Biografi Singkat Para Sahabat Rasulullah: Abdullah ibnu Umar radhiallahu anhu.
Perang Khandak berkecamuk. Beredar kabar, siapa saja
lelaki berusia 15 tahun ke atas berhak ikut berjihad. Mendengar itu
seorang pemuda berseri-seri. Usianya saat itu masuk 15 tahun. Ia
segera mendaftarkan diri. Itulah idamannya selama ini, berjihad bersama
Rasulullah. Keikutsertaannya dalam berbagai medan jihad tak pernah lepas dalam
sejarah hidup pemuda itu.
Saat perang membuka kota Mekah (Futuh Makkah), ia berusia 20
tahun dan termasuk pemuda yang menonjol di medan perang. Dialah, Abdullah
bin Umar, atau Ibn Umar.
Berkawan Malam. Menurut sebagian penulis riwayat, kaum
muslimin masa itu sedang jaya-jayanya. Muncul daya tarik harta dan
kedudukan membuat sebagian orang tergoda memperolehnya. Maka para sahabat
melakukan perlawanan pengaruh materi itu dengan mempertegas dirinya sebgai
contoh gaya hidup zuhud dan salih, menjauhi kedudukan tinggi.
Ibn Umar pun dikenal sebagai pribadi yang berkawan malam
untuk beribadah, dan berkawan dengan dinihari untuk menangis memohon
ampunan-Nya. Akan halnya soal salat malam ini, ada riwayatnya. Di
masa hayat Rasulullah, Ibn Umar mendapat karunia Allah.
Setelah selesai salat bersama Rasulullah, ia pulang, dan
bermimpi. "Seolah-olah di tanganku ada selembar kain
beludru. Tempat mana saja yang kuingini di surga, kain beledru itu akan
menerbangkanku ke sana. Dua malaikat telah membawaku ke neraka,
memperlihatkan semua bagian yang ada di neraka. Keduanya menjawab apa saja yang
kutanyakan mengenai keadaan neraka", begitulah diungkapkan Ibn Umar
kepada saudarinya yang juga istri Rasul, Hafshah,
Keesokan harinya. Hafshah langsung
menanyakan mimpi adiknya kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, "Akan
menjadi lelaki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia sering salat malam dan
banyak melakukannya". Semenjak itulah, sampai meninggalnya, Ibn
Umar tak pernah meninggalkan qiyamul lail, baik ketika mukim atau
bersafar. Ia demikian tekun menegakkan shalat, membaca Al-Quran, dan
banyak berdzikir menyebut asma Allah. Ia sangat menyerupai ayahnya, Umar
ibn Khatthab, yang selalu mencucurkan airmata tatkala mendengar ayat-ayat
peringatan dari Al-Quran.
Soal ini, 'Ubaid ibn' Umair bersaksi, "Suatu ketika
kubacakan ayat ini kepada Abdullah ibn Umar." 'Ubaid membacakan QS
An-Nisa : 41-42,
Artinya
: "Maka
bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang
saksi (rasul ) dari tiap-tiap umat, dan Kami mendatangkan kamu (Muhamad)
sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).Di hari itu orang-orang kafir
dan yang mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka ditelan bumi, dan mereka
tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun. " Maka
Ibn Umar menangis hingga janggutnya basah oleh air mata.
Pada kesempatan lain, Ibn Umar tengah duduk di antara sahabatnya,
lalu membaca QS Al-Muthaffifin : 1-6
Artinya : "Maka celakalah orang-orang yang berlaku curang dalam
takaran.Yakni orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta
dipenuhi, tetapi menguranginya bila mereka menakar atau menimbang untuk orang
lain. Tidakkah mereka merasa bahwa mereka akan dibangkitkan nanti
menghadapi suatu hari yang dahsyat, yaitu ketika manusia berdiri menghadap
Tuhan semesta alam".
Lantas Ibn Umar mengulang bagian akhir ayat ke enam, "yauma
yaquumun naasu lirabbil 'alamiin", (yaitu ketika manusia
berdiri menghadap Tuhan semesta alam). Sembari air matanya bercucuran,
sampai akhirnya ia jatuh karena sekapan rasa duka mendalam dan banyak menangis.
