Keutamaan dan Keistimewaan Berwakaf (Harta, Al Qur'an dll)
Di
antara keistimewaan wakaf adalah belum pernah dikenal di masa jahiliyyah
sedekah semacam itu. Imam al-Syafi’i berkata, “Wakaf
dalam makna syar’i belum pernah dikenal oleh orang Jahiliyyah.”[1]
Beliau juga berkata, “Orang Jahiliyyah belum pernah mewakafkan
rumah atau tanah sebagaimana yang Anda ketahui”.[2]
Menurut
Ibnu Hajar al-Haitami, wakaf pertama dalam Islam adalah tanah yang disedekahkan
oleh Umar.[3]
Penjelaan yang sama juga dikemuakkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani. Ini
didasarkan perkataan Ibnu Umar ra ketika meriwayatkan hadits tentang Umar bin
al-Khaththab yang menyedekahkan tanahnya di Khaibar, ”Wakaf
pertama kali di dalam Islam adalah wakafnya Umar”.
Riwayat ini diperkuat oleh Hadits yang dituturkan dari Amru bin Sa’ad bin
Mu’adz. Ia berkata, ”Kami bertanya tentang wakaf pertama kali di
dalam Islam. Kaum Muhajirin menjawab,
”Wakafnya Umar”. Sedangkan kaum Anshar menjawab,
”Wakafnya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam .”[4]
Sedangkan
keutamaan wakaf, karena merupakan salah satu jenis amal menginfakkan harta di
jalan Allah Subhanahu wata’ala , maka
keutamaan wakaf tercakup dalam keutamaan sedekah dan infak. Berkenaan dengan
sedekah dan infak, amat banyak ayat yang menjelaskan tentang keutamaannya. Di
antaranya adalah firman Allah Subhanahu
wata’ala yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di
jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum
datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi
persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa`at” (QS al-Baqarah [2]:
254).
Juga Firman Allah Subhanahu wata’ala yang artinya:
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan
nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar” (QS al-Hadid [57]: 7).
Juga firman-Nya:
لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ
حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan
(yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai” (QS Ali Imran [3]:
92).
Juga firman-Nya:
مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ
أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ
فِي كُلِّ سُنۢبُلَةٖ مِّاْئَةُ حَبَّةٖۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُۚ
وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Baqarah [2]: 261)
Ayat-ayat
tersebut menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh
untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, QS al-Baqarah [2]: 261
telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang
menginfakkan hartanya di jalan Allah.
Keutamaan Khusus Wakaf
Selain
memiliki keutamaan sebagaimana infak di jalan Allah, wakaf memiliki keutamaan
khusus dibandingkan dengan sedekah dan hibah, yakni:
1.
Bagi Orang Yang Berwakaf
Pahalanya
akan terus mengalir sekalipun pelakunya sudah meninggal dunia. Ini didasarkan
pada hadits Nabi sallallahu ‘alaihi
wasallam :
إِذَا مَاتَ
اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia mati, terputuslah amalnya kecuali
tiga: sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak salih yang
mendoakannya. (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).
Imam
al-Nawawi, dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan
hadits di atas sebagai berikut: “Para ulama menyatakan, amal
perbuatan orang yang telah meninggal dunia terputus dengan kematiannya kecuali
tiga hal ini. Sebab,
tiga perkara tersebut berasal dari usaha orang yang telah meninggal
itu. Sesungguhnya anak shaleh termasuk hasil usahanya; demikian pula
dengan ilmunya yang terus diajarkan atau dikaji setelah kematiannya; dan
sedekah jariyah, yakni wakaf. Pahala doa akan sampai kepada orang yang mati, demikian
juga dengan pahala sedekah.“[5]
Imam
al-Syaukani dalam Nayl al-Awthâr ketika
menjelaskan kalimat ‘illâ min tsalâtsah asyâ` (kecuali
tiga perkara) dalam hadits tersebut berkata, “Di dalamnya ini terdapat
dalil bahwa pahala tiga perkara tersebut tidak terputus oleh kematian. Para
ulama berkata: “Makna hadits ini adalah amal mayit terputus oleh kematiannya
dan terputus pula untuk mendapatkan pahala baru lagi kecuali dalam tiga perkara
tersebut. Itu karena ketiga perkara tersebut merupakan hasil usahanya.
