Biografi Singkat Para Sahabat Rasulullah: Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu anhu.
Penduduk kota Madain Berduyun-duyun menyambut kedatangan wali negeri
mereka yang baru diangkat serta dipilih oleh Amirul Mu'minin Umar ra. Mereka
pergi menyambutnya, karena lama sudah hati mereka rindu untuk bertemu muka
dengan sahabat nabi yang mulia ini, yang telah banyak mereka dengar mengenai
kesholehan dan ketakwaannya, begitu pula tentang jasa-jasanya dalam membebaskan
tanah Irak.
Ketika mereka menunggu rombongan yang hendak datang, tiba-tiba muncul
seorang pria dengan wajah berseri-seri. Ia mengenderai seekor
keledai yang beralaskan kain usang, kedua kakinya teruntai ke bawah, kedua
tangannya memegang roti serta garam, dan mulutnya mengunyah. Orang itu tidak lain dari Hudzaifah Ibnul Yaman. Mereka jadi bingung,
hampir-hampir tak percaya. Tetapi apa yang akan diherankan ...?
Corak kepemimpinan bagaimana yang mereka nantikan sebagai pilihan Umar
...? Hal itu dapat dipahami karena baik di masa kerajaan Persi yang terkenal
itu atau sebelumnya, tak pernah diketahui adanya corak pemimpin semulia ini
...!
Hudzaifah meneruskan perjalanan, sementara orang-orang berkerumun
mengelilinginya. Ketika dilihat bahwa mereka menatapnya seolah-seolah menunggu
amanat, diperhatikan air muka mereka, lalu berkata, "Jauhilah oleh kalian tempat-tempat fitnah ...!" Ujar mereka, "Di manakah tempat-tempat fitnah itu wahai Abu
Abdillah ...?" Ia berkata, "Pintu-pintu rumah
pembesar. Seorang di antara
kalian masuk menemui mereka dan mengiakan ucapan palsu serta memuji perbuatan baik
yang tak pernah mereka lakukan."
Suatu pernyataan yang luar biasa dan sangat menakjubkan. Dari ucapan yang mereka dengar dari wali negeri yang baru ini,
orang-orang segera beroleh kesimpulan bahwa tak ada yang lebih di bencinya
tentang apa saja yang ada di dunia ini, begitu pun yang lebih hina dalan
pandangan matanya dari kemunafikan. Pernyataan ini sekaligus merupakan ungkapan
yang paling tepat terhadap kepribadian wali negeri yang baru ini, serta sistem
yang akan di tempuhnya dalam pemerintahan.
Hudzaifah Ibnul Yaman memasuki arena kehidupan ini dengan bekal
kebiasaan khusus. Di antara fitur-fiturnya adalah ia anti kemunafikan,
dan mampu melihat jejak dan gejalanya walau tersembunyi di tempat-tenpat yang
jauh sekalipun.
Semenjak ia bersama saudaranya, Sharwan, menemani bapaknya menghadap
Rasulullah Saw. dan ketiganya memeluk Islam, sementara Islam menyebabkan
wataknya bertambah terang dan cemerlang, maka sungguh, ia menganutnya secara
teguh dan suci, serta lurus dan gagah berani, dan dipandangnya sifat pengecut,
bohong dan kemunafikan sebagai sifat yang rendah dan hina.
Ia terdidik di tangan Rasulullah Saw dengan kalbu terbuka, tak ubah
bagai cahaya subuh, hingga tak suatu pun dari persoalan hidupnya yang
tersembunyi, tak ada rahasia terpendam dalam lubuk hatinya, seorang yang benar,
jujur, dan mencintai orang-orang yang teguh membela kebenaran. Sebaliknya, ia mengutuk orang-orang yang riya, berbelit-belit, dan culas
bermuka dua.
Ia bergaul dengan Rasululah Saw. dan sungguh tak ada lagi tempat baik
agar bakat Hudzaifah ini tumbuh subur dan berkembang selain di arena ini, yakni
dalam pangkuan Agama Islam, di hadapan Rasulullah shallallahu' alaihi wa
sallam, dan di tengah-tengah golongan besar kaum perintis dari sahabat-sahabat
Rasululah Saw.
