepulangan Abil Ash (pasca menjadi tawanan perang Badr) karena telah
turun QS Al-Mumtahanah 60:10 dan Al-Baqarah 2:221 yang melarang wanita muslimah
hidup bersama sebagai suami istri dengan pria kafir.
Zainab Dan Kalung Untuk Menebus Sang
Suami
Hari berganti, tibalah saatnya Rasulullah untuk hijrah ke
Madinah. Betapa sedihnya Zainab karena ia tidak bisa mengikuti sang ayah
berhijrah, karena sang suami maupun keluarganya tidak mengijinkan. Hingga
perang Badr berkecamuk, Zainab adalah satu-satunya Muslimah yang tinggal
bersama kafir Quraisy di Makkah.
Saat pasukan kafir Quraisy dan Muslim bertemu di lembah
Badr, Abil Ash merupakan salah satu orang yang berada dalam barisan kafir
Quraisy. Ia memerangi pasukan yang dipimpin oleh mertuanya sendiri. Hingga
akhirnya sejarah mencatat, pasukan Muslim yang kalah jumlah itu berhasil
memenangi peperangan.
Tidak sedikit dari kafir Quraisy yang kehilangan nyawa,
sedangkan sisanya menjadi tawanan. Abil Ash masuk dalam daftar tawanan. Ia
digiring menuju kota Madinah. Keluarga para tawanan di Makkah pun
berbondong-bondong mengirimkan tebusan pada Rasulullah, salah satunya datang
dari Zainab. Ia mengirimkan sebuah kalung pemberian sang Ibu untuk menebus suaminya.
Mengingat putrinya dan kalung itu, hati Rasulullah gerimis.
Tiba-tiba wajah Khadijah hadir di depan matanya. Rasulullah tidak sampai hati.
Beliau berkata, "Jika kalian tidak keberatan melepaskan tawanan (Abil Ash)
dan mengembalikan harta miliknya, maka lakukanlah." Mereka menjawab,
"Baiklah, wahai Rasulullah."
Abil Ash pun dibebaskan. Saat itulah ia berjanji pada sang
mertua untuk membebaskan Zainab dan mengembalikan kepada beliau di Madinah.
Abil Ash pun pulang ke Makkah bersama kalung yang tadi dikirimkan sang istri.
Kini ia tahu betapa cinta dan kesetiaan Zainab tidak pernah berkurang untuknya,
meski agama menjadi tembok pemisahnya.
Jarak Makkah Dan Madinah Tidak Mampu
Untuk Menghapus Cinta Di Hati Keduanya
Begitu sampai di rumah, Abil Ash mengucapkan terimakasih
pada sang istri. Ia pun berkata, "Kembalilah kepada ayahmu, wahai
Zainab." Ucapnya sambil berusaha berbesar hati. Pada hari yang telah
ditetapkan, Zaid bin Haritsah bersama seorang lelaki Anshor diutus Rasulullah
untuk menjemput Zainab di pinggiran dusun di luar kota Makkah.
Abil Ash tidak kuasa menahan tangisnya saat melepas
kepergian sang istri. Bagaimana dia mampu melepaskan orang yang dicintainya,
sedang dia mengetahui bahwa, itu merupakan perpisahan terakhir selama kekuasaan
agama ini berdiri di antara kedua hati dan masing-masing berpegang pada
agamanya. Yang membuatnya lebih sedih lagi, ia tidak bisa mengantarkan Zainab
keluar kota Makkah karena keadaan pasca perang saat itu.
Abil Ash pun mengutus saudaranya, Kinanah bin Rabi, untuk
mengantarkan Zainab. Ia berpesan, "Hai, Saudaraku, tentulah engkau
mengetahui kedudukan Zainab dalam jiwaku. Aku tidak menginginkan seorang wanita
Quraisy yang menemaninya keluar kota Makkah, dan engkau tentu tahu bahwa aku
tidak sanggup membiarkannya berjalan sendirian. Maka temanilah dia menuju tepi
dusun, di mana telah menungggu dua utusan Muhammad. Perlakukanlah dia dengan
lemah lembut dalam perjalanan dan perhatikanlah dia sebagaimana engkau
memperhatikan wanita-wanita terpelihara. Lindungilah dia dengan panahmu hingga
anak panah yang penghabisan."
