'

Selamat Datang di Website Resmi Muhammad Akbar bin Zaid “Assalamu Alaikum Warahmtullahi Wabarakatu” Blog ini merupakan blog personal yg dibuat & dikembangkan oleh Muhammad Akbar bin Zaid, Deskripsinya adalah "Referensi Ilmu Agama, Inspirasi, Motivasi, Pendidikan, Moralitas & Karya" merupakan kesimpulan dari sekian banyak kategori yang ada di dalam blog ini. Bagi pengunjung yang ingin memberikan saran, coretan & kritikan bisa di torehkan pada area komentar atau lewat e-mail ini & bisa juga berteman lewat Facebook. Terimah Kasih Telah Berkunjung – وَالسٌلام عَلَيْكُم

Realitas Pendidikan Indonesia: Pendidikan di Indonesia yg Membebani



Oleh: Muhammad Akbar
Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Makassar
Akbarusamahbinsaid.@gmail.com

Saya sangat sepaham dengan pernyataan dari John Dewey di atas. Pendidikan itu sebenarnya tujuan apa sih? koq kalau di Indonesia koq kesannya ribet, rumit dan berat. Bisa lewat dan lulus aja rasanya udah cukup baik. Tapi kalau dituntut harus berprestasi juga, gimana jadinya ya? Sepertinya kita semua harus mencoba melihat dari sisi si anak. Apakah sebenarnya mereka menyukai proses belajar di sekolah? atau mereka merasa ‘terpaksa’ mengikutinya karena kewajiban dan keharusan dari orangtua dan pemerintah?
Hanya di Indonesia, saya koq merasa sekolah itu bentuk lain dari ‘kerja paksa’ ya. Saya juga pernah mengecap manisnya pendidikan TK bahkan sampai perguruan tinggi dan setelah pernah merasakan kehidupan di negeri sakura, saya koq merasa kecerdasarn yang diukur dengan angka atau IPK itu gak penting ya. Saya melihat anak-anak disana dididik di sekolah bukan untuk menjadi bekal dalam bekerja atau berbisnis mereka ke depannya. Tapi mereka dididik untuk mampu menjalani kehidupan mereka dengan baik dan benar kelak di masyarakat.
Beda banget kan hasilnya sama di Indonesia? saya membandingkan bukan tanpa alasan. Saya melihat carut marut pendidikan di Indonesia membuat ‘anak’ menjadi korban dari segala kebijakan pemerintah atau sekolah. Ya tentu saja karena anak dan remaja adalah eksekutornya kelak di masa depan bukan orangtua atau pihak sekolah maupun pemerintah. Kan mereka yang menjalaninya maka sebenarnya merekalah yang paling tahu apa sebenarnya yang mereka butuhkan, mereka ingin dan mereka sukai sesuai bakat dan potensi mereka masing-masing.
Sayangnya, hanya di Indonesia sepertinya anak dididik bukan untuk mengembangkan potensi atau bakatnya. Semuanya diberikan bulat-bulat pada anak saat di sekolah, tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu kesesuaikan bahan ajar dengan minat anak. Inilah yang menjadi salah satu penyebab anak menjadi malas belajar, merasa lelah dan mungkin tertekan ketika belajar di sekolah.
Sama dengan kita, katakanlah kita alergi makan udang, tanpa ditanyai atau dicek dulu kita dipaksa memakannya karena itu wajib dikonsumsi. Akhirnya kita yang menjadi korban ‘kewajiban’ tersebut, dan siapa yang peduli akan dampaknya? tidak ada! hanya kita sendiri. Mungkin yang memberi udang akan memberi seribu satu alasan untuk tak mau disalahkan. Kenapa mau disuruh makan udang? kenapa tidak bilang kalau alergi makan udang? dan seterusnya dan seterusnya.
Sama dengan kewajiban belajar di sekolah, anak tidak bisa memilih, cenderung mengikuti saja maunya sekolah atau orangtua seperti apa. Anak juga tak pernah ditanyai, apakah senang belajarnya, apa yang kurang dalam belajar di sekolah, inginnya seperti apa dalam sekolah, sukanya belajar apa, gurunya seperti apa mengajarnya, dan lain-lain. Anak hanya ‘dianggap’ jika berprestasi dan membanggakan kedua orangtuanya. Dulu saya merasa seperti itu juga ketika sekolah, jika tak mampu menyabet juara rasanya malu dan merasa kurang disayang orangtua. Mungkin ini juga terjadi pada sebagian besar anak-anak atau remaja di Indonesia. Coba kita renungkan kembali!
Hanya di Indonesia, saya melihat anak-anak membawa tas besar, berisi banyak buku bahkan sampai ukuran dan berat tas lebih besar daripada berat tubuhnya sendiri. Maka tak jarang anak-anak di Indonesia sampai membeli tas troli agar bisa ditarik dan dorong. Waw…dan ini benar terjadi di Indonesia.
Hanya di Indonesia juga saya melihat anak bebas membawa handphone, tab, tas dengan berbagai merek yang mahal serta atribut-atribut lainnya yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pendidikan atau bahan ajar di sekolah. Di Jepang, anak-anak sekolah hingga SMA menggunakan tas yang sama, sepatu yang sama sehingga semua murid terlihat sama di mata sekolah, tidak memandang latar belakangnya yang bisa dilihat dari ‘bawaannya’ ke sekolah.
Hanya di Indonesia, saya melihat anak-anak diminta untuk memberikan ’sesuatu’ pada perayaan hari guru. Mungkin ini tak terjadi di tempat lain tapi terjadi di daerah tinggal saya. Mau tak mau, karena takut dikasi nilai jelek oleh guru, murid pun memaksakan diri memberikan sesuatu kepada guru atau kepala sekolah. Benar-benar memberatkan! apalagi untuk anak-anak dan orangtua yang untuk makan saja serba berkekurangan. Memprihatinkan!
Begitulah, rasanya tak pernah habis kalau membicarakan pendidikan di Indonesia. Entah sudah berapa tahun kita merdeka, tapi rasanya masih saja sulit menikmati indah dan bahagianya bersekolah itu. Jangan ditanya masalah kesenjangan, bully dan pilih kasih. Sekolah-sekolah dan guru-guru di Indonesia saya rasa masih ada yang melakukan itu, atau mungkin banyak.
Saya berharap banyak pada pak Anis Baswedan, Menteri yang mengurusi masalah pendidikan di Indonesia saat ini. Melihat prestasinya dengan kesuksesan program ‘Indonesia Mengajar’ saya tentunya boleh berharap lebih untuk kebaikan pendidikan di Indonesia ke depannya. Masalah pendidikan di Indonesia bukan sekedar kurikulum saja, tapi masih banyak terutama yang terkait dengan kepribadian dan skill. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa dan jika salah didik bisa dibayangkan apa jadinya negara ini kelak.
Sekali lagi mengutip dari pernyataan John Dewey di atas, bahwa pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Realitas Pendidikan Indonesia: Pendidikan di Indonesia yg Membebani"