Ia kemudian mencapai keahlian dalam membaca tabiat dan air muka
seseorang. Dalam waktu singkat, ia dapat menebak air muka tanpa susah payah
menyelidiki rahasia-rahasia yang tersembunyi serta simpanan yang terpendam. Kemampuannya dalam hal ini telah mencapai pada apa yang diinginkannya,
hingga Amirul Mukminin Umar ra. yang terkenal sebagai orang yang penuh dengan
inspirasi, seorang yang cerdas dan ahli, sering juga mengandalkan pendapat
Hudzaifah, begitu juga ketajaman pandangannya dalam memilih tokoh-tokoh dan
mengenali mereka.
Hudzaifah telah di karuniai pikiran yang jernih yang menyebabkan sampai
pada suatu kesimpulan bahwa dalam kehidupan ini sesuatu yang baik itu adalah
yang jelas dan gambling, yang jelek adalah yang gelap dan samar-samar. Oleh karena itu, orang yang bijaksana harus mempelajari sumber-sumber
kejahatan ini dan kemungkinan-kemungkinannya.
Demikianlah, Hudzaifah ra. terus-menerus mempelajari kejahatan dan
orang-orang jahat, kemunafikan dan orang-orang munafik. Ia berkata, "Orang-orang
menanyakan kepada Rasulullah Saw. tentang kebaikan, tetapi saya menanyakan
kepadanya tentang kejahatan karena takut akan terlibat di dalamnya. Pernah aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dulu kita berada dalam
kejahiliyahan dan diliputi kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada kita
kebaikan ini, apakah di balik kebaikan ini ada kejahatan?' 'Ada,' ujarnya.'Kemudian
apakah setelah kejahatan masih ada lagi kebaikan?' Tanyaku pula. 'Memang, tetapi kabur dan bahaya,' jawabnya. Tanyaku, 'Apa bahaya itu?' Jawabnya, 'Yaitu segolongan
umat mengikuti sunah bukan sunahku, dan mengikuti petunjuk bukan
petunjukku. Kenalilah
mereka olehmu dan laranglah.' Kemudian setelah kebaikan tersebut, masihkah ada lagi kejahatan? Tanyaku pula .'Masih,' ujar Nabi, 'yakni para tukang seru di pintu
neraka. Barangsiapa menyambut seruan mereka, akan mereka lemparkan ke dalam neraka', Lalu kutanyakan kepada Rasulullah, 'Ya Rasulullah, apa yang harus saya
perbuat bila saya menghadapi hal demikian?' Ujar Rasulullah, 'senantiasa mengiuti jamaah Kaum Muslimin dan
pemimipin mereka!' Bagaimana kalau mereka
tidak punya jama'ah dan tidak pula pemimpin? 'Hendaklah kamu
tinggalkan golongan itu semua, meskipun kamu akan tinggal di rumpun kayu sampai
kamu menemui ajal dalam kondisi demikian ...! "
Hudzaifah Ibnul Yaman memempuh kehidupan dengan mata yang terbuka dan
hati yang waspada terhadap sumber-sumber fitnah dan liku-likunya, dengan
menganalisa kehidupan dunia ini dan mengkaji pribadi orang serta meraba situasi
demi menjaga diri dan memperingatkan manusia terhadap bahayanya. Semua masalah itu diolah dan digodok dalam akal pikirannya, lalu
dituangkan dalam ungkapan seorang filosof yang arif dan bijaksana. Ia berkata, "Sesungguhnya
Allah Swt. telah membangkitkan Muhammad Saw. Maka di serunya manusia dari kesesatan kepada kebenaran, dari kekafiran
kepada keimanan. Lalu yang menerima
mengamalkannya, sampai dengan kebenaran itu yang mati menjadi hidup, dan dengan
kebatilan yang hidup menjadi mati! Kemudian masa kenabian
berlalu, dan datang masa kekhalifahan menurut jejak beliau, dan setelah itu
tiba zaman kerajaan durjana. "
Ia juga bicara tentang hati dan mengenai kehidupannya yang beroleh
petunjuk dan yang sesat. Ia berkata, "Hati itu ada
empat macam: hati yang tertutup, itulah dia hati orang kafir; hati yang dua
muka, itulah dia hati orang munafik; hati yang suci bersih, di sana ada pelita
yang menyala, itulah dia hati orang yang beriman; dan hati yang berisi keimanan
dan kemunafikan. Tamsil keimanan itu
adalah laksana sebatang kayu yang dihidupi air yang bersih, sedang kemunafikan
itu tak ubahnya bagai bisul yang di airi darah dan nanah. Maka manakah di antara keduanya yang lebih kuat, itulah yang menang!
