Kisah Sang Pencari Tuhan
Pada suatu
masa, hidup seorang pemuda yang hidupnya senang menuntut ilmu, mempelajari
agama pada syekh-syekh terkenal dan sering mendatangi ‘ulama-ulama yang sangat
alim, seberapapun jauhnya jarak rumah orang alim itu. Karena kecerdasannya, semua guru-guru pemuda ini mengaguminya, beberapa
bidang ilmu agama yang berat dapat dikuasainya dengan sempurna. Dan Kitab-kitab
tulisan para Ulama-ulama pendahulupun telah ia hapal.
Dalam puncak
pembelajarannya, tiba-tiba si pemuda mendatangi salah satu gurunya yang paling
ia hormati, menyampaikan satu urusan yang terganjal di hatinya dan ingin merealisasikannya:
Bertemu Tuhan !
“Saya mau mencari-Nya. Saya mau
bertemu dengan-Nya, bukan dalam arti kiasan, tapi yang sedzahirnya. Izinkan saya
pergi mencari-Nya”.
Syech
gurunya yang menyadari siapa yang dihadapinya langsung mengizinkannya, dan
berdo’a semoga selamat dalam perjalannya dan kembali dengan berita yang
menggembirakan. Singkat
cerita si Pemuda memulai perjalanan panjangnya.
Hingga suatu hari, di tengah perjalanan, si Pemuda menemukan seseorang di tengah-tengah hutan yang sedang bersujud, di atas sebuah batu, menghadap kiblat, tak bergeming, tak bergerak, khusyuk, dan nampaknya si orang yg sujud ini sudah melakukannya dalam waktu yang lama.
Hingga suatu hari, di tengah perjalanan, si Pemuda menemukan seseorang di tengah-tengah hutan yang sedang bersujud, di atas sebuah batu, menghadap kiblat, tak bergeming, tak bergerak, khusyuk, dan nampaknya si orang yg sujud ini sudah melakukannya dalam waktu yang lama.
“Assalamu’alaikum” sampai tiga kali
si pemuda tidak dijawab oleh orang yang bersujud. Si pemuda kemudian duduk
istirahat tak jauh dari Si Sujud, kemudian tiba-tiba si Sujud bangkit dan
menghampiri si pemuda.
“Walaikumsalaam, siapa anda hai anak
muda, telah lama aku bersujud di sana, bertahun-tahun, tak pernah aku
terganggu, karena aku abdikan hidup ini untuk bersujud pada Tuhan, tapi kau
datang dengan tigakali salammu telah membuyarkan kekhusyukanku, Jelaskanlah,
siapa anda?”
“Aku adalah pengembara biasa,
tersesat di hutan besar ini, aku mau istirahat, aku melihat anda, lalu aku
menyalami anda, aku bukan siapa-siapa, cuma orang biasa, yang sedang mencari
Tuhan, aku mau ketemu Tuhan.” Jawab si Pemuda.
Dengan
keheranan, si Sujud berkata, “Kamu ini sinting ya? Emang Tuhan bisa ditemui?”
“Entahlah, aku sendiri tidak bisa
menjawab, kalau aku tidak mencarinya, bagaimana aku tahu jawabannya? Kalau aku
bilang Tuhan tidak bisa ditemui, aku salah, karena aku belum mencarinya, kalau
aku bilang Tuhan bisa ditemui, aku juga salah, karena aku belum bertemu dengan-Nya”.
“Sinting kamu!” Kata Si Sujud. “Ya
sudah, aku mau sujud lagi, dan jangan ganggu saya lagi. Silahkan lanjutkan
pencarian Tuhanmu, dan...heh, kalau kamu ketemu dengannya, tolong tanyakan ya,
kira-kira pahala apa yang bisa saya dapat dari sujud saya ini, dan di surga
mana saya bisa tinggal”.
“Baik, insya Allah Ta’ala, akan aku
sampaikan pertanyaanmu pada-Nya”.
Setelah
berbulan-bulan lamanya, tibalah si Pemuda di sebuah padang tandus, tiba-tiba ia
dihadang seorang perompak dan menodongnya. Si Pemuda tanpa memperlihatkan ketakutannya, bertanya pada perompak.
“Sebelum saya serahkan harta atau nyawa saya, maukah menjawab pertanyaan saya?”
