5 Contoh Kerusakan Ketika Merayakan Tahun Baru
Assalamu‘alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh
Pembaca bulletin Ar-Riyadhoh Yang setia.. Semoga kita tetap
Dalam lindungan Allah subhanahu
wata’ala. Aamiin.
Manusia di berbagai negeri sangat
antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun
sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun.
Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan
tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Simak dalam bahasan
singkat berikut.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan
pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar
dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan
tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain
kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi
dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan
mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu
tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan
Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1
Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari
ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari
penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di
tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius
atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius
Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Dari sini kita dapat menyaksikan
bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan
dari Islam. Perayaan tahun baru terjadi pada pergantian tahun kalender
Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh
orang-orang kafir. Secara lebih
rinci, berikut adalah beberapa kerusakan atau masalaha-masalah yang terjadi
seputar perayaan tahun baru masehi.
Pertama: Merayakan Tahun Baru
Berarti Merayakan ‘Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan
(‘ied) kaum muslimin hanya ada dua yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin
Malik mengatakan, “Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari
Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan,
“Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah
telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri
dan Idul Adha”.
Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah
menjelaskan bahwa perayaan tahun baru itu termasuk merayakan ‘ied (hari raya)
yang tidak disyariatkan karena hari raya kaum muslimin hanya ada dua yaitu Idul
Fithri dan Idul Adha. Menentukan suatu hari menjadi perayaan (‘ied) adalah
bagian dari syari’at (sehingga butuh dalil).
Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti
Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir.
Merayakan tahun baru termasuk
meniru-niru orang kafir. Dan sejak
dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa
umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani.
Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh
kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal
dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke
lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.”
Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu
adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?
Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara
tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh). Beliau
bersabda, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian
dari mereka”
Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa
Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan
tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun
sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan
tertentu pada malam pergantian tahun.
“Daripada waktu kaum muslimin
sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid.
Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”,
demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini
berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri
adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus
disyari’atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun
akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami
utarakan.
Jika ada yang mengatakan, “Daripada
menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat (bermain petasan dan
lainnya), mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik.”
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Mas’ud
ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak
ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud, ”Demi Allah, wahai Abu
‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan,
namun mereka tidak mendapatkannya.”
Keempat: Melakukan Pemborosan yang
Meniru Perbuatan Setan
Perayaan malam tahun baru adalah
pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan
setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk
membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang
merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa
jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan
setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Padahal
Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27).
Kelima: Menyia-nyiakan Waktu yang
Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk
membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang
manfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang, “Di antara tanda
kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.”
Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah bahwa)
menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan
memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan
kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”
Seharusnya seseorang bersyukur
kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat
waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu
adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah, bukan dengan
menerjang larangan Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang
yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam
masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak)
datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir: 37). Qotadah
mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang
bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan
umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.
0 Response to "5 Contoh Kerusakan Ketika Merayakan Tahun Baru"
Post a Comment