Keutamaan Bekerja dalam Islam
Pada
dasarnya, Islam mendorong kaum Muslim untuk bekerja sebagai sarana untuk
beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala
. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
فَانْتَشِرُوا
فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan
bertebaranlah kalian di muka bumi, carilah karunia Allah serta ingatlah Allah
sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung..”[al-Jumu’ah:10]Ali Al-Shabuniy, dalam Shafwat
al-Tafaasiir, menyatakan, “Maksudnya, bertebaranlah kalian di muka bumi
dan galilah apa yang ada di muka bumi, untuk diperdagangkan dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan kalian. Kemudian, carilah karunia Allah subhanahu wata’ala
dan nikmat-nikmatNya. Sesungguhnya rejeki itu berada di tangan Allah subhanahu
wata’ala, dan Dialah Maha Pemberi Nikmat dan Karunia.”[1]
Rasulullah
sallallahu alaihi wasallam, di dalam
banyak riwayat telah menerangkan keutamaan dan dorongan untuk bekerja. Ini
menunjukkan, bahwa Islam adalah agama yang memerintahkan umatnya untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang produktif. Di dalam sebuah riwayat
diterangkan, bahwasanya Rasulullah sallallahu
alaihi wasallam bersabda:
لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ
حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ
أَوْ يَمْنَعَهُ
“Sungguh
sekiranya salah seorang di antara kamu sekalian mencari kayu bakar dan
dipikulnya ikatan kayu itu, maka yang demikian itu lebih baik baginya daripada
ia meminta-minta kepada seseorang baik orang itu memberi ataupun tidak
memberinya.”[HR. Bukhari dan Muslim]
Imam
Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari al-Miqdam bin Ma’dariba ra, bahwa Rasulullah
sallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ
خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ
عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidak
ada seseorang makan makanan yang lebih baik daripada makan hasil usahanya
sendiri, dan sesungguhnya Nabi Allah Daud as makan dari hasil usahanya
sendiri.”[HR. Bukhari]
Hadits-hadits
ini menunjukkan, bahwa bekerja merupakan aktivitas yang penuh dengan keutamaan
dan kemulyaan. Sedangkan nafkah yang diperoleh dari hasil usaha sendiri
merupakan nafkah terbaik yang dipenuhi dengan keberkahan. Riwayat-riwayat ini
juga menunjukkan, bahwa Rasulullah sallallahu
alaihi wasallam telah mendorong umatnya untuk bekerja dan berusaha dengan
serius.
Bekerja
merupakan salah satu ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wata’ala. Disamping untuk
memperoleh nafkah yang halal dan baik, bekerja juga merupakan perwujudan
hubungan ta’awuniyyah (tolong menolong) diantara sesama Muslim. Sebab,
ketika seseorang bekerja, tentunya ia akan bersinggungan dengan kepentingan
orang lain. Tatkala seorang penjahit menjahit baju untuk pelanggannya, ia telah
membantu orang lain yang sedang membutuhkan baju, atau pakaian. Demikian juga
tukang jahit; ia membutuhkan orang yang hendak menjahitkan kain kepadanya, agar
ia memperoleh nafkah yang halal dan baik. Begitu seterusnya. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam telah
menjelaskan beberapa keutamaan bekerja. Diantara keutamaan-keutamaan itu adalah
sebagai berikut:
1. Bekerja Untuk Menjaga
Kehormatan dan Kemulyaan Diri
Bekerja
adalah refleksi kehormatan dan kemulyaan seseorang. Jika seseorang memiliki
profesi halal dan baik; misalnya tukang becak, tukang ojek, guru, petani, dan
buruh pabrik, dan lain sebagainya, tentunya ia akan terpandang di sisi Allah
dan masyarakat. Sebaliknya, alangkah hinanya di sisi Allah subhanahu wata’ala, jika seseorang memiliki profesi haram, misalnya
pelacur, dukun, eksekutor di bank ribawi, serta pekerjaan-pekerjaan haram
lainnya. Harta yang didapatkannya tidak berkah, dan kelak ia akan mendapatkan
siksa di hari akhir.
