Coretan Pena Aktivis Dakwah 14: Bekal Aktivis Dakwah Adalah Berilmu
Oleh: Muhammad Akbar, S.Pd
(Penulis & Guru SMP IT Wahdah
Islamiyah)
Seorang aktivis dakwah
atau da’i haruslah memiliki ilmu tentang apa yang ia dakwahkan di atas ilmu
yang shahih yang berangkat dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam. Karena setiap ilmu yang diambil dari selain Kitabullah
dan Sunnah Rasulullah, wajib diteliti terlebih dahulu. Setelah menelitinya,
maka dapat menjadi jelas apakah ilmu tersebut selaras ataukah menyelisihi
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Apabila selaras maka diterima dan apabila
menyelisihi maka wajib menolaknya tidak peduli siapapun yang mengucapkannya.
Dalam sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya
beliau berkata:
“Sungguh nyaris kalian ditimpa hujan batu dari langit. Saya
mengatakan sabda Rasulullah, kalian malah menjawab dengan ucapan Abu Bakr dan
’Umar.”
Apabila pada ucapan Abu Bakr dan ’Umar yang
menyelisihi ucapan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam saja
(diancam) seperti ini, lantas bagaimana menurut kita dengan ucapan orang yang
keilmuan, ketakwaan, persahabatan dan kekhilafahannya di bawah keduanya (Abu
Bakr dan ’Umar)?!
Sesungguhnya, menolak ucapan orang yang
menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam
adalah suatu hal yang lebih utama. Allah Azza wa Jalla
telah berfirman :
”Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa fitnah
atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. an-Nuur : 63)
Imam
Ahmad rahimahullahu berkata :
”Apakah anda tahu apa yang
dimaksud dengan fitnah (dalam
ayat di atas)? fitnah adalah syirik. Bisa jadi ketika ia menolak sebagian
ucapan Rasulullah akan masuk ke dalam hatinya sesuatu kesesatan yang pada
akhirnya akan membinasakannya.”
Sesungguhnya
bekal pertama yang seharusnya dimiliki seorang aktivis dakwah atau da’i di jalan
Allah adalah ia harus berada di atas ilmu yang diambil dari Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam yang shahih lagi maqbul
(diterima). Adapun dakwah tanpa ilmu maka sesungguhnya ini termasuk dakwah
di atas kejahilan, dan berdakwah di atas kejahilan itu madharatnya lebih besar
dibandingkan manfaatnya. Karena da’i yang berdakwah di atas kejahilan ini,
menempatkan dirinya sebagai seorang yang mengarahkan dan membimbing.
Apabila
ia orang yang jahil maka dengan melakukan dakwah seperti ini (di atas
kejahilan) dapat menyebabkannya sesat dan menyesatkan, wal’iyadzubillah.
Kejahilannya ini akan menjadi jahlul murokkab (kebodohan yang
bertingkat) sedangkan jahlul murokkab itu lebih buruk dibandingkan jahlul
basith. Karena jahlul basith itu dapat menahan pelakunya dan tidak
akan berbicara dan bisa jadi ia dapat menghilangkan kejahilannya dengan
belajar. Tetapi, yang menjadi sumber segala permasalahan adalah keadaan orang
yang jahil murokkab, karena orang yang jahil murokkab ini tidak
mau diam, ia akan terus berbicara walaupun dari kejahilannya. Pada saat itulah
ia menjadi orang yang lebih banyak membinasakan daripada menerangi.
Saudaraku
sekalian para aktivis dakwah, sesungguhnya berdakwah ke jalan Allah tanpa
diiringi dengan ilmu itu menyelisihi tuntunan Nabi Shallallahu ’alaihi wa
Salam dan orang yang mengikuti beliau. Dengarkanlah firman Allah Ta’ala
yang memerintahkan Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam dalam
firman-Nya berikut :
”Katakanlah:
"Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah di atas bashiroh (hujjah yang nyata). Maha Suci Allah, dan
Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".” (QS Yusuf : 108)
Firman-Nya
: ” Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah di
atas bashiroh (hujjah yang nyata)”, artinya adalah: orang yang mengikuti
beliau Shallallahu ’alaihi wa Salam, wajib atasnya berdakwah mengajak
kepada Allah di atas bashiroh, tidak di atas kejahilan. Renungkanlah
wahai para aktivis dakwah dan da’i firman Allah ”di atas bashiroh” yaitu
di atas bashiroh pada tiga hal :
Pertama
: di atas bashiroh terhadap apa yang di dakwahkan yaitu
ia haruslah memiliki ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang ia dakwahkan. Karena