"
Pengalaman Hudzaifah yang luas tentang kejahatan dan ketekunannya untuk
melawan dan menentangnya, menyebabkan lidah dan kata-kanya menjadi tajam dan
pedas. Ia mengakuinya, katanya, "Saya datang menemui Rasulullah Saw. Kataku padanya, 'Wahai Rasulullah, lidahku agak tajam terhadap
keluargaku, dan saya khawatir kalau-kalau hal itu akan menyebabkan saya masuk
neraka. Maka ujar Rasulullah Saw.,' kenapa kamu tidak beristighfar? ' Sungguh saya
beristighfar kepada Allah setiap hari seratus kali. "
Suatu ketika ia melihat bapaknya yang telah beragama Islam tewas di
perang Uhud, dan di tangan srikandi Islam sendiri, yang melakukan kekhilafan
karena menyangkanya sebagai orang musyrik. Hudzaifah melihat dari jauh pedang
sedang di hunjamkan kepada ayahnya, ia berteriak, "Ayahku, ayahku,
jangan, ia ayahku!" Tetapi qadha Allah telah tiba. Ketika kaum Muslimin mengetahui hal itu, mereka pun merasa duka dan
sama-sama membisu. Sambil memandangi
mereka dengan penuh sikap kasih sayang dan penuh pengampunan, Ia mengatakan,
"Semoga Allah mengampuni tuan-tuan. Ia adalah sebaik-baik
Penyayang "
Kemudian dengan pedang terhunus ia maju ke daerah tempat berkecamuknya
pertempuran dan membaktikan tenaga serta menunaikan tugas kewajibannya.
Akhirnya peperangan pun usailah dan berita tersebut sampai ke telinga
Rasulullah Saw. Maka di suruhnya membayar diat atas terbunuhnya
ayahanda Hudzaifah (Husail bin Yabir) yang ternyata ditolak oleh Hudzaifah ini
dan di suruh membagikannya kepada Kaum Muslimin. Keimanan dan kecintaan
Hudzaifah tidak kenal lelah dan lemah. Hal itu menambah sayang
dan tingginya penilaiaan Rasulullah terhadap dirinya.
Sewaktu perang Khandaq, yakni setelah merayapnya kegelisahan dalam
barisan kafir Quraisy dan sekutu-sekutu mereka dari golongan yahudi, Rasulullah
Saw. ingin mengetahui perkembangan terakhir di lingkungan perkemahan
musuh-musuhnya. Ketika itu malam gelap gulita dan menakutkan,
sementara angin topan dan badai meraung dan menderu-deru, seolah-olah hendak
mencabut dan menggulingkan gunung-gunung sahara yang berdiri tegak di
tempatnya. Suasana di kala itu mencekam hingga menimbulkan kebimbangan dan kegelisahan,
mengundang kekecewaan dan kecemasan, sementara kelaparan telah mencapai
saat-saat yang gawat dikalangan sahabat Rasulullah Saw.
Siapakah ketika itu yang memiliki kekuatan apa pun kekuatan itu yang
berani berjalan ke tengah-tengah perkemahan musuh di tengah-tengah bahaya besar
yang sedang mengancam, menghantui dan memburunya, untuk secara diam-diam
menyelinap ke dalam, yakni untuk menyelidiki dan mengetahui keadaan mereka? Maka, Rasulullah memilih di antara para sahabatnya orang yang akan
melaksanakan tugas yang amat sulit ini. Kemudian dipilihnyalah, Hudzaifah ibnu Yaman.
Abu Sufyan, yakni panglima besar Quraisy, takut kalau-kalau kegelapan
malam itu dimanfaatkan oleh mata-mata Kaum Muslimin untuk menyusup masuk ke
perkemahan mereka. Maka ia pun berdiri untuk memperingatkan anak buahnya.
Seruan yang di ucapkan dengan keras kedengaran oleh Hudzaifah dan bunyinya
seperti berikut, "Hai segenap golongan Quraisy, hendaklah masing-masing
kalian memperhatikan kawan duduknya dan memegang tangan serta mengetahui siapa
namanya!"
Kata Hudzaifah, "Maka segeralah saya menjambat tangan laki-laki
yang duduk di dekatku, kataku kepadanya, 'Siapa kamu ini?' ujarnya, 'Si Anu anak Si Anu.' " Demikianlah, Hudzaifah mengamankan kehadirannya di kalangan tentara
musuh itu hingga selamat.