Abdullah ibn Umar adalah salah satu sahabat Nabi yang
berhati lembut dan begitu mendalam cintanya kepada Rasulullah. Sepeninggal
Rasulullah SAW, ketika ia mendengar nama Rasulullah disebut di hadapannya, ia
menangis. Ketika ia lewat di sebuah tempat yang pernah disinggahi
Rasulullah, baik di Mekah maupun di Madinah, ia akan memejamkan matanya, lantas
butiran air bening meluncur dari sudut matanya.
Sebagai sahabat Rasul, ahli ibadah dan dikaruniai mimpi yang
haq, karena mimpinya dibenarkan Rasulullah, ia menjadi sosok yang tak punya
minat lagi kepada dunia. Sebuah kecenderungan yang sudah nampak sejak ia
remaja, ketika pertama kali gairahnya bangkit untuk ikut berjihad.
Sebagai pedagang ia berpenghasilan banyak karena
kejujurannya berniaga. Selain itu ia menerima gaji dari Baitul Mal. Tunjangan
yang diperolehnya tak sedikitpun disimpan untuk dirinya sendiri, tetapi
dibagi-bagikannya kepada fakir miskin. Berdagang buat Ibn Umar hanya sebuah
jalan memutar rezeki Allah di antara hamba-hambanya.
Suatu ketika Ibn Umar menerima uang sebanyak 4.000 dirham
dan sehelai baju dingin. Sehari kemudian, periwayat yang bernama Ayub ibn Wail
Ar-Rasibi melihat Ibn Umar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya
dengan berutang. Maka Ayub ibn Wail ini mencari tahu kepada keluarganya.
Bukankah Abu Abdurrahman (maksudnya Ibn Umar) menerima kiriman empat ribu
dirham dan sehelai baju dingin? Mengapa dia berutang untuk membeli pakan hewan
tunggangannya? "Tidak sampai malam hari, uang itu telah habis dibagikannya.
Mengenai baju dingin itu, mula-mula dipakainya, lalu ia pergi keluar, saat
kembali ia sudah tak lagi memakai baju dingin itu. Ketika kami tanya ke mana
baju dingin itu, Ibn Umar bilang sudah diberikannya kepada seorang miskin, " demikian jawab keluarga Ibn Umar.
Segera saja Ayub ibn Wail bergegas menuju pasar. Ia berdiri
di tempat yang agak tinggi dan berteriak. "Hai kaum pedagang, apa yang
Tuan-tuan lakukan terhadap dunia. Lihatlah Ibn Umar, datang kiriman kepadanya
sebanyak empat ribu dirham, lalu dibagi-bagikannya hingga esok pagi ia
membelikan hewan tunggangannya makanan secara berutang. "
Kedermawanan Ibn Umar antara lain juga ditunjukkan dengan
sikap hanya memberi mereka yang fakir miskin. Ia pun jarang makan sendirian.
Anak-anak yatim atau golongan melarat kerap diajaknya makan bersama-sama. Ia
pernah menyalahkan anak-anaknya sendiri lantaran mengundang jamuan makan untuk
kalangan hartawan. "Kalian mengundang orang-orang yang dalam kekenyangan, dan
kalian biarkan orang-orang kelaparan. "
Sang dermawan memang bukan mencari nama dengan
kedermawanannya. Dalam kesehariannya, kaum dhuafa akrab dengan Ibn Umar. Sifat
santunnya, terutama kepada fakir miskin, bukan basa-basi. Orang-orang fakir dan
miskin sudah duduk menunggu di tepi jalan yang diduga bakal dilewati Ibn Umar,
dengan harapan mereka akan terlihat oleh Ibn Umar dan diajak ke rumahnya.
Adalah Abdullah ibn Umar orangnya, yang kalau dimintai fatwa
enggan berijtihad. Karena takut berbuat kesalahan, meskipun ajaran Islam yang
diikutinya sejak berusia 13 tahun memberi satu pahala bagi yang keliru
berijtihad, dan dua pahala bagi yang benar ijtihadnya. Karena khawatir keliru
berijtihad, ia pun menolak jabatan kadi atau kehakiman. Padahal ini jabatan
tertinggi di antara jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan.
Pernah khalifah Utsman r.a. mau memberi jabatan Qodi, tapi
Ibn Umar menolak. semakin Khalifah mendesak, Abdullah ibn Umar makin tegas
menolak. “Apakah antum tak hendak menaati perintahku?” Kata Utsman.
“Sama
sekali tidak.
