Biografi Singkat Para Sahabat Rasulullah: Abu Dzar Al-Ghifari radhiallahu anhu.
Ia
datang ke Makkah sambil terhuyung-huyung, namun sinar matanya bersinar bahagia. Memang, sulitnya perjalanan dan teriknya matahari yang menyengat
tubuhnya cukup menyakitkan. Namun tujuan yang hendak dicapainya
telah meringankan penderitaan dan meniupkan semangat kegembiraan. Ia memasuki kota dengan menyamar seolah-olah hendak melakukan
thawaf mengelilingi berhala-berhala di sekitar Ka'bah, atau seolah-olah musafir
yang tersesat dalam perjalanan, yang membutuhkan istirahat dan menambah
perbekalan.
Padahal
seandainya orang-orang Makkah tahu bahwa kedatangannya itu untuk menemukan Nabi
Muhammad SAW dan mendengarkan keterangan beliau, pastilah mereka akan
membunuhnya. Ia terus melangkah sambil memasang telinga, dan setiap didengarnya
orang mengatakan tentang Rasulullah, ia pun mendekat dan menyimak dengan
hati-hati.
Sehingga dari cerita yang tersebar di sana-sini, diperolehnya
petunjuk yang dapat mengarahkannya ke rumah Nabi Muhammad dan mempertemukannya
dengan beliau. Pada suatu pagi, pria itu, Abu
Dzar Al-Ghifari, pergi ke tempat tersebut. Didapatinya
Rasulullah sedang duduk seorang diri. Ia mendekat kemudian menyapa, "Selamat
pagi, wahai teman sebangsa." "Wa
alaikum salam, wahai sahabat," jawab Rasulullah. "Bacakanlah kepadaku hasil gubahan Anda!" "Ia bukan syair hingga dapat digubah, tetapi Al-Qur'an yang
mulia," kata Rasulullah, kemudian
membacakan wahyu Allah SWT.
Tak
berselang lama, Abu Dzar berseru, "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah, dan aku bahwa bersaksi bahwa engkau adalah hamba dan utusan-Nya." "Anda dari mana, kawan sebangsa?" tanya Rasulullah. "Dari Ghifar," jawabnya.
Bibir
Rasulullah menyunggingkan senyum dan wajahnya diliputi rasa kagum dan takjub.
Abu Dzar juga tersenyum, karena ia mengetahui rasa terpendam di balik kekaguman
Rasulullah setelah mendengar bahwa orang yang telah mengaku Islam di hadapannya
secara terus terang itu adalah seorang laki-laki dari Ghifar. Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tidak ada taranya dalam
soal menempuh jarak. Mereka jadi contoh perbandingan
dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam
yang kelam dan gelap gulita tak jadi soal bagi mereka. Dan celakalah orang yang kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar
di waktu malam.
Rasulullah
pun bersabda, "Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada yang
disukainya ..." Memang benar, Allah menunjuki
siapa saja yang Dia kehendaki. Abu Dzar adalah salah seorang
yang dikehendaki-Nya memperoleh petunjuk, orang yang dipilih-Nya akan mendapat
kebaikan. Ia termasuk orang yang pertama-tama masuk
Islam. Urutannya di kalangan Muslimin adalah yang
kelima atau keenam. Jadi ia telah memeluk agama itu
di masa-masa awal, sampai keislamannya termasuk dalam barisan terdepan.
Pria
yang bernama Jundub bin Junadah ini termasuk seorang radikal dan
revolusioner. Telah menjadi karakter dan tabiatnya melawan kebatilan di mana pun
ia berada. Dan kini kebatilan itu nampak di hadapannya,
berhala-berhala yang disembah oleh para pemujanya-orang-orang yang merendahkan
kepala dan akal mereka. Baru saja masuk Islam, ia sudah
mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah. "Wahai
Rasulullah, apa yang sebaiknya saya kerjakan menurut anda?" "Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!" jawab Rasulullah.
"Demi
Tuhan yang menguasai jiwaku, Saya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam di
depan Ka'bah." kata Abu Dzar, Ia pun menuju menuju Haram dan
menyerukan syahadat dengan suara lantang. Tatkala mendengar ucapan
Abu Dzar itu, orang-orang kafir pun menyerbunya lalu memukulnya. Kalau
tidak karena Abbas, paman Nabi yang ketika itu belum Islam, tentulah Abu Dzar
menemui ajalnya di situ.
Kata Abbas kepada orang-orang kafir
musyrikin yang menyerang Abu Dzar: "Tahukah kamu siapa orang ini? Dia
adalah keturunan Al Ghifar. Khafilah-khafilah kita yang pulang pergi ke
Syam harus melalui desa mereka. Kalaulah ia dibunuh, sudah tentu mereka
menghalangi bisnis kita dengan Syam. "
Pada hari berikutnya, Abu Dzar
sekali lagi mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan orang-orang kafir
Quraisy dan pada kali ini juga ia telah diselamatkan oleh Abbas. Gairah Abu
Dzar mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan kafir Quraisy sungguh-sungguh
luar biasa jika dikaji dalam konteks larangan Nabi SAW kepadanya. Apakah
dia bisa dituduh telah mengingkari perintah Nabi? Jawabannya
tidak. Dia tahu bahwa Nabi SAW sedang mengalami penderitaan yang berbentuk
gangguan dalam usahanya ke arah menyebarkan agama Islam. Dia hanya ingin
menunjukkan Nabi SAW walaupun ia mengetahui, dengan demikian dia melibatkan
dirinya dalam bahaya. Semangat keislamannya yang beginilah yang telah
menjadikan para sahabat mencapai puncak keimanan dalam alam lahiriyah serta
batiniyah.