Abu Sufyan mengulangi lagi serua kepada tentaranya, katanya, "Hai
orang-orang Quraisy, kekuatan kalian sudah tidak utuh lagi. Kuda-kuda kita telah binasa, demikian juga halnya unta. Bani Quraidah telah mengkhinati kita sampai kita mengalami akibat yang
tidak kita inginkan. Dan sebagaimana kalian
saksikan sendiri, kita telah mengalami bencana angin badai, periuk-periuk
berpelantingan, api menjadi padam dan kemah-kemah berantakan. Maka berangkatlah kalian, saya pun akan berangkat."
Lalu ia naik ke punggung untanya dan mulai berangkat, diikuti dari
belakang oleh tentaranya. Kata Hudzaifah, "Kalaulah tidak pesan
Rasulullah Saw. kepada saya agar saya tidak mengambil sesuatu tindakan sebelum
menemuinya lebih dulu, tentulah saya bunuh Abu Sufyan itu dengan anak
panah."
Hudzaifah kembali kepada Rasulullah Saw. dan menceritakan keadaan musuh,
serta menyampaikan berita gembira itu.
Barangsiapa yang pernah bertemu dengan Hudzaifah dan merenungkan buah
pikiran dan hasil filsafatnya serta ketekunannya untuk mencapai makrifat, tak
mungkin akan mengharapkan sesuatu dari padanya, kecuali sikap kepahlawanan di
medan perang atau pertempuran.
Cukuplah sebagai bukti bahwa ia merupakan orang ketiga atau kelima dalam
deretan tokoh-tokoh terpenting dalam pembebasan wilayah Irak. Kota-kota, Hamdan, Rai dan Dhinawar, selesai pembebasanya di bawah
komando Hudzaifah.
Dan dalam pertempuran besar Nahawand, di mana orang-orang Persi berhasil
mengumpukan 150 ribu tentara, Amirul Mukminin memilih Nukman bin Muqarrin
sebagai panglima Islam, sedang kepada Hudzaifah dikirimkannya surat agar ia
menuju tempat itu sebagai komandan dari tentara Kufah.
Kepada para pejuang itu Umar mengirimkan surat katanya, "Jika kaum Muslimin telah berkumpul, maka masing-masing panglima
hendaklah mengepalai anak buahnya, sedang yang akan menjadi panglima besar
ialah Nukman bin Muqarrin. Dan seandainya Nukman tewas, maka panji-panji
komando hendaklah di pegang oleh Hudzaifah, dan kalau ia tewas maka Jariri bin
Abdillah! " Amirul Mukminin masih menyebutkan beberapa nama lagi,
ada tujuh orang banyaknya yang akan memegang pimpinan tentara secara berurutan.
Dan kini, kedua pasukanpun berhadapan. Pasukan Persi dengan
150 ribu tentara, sedang kaum muslimin dengan 30 ribu orang pejuang, tidak
lebih. Perang berkobar, suatu pertempuran yang tidak ada tolak-bandingnya,
perang Paling dahsyat dan paling sengit dikenal oleh sejarah.
Panglima besar kaum muslimin gugur sebagai syahid, Nu'man bin Muqarrin
tewaslah sudah. Tetapi sebelum bendera kaum muslimin menyentuh tanah,
panglima yang baru telah menyambutnya dengan tangan kanannya, dan angin
kemenanganpun meniup dan menggiring tentara maju ke muka dengan semangat penuh
dan keberanian luar biasa. Dan panglima yang baru itu tidak lain adalah Hudzaifah
ibnul Yaman.
Bendera cepat di sambutnya dan dipesankannya agar kematian Nu'man tidak
disiarkan, sebelum perang berketentuan. Lalu di panggilnya Naim
bin Muqarrin dan ditempatkan posisi saudaranya Nukman, sebagai penghormatan
kepadanya. Dan semua itu dilakukan dengan kecekatan, bertindak dalam waktu beberapa
detik, sedang roda pertempuran berputar cepat, kemudian bagai angin puting
beliung, ia maju menerjang barisan Persi sambil menyerukan, "Allahu
Akbar, Ia telah menepati janji-Nya, Allahu Akbar, telah dibela- Nya
tentara-Nya. "
Lalu diputarlah kekang kudanya ke arah anak buahnya, dan berseru, "Hai ummat Muhammad Saw., pintu-pintu surga telah terbuka lebar
siaga menyambut tuan-tuan, jangan biarkan ia menunggu lebih lama, Ayolah wahai pahlawan-pahlawan Badar, Majulah pejuang-pejuang Uhud,
Khandaq dan Tabuq."