Jawab Ibn ‘Umar, hanya saya dengar para hakim itu ada tiga macam: pertama
hakim yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka; kedua, yang mengadili
berdasarkan nafsu, ia pun dalam neraka; dan ketiga, yang berijtihad sedang
ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tapi tidak
pula beroleh pahala. Dan saya atas nama Allah memohon kepada antum agar
dibebaskan dari jabatan itu".
Khalifah menerima keberatan itu dengan syarat, Ibn Umar tak
menyamnpaikan alasan penolakannya kepada siapa pun. Sebab, jika seorang yang
bertakwa lagi salih mengetahui hal ini, niscaya akan mengikuti jejak Ibn Umar.
Kalau sudah demikian, pupuslah harapan khalifah mendapatkan Qadi yang takwa dan salih.
Penolakan itu sendiri sebenarnya karena Ibn Umar masih
melihat di antara sahabat Rasulullah masih banyak yang shalih dan wara’ yang
lebih pantas memegang jabatan itu. Ibn Umar sendiri sadar, penolakan itu takkan
sampai berakibat jatuhnya posisi Qadi ke tangan yang tak pantas
memegangnya.
Penerus kekhalifahan Islam sepeninggal Abu Bakar
Ash-Shiddiq, adalah Umar ibn Khattab. Khalifah Umar ibn Khattab suatu ketika
mendapat serangan mematikan dari Abu Lu’luah. Dalam keadaan terluka parah,
sejumlah sahabat menemui Khalifah memberi saran. "Wahai Amirul
Mu’minin, bukankah sebaiknya engkau segera menunjuk salah seorang wakil yang
akan menggantikan engkau? "
Umar bertanya : "Siapakah orangnya? Andaikata Abu
Ubaidah Ibn Jarrah masih hidup, niscaya aku akan tunjuk dia sebagai
pengganti". Salah satu sahabat berkata, "Saya akan menunjukkan nama pengganti
itu. Tunjuklah Abdullah ibn Umar. "
Kemudian Umar berkata : "Demi Allah, engkau keliru. Aku
tak bermaksud menunjuk orang yang kau usulkan itu. Apa yang kau harapkan dari
keluargaku untuk pekerjaan ini, sudah cukuplah dan dari keluargaku aku seorang
diri saja yang akan diperiksa Allah dan yang akan ditanya tentang hal-hal
mengenai umat Muhamad saw ini." Sanggah Umar.
Kondisi Umar terus memburuk, belum juga ada nama
penggantinya. Sekali lagi para sahabat menemui Khalifah, mendorong menunjuk
calon penerusnya. Khalifah pun memberi nama-nama calon itu. "Hendaklah
kamu berpegang teguh kepada calon yang terdiri dari beberapa orang, dan orang
yang kucalonkan ini ialah beberapa orang yang sewaktu Rasulullah wafat, beliau
rela kepada orang-orang ini, dan orang-orang ini termasuk yang dijanjikan
Rasulullah masuk surga. Mereka ialah Ali ibn Abi Thalib, Utsman ibn Affan, Saad
ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn Auf, Thalhah ibn Ubaidillah, dan Abdullah ibn
Umar." Akhirnya masuk juga nama anak Umar ini. Tapi, kata Umar, "Ibn Umar hanya berhak memilih, tapi
tidak berhak dipilih".
Abdullah ibn Umar mendorong terpilihnya Usman ibn Affan
dengan pertimbangan, Utsman ibn Affan luas ilmunya, wara’, dan memiliki
kelebihan dan keistimewaan. Antara lain, Utsman ibn Affan menjadi suami dari
dua anak perempuan Rasulullah SAW.
Tak heran, dalam masa kepemimpinan Utsman ibn Affan,
Abdullah ibn Umar kerap dimintai nasihat. Puncaknya, Utsman meminta Ibn Umar
memegang jabatan Qadi yang
kemudian
ditolaknya dengan hujjah, alasan yang kuat.
Syahid setelah Mengingatkan Penguasa. Namanya tak kalah
terkenal dibanding ayahandanya, Umar ibn Khattab. Ia lahir di Mekah, 10 tahun
sebelum Hijrah atau 612 Masehi. Dalam usia 10 tahun, Abdullah cilik ikut
ayahnya berhijrah. Abdullah adalah contoh sahabat Nabi yang amat terpelajar di
Madinah, di masa kejayaan Islam. Selain Bashrah, Madinah memang tumbuh menjadi
pusat pemikiran Islam pasca masa Nabi SAW.
