Biografi Singkat Para Sahabat Rasulullah: Sa'id bin Amir bin Huzaim Al-Jumahy radhiallahu anhu.
Kita
tentunya tidak banyak mendengar kisah shahabat Nabi SAW yang satu
ini. Selain sebagai pribadi yang selalu mengutamakan Kebersahajaan dan
zuhud, ia memang tidak menyukai publikasi. Tapi dibalik itu ia adalah seorang
tentara Allah yang tidak pernah absen dalam semua perjuangan dan jihad yang
dihadapi Rasulullah SAW.
Sa'id
menganut Islam tidak lama sebelum pembebasan Khaibar. Semenjak itu, Ia
curahkan seluruh kehidupannya semata-mata untuk membela Allah dan Rasul-Nya.
Ketaatan dan kepatuhan, zuhud dan keshalihan, keluhuran dan ketinggian, adalah
akhlak yang selalu meliputinya.
Kebesaran
tokoh ini lebih mendalam dan berurat akar dari tersembul di permukaan lahir
yang kemilau. Ia jauh tersembunyi di sana, di balik kesederhanaan dan
kesahajaannya. Ketika Amirul Mu'minin Umar bin Khatthab memecat Mu'awiyah dari
jabatannya sebagai kepala daerah di Syria, ia menoleh kiri dan kanan menemukan
seseorang yang akan menjadi penggantinya.
Sistem yang
digunakan Umar untuk memilih pegawai dan pembantunya adalah suatu sistem yang
mengandung segala kewaspadaan, ketelitian dan pemikiran yang matang, karena ia
menaruh keyakinan bahwa setiap kesalahan yang dilakukan oleh setiap penguasa di
tempat yang jauh sekali pun, yang akan ditanya oleh Allah swt. adalah dua
orang, pertama Umar, dan kedua baru penguasa yang melakukan kesalahan
itu. Karenanya ketentuan yang dipergunakannya untuk menilai orang dan
memilih para pejabat pemerintahan sangat ketat serta didasarkan atas pertimbangan
tajam dan sempurna.
Suriah ketika itu merupakan wilayah yang modern dan
besar yang telah mengalami berbagai pergantian peradaban sesuai dengan silih
bergantinya penguasa kota itu. Ia juga menjadi pusat perdagangan yang
penting. Maka menurut Umar, tidak ada yang cocok untuk negeri itu kecuali
seorang suci yang tidak dapat diperdaya syetan mana pun, seorang zahid yang
gemar beribadat, yang tunduk dan patuh serta melindungkan diri kepada Allah.
Tiba-tiba
Umar berseru, katanya, "Saya telah menemukannya, bawa ke sini, Sa'id
bin 'Amir!" Tak lama kemudian datanglah Sa'id menemui Amirul Mu'minin
yang menawarkan kepadanya jabatan wali kota Homs, tetapi Sa'id menyatakan
keberatannya, katanya, "Janganlah saya dihadapkan kepada fitnah, wahai
Amirul Mu'minin!"
Dengan nada
keras Umar menjawab, "Tidak, demi Allah saya tak akan melepaskan
Anda! Apakah tuan-tuan hendak membebankan amanat dan khilafat di atas
pundakku, lalu tuan-tuan meninggalkan daku? "
Dalam
sekejap Sa'id dapat diyakinkan. Memang sungguh suatu hal yang tidak adil
bila mereka mengalungkan ke leher Umar amanat dan jabatan sebagai khalifah,
lalu mereka meninggalkannya. Dan andai seorang Sa'id bin 'Amir menolak
memikul amanat tersebut, siapa lagi yang akan membantu Umar dalam memikul
tanggung jawab yang amat berat itu?
Akhirnya
Sa'id beserta istrinya berangkat ke Homs. Sebetulnya kedua mereka adalah
pengantin baru dan istrinya adalah seorang wanita yang amat cantik. Mereka
dibekali Umar secukupnya.
Ketika
posisi mereka di Homs telah mantap, sang istri bermaksud menggunakan haknya
sebagai istri untuk memanfaatkan harta yang telah diberikan Umar sebagai bekal
mereka. Diusulkannya kepada suaminya untuk membeli pakaian yang layak dan
perlengkapan rumah tangga, lalu menyimpan sisanya.