Teriakan Hudzaifah telah memelihara semangat tempur dan ketahanan anak
buahnya, jika tak dapat dikatakan telah melipat gandakannya. Dan akibatnya
perang berakhir dengan kekalahan pahit bagi orang-orang Persi, suatu kekalahan
yang jarang di temukan bandingnya.
Dialah seorang pahlawan di bidang hikmat, ketika sedang tenggelam dalam
renungan, seorang pahlawan di medan juang, ketika berada di medan laga.
Pendeknya, ia seorang tokoh dalam urusan apa saja yang dipikulkan di atas
pundaknya, dalam setiap persoalan yang membutuhkan pertimbangannya.
Maka tatkala kaum muslimin di bawah pimpinan Saad bin Abi Waqqash hendak
pindah dari Madain ke Kufah dan bermukim di sana, yakni setelah iklim kota
Madain membawa akibat buruk terhadap Kaum Muslimin dari golongan Arab,
menyebabkan Umar segera memerintahkan Saad segera meninggalkan kota itu setelah
menyelidiki suatu daerah yang paling cocok sebagai tempat permukiman Kaum
Muslimin, maka siapakah yang diserahi tugas untuk memilih tempat dan daerah
tersebut? Itulah dia Hudzaifah ibnul Yaman, yang pergi bersama Salman bin Ziyad
guna menyelidiki lokasi yang tepat untuk permukiman baru itu.
Tatkala mereka sampai di Kufah, ternyata merupakan tanah kosong yang
berpasir dan berbatu-batu. Hudzaifah menghirup udara segar. ia berkata kepada sahabatnya, "Di sinilah tempat permukiman itu,
insya Allah."
Demikianlah di program rencana pembangunan kota Kufah, yang oleh ahli
bangunan dijadikan menjadi sebuah kota yang permai. Dan baru saja kaum Muslimin pindah ke sana, maka yang sakit segera
sembuh, yang lemah menjadi kuat, dan urat-urat mereka berdenyutan menyebarkan
arus kesehatan.
Sungguh, Hudzaifah adalah orang yang berpikiran cerdas dan berpengalaman
luas, kepada Kaum Muslimin selalu di pesankannya, "Tidaklah termasuk
yang terbaik di antara kalian yang meninggalkan dunia demi kepentingan akhirat,
dan tidak pula yang meninggalkan kepentingan akhirat demi kepantingan dunia,
tetapi hanyalah yang mengambil bagian dari keduanya. "
Pada suatu hari dalam tahun 36 Hijriyah, saatnya Hudzaifah mendapat
panggilan menghadap Sang Ilahi. Dan tatkala ia sedang berkemas-kemas untuk berangkat
melakukan perjalanannya yang terakhir, masuklah beberapa orang sahabatnya. Maka di tanyakannya kepada mereka, "Apakah tuan-tuan membawa
kain kafan?" "Ada," ujar mereka. "Coba lihat," kata Hudzaifah pula.
Maka tatkala dilihatnya kain kafan itu baru dan agak mewah, terlukislah
di bibirnya senyuman terakhir bernada ketidaksenangan, lalu katanya, "Kain kafan ini tidak cocok bagiku, cukuplah bagiku dua helai kain
putih tanpa baju. Tidak lama aku akan
berada di kubur, menunggu diganti dengan kain yang lebih baik atau yang lebih
jelek. "
Kemudian ia menggumamkan beberapa kalimat tatkala di dengarkan oleh
hadirin dengan mendekatkan telinga mereka, "Selamat datang wahai
maut. Kekasih tiba di waktu
rindu. Hati bahagia, tidak ada
keluh sesalku. "
Ketika itu, naiklah membumbung ke hadirat
Ilahi, ruh suci di antara arwah para shalihin, ruh yang cemerlang, taqwa,
tunduk dan berbakti.
Sumber: Buku
Sahabat-Sahabat Rasulullah Sallallahu alai’hi wasallam
Penerbit: Pustaka
Ibnu Katsir
0 Response to "Biografi Singkat Para Sahabat Rasulullah: Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu anhu."
Post a Comment