Realitas Pendidikan Indonesia: Kemana Arah Pendidikan Kita
Oleh: Muhammad Akbar
Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas Negeri Makassar
Akbarusamahbinsaid.@gmail.com
Ditulis
oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI). LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan
protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu
telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal
dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
…Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu
pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang
terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya
memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.
Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya
kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak
salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini
saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu
saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak
dari mana?”
“Dari
Indonesia,” jawab saya.
Dia
pun tersenyum.
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang
penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan
membangun masyarakat.
“Saya
mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik
itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya
dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai.
Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk
merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan
argumentasinya.
“Saya
sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar
itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat
menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris
yang dibuat anak saya.
Dari
diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur
prestasi orang lain menurut ukuran kita.
Saya
teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai
“A”, dari program master hingga doktor.
Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan
studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap
menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan
membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat
bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan,
melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka
menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya
sehingga kami makin mengerti.
Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa
depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.
Pada
saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para
pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di
bangku ujian.
***
Etika seseorang penguji atau promotor membela
atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan
berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya
sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen
menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.
Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan
discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan
pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata
belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas
dendam dan kecurigaan.
Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika
memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu
menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel.
Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan
karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.
Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru
mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan
kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya
juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk
verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya
mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi
kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah
telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun
Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya mendatangi anak
saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah
rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.
Dia pernah protes saat menerima nilai E yang
berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya
melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan
cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah
generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan
bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh
guru, sundutan rokok, dan seterusnya.
Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata
ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala
di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin
telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa
mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu
otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut
(mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.
Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau
dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan
demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti
yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar
atau bodoh.
Tetapi
juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.
Mari kita renungkan dan mulailah mendorong
kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju,
bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.
ALHAMDULLILAH
LINK SUMBER NASKAH ASLINYA DI TEMUKAN OLEH PAK IMAM: http://mm.fe.ui.ac.id/…/261-encouragement-prof-rhenald-kasa…
0 Response to "Realitas Pendidikan Indonesia: Kemana Arah Pendidikan Kita"
Post a Comment