Sa'id
menjawab, "Maukah kamu saya tunjukkan yang lebih baik dari rencanamu
itu? Kita berada di suatu negeri yang amat pesat perdagangannya dan laris
barang jualannya. Maka lebih baik kita serahkan harta ini kepada seseorang
yang akan mengambilnya sebagai modal dan akan memperkembangkannya." .
"Bagaimana jika perdagangannya rugi?" tanya istrinya. "Saya
akan sediakan borg atau jaminan," ujar Sa'id. "Baiklah
kalau begitu," kata istrinya pula.
Kemudian
Sa'id pergi keluar, lalu membeli sebagian kebutuhan hidup dari jenis yang amat
bersahaja, dan sisanya yang tentu masih banyak itu dibagi-bagikannya kepada
fakir miskin dan orang-orang membutuhkan.
Hari-hari pun berlalu, dan dari waktu ke waktu isteri
Sa'id menanyakan kepada suaminya soal perdagangan mereka dan bilakah
keuntungannya hendak dibagikan. Semua itu dijawab oleh Sa'id bahwa perdagangan
mereka berjalan lancar, sedang keuntungan bertambah banyak dan kian meningkat.
Pada suatu
hari isterinya memajukan lagi pertanyaan serupa di hadapan seorang kerabat yang
mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Sa'id pun tersenyum lalu tertawa
yang menyebabkan timbulnya keraguan dan kecurigaan sang isteri. Didesaknyalah
suaminya agar menceritakannya secara terus terang. Maka disampaikannya
bahwa harta itu telah disedekahkannya dari semula. Wanita itu pun menangis
dan menyesali dirinya karena harta itu tak ada manfaatnya sedikit pun, karena
tidak jadi dibelikan untuk keperluan hidup dirinya, dan sekarang tak sedikit
pun tinggal sisanya.
Sa'id
memandangi istrinya, sementara air mata penyesalan dan kesedihan telah menambah
kecantikan dan kemolekannya. Dan sebelum pandangan yang penuh godaan itu
dapat mempengaruhi dirinya, Sa'id menujukkan penglihatan bathinnya ke surga,
maka tampaklah di sana kawan-kawannya yang telah pergi mendahuluinya, lalu
katanya, "Saya memiliki teman yang telah lebih dulu menemui Allah dan
saya tak ingin menyimpang dari jalan mereka, walau ditebus dengan dunia dan
segala isinya."
Dan karena
ia takut akan tergoda oleh kecantikan istrinya itu, maka katanya pula yang
seolah-olah dihadapkan kepada dirinya sendiri bersama istrinya, "Bukankah
kamu tahu bahwa di dalam surga itu banyak terdapat gadis-gadis cantik yang
bermata jeli, sampai andainya seorang saja di antara mereka menampakkan
wajahnya di muka bumi, maka akan terang-benderanglah seluruhnya, dan tentulah
cahayanya akan mengalahkan sinar matahari dan bulan. Maka mengurbankan
dirimu demi untuk mendapatkan mereka, tentu lebih wajar dan lebih utama dari
mengurbankan mereka demi karena dirimu."
Diakhirinya ucapan itu sebagaimana dimulainya tadi,
dalam keadaan tenang dan tenteram, tersenyum simpul dan pasrah. Istrinya
terdiam karena sarannya bahwa tak ada yang lebih utama baginya dari mengikuti
jalan yang telah ditempuh suaminya, dan mengendalikan diri untuk mencontoh
sifat zuhud dan ketakwaannya.
Dewasa itu
Homs digambarkan sebagai Kufah kedua. Hal ini disebabkan sering terjadinya
pembangkangan dan pendurhakaan penduduk terhadap para pembesar yang memegang
kekuasaan. Dan karena kota Kufah dianggap sebagai pelopor dalam soal
pembangkangan ini, maka kota Homs diberi julukan sebagai Kufah
kedua. Tetapi bagaimanapun gemarnya orang-orang Homs ini menentang
pemimpin-pemimpin mereka sebagai kita sebutkan itu, namun terhadap hamba yang
shalih sebagaimana Sa'id, hati mereka dibukakan Allah, hingga mereka cinta dan
taat kepadanya.