Di
dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwasanya Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ
نَفَرٍ عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ
وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ
الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ
صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ
فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا
وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا
يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ
حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا
وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ
فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
“Sesungguhnya,
dunia itu diperuntukkan bagi empat orang; pertama, seorang hamba yang diberi
harta dan ilmu oleh Allah subhanahu wata’ala; dan dengannya ia bertaqwa kepada
Allah subhanahu wata’ala dan menghubungkan silaturrahim, dan ia mengetahui
bahwa ada hak Allah di dalam hartanya. Ini adalah seutama-utama kedudukan.
Kedua, seorang hamba yang diberi ilmu oleh Allah, namun tidak diberi harta;
kemudian ia berniat seraya berkata, :Seandainya aku punya harta, sungguh aku
akan beramal sebagaimana si fulan (yang kaya). Dengan niatnya itu, maka pahala
keduanya adalah sama. Ketiga, seorang hamba yang tidak diberi ilmu, namun hanya
diberi harta oleh Allah. Lalu, ia membelajakan hartanya tanpa dengan
pengetahuan, dan tidak dijadikan sebagai wasilah untuk bertaqwa kepada Allah subhanahu
wata’ala dan menyambung silaturrahim, dan ia juga tidak tahu bahwa di dalamnya
ada hak Allah subhanahu wata’ala, maka ini adalah serendah-rendahnya kedudukan.
Keempat, seorang hamba yang tidak diberi harta dan ilmu oleh Allah subhanahu
wata’ala, dan ia berkata, “Seandainya saya memiliki harta, maka saya akan
beramal sebagaimana si fulan (yang ketiga) tersebut, maka dosa keduanya adalah
sama.”[HR. Turmudziy]
Rasulullah
sallallahu alaihi wasallam juga
mencela seseorang yang memiliki profesi haram. Nabi sallallahu alaihi wasallam mencela seseorang yang profesinya
berhubungan dengan riba. Dari Ibnu Mas’ud ra diriwayatkan, bahwasanya ia
berkata:
لَعَنَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ
قَالَ قُلْتُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ قَالَ إِنَّمَا نُحَدِّثُ بِمَا سَمِعْنَا
“Rasulullah
sallallahu alaihi wasallam mengutuk orang yang makan riba dan orang yang
memberi makan dengannya.”[HR. Muslim]. Dalam riwayat al-Turmudziy
ditambahkan, “orang yang menjadi saksi dan orang yang menulis riba.” [HR.
Turmudziy]
Rasulullah
sallallahu alaihi wasallam juga
mencela dukun. Dari Shafiyyah binti Abu ‘Ubaid, dituturkan, dari salah seorang
isteri Nabi sallallahu alaihi wasallam,
bahwasanya Nabi sallallahu alaihi
wasallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ
شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa
yang datang kepada tukang ramal, kemudian menanyakan sesuatu, maka tidak
diterima shalatnya selama 40 hari.”[HR. Muslim]
Dari
Abu Mas’ud al-Badriy ra, dikisahkan, bahwasanya Rasulullah sallallahu alaihi wasallam melarang dari hasil penjualan anjing,
hasil pelacuran, dan hasil perdukunan.[HR. Bukhari dan Muslim]. Selain itu,
masih banyak riwayat-riwayat lain yang melarang seorang Muslim berusaha atau
bekerja pada profesi-profesi haram. Larangan ini bisa dimengerti, karena,
profesi haram akan menjatuhkan siapa saja ke dalam lembah kehinaan dan
kesengsaraan.