Sesungguhnya anak adalah hasil usahanya. Demikian juga ilmu yang ditinggalkan
seperti buku karangan dan pengajaran. Begitu pula sedekah jariyah, yakni wakaf.”[6]
Kemudian dilanjutkan, “Di sini terdapat pelajaran tentang keutamaan
sedekah jariyah, ilmu yang tetap langgeng setelah kematian, dan menikah yang
menjadi sebab bagi adanya anak.”[7]
Menurut
Imam Mubarakfuriy dalam Tuhfat al-Ahwadziy, yang
dimaksud dengan terputusnya amal seseorang, adalah terputusnya ganjaran dan
pahala dari amal perbuatannya, kecuali tiga perkara. Pahala dari
tiga perkara ini tidak akan terputus; yakni sedekah jariyah yang berujud wakaf
dan sedekah-sedekah yang tidak hilang manfaatnya; ilmu pengetahuan yang
ditinggalkannya; dan anak sholeh yang selalu mendoakan dirinya. Menurut
Ibnu Malik anak di sini ditaqyid (dibatasi)
dengan anak sholeh. Sebab, pahala tidak akan didapatkan dari anak yang
tidak sholeh.[8]
Dalam hadits lain,
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda;
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ
الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ
وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا
بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ
صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ
بَعْدِ مَوْتِهِ
“Sesungguhnya di antara perbuatan dan
kebaikan-kebaikan yang akan mengikuti seorang Mukmin setelah kematiannya adalah
ilmu yang diajarkannya, anak shaleh yang ditinggalkannya, mushhaf yang
diwariskannya, masjid yang didirikannya, rumah yang didirikannya untuk ibnu
sabil, sungai yang dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkan dari hartanya
sewaktu sehatnya dan hidupnya; semuanya akan mengikutinya setelah kematiannya” (HR Ibnu Majah).
Bagi
orang yang berwakaf, harta yang diwakafkan juga akan diletakkan dalam timbangan
kebaikan pada hari Kiamat. Rasulullah sallallahu
‘alaihi wasallam dalam sabdanya:
مَنِ
احْتَبَسَ فَرَساً فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِيمَاناً بِاللَّهِ وَتَصْدِيقاً
لِمَوْعُودِهِ كَانَ شِبَعُهُ وَرِيُّهُ وَبَوْلُهُ وَرَوْثُهُ حَسَنَاتٍ فِى
مِيزَانِهِ يَوْمَ الْقِيَامَ
“Barang siapa yang mewakafkan kuda intuk (jihad)
sabilillah karena didasari iman dan membenarkan janji-Nya, maka makanan, minuman,
kencing, dan kotoran kuda tersubut akan berubah menjadi amal baiknya pada
timbangannya di hari kiamat” (HR al-Bukhari, Ahmad dan al-Nasa’i).
2.
Bagi Penerima wakaf:
Harta
yang diwakafkan beserta manfaat yang dihasilkan darinya dapat dinikmati oleh banyak
orang, bahkan lintas generasi. Ini disebabkan karena yang diambil dan dinikmati
oleh penerima wakaf adalah manfaat dari harta saja. Sementara harta yang
diwakafkan tetap utuh dan langgeng.
Sebagai contoh, ketika kebun diwakafkan kepada fakir
miskin, maka manfaat yang dipetik dari harta itu terus dapat dinikmati oleh
orang-orang miskin, bahkan dari generasi ke genarasi. Demikian juga ketika ada
masjid yang diwakafkan. Bisa digunakan oleh banyak orang. Ringkasnya, wakaf
amat bermanfaat kepada kedua belah pihak, baik yang berwakaf maupun penerima
wakaf.
Wallahu a’lam bishowab!!!
___
[1]
Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtâj fî Syarh
al-Minhâj, vol. 6 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi,
tt), 236
[5]
al-Nawawi, Syarh al-Nawâwi ‘alâ Muslim, vol.
4 (Beirut: Dar Ihya` al-Turarts al-‘Arabiy, 1392 H), 302
0 Response to "Keutamaan dan Keistimewaan Berwakaf (Harta, Al Qur'an dll)"
Post a Comment