Pada suatu
hari Umar menyampaikan berita kepada Sa'id, "Orang-orang Syria
mencintaimu." "Mungkin karena saya suka menolong dan
membantu mereka," ujar Sa'id. Hanya, bagaimanapun cintanya warga
kota Homs terhadap Sa'id, adanya keluhan dan pengaduan, tak terelakkan,
setidaknya untuk membuktikan bahwa Homs masih tetap menjadi saingan berat bagi
kota Kufah di Irak.
Suatu
ketika, tatkala Amirul Mu'minin Umar berkunjung ke Homs, ditanyakannya kepada
penduduk yang sedang berkurnpul lengkap, "Bagaimana pendapat kalian
tentang Sa'id?" Sebagian hadirin tampil mengadukannya, tetapi rupanya
pengaduan itu mengandung barkah karena dengan demikian terungkaplah dari satu
segi kebesaran pribadi tokoh kita ini, kebesaran yang amat menakjubkan serta
mengesankan.
Dari
kelompok yang mengadukan itu Umar meminta agar mereka mengemukakan titik-titik
kelemahannya satu demi satu. Maka atas nama kelompok tersebut majulah
pembicara yang mengatakan, "Ada empat hal yang ingin kami kemukakan:
Pertama, ia baru keluar mendapatkan kami setelah tinggi hari. Kedua,
tak hendak melayani seseorang di waktu malam hari. Ketiga, Setiap
bulan ada dua hari di mana ia tak hendak keluar mendapatkan kami hingga kami
tak dapat menemuinya. Dan keempat, sewaktu-waktu ia jatuh pingsan.
"
Umar tunduk sebentar dan berbisik memohon kepada
Allah, katanya, "Ya Allah, hamba tahu bahwa ia adalah hamba-Mu terbaik,
maka hamba harap firasat hamba terhadap dirinya tidak meleset."
Lalu Sa'id
dipersilahkan untuk membela dirinya, ia berkata, "Tentang tuduhan
mereka bahwa saya tak hendak keluar sebelum tinggi hari, maka demi Allah,
sebetulnya saya tak hendak menyebutkannya. Keluarga kami tak punya khadam
atau pelayan, maka sayalah yang mengaduk tepung dan membiarkannya sampai
mengeram, lalu saya membuat roti dan kemudian wudlu untuk shalat
dluha. Setelah itu barulah saya keluar menemuni mereka."
Wajah Umar berseri-seri, dan katanya, "Alhamdulillah, dan mengenai yang
kedua?"
Sa'id pun
melanjutkan pembicaraannya, "Adapun tuduhan mereka bahwa saya tak mau
melayani mereka di waktu malam, maka demi Allah saya benci menyebutkan
sebabnya. Saya telah menyediakan siang hari untuk mereka, dan malam hari
untuk Allah Ta'ala. Sedang ucapan mereka bahwa dua hari setiap bulan di
mana saya tidak menemui mereka, maka sebabnya sebagai saya katakan tadi, saya
tak punya khadam yang akan mencuci pakaian, sedang pakaianku tidak pula banyak
untuk dipergantikan. Jadi, terpaksalah saya mencucinya dan menunggu sampai
kering, hingga baru dapat keluar di waktu petang. Kemudian, tentang
keluhan mereka bahwa saya sewaktu-waktu jatuh pingsan, sebabnya karena ketika
di Mekah dulu saya telah menyaksikan jatuh tersungkurnya Khubaib Al-Anshari. Dagingnya
dipotong-potong oleh orang Quraisy dan mereka bawa ia dengan tandu sambil
mereka menanyakan kepadanya: "Maukah tempatmu ini diisi oleh Muhammad
sebagai gantimu, sedang kamu berada dalam kondisi sehat wal 'afiat? Jawab
Khubaib, "Demi Allah, saya tak ingin berada dalam lingkungan anak isteriku
diliputi oleh keamanan dan kesenangan dunia, sementara Rasulullah ditimpa
bencana, walau oleh hanya tusukan duri sekalipu. Maka setiap terkenang
akan peristiwa yang saya saksikan itu, dan ketika itu saya masih dalam kondisi
musyrik, lalu teringat bahwa saya berpangku tangan dan tak hendak mengulurkan
pertolongan kepada Khubaib, tubuh saya pun gemetar karena takut akan siksa
Allah, hingga ditimpa penyakit yang mereka katakan itu."