Rupanya perjalanan Kinanah membawa Zainab tidaklah berjalan
mulus, karena kafir Quraisy selalu menghalangi. Ketika Zainab berada di
punggung unta, Hubar bin Aswad Al-Asadi menusuk perut unta dengan lembing,
hingga Zainab terlempar jatuh dan mengeluarkan darah. Janinnya telah gugur di
atas gurun pasir. Tapi ketabahan dan kemantapan hatinya yang dilandasi iman
serta Islam, membuat keberaniannya semakin membara, hingga tetap mantap hijrah
ke Madinah. Setelah melewati beberapa hambatan, Kinanah berhasil membawa Zainab
pada waktu malam, lalu menyerahkannya kepada Zaid bin Haritsah dan temannya.
Keduanya pergi mengantarkan Zainab kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam.
Berpisahlah Zainab dengan suami tercinta dan kedua buah
hatinya. Cinta Abil Ash dan Zainab benar-benar diuji. Tidak ada lagi jalan
untuk bertemu. Abil Ash tetap tinggal di Makkah. Ia selalu murung dan
menyendiri karena sang belahan jiwa tidak lagi ada di sisinya. Zainab pun
tinggal di Madinah bersama sang ayah. Ia jadi sering sakit-sakitan karena cinta
dan kerinduan yang sangat dalam. Kalau saja bukan karena iman dan takwa yang
menguatkan tekadnya, tentu ia akan tetap bersama Abil Ash hingga ajal yang memisahkan.
Selalu Ada Jalan Bagi Allah untuk
Mempersatukan Dua Anak Manusia
Minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Suatu hari
Abil Ash keluar bersama kafilah dagangnya menuju Syam. Saat perjalanan pulang
dia berjumpa pasukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang berhasil
merampas hartanya, syukur mereka tidak membunuhnya. Kini Abil Ash tidak punya
apa-apa lagi. Bukan hartanya saja yang ludes, melainkan juga harta yang
dititipkan orang-orang padanya. Bagaimana ia bisa sanggup kembali ke Makkah?
Di tengah keputus asaan itu, Abil Ash teringat Zainab,
wanita yang begitu mencintai dan setia padanya. Maka diputuskan pada suatu
malam Abil Ash memasuki Madinah dengan sembunyi-sembunyi. Ia berhasil bertemu
Zainab dan segera mengemukakan maksud kedatangannya, bahwa ia ingin meminta
bantuan Zainab untuk melindunginya, dan jika bisa, ia juga berharap hartanya
bisa dikembalikan. Cinta di hati Zainab masih tersimpan rapi untuk Abil Ash,
karena itu pula ia bersedia melindungi lelaki tersebut. Ketika masyarakat
Madinah mengetahui keberadaan Abil Ash di Masjid, mereka segera berkerumun dan
berniat untuk menangkapnya. Tapi kemudian Zainab berseru, "Hai,
orang-orang, aku telah melindungi Abil Ash bin Rabi. Dia dalam lindungan dan
jaminanku."
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang sedang salat
menyelesaikan salatnya, beliau segera menemui orang banyak dan bersabda:
"Wahai, orang-orang, apakah kalian tidak mendengar apa yang aku dengar?
Sesungguhnya serendah-rendah seorang Muslim, mereka tetap dapat memberi
perlindungan." Kemudian beliau masuk menemui putrinya. Zainab berkata, Ya
Rasulullah, sesungguhnya jika Abil Ash ini dianggap keluarga dekat, ia masih
putra paman. Jika dianggap jauh, ia bapak dari anakku, dan aku telah
melindunginya.
Rasulullah kemudian berpesan,"Wahai, putriku,
muliakanlah tempatnya dan jangan sampai dia menyentuhmu, karena engkau tidak
halal baginya selama dia masih musyrik." Meski begitu, Nabi shallallahu
'alaihi wasallam tetap terkesan melihat kesetiaan putrinya kepada suami yang ditinggalkan.
Singkat cerita berdasarkan permohonan secara halus oleh Rasulullah, harta Abil
Ash bisa dikembalikan. Beberapa orang di antara para perampas berkata,
"Hai, Abil Ash, maukah engkau masuk Islam dan mengambil harta benda ini,
karena semua ini milik orang-orang musyrik?"