Rasulullah
kembali menyuruhnya pulang dan menemui keluarganya. Ia pun pulang ke Bani Ghifar dan mengajak sanak kerabatnya memeluk
agama baru ini. Ketika Rasulullah dan kaum
muslimin telah hijrah ke Madinah dan menetap di sana, pada suatu hari, barisan
panjang yang terdiri atas para pengendara dan pejalan kaki menuju pinggiran
kota. Kalau bukan karena takbir yang mereka
teriakkan dengan suara bergemuruh, tentulah yang melihat akan mengira mereka
adalah pasukan tentara musyrik yang akan menyerang kota.
Begitu
rombongan besar itu mendekat, lalu masuk ke dalam kota dan masuk ke Masjid
Rasulullah, ternyata mereka tidak lain adalah kabilah Bani Ghifar. Semuanya telah masuk Islam tanpa kecuali laki-laki, perempuan,
orang tua, remaja dan anak-anak. Rasulullah semakin takjub dan
kagum. Beliau bersabda, "Takkan pernah lagi
ditemukan di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar.
Benar batinnya, benar juga lahirnya. Benar akidahnya, benar juga
ucapannya."
Pada
suatu ketika, Rasulullah SAW mengajukan pertanyaan kepadanya. "Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar
yang mengambil upeti untuk diri mereka?" Ia menjawab, "Demi Allah yang telah mengutus Anda dengan
kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!" "Maukah kau kutunjukkan jalan yang lebih baik dari itu?
Bersabarlah sampai kau menemuiku!" Abu Dzar
akan selalu ingat wasiat guru dan Rasul ini. Ia tidak akan menggunakan ketajaman pedang terhadap para pembesar
yang mengambil kekayaan dari harta rakyat sebagaimana ancamannya dulu.
Namun
ia juga tidak akan bungkam atau diam mengetahui kesesatan mereka. Ketika kepemimpinan Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin telah
berlalu, dan godaan harta mulai menjangkiti para pembesar dan penguasa Islam,
Abu Dzar turun tangan. Ia pergi ke pusat-pusat
kekuasaan dan gudang harta, dengan lisannya yang tajam dan benar untuk merubah
sikap dan mental mereka satu per satu.
Dalam
beberapa hari saja tak ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya
bernaung rakyat banyak dan golongan karyawan, bahkan sampai di negeri jauh yang
penduduknya pun belum pernah melihatnya. Nama Abu Dzar bagaikan terbang
ke sana, dan tak satu pun daerah yang dilaluinya, bahkan meskipun baru namanya
yang sampai ke sana, sudah menimbulkan rasa takut dan ngeri pihak penguasa dan
golongan berharta yang berlaku curang. Penggerak hidup sederhana ini
selalu mengulang-ulang pesannya, dan bahkan diulang-ulang juga oleh para
pengikutnya, seolah lagu perjuangan. "Beritakanlah kepada para
penumpuk harta, yang menumpuk emas dan perak. Mereka akan disetrika dengan
setrika api neraka, menyetrika kening dan pinggang mereka di hari kiamat!"
Abu
Dzar telah mencurahkan segala tenaga dan kemampuannya untuk melakukan
perlawanan secara damai dan menjauhkan diri dari segala kehidupan dunia. Ia menjadi maha guru dalam seni menghindarkan diri dari godaan
jabatan dan harta kekayaan. Abu Dzar mengakhiri hidupnya di
tempat sunyi bernama Rabadzah, pinggiran Madinah. Ketika menghadapi sakaratul maut, istrinya menangis di sisinya. Ia bertanya, "Apa yang kau tangiskan, padahal maut itu
pasti datang?" Istrinya menjawab, "Karena
engkau akan meninggal, padahal kita tidak memiliki kain kafan untukmu" "Janganlah menangis," kata Abu Dzar, "Pada suatu hari, ketika aku berada di
majelis Rasulullah bersama beberapa sahabat, aku mendengar beliau bersabda, 'Pastilah
ada salah seorang di antara kalian yang akan meninggal di padang pasir liar,
dan disaksikan oleh serombongan orang beriman.' Semua yang ada di majelis itu sudah meninggal di kampung, di depan
kaum Muslimin. Tak ada lagi yang masih hidup selain aku. Inilah aku sekarang,
mengalami sakaratul maut di padang pasir. Maka perhatikanlah jalan itu, siapa
tahu kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang. Demi Allah, aku
tidak bohong, dan tidak juga dibohongi." ruhnya pun kembali ke hadirat Ilahi.
Dan
benarlah, ada rombongan kaum muslimin yang lewat yang dipimpin oleh Abdullah
bin Mas'ud. Sebelum sampai ke tujuan, Ibnu Mas'ud melihat sosok tubuh terbujur
kaku, sedang di sisinya ada seorang wanita tua dan seorang anak kecil, keduanya
menangis. Ketika pandangan Ibnu Mas'ud jatuh ke mayat
tersebut, tampaklah Abu Dzar Al-Ghifari. Air matanya mengucur deras. Di depan jenazah itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Benarlah
ucapan Rasulullah, Anda berjalan sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan
kembali seorang diri!"
Sumber: Buku
Sahabat-Sahabat Rasulullah Sallallahu alai’hi wasallam
Penerbit: Pustaka
Ibnu Katsir
0 Response to "Biografi Singkat Para Sahabat Rasulullah: Abu Dzar Al-Ghifari radhiallahu anhu."
Post a Comment