Biografi Singkat Para Sahabat Rasulullah: Dhihya bin Khalifah Al-Kalabi radhiallahu anhu
Untuk
memperluas dakwah Islamiyah, Rasulullah SAW mengirim surat ke beberapa raja
Arab dan non-Arab. Di antara raja yang mendapat
seruan secara tulisan itu adalah Heraklius, Kaisar Romawi. Untuk mengemban amanat ini, beliau mengutus Dhihya bin Khalifah
Al-Kalabi. Setelah melakukan perjalanan cukup panjang
akhirnya Dhihya tiba di istana Raja Romawi.
Surat
Rasulullah langsung dibaca oleh salah seorang staf Heraklius. "Dari Muhammad utusan Allah, kepada Heraklius, Pembesar
Romawi ..." Mendengar bunyi awal surat itu,
keponakan pembesar Romawi langsung marah, lalu berseru, "Surat ini
tidak bisa dibaca sekarang!" "
kenapa?" tanya Kaisar. "Dia memulai dengan namanya dulu sebelum engkau. Kemudian dia
memanggilmu dengan pembesar Romawi, bukan Kaisar Romawi." "Tidak!" sambut Kaisar, "Biar
surat ini dibaca untuk diketahui isinya." Surat Nabi SAW itu terus dibacakan hingga selesai.
Setelah
semua pengiring Kaisar keluar dari majelisnya, Dhihya dipanggil untuk masuk.
Bersamaan dengan itu dipanggillah seorang uskup yang mengetahui seluk beluk
agama mereka. Kaisar lalu memberitahu uskup itu dan dibacakan sekali lagi surat
itu kepadanya. "Inilah yang selalu kita
tunggu-tunggu, dan Nabi kita, Isa sendiri telah memberitahukan kita sejak
lama!" jawab sang uskup. "Apa pendapatmu yang harus aku perbuat?" tanya Kaisar kepada uskup. "Kalau
engkau tanya pendapatku, aku tentu akan mempercayainya dan akan mengikuti
ajarannya," jawab uskup dengan jujur. "Tetapi aku jadi serba salah," kata Kaisar, "Jika aku ikut nasihatmu, akan hilanglah
kerajaanku!" Sementara Dhihya diperbolehkan
meninggalkan tempat itu,
Raja
Romawi terus bertukar pendapat dengan sang uskup. Kebetulan, waktu itu, Abu
Sufyan bin Harb sedang berada di Romawi. Kala itu ia belum masuk Islam. Ia dipanggil oleh Kaisar untuk dimintai keterangan tentang
Muhammad SAW. "Coba engkau beritahu kami
tentang orang yang mengaku Nabi di negerimu itu!" tanya Kaisar. "Dia seorang anak
muda," jawab Abu Sufyan.
Kemudian
kaisar bertanya lagi : "Bagaimana kedudukannya dalam pandangan
masyarakatmu?" Dhihya menjawab : "Tidak ada yang melebihi posisi dan keturunannya," "Ini tentulah tanda-tanda kenabian," Kaisar berbisik-bisik kepada orang-orang di sampingnya. "Bagaimana bicaranya, apakah dia selalu berkata benar?" "Betul," jawab Abu Sufyan, "Dia
memang tidak pernah berkata dusta." "Ini lagi satu tanda-tanda kenabian!" Kaisar terus berbisik-bisik kepada orang-orang yang mengiringnya
itu. "Baiklah," kata Kaisar lagi. "Apakah di antara
pengikutnya yang meninggalkan agama nenek moyangmu, kembali ke agama mereka
lagi?" "Tidak," jawab Abu Sufyan. "Ini lagi satu tanda-tanda
kenabian!" kata Kaisar pula. "Apakah terjadi peperangan di antara kamu dengannya?" "Ya," jawab Abu Sufyan. "Siapa yang selalu menang?" "Kadang-kadang dia menang, terkadang kami
mengalahkannya," jelas Abu Sufyan. "Ini lagi satu
tanda-tanda kenabian," kata Kaisar Romawi itu.
Beberapa
saat kemudian Dhihya Al-Kalbi dipanggil oleh Kaisar Romawi, seraya berkata, "Sampaikanlah
berita kepada pembesarmu itu, bahwa aku tahu dia memang benar Nabi, tetapi apa
daya, aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku tak mau ditumbangkan dari kerajaanku.
" Adapun sang uskup itu yang biasanya selalu datang ke gerejanya setiap
hari Ahad untuk menyampaikan ajaran Nasrani, sejak pertemuan itu, terus berdiam
di rumahnya. Lantaran kecewa karena sang uskup tidak datang
ke gereja, orang-orang pun berdatangan ke rumahnya.
Kepada
mereka, sang uskup mengatakan dirinya sedang sakit. Kejadian itu berlangsung berkali-kali, sehingga orang-orang
mencurigainya. Mereka lalu mengirim utusan
kepada sang uskup dan memberinya peringatan. Jika ia tak mau datang lagi ke gereja, mereka akan datang massal
ke rumahnya dan akan membunuhnya.
Menurut
orang-orang itu, sejak kedatangan Dhihya, sikap uskup banyak berubah. Sang uskup segera memanggil Dhihya, dan menyampaikan sepucuk
surat. "Ini suratku, ambillah dan serahkan
kepada pembesarmu itu," pesan uskup itu dengan hati
yang tidak tenang. "Sampaikan salamku
kepadanya, dan beritahukan bahwa aku bersaksi tiada Tuhan melainkan Allah, dan
bahwasanya Muhammad itu adalah utusan Allah. Katakan juga, bahwa aku beriman
kepadanya, memercayainya, dan menjadi pengikutnya. Dan kaumku telah mengingkari
semua kata-kata dan nasihatku. Ceritakan juga apa yang engkau saksikan
ini," pesan uskup.