Sayangnya,
di zaman yang serba kapitalistik-materialistik ini, kemulyaan dan keluhuran
tidak lagi ditimbang berdasarkan halal dan haram, akan tetapi diukur
berdasarkan perolehan materi. Akibatnya, orang yang memiliki profesi hina,
seperti dukun, renternir, koruptor, atau penjudi, malah disanjung dan
dimulyakan. Sedangkan tukang kais sampah yang bekerja keras sepanjang hari
malah diremehkan dan dihinakan. Padahal, di sisi Allah dan orang-orang beriman,
orang yang memiliki profesi halal lebih mulia dibandingkan orang yang memiliki
profesi haram.
Dalam
riwayat lain dikisahkan, bahwa orang-orang yang tidak memiliki profesi
(pengangguran) telah jatuh martabatnya di hadapan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. Ibnu ‘Abbas
menuturkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
كَانَ رَسُـوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَالسَّـلَامُ إِذَا نَظَرَ اِلَى رَجُلٍ فَأَعْجَبَهُ, قَالَ: هَلْ لَهُ
مِنْ حِرْفَةٍ؟, فَـإِنْ قَالُوْا: لَا, سَقَطَ مِنْ عَيْنِهِ, قِيْـلَ: وَكَيْفَ
ذَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: إِنَّ الْمُؤْمِنُ إِذَا لَمْ يَكُنْ ذَا
حِرْفَةٍ تَعِيْشُ بِدَيْنِهِ
“Apabila
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam melihat seseorang, kemudian merasa
takjub, maka beliau bertanya, ‘Apakah ia bekerja? Jika orang-orang menjawab,
“Tidak”; maka laki-laki akan jatuh hina di mata beliau sallallahu alaihi
wasallam. Para shahabat kemudian bertanya, “Bagaimana seperti itu, Ya
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika seorang mukmin tidak memiliki kerja
(profesi), maka ia akan hidup dengan mengandalkan hutangnya.”[Kitaab
al-Jaami’, juz 1/34]
Hadits
ini adalah sindiran tajam bagi orang-orang yang malas bekerja, atau enggan
melakukan kegiatan-kegiatan produktif. Tentunya, orang-orang yang tidak
memiliki pekerjaan akan menggantungkan hidupnya pada orang lain, atau
hutangnya. Meskipun, seorang Muslim boleh berhutang kepada orang lain, akan
tetapi jika ia mengandalkan hidup dari hutangnya, martabatnya akan direndahkan
orang lain.
2. Bekerja Untuk Menutupi
Dosa
Dalam
sebuah riwayat dituturkan, bahwa bekerja keras akan menutupi dosa-dosa yang
tidak bisa ditutupi oleh sholat dan puasa. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
مِنَ الذُّنُوْبِ ذُنُوْبًا لَا
يُكْفَرُهَا بِالصِّيَامِ وَالصَّلَاةِ, َقِيْلَ فَمَا يَكْفُرُهَا يَا رَسُوْلُ
اللهِ, قَالَ: اَلْهُمُوْمُ فِى
طَلَبِ الرِّزْقِ”
“Diantara dosa-dosa, ada dosa yang tidak bisa ditutupi dengan
puasa dan sholat.” Para shahabat bertanya, “Lantas, apa yang bisa menutupi dosa
itu Ya Rasulullah?” Rasulullah sallallahu alaihi wasallam menjawab, “Keseriusan
dalam mencari rejeki.” [Muqaddimah Dustur, hal. 278]
Hadits
ini mendorong kaum Muslim untuk bekerja dengan sungguh-sungguh, memenuhi
ketentuan-ketentuan syariat dan sebab akibatnya (kausalitas). Sebab, keseriusan
dalam bekerja merupakan wasilah untuk menutupi dosa yang tidak bisa ditutupi
oleh ibadah-ibadah yang lain. Ini menunjukkan, bahwa bekerja dengan serius
memiliki keutamaan di sisi Allah subhanahu
wata’ala.
3. Bertemu Allah Dengan
Wajah Berseri-seri
Di
dalam riwayat lain disebutkan, bahwa orang yang memiliki profesi halal dan
baik, akan bertemu dengan Allah subhanahu
wata’ala dengan wajah berseri-seri bagaikan bulan purnama.