Kegairahan Abdullah seolah melengkapi kekurangan yang ada di
kalangan penuntut ilmu-ilmu Islam, karena ia mendalami segi ajaran Islam yang
saat itu kurang memperoleh perhatian serius. Yakni hadis Rasulullah saw.
Abdullah mendapatkan inspirasi luar biasa karena ia tinggal
di Madinah, yakni tumbuhnya kecenderungan mendengarkan, mencatat, dan
mengkritisi berbagai hal mengenai Nabi, termasuk anekdot-anekdot yang
sepeninggal Nabi banyak diungkapkan penduduk Madinah.
Putra Umar ini perintis awal bersama sahabat yang lainnya
yakni Abu Hurairah dalam bidang hadis Nabi SAW. Ia periwayat hadis kedua
terbanyak setelah Abu Hurairah, yakni meriwayatkan 2.630 hadis. Ia pun hapal
Quran secara sempurna. Selain itu, ia banyak menerima hadis langsung dari Nabi
SAW, dari para sahabat Nabi termasuk ayahnya, Umar ibn Khattab ra.
Selama 60 tahun setelah Nabi wafat, ia menjadi salah satu
mata air pengetahuan menyangkut hadis yang banyak dihapalnya, baik karena ia
mendengar langsung dari Nabi atau bertanya kepada orang-orang yang menghadiri
majelis Nabi menyangkut tutur dan perbuatan Nabi. Ia kerap diminta fatwa dan
pertimbangan, tetapi ia juga saking berhati-hatinya ia menolak diminta
ijtihadnya.
Abdullah ibn Umar memang hidup dalam beberapa masa
kekhalifahan, di antaranya ada masa-masa penuh pergolakan antar kelompok Islam.
Menghadapi situasi keras, Ibn Umar tak berubah menjadi kasar dan pembalas.
Suatu ketika, Gubernur Mu’awiyah, Al-Hajjaj ibn Yusuf, yang berkedudukan
di Hijaz tengah berpidato di masjid. Sang gubernur terkenal kejam dan fasik.
Kebetulan Abdullah ibn Umar ada di masjid itu.
Saat itulah, orang-orang semasanya mendapat bukti, betapa
kelembutan dan kesabaran Ibn Umar, tidak berarti lemah terhadap kezaliman.
Dengan tenang, Ibn Umar berdiri disaat Gubernur Hajjaj masih di
mimbar, dan berkata, "Engkau musuh Allah. Engkau menghalalkan barang yang
diharamkan Allah. Engkau meruntuhkan rumah Allah, dan engkau membunuh banyak
wali Allah." Al Hajjaj menyetop pidatonya. "Siapakah orang
bicara tadi?" Seseorang menjawab, itu Abdulah ibn Umar. Lalu Hajjaj
meneruskan pidatonya. "Diam, wahai orang
yang
sudah pikun."
Seteleh Al-Hajjaj kembali ke kantornya, diperintahkannya pembantunya
menikam Abdullah ibn Umar dengan pisau beracun. Si pembantu berhasil menorehkan
pisau beracun itu ke tubuh Abdullah ibn Umar yang lantas jatuh sakit. Di
pembaringan, Ibn Umar dijenguk Al-Hajjaj. Al-Hajjaj beruluk salam, Ibn Umar tak
menjawab. Al-Hajjaj menanyakan sesuatu, berbicara dengan Abdullah ibn Umar
tetapi Abdullah ibn Umar tak menjawab sepatah katapun.
Ibn Umar wafat tahun 72 Hijriyah dalam usia 84 tahun. Putra
Umar ibn Khattab sebagaimana ayahnya, sama-sama penggiat Islam, telah pergi. Kalau
Umar ibn Khattab hidup di suatu masa di mana banyak pula sahabat Rasulullah
yang wara’ dan ahli ibadah, maka orang-orang semasa Abdullah ibn Umar
mengatakan, zaman ketika Ibn Umar hidup sulit menemukan sosok yang sealim dan
seteguh dia, menghindari Jabatan, dan anti kekerasan.
Benar, Ibn Umar bergairah kala panggilan jihad berkumandang.