Sejak
saat itu sang uskup tidak datang lagi ke gereja. Sampai akhirnya ia dibunuh. Sementara itu, sebenarnya Heraklius sudah meyakini kebenaran
ajaran Islam. Namun, seperti yang ia katakan, ia malu untuk
meninggalkan agama Nasrani. Apalagi posisinya sebagai raja. Tidak mungkin tunduk begitu saja kepada ajaran Dhihya yang menurut
mereka orang Badui. Ia segera menyuruh salah
seorang utusan membawa suratnya kepada Rasulullah. "Bawalah suratku ini kepada orang yang mengaku Nabi
itu," kata Heraklius. "Tapi dengar baik-baik apa yang dikatakannya dan ingat tiga
hal berikut ini. Pertama, apa komentarnya ketika membaca suratku. Kedua,
apakah dia akan menyebut kata 'malam' atau tidak? Ketiga, usahakan
sampai engkau dapat melihat di belakang tubuhnya. Apakah suatu tanda yang
menarik perhatianmu? Ingatlah baik-baik tiga hal ini. Beritahu aku apa yang
engkau lihat!" pesan Heraklius dengan
hati-hati.
Utusan
itu berangkat membawa surat Heraklius, hingga tiba di Tabuk. Di situ dia bertanya kepada para sahabat Rasulullah, "Di
mana ketua kamu, yang dikatakan Nabi itu?" tanyanya. "Di sana, yang sedang
duduk dikelilingi orang," jawab salah seorang dari mereka. Saat itu, Nabi SAW sedang duduk di tepian telaga kecil bersama
beberapa sahabatnya. Utusan itu pun maju ke dapan,
menyerahkan surat Heraklius kepada Rasulullah. "Dari mana engkau?" tanya Rasulullah. "Aku orang Tarukh," jawab utusan itu. "Maukah engkau kembali
kepada agama yang suci dari kepercayaan nenek moyang kamu Ibrahim?" tanya Nabi SAW. "Aku ini utusan sebuah
negara dan menganut agama negara itu.
Tidaklah
wajar aku mengubah agamaku sehingga aku kembali kepada mereka lebih dulu,"
jawabnya jujur. "Hai saudara dari
Tarukh," tiba-tiba Nabi SAW berseru, "Aku
telah menulis surat kepada Kisra (pembesar Persia), lalu suratku
dikoyak-koyaknya, kelak Allah akan mengoyak-ngoyakkannya dan kerajaannya. Dan
aku menulis surat kepada pembesarmu, dia masih ragu." Mendengar ucapan tersebut sang utusan berkata dalam hati, "Nah,
salah satu dari tiga yang dipesan oleh Heraklius supaya aku ingat
baik-baik." Dia pun mengeluarkan sarung isi
panahnya dan mencatat apa yang disampaikan Nabi. Kemudian Rasulullah menyerahkan surat Heraklius itu kepada seorang yang
duduk di kirinya, yaitu Muawiyah untuk membacanya. Dalam suratnya Heraklius menyebut-nyebut surga yang luasnya seluas
langit dan bumi, tersedia untuk orang-orang yang bertakwa. "Di manakah letaknya neraka, wahai Rasulullah?" salah seorang sahabat tiba-tiba bertanya."Subhanallah!
Ajaib sekali pertanyaan ini," ujar Nabi SAW, "Jadi di
manakah malam jika datang siang?" tanya beliau.
Utusan
itu pun segera mencatat apa yang dikatakan Nabi. Ia menyebutkan kata malam yang
harus disampaikan ke Heraklius. Setelah membaca surat Heraklius Rasulullah
bersabda, "Engkau patut diberi hadiah karena engkau utusan kepada
kami. Seandainya kami memiliki sesuatu yang berharga, tentu akan kami berikan
kepadamu. Akan tetapi kami adalah musafir yang memiliki perbekalan
terbatas."
Tiba-tiba
terdengar suara dari belakang Rasulullah, "Aku yang akan memberinya
hadiah jika engkau perkenankan, ya Rasulullah!" Sahabat yang tak lain Utsman adanya segera mengeluarkan
seperangkat pakaian kepada utusan itu. "Siapakah yang bersedia menerima orang ini sebagai
tamunya?" tanya Rasulullah lagi. "Saya!" jawab seorang pemuda Anshar
lalu bangkit mengajak utusan itu pergi. Ketika ia akan meninggalkan
tempat itu, Rasulullah memanggilnya, "Hai Saudara dari Tarukh!" Utusan itu segera mendekat, berdiri di sisi Rasulullah. Beliau lalu menarik pakaiannya sehingga terbuka bagian
belakangnya, sambil berkata, "Tunaikanlah tugasmu dengan baik,
sebagaimana yang disuruh oleh tuanmu!" Saat itulah utusan itu bisa melihat dengan jelas tanda di belakang
badan Rasulullah, yaitu semacam tanda (Khatamun nubuwah) di bagian atas bahunya dan berbentuk bulat.
Sumber: Buku
Sahabat-Sahabat Rasulullah Sallallahu alai’hi wasallam
Penerbit: Pustaka
Ibnu Katsir
0 Response to "Biografi Singkat Para Sahabat Rasulullah: Dhihya bin Khalifah Al-Kalabi radhiallahu anhu"
Post a Comment