“Baiklah”
“Kenapa anda harus merompak?”
“Kenapa anda harus merompak?”
“Karena saya tak bisa melakukan pekerjaan
apa-apa, saya butuh uang untuk makan. Di sini serba susah, tak ada yang bisa
menolong saya kecuali diri saya sendiri. Maka saya jadi perompak”
“Mengapa tidak meminta pertolongan
pada Tuhanmu, mohon bantuan-Nya, lalu bekerja yang halal, dan Dia pasti
menolongmu.”
“Ah, aku dahulu juga beribadah,
selalu berdo’a, tapi bantuan dari Tuhan tak kunjung datang, perutku dan
keluargaku kelaparan, aku tak sabar, aku ambil jalan ini, ini memang salah,
tapi aku terpaksa”.
“Aku sebenarnya sedang mencari
Tuhan, perjalananku ini ingin menemui-Nya. Maukah aku tanyakan pada-Nya masalah
diri anda?.
Sedikit
kaget dan aneh, si perompak menanggapi serius, “Hm, Aku lihat kamu bukan pemuda
sembarangan, aku melihat kamu orang yang alim dan terpelajar. Kenapa kamu
mengadakan perjalanan ini? benarkah Tuhan bisa kita temui? Di mana Dia berada?”
“Entahlah, aku sendiri tidak bisa
menjawab, kalau aku tidak mencarinya, bagaimana aku tahu jawabannya? Kalau aku
bilang Tuhan tidak bisa ditemui, aku salah, karena aku belum mencarinya, kalau
aku bilang Tuhan bisa ditemui, aku juga salah, karena aku belum bertemu
dengan-Nya”.
“Hmm, walau aku tidak paham apa yang
kamu ucapanmu itu, ada baiknya aku setuju saja dengan niatmu mencari Tuhan.
Barangkali saja bisa ketemu. Tapi, berilah aku sedikit hartamu untuk aku makan,
mudah-mudahan sedikit yang halal ini bisa ada berkahnya,?”
“Baiklah, ini ada sedikit bekal buatmu, adakah pesan yang ingin kau sampaikan pada Tuhan jika aku bisa bertemu dengan-Nya?”
“Baiklah, ini ada sedikit bekal buatmu, adakah pesan yang ingin kau sampaikan pada Tuhan jika aku bisa bertemu dengan-Nya?”
Dengan mata
menerawang dan sendu, perompak menjawab, “Ada. Tanyakanlah pada-Nya, sudah
seberapa besar dosaku yang aku jalani selama ini. Kalau saja dosaku besar, di
neraka mana aku akan ditempatkan, dan, berapa lama aku dibakar di sana”.
“Baik, insya Allah Ta’ala, akan aku
sampaikan pertanyaanmu pada-Nya”.
Setelah
setahun lewat pemuda ini berjalan, berbagai medan telah ia lewati, belum juga
ia bertemu Tuhannya. Hingga suatu ketika, pemuda ini bertemu dengan seorang tua
renta yang bertongkat dan berbungkuk berpakaian putih bersih. Setelah setahun lewat pemuda ini berjalan, berbagai medan telah ia lewati,
belum juga ia bertemu Tuhannya. Hingga suatu ketika, pemuda ini bertemu dengan
seorang tua renta yang bertongkat dan berbungkuk berpakaian putih bersih. Si orang tua tiba-tiba saja berujar, “Anak muda, kalau kau ingin menemukan
Tuhanmu, itu, pohon bambu itu, naikilah, di sana Tuhan menantimu”.
Si Pemuda
agak kaget, orang ini tahu apa yang dicarinya, tapi tak ada kecurigaan dan tak
ada alasan untuk tidak mempercayai si orang tua, akhirnya si pemuda kemudian
naik ke atas pohon bambu yang ditunjuk dan sesampai diujung pohon itu, si
Pemuda kehilangan keseimbangan karena tersapu angin besar dan terjatuh dengan
kepala terlebih dahulu.
Si Pemuda
langsung tak sadarkan diri. Dalam pingsannya, si Pemuda terbangun dan berada
dalam suasana yang berbeda dari tempat pohon bambu yang ia panjat tadi. Bapak Tua yang bertongkat berpakaian putih itu menyapanya...