Tahukah apa yang dijawab Abil Ash? Ia berkata, "Sungguh
buruk awal Islamku, jika aku mengkhianati amanat yang dipercayakan
padaku." Namun saat itu benih-benih iman sudah tumbuh subur di hatinya.
Mereka pun tetap mengembalikan harta itu kepada Abil Ash demi kemuliaan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan sebagai penghormatan kepada Zainab.
Laki-laki itu pun kembali ke Mekkah dengan membawa hartanya dan harta orang
banyak yang telah diamanahkan padanya.
Setelah mengembalikan harta kepada pemiliknya masing-masing,
Abil Ash berdiri dan berkata, "Wahai, kaum Quraisy, apakah masih ada harta
seseorang di antara kalian padaku?" Mereka menjawab, "Tidak. Semoga
Allah membalasmu dengan kebaikan. Kami telah mendapati kamu seorang yang jujur
dan mulia."
Abil Ash berkata, "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Demi Allah, tiada
yang menghalangi aku masuk Islam di hadapan Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam, kecuali karena aku khawatir mereka menyangka aku ingin makan harta
kalian. Setelah Allah menyampaikannya kepada kalian dan aku selesai
membagikannya, maka aku masuk Islam."
Akhirnya Allah menunjukkan skenarionya yang begitu indah
untuk Zainab dan Abil Ash. Keluarga yang pernah berpisah selama 6 tahun itu
akhirnya kembali bersatu dalam satu atap rumah tangga bersama anak-anak mereka.
Mereka kini tinggal dalam satu atap, satu iman dan satu perjuangan dalam Islam.
Sayang, suasana bahagia itu tidak berlangsung lama. Zainab meninggal mendahului
suaminya, setahun setelah kembali berkumpul dalam satu atap rumah tangga dengan
suaminya. Zainab meninggal dunia pada tahun 8 Hijriah dan Rasulullah sangat
sedih atas kepergiannya. Rasulallah sendiri turun ke dalam kuburan di saat
pemakaman.
Zainab meninggal dunia setelah meninggalkan kenangan
terbaik. Dia telah menjadi contoh terbaik dalam hal kesetiaan isteri,
keikhlasan cinta dan kebenaran iman. Tidaklah mengherankan apabila suaminya
berkata dalam suatu perjalanan ke Syam, "Puteri Al-Amiin, semoga Allah
membalasnya dengan kebaikan dan setiap suami akan memuji sesuai dengan yang
diketahuinya." Rasulallah bersabda mengenai Zainab, Sesungguhnya ia adalah
sebaik baiknya anakku dalam menerima musibah.
EPILOG
Begitulah sahabat musliim Muslimah, betapa Maha
Kuasanya Allah. Jika Dia sudah berkehendak, tidak ada satu hal pun yang bisa
menghalangi. Cinta Zainab dan Abil Ash hendaknya bisa kita jadikan pembelajaran
tentang bagaimana mencintai yang benar. Saat ini banyak sekali kita dengar
Muslim yang menggadaikan imannya demi menikahi seseorang yang tidak seiman,
atau ada juga yang memilih pernikahan dengan dalih Untukmu agamamu, dan untukku
agamaku.
Harusnya kisah Zainab menjadi peringatakan keras bagi kita
bahwa Islam melarang pernikahan beda keyakinan. Pernikahan seperti itu bernilai
zina sepanjang waktu. Andai ayat Untukmu agamamu, dan untukku agamaku berlaku
dalam pernikahan, tentu Zainab tidak pernah berpisah dengan Abil Ash hingga 6
tahun lamanya. Jangan biarkan kita menjadi budak cinta, karena sesungguhnya
setan senang sekali memanfaatkan cinta di hati kita. Ingatlah cinta kepada
manusia tidak ada yang abadi apabila tidak berlandaskan pada Allah, sementara
cinta kepada Allah akan terus dibawa hingga di kehidupan kemudian.
Sumber: [Buku Tokoh-tokoh Wanita di
Sekitar Rasulullah SAW karangan Muhammad Ibrahim Saliim]
0 Response to "Kisah Para Pecinta Sejati (Cinta Yusuf dan Sulaikha, Muhammad dan Khadijah, Ali bin Abi Thalib dan Fatimah)"
Post a Comment