Tetapi, sungguh suatu kenyataan, ia anti kekerasaan, terlebih ketika yang
bertikai adalah sesama golongan Islam. Kendati ia berulangkali mendapat tawaran
berbagai kelompok politik untuk menjadi khalifah.
Hasan r.a. meriwayatkan, tatkala Utsman ibn Affan terbunuh,
sekelompok umat Islam memaks Abdullah ibn Umar menjadi khalifah. Mereka berteriak
di depan rumah Ibn Umar, "Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta
orang-orang berbai’at kepada anda". Tapi Ibn Umar menyahut, "Demi Allah, seandainya bisa
janganlah ada walau darah setetas tertumpah disebabkan aku". Massa di luar mengancam. "Anda harus keluar. Atau, kalau tidak
kami bunuh di tempat tidurmu". Diancam begitu, Umar tak tergerak, massa pun bubar.
Sampai suatu ketika datang lagi ke sekian kali tawaran
menjadi khalifah. Ibn Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih seluruh
kaum muslimin tanpa paksaan. Jika bai’at dipaksakan sebagian orang atas
sebagian lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak jabatan khalifah yang
dicapai dengan cara semacam itu. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan
terpenuhi.
Mereka sudah terpecah menjadi beberapa firqah, saling
mengangkat senjata pula. Ada yang kesal lantas menghardik Ibn Umar. “Tak
seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap umat manusia, kecuali engkau.” “Kenapa?
Demi Allah tak pernah aku menumpahkan darah mereka, tidak pula aku berpisah
dengan jamaah mereka apalagi memecah-mecah persatuan mereka?” sahut Ibn Umar heran, mereka
berkata: “Seandanya
kamu mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang.” Ibn Umar pun
menjawab: “Saya
tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain
tidak.”
Lagi-lagi, Ibn Umar menghindari posisi pemimpin tertinggi
umat Islam ini. Meski demikian, saat ia berusia lanjut pun harapan orang
dipimpin Ibn Umar tetap ada. Ketika Muawiyah II putera Yazid beberapa kali
menduduki jabatan khalifah. Datang Marwan menemui Ibn Umar. "Ulurkan tangan Anda agar kami
berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya." Ibn Umar
berkata : “Lantas
apa yang kita lakukan terhadap orang-orang masyrik?” Marwan menjawab : “Kita gempur mereka sampai mau
berbaiat.” Kemudian Ibn Umar berkata lagi : “Demi Allah, aku tak sudi dalam
umurku yang tujuhpuluh tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan
olehku.”
Sikap penolakan Ibn Umar ini karena ia ingin netral di
tengah kekalutan para pengikut Ali dan Muawiyah. Sikap itu diungkapkannya
dengan pernyataan, "Siapa yang berkata "Marilah salat", akan kupenuhi. Siapa yang berkata "Marilah
menuju kebahagiaan", akan kuturuti pula. Tetapi siapa yang mengatakan "Marilah
membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya" aku katakan: "tidak"
Ini bukan karena Ibn Umar lemah, tapi karena ia sangat
berhati-hati, dan amat sedih umat Islam berfirqah-firqah. Ia tak suka berpihak pada salah
satunya. Pernah, Abul ‘Ali Al-Barra berada di belakang Ibn Umar tanpa
sepengetahuannya. Didengarnya Ibn Umar bicara pada dirinya sendiri, "Mereka
letakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan
lalu berkata, hai Abdulah ibn Umar ikutlah dan berikan bantuan. Sungguh
menyedihkan". Begitulah, gambaran suasana hati Abdulah ibn Umar.
Ibn Umar melanjutkan, "Kita telah melakukan itu,
memerangi orang-orang musyrik hingga agama itu semata bagi Allah. Tetapi
sekarang apa tujuan kita berperang? Aku sudah mulai berperang semenjak
berhala-berhala memenuhi Masjidil Haram dari pintu sampai ke sudut-sudutnya,
hingga akhirnya semua dibasmi Allah dari bumi Arab. Sekarang, apakah aku akan
memerangi orang yang mengucapkan "laa ilaaha illallah"?
Sumber: Buku
Sahabat-Sahabat Rasulullah Sallallahu alai’hi wasallam
Penerbit: Pustaka
Ibnu Katsir
0 Response to "Biografi Singkat Para Sahabat Rasulullah: Abdullah ibnu Umar radhiallahu anhu."
Post a Comment