Sampai di
sana berakhirlah kata-kata Sa'id, ia membiarkan kedua bibirnya basah oleh air
mata yang suci, mengalir dari jiwanya yang shalih. Mendengar itu, Umar tak
dapat lagi menahan diri dan rasa harunya, maka berseru karena amat gembira: "Alhamdulillah,
karena dengan taufiq-Nya firasatku tidak meleset adanya!" Lalu
dirangkul dan dipeluknya Sa'id, serta diciumlah keningnya yang mulia dan
bersinar cahaya,
Suatu ketika
ada yang menasehatkan kepadanya, "Berikanlah kelebihan harta ini untuk
melapangkan keluarga dan famili istri Anda!" Maka ujarnya, "Kenapa
keluarga dan ipar besanku saja yang harus lebih kuperhatikan? Demi Allah,
tidak. Saya tak hendak menjual keridlaan Allah dengan kerabatku!"
Memang telah lama dianjurkan orang kepadanya, "Janganlah
ditahan-tahan nafqah untuk diri pribadi dan keluarga Anda, dan ambillah
kesempatan untuk menikmati hidup." Tetapi jawaban yang keluar hanyalah
kata-kata yang senantiasa diulang-ulangnya, "Saya tak ingin ketinggalan
dari rombongan pertama, yakni setelah saya dengar Rasulullah SAW
bersabda, "Allah 'Azza wa Jalla akan menghimpun manusia untuk
dihadapkan ke pengadilan. Maka datangtah orang-orang miskin yang beriman,
berdesak-desakkan maju ke depan lak ubahnya bagai kawanan burung merpati.Lalu
ada yang berseru kepada mereka: Berhentilah kalian untuk menghadapi perhitungan! Ujar
mereka, "Kami tak punya apa-apa untuk dihisab."Maka Allah pun
berfirman, "Benarlah hamba-hamba-Ku itu ... Lalu, masuklah mereka ke
dalam surga sebelum orang-orang lain masuk ..."
Dan pada
tahun 20 Hijriyah dengan lembaran yang paling bersih, dengan hati yang paling
suci dan dengan kehidupan yang paling cemerlang. Sa'id bin 'Amir pun
menemukan Allah. Telah lama sekali rindunya terpendam untuk menyusul
rombongan perintis, yang hidupnya telah dinadzarkannya untuk memelihara janji dan
mengikuti langkah mereka.
Sungguh,
rindunya telah tiada terkira untuk dapat menjumpai Rasul yang menjadi gurunya,
dan teman sejawatnya yang shalih dan suci. Maka sekarang ia akan menemui
mereka dengan hati tenang, jiwa yang tenteram dan beban yang ringan. Yang tak
ada beserta atau di belakangnya beban dunia atau harta benda yang akan
memberati punggung atau menekan bahunya. Tak ada yang dibawanya kecuali
zuhud, keshalihan dan ketaqwaannya serta kebenaran jiwa dan budi baiknya.
Semua itu adalah keutamaan yang akan
memberatkan daun timbangan, dan sekali-kali takkan memberatkan beban pikulan.
Keistimewaan tersebut dipergunakan oleh pemiliknya untuk menggoncang dunia, dan
dijadikan pegangan yang kokoh sehingga tak tergoyahkan oleh tipu daya dunia.
Sumber: Buku
Sahabat-Sahabat Rasulullah Sallallahu alai’hi wasallam
Penerbit: Pustaka
Ibnu Katsir
0 Response to "Biografi Singkat Para Sahabat Rasulullah: Sa'id bin Amir bin Huzaim Al-Jumahy radhiallahu anhu. "
Post a Comment