Kisah Seorang Pemuda dan Buah Apel
Alkisah ada
seorang pemuda, yang bernama Tsabit bin Ibrahim. Dia ingin pergi menuntut ilmu.
Di tengah perjalanan dia haus dan singgah sebentar di sungai yang airnya
jernih. dia langsung mengambil air dan meminumnya. tak berapa lama kemudian dia
melihat ada sebuah apel yang terbawa arus sungai, dia pun mengambilnya dan
segera memakannya. setelah dia memakan segigit apel itu dia segera berkata
"Astagfirullah" Dia merasa
bersalah karena telah memakan apel milik orang lain tanpa meminta izin terlebih
dahulu. "Apel ini pasti punya pemiliknya, lancang sekali aku sudah
memakannya. Aku harus menemui pemiliknya dan menebus apel ini".
Akhirnya dia
menunda perjalanannya menuntut ilmu dan pergi menemui sang pemilik apel dengan
menyusuri bantaran sungai untuk sampai kerumah pemilik apel. Tak lama kemudian
dia sudah sampai ke rumah pemilik apel. Dia melihat kebun apel yang apelnya
tumbuh dengan lebat.
"Assalamu'alaikum...."
"Wa'alaikumsalam wr.wb.". Jawab seorang lelaki tua dari dalam rumahnya.
"Wa'alaikumsalam wr.wb.". Jawab seorang lelaki tua dari dalam rumahnya.
Pemuda itu
dipersilahkan duduk dan dia pun langsung mengatakan segala sesuatunya tanpa ada
yang ditambahi dan dikurangi. Bahwa dia telah lancang memakan apel yang terbawa
arus sungai. "Berapa
harus kutebus harga apel ini agar kau ridha apel ini aku makan pak tua".
tanya pemuda itu. Lalu pak tua
itu menjawab. "Tak usah kau bayar apel itu, tapi kau harus bekerja di
kebunku selama 3 tahun tanpa dibayar, apakah kau mau?".
Pemuda itu
tampak berfikir, karena untuk segigit apel dia harus membayar dengan bekerja di
rumah bapak itu selama tiga tahun dan itupun tanpa digaji, tapi hanya itu
satu-satunya pilihan yang harus diambilnya agar bapak itu ridha apelnya ia makan."Baiklah
pak, saya mau." Alhasil
pemuda itu bekerja di kebun sang pemilik apel tanpa dibayar. Hari berganti
hari, minggu, bulan dan tahun pun berlalu. Tak terasa sudah tiga tahun dia
bekerja dikebun itu. Dan hari terakhir dia ingin pamit kepada pemilik kebun.
"Pak tua, sekarang waktuku
bekerja di tempatmu sudah berakhir, apakah sekarang kau ridha kalau apelmu
sudah aku makan?" Pak tua itu
diam sejenak. "Belum." Pemuda itu
terhenyak. "Kenapa pak tua, bukankah aku sudah bekerja selama tiga tahun
di kebunmu."
"Ya, tapi aku tetap tidak ridha
jika kau belum melakukan satu permintaanku lagi."
"Apa itu pak tua?"
"Kau harus menikahi putriku,
apakah kau mau?"
"Ya, aku mau." jawab
pemuda itu.
Bapak tua itu mengatakan lebih
lanjut. "Tapi, putriku buta, tuli, bisu dan lumpuh, apakah kau mau?".
Pemuda itu
tampak berfikir, bagaimana tidak...dia akan menikahi gadis yang tidak pernah
dikenalnya dan gadis itu cacat, dia buta, tuli, dan lumpuh. Bagaimana dia bisa
berkomunikasi nantinya? Tapi diap un ingat kembali dengan segigit apel yang
telah dimakannya. Dan dia pun menyetujui untuk menikah dengan anak pemilik
kebun apel itu untuk mencari ridha atas apel yang sudah dimakannya.
"Baiklah pak, aku mau."
Segera
pernikahan pun dilaksanakan. Setelah ijab kabul sang pemuda itupun masuk kamar
pengantin. Dia mengucapkan salam dan betapa kagetnya dia ketika dia mendengar
salamnya dibalas dari dalam kamarnya. Seketika itupun dia berlari mencari sang
bapak pemilik apel yang sudah menjadi mertuanya.
"Ayahanda...siapakah wanita
yang ada didalam kamar pengantinku? Kenapa aku tidak menemukan istriku?"
Pak tua itu
tersenyum dan menjawab. "Masuklah nak, itu kamarmu dan yang di dalam sana
adalah istimu. "Pemuda
itu tampak bingung. "Tapi ayahanda, bukankah istriku buta, tuli tapi kenapa
dia bisa mendengar salamku?. Bukankah dia
bisu tapi kenapa dia bisa menjawab salamku?".
Pak tua itu
tersenyum lagi dan menjelaskan. "Ya, memang dia buta, buta dari
segala hal yang dilarang Allah. Dia tuli, tuli dari hal-hal yang tidak pantas
didengarnya dan dilarang Allah. Dia memang bisu, bisu dari hal yang sifatnya
sia-sia dan dilarang Allah, dan dia lumpuh, karena tidak bisa berjalan ke
tempat-tempat yang maksiat."
Tsabit amat
bahagia mendapat seorang isteri solehah dan wanita yang memelihara dirinya.
Dengan penuh syukur dia berkata tentang isterinya, “Ketika kulihat wajahnya…
Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap”. Tsabit dan isterinya yang sholihah dan cantik itu hidup rukun dan
berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikurniakan seorang putera yang ilmunya
memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia, Beliau adalah Al Imam Abu Hanifah
An Nu’man bin Tsabit.
Semoga Bermamfaat, Shukran
Jazakallah Khairan@
0 Response to "Kisah Seorang Pemuda dan Buah Apel"
Post a Comment