“Anak muda, aku diutus Tuhanmu
menemui dirimu. Setelah satu tahun kau lewati perjalanan yang panjang dan
berat, sudah pantas bagiku saatnya memberimu jawaban apa yang kau cari.”
“Wahai anak muda, ketekunanmu dalam menuntut ilmu, anugerah kecerdasan yang diberikan Tuhanmu, telah membawamu mencari sesuatu yang tak bisa kau temukan jawabannya hingga kini.”
“Anak muda, Tuhanmu menyampaikan pesan untukmu agar bersabar sampai nanti tibanya kau menemuiNya, tidak, tidak untuk saat ini, telah digariskan bagimu hidupmu sebagai kebijaksanaan dan hikmah dariNya atasmu, perbanyaklah amal dan kebajikan, jalankan apa yang diperintahkanNya dan jauhi laranganNya, niscaya kau akan menemuiNya kelak.”
“Kamu bisa kembali, kembalilah dan lanjutkan kehidupanmu bersama sesamamu dan dirimu sendiri, berikanlah apa yang bisa kau berikan pada sesamamu, Tuhanmu bisa kau temukan bersama mereka yang sedang ditimpa kemalangan, tapi kalau kau benar-benar ingin bertemunya, tidak sekarang, tidak, bersabarlah dan jalanilah dulu hidupmu”.
“Wahai anak muda, ketekunanmu dalam menuntut ilmu, anugerah kecerdasan yang diberikan Tuhanmu, telah membawamu mencari sesuatu yang tak bisa kau temukan jawabannya hingga kini.”
“Anak muda, Tuhanmu menyampaikan pesan untukmu agar bersabar sampai nanti tibanya kau menemuiNya, tidak, tidak untuk saat ini, telah digariskan bagimu hidupmu sebagai kebijaksanaan dan hikmah dariNya atasmu, perbanyaklah amal dan kebajikan, jalankan apa yang diperintahkanNya dan jauhi laranganNya, niscaya kau akan menemuiNya kelak.”
“Kamu bisa kembali, kembalilah dan lanjutkan kehidupanmu bersama sesamamu dan dirimu sendiri, berikanlah apa yang bisa kau berikan pada sesamamu, Tuhanmu bisa kau temukan bersama mereka yang sedang ditimpa kemalangan, tapi kalau kau benar-benar ingin bertemunya, tidak sekarang, tidak, bersabarlah dan jalanilah dulu hidupmu”.
Dengan lidah
dan tubuh yang seperti tak mampu berkata apa-apa, akhirnya si Pemuda mampu
menanggapi si orang tua, “Wahai orang tua, puaslah aku dengan ini semua, tapi
bagaimana aku membuktikan pada guruku bahwa aku harus mengakhiri perjalananku?”
“Bawalah ini, ini buah ranum dari
kebun surga, tak pernah ia tumbuh di dunia, tunjukkan pada syech gurumu,
makanlah dihadapannya.”
“Bolehkah aku bertanya, wahai orang
tua? Di tengah perjalanan, aku bertemu seorang yang selalu sujud pada-Nya, dan
seorang perompak. Si Sujud bertanya, pahala apa yang ia terima, dan di surga
mana ia bisa tinggal. Adapun si perompak bertanya, seberapa besarkah dosanya
dan di neraka mana ia akan disiksa?”
“Baiklah, tunggulah dan aku akan
kembali” Si orang tua pergi beberapa saat dan tak lama kembali pada si Pemuda.
“Dengarkan hai anak muda, inilah
jawabannya: bahwa si Sujud akan mendapatkan pahala besar dari sujudnya, tapi
ibadahnya tertolak karena ia bersujud bukan semata-mata mengharapkan keridhoan
dan rahmatNya. Orang ini adalah orang yang dzalim pada dirinya sendiri.”
“Adapun si perompak, ia berdosa
besar atas perbuatannya dalam merugikan orang lain. Tapi Tuhan memberikan
rahmatNya pada siapa saja yang Dia kehendaki, atas harapan yang tersirat di
hatinya, ia akan diselamatkan dari api neraka karena si perompak adalah termasuk
orang yang mau bersabar”.