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
مَنْ طَلَبَ الدُّنْيَا حَلَالًا
طَيِّبًا لَقِيَ اللهَ وَوَجْهُهُ كَالْقَمَرِ لَيْلَةِ الْبَدْرِ
“Barangsiapa
mencari kehidupan dunia yang halal dan baik, maka ia akan menjumpai Allah subhanahu
wata’ala dengan muka berseri-seri bagaikan rembulan purnama.”[Muqaddimah
Dustur, hal. 278]
Demikianlah,
Islam telah memotivasi pengikutnya untuk bekerja, berkarya, dan berusaha dengan
serius, dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan syariat Allah subhanahu wata’ala dan kaedah sebab
akibat.
4. Memudahkan Terkabulnya
Doa
Pada
dasarnya, nafkah terbaik adalah nafkah yang didapatkan dari hasil usahanya
sendiri. Nafkah yang halal dan baik, baik berupa makanan, pakaian, ataupun
tempat tinggal, merupakan sarana agar doa diterima Allah subhanahu wata’ala. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwasanya
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam
bersabda:
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ
السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا
رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ
بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“…Selanjutnya,
beliau bercerita tentang seorang laki-laki yang berada di dalam perjalanan yang
sangat panjang, hingga pakaiannya lusuh dan berdebu. Laki-laki itu lantas
menengadahkan dua tangannya ke atas langit dan berdoa, “Ya Tuhanku, Ya
Tuhanku..”, sementara itu makanan yang dimakannya adalah haram, minuman yang
diminumnya adalah haram, dan pakaian yang dikenakannya adalah haram; dan ia
diberi makanan dengan makanan-makanan yang haram. Lantas, bagaimana mungkin doanya
dikabulkan?.”. [HR. Muslim]
Hadits
ini menjelaskan kepada kita, bahwa doa akan dikabulkan Allah subhanahu wata’ala, jika makanan,
pakaian, dan rumahnya ia dapatkan dari jalan yang halal dan baik. Sebaliknya,
jika makanan, pakaian, dan tempat tinggal diperoleh dari jalan yang haram, maka
doanya akan terhijab (terhalang). Bekerja merupakan salah satu cara untuk
mendapatkan harta yang halal dan baik. Walhasil, bekerja bisa digunakan sebagai
sarana untuk memustajabkan doa kita. Sebab, bekerja merupakan salah satu cara
untuk memperoleh nafkah yang halal dan baik.
Inilah
beberapa keutamaan bekerja dan berusaha. Masih banyak keutamaan-keutamaan lain
dari bekerja. Sesungguhnya siapa saja yang bekerja dengan serius, berorientasi
akherat, dan selalu memperhatikan prinsip halal haram, pasti ia akan dimudahkan
dan dicukupkan oleh Allah subhanahu
wata’ala. Nabi sallallahu alaihi
wasallam pernah bersabda:
مَـنْ جَـعَلَ الْهَمَّ هَـمًّا
وَاحِدًا كَفَاهُ اللهُ هَمَّ الدُّنْيَا وَمَـنْ تَشَـعَّبَتْهُ الْهُمُومُ لَمْ
يُبَالِ اللهُ فِى أَمِّى اَوْدِيَةِ الدُّنْيَا هَـلَكَ
“Barangsiapa
mempunyai satu keinginan (yaitu kehidupan akherat), niscaya Allah akan
mencukupkan kehidupan yang diinginkannya di dunia. Barangsiapa yang
keinginannya bercabang-cabang, maka Allah tidak akan mempedulikan kebinasaannya
di lembah manapun di dunia ini.” [HR. Hakim, Baihaqiy, dan Ibnu Majah].
Wallahu a’lam bishowab!!!
0 Response to "Keutamaan Bekerja dalam Islam"
Post a Comment