Realitas Pendidikan Indonesia: Pendidikan di Indonesia yg Membebani
Oleh: Muhammad Akbar
Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Makassar
Akbarusamahbinsaid.@gmail.com
Saya sangat
sepaham dengan pernyataan dari John Dewey di atas. Pendidikan itu sebenarnya
tujuan apa sih? koq kalau di Indonesia koq kesannya ribet, rumit dan berat.
Bisa lewat dan lulus aja rasanya udah cukup baik. Tapi kalau dituntut harus
berprestasi juga, gimana jadinya ya? Sepertinya kita semua harus mencoba melihat
dari sisi si anak. Apakah sebenarnya mereka menyukai proses belajar di sekolah?
atau mereka merasa ‘terpaksa’ mengikutinya karena kewajiban dan keharusan dari
orangtua dan pemerintah?
Hanya di Indonesia, saya koq merasa
sekolah itu bentuk lain dari ‘kerja paksa’ ya. Saya juga pernah mengecap
manisnya pendidikan TK bahkan sampai perguruan tinggi dan setelah pernah
merasakan kehidupan di negeri sakura, saya koq merasa kecerdasarn yang diukur
dengan angka atau IPK itu gak penting ya. Saya melihat anak-anak disana dididik
di sekolah bukan untuk menjadi bekal dalam bekerja atau berbisnis mereka ke
depannya. Tapi mereka dididik untuk mampu menjalani kehidupan mereka dengan
baik dan benar kelak di masyarakat.
Beda banget
kan hasilnya sama di Indonesia? saya membandingkan bukan tanpa alasan. Saya
melihat carut marut pendidikan di Indonesia membuat ‘anak’ menjadi korban dari
segala kebijakan pemerintah atau sekolah. Ya tentu saja karena anak dan remaja
adalah eksekutornya kelak di masa depan bukan orangtua atau pihak sekolah
maupun pemerintah. Kan mereka yang menjalaninya maka sebenarnya merekalah yang
paling tahu apa sebenarnya yang mereka butuhkan, mereka ingin dan mereka sukai
sesuai bakat dan potensi mereka masing-masing.
Sayangnya,
hanya di Indonesia sepertinya anak dididik bukan untuk mengembangkan potensi
atau bakatnya. Semuanya diberikan bulat-bulat pada anak saat di sekolah, tanpa
mempertimbangkan terlebih dahulu kesesuaikan bahan ajar dengan minat anak.
Inilah yang menjadi salah satu penyebab anak menjadi malas belajar, merasa
lelah dan mungkin tertekan ketika belajar di sekolah.
Sama dengan
kita, katakanlah kita alergi makan udang, tanpa ditanyai atau dicek dulu kita
dipaksa memakannya karena itu wajib dikonsumsi. Akhirnya kita yang menjadi
korban ‘kewajiban’ tersebut, dan siapa yang peduli akan dampaknya? tidak ada!
hanya kita sendiri. Mungkin yang memberi udang akan memberi seribu satu alasan
untuk tak mau disalahkan. Kenapa mau disuruh makan udang? kenapa tidak bilang
kalau alergi makan udang? dan seterusnya dan seterusnya.
Sama dengan
kewajiban belajar di sekolah, anak tidak bisa memilih, cenderung mengikuti saja
maunya sekolah atau orangtua seperti apa. Anak juga tak pernah ditanyai, apakah
senang belajarnya, apa yang kurang dalam belajar di sekolah, inginnya seperti
apa dalam sekolah, sukanya belajar apa, gurunya seperti apa mengajarnya, dan
lain-lain. Anak hanya ‘dianggap’ jika berprestasi dan membanggakan kedua
orangtuanya. Dulu saya merasa seperti itu juga ketika sekolah, jika tak mampu
menyabet juara rasanya malu dan merasa kurang disayang orangtua. Mungkin ini
juga terjadi pada sebagian besar anak-anak atau remaja di Indonesia. Coba kita
renungkan kembali!
Hanya di
Indonesia, saya melihat anak-anak membawa tas besar, berisi banyak buku bahkan
sampai ukuran dan berat tas lebih besar daripada berat tubuhnya sendiri. Maka
tak jarang anak-anak di Indonesia sampai membeli tas troli agar bisa ditarik
dan dorong. Waw…dan ini benar terjadi di Indonesia.
Hanya di
Indonesia juga saya melihat anak bebas membawa handphone, tab, tas
dengan berbagai merek yang mahal serta atribut-atribut lainnya yang sebenarnya
tidak ada hubungannya dengan pendidikan atau bahan ajar di sekolah. Di Jepang,
anak-anak sekolah hingga SMA menggunakan tas yang sama, sepatu yang sama
sehingga semua murid terlihat sama di mata sekolah, tidak memandang latar
belakangnya yang bisa dilihat dari ‘bawaannya’ ke sekolah.
Hanya di
Indonesia, saya melihat anak-anak diminta untuk memberikan ’sesuatu’ pada
perayaan hari guru. Mungkin ini tak terjadi di tempat lain tapi terjadi di
daerah tinggal saya. Mau tak mau, karena takut dikasi nilai jelek oleh guru,
murid pun memaksakan diri memberikan sesuatu kepada guru atau kepala sekolah.
Benar-benar memberatkan! apalagi untuk anak-anak dan orangtua yang untuk makan
saja serba berkekurangan. Memprihatinkan!
Begitulah,
rasanya tak pernah habis kalau membicarakan pendidikan di Indonesia. Entah
sudah berapa tahun kita merdeka, tapi rasanya masih saja sulit menikmati indah
dan bahagianya bersekolah itu. Jangan ditanya masalah kesenjangan, bully
dan pilih kasih. Sekolah-sekolah dan guru-guru di Indonesia saya rasa masih ada
yang melakukan itu, atau mungkin banyak.
Saya berharap
banyak pada pak Anis Baswedan, Menteri yang mengurusi masalah pendidikan di
Indonesia saat ini. Melihat prestasinya dengan kesuksesan program ‘Indonesia
Mengajar’ saya tentunya boleh berharap lebih untuk kebaikan pendidikan di
Indonesia ke depannya. Masalah pendidikan di Indonesia bukan sekedar kurikulum
saja, tapi masih banyak terutama yang terkait dengan kepribadian dan skill.
Anak-anak adalah generasi penerus bangsa dan jika salah didik bisa dibayangkan
apa jadinya negara ini kelak.
Sekali lagi
mengutip dari pernyataan John Dewey di atas, bahwa pendidikan adalah kehidupan
itu sendiri.
0 Response to "Realitas Pendidikan Indonesia: Pendidikan di Indonesia yg Membebani"
Post a Comment