Setelah
berpisah dengan si orang tua, si Pemuda bangun dari pingsannya, dan di
genggamannya terdapat buah yang sangat ranum yang tadi diberikan si orang tua
dalam mimpinya. Dalam
perjalanan pulang, si Pemuda bertemu dengan si perompak, dan si Pemuda
menyampaikan kisahnya dan menyampaikan jawaban dari Tuhannya. Si perompak
mendengar hal ini langsung bersujud syukur, menangis dan bertaubat. Si perompak
akhirnya menjalani sisa hidupnya dengan amal ibadah dan membantu banyak orang.
Si Pemuda
kemudian bertemu dengan si Sujud dan menceritakan kisahnya. Lalu disampaikanlah
apa yang ia dapatkan kepada si Sujud. Mendengar hal ini, kaget seperti disambar
petirlah si Sujud, lalu ia pergi meninggalkan si Pemuda tanpa sepatah salampun,
si Sujud, akhirnya menghabiskan sisa hidupnya dengan berbagai perbuatan yang
dzalim dan sia-sia.
Sesampai di
rumah Syech Gurunya, si Pemuda menyampaikan kisahnya dan menunjukkan buah ranum
yang diberikan si Orang tua, dan memakannya di depan Syech Guru.
Syech Guru lalu berkata, “Anakku, benarlah yang engkau putuskan dan engkau jalani, manusia itu sesungguhnya buta, lalu ia butuh pelita, dan ilmu lah pelitanya. Dengan pelita itu kamu bisa melihat jalan yang terang menuju keridhoan Tuhanmu. Dia lah sumber cahaya, sumber pelita, orang yang bertaburan cahaya, selalu ingin menemui sumber cahayanya, dan untuk itu kau mencari Tuhanmu.”
Syech Guru lalu berkata, “Anakku, benarlah yang engkau putuskan dan engkau jalani, manusia itu sesungguhnya buta, lalu ia butuh pelita, dan ilmu lah pelitanya. Dengan pelita itu kamu bisa melihat jalan yang terang menuju keridhoan Tuhanmu. Dia lah sumber cahaya, sumber pelita, orang yang bertaburan cahaya, selalu ingin menemui sumber cahayanya, dan untuk itu kau mencari Tuhanmu.”
“Jawaban dari pencarianmu itu adalah
ada pada apa telah kau lakukan, sebesar apa dan sejauh mana kau berbuat untuk
Tuhanmu, untuk sesamamu dan untuk dirimu sendiri”.
“Buah yang kau makan sangat manis,
buah itu tak ada duanya di dunia ini, akan tetapi adalagi yang jauh lebih manis
dari buah surga itu, tahukah kau apa itu? yakni manisnya iman, manisnya taqwa
dan manisnya hidup yang kau persembahkan di jalan Tuhanmu”.
“Adapun si Sujud, ia bersujud dengan
tanpa membersihkan hatinya, Iblis pun dahulu ahli ibadah, hingga ia diangkat
menjadi imam di antara para malaikat, tapi hatinya kotor, hati yang kotor
menghalangi dari rahmat Tuhan, sehitam-hitamnya dahimu karena bekas sujud, tapi
kalau hatimu kotor menghitam, niscaya ibadahmu hanya menghasilkan fitnah dan
kerugian dan sia-sia”.
“Adapun si perompak, ia meyakini
kekuasaan Tuhannya, meyakini ketetapan Tuhannya, ia sadar ia telah melanggar
Tuhannya, tapi tersirat di hatinya, ia mengharapkan ampunan Tuhannya,
mengharapkan rahmat Tuhannya, maka hati yang selalu berharap, hati yang bersih
dari ujub, selalu membuka peluang turunnya rahmat dari Allah Ta’ala. Seorang
bermaksiyat yang memiliki hati yang bersih akan lebih mudah kembali pada jalan
Tuhannya”.
“Adapun orang yang hatinya kotor,
penuh ujub, meski ahli ibadah, hanya akan membawanya pada perbuatan fitnah dan
keangkaramurkaan”. Sejak saat
itu, si Pemuda yang mencari Tuhannya semakin giat belajar, giat bekerja, giat
beribadah dan giat memberi untuk sesamanya. Dengan pengharapan penuh bisa
bertemu Tuhannya. Kelak.
Semoga Bermamfaat, Shukran
Jazakallah Khairan@
0 Response to "Kisah Sang Pencari Tuhan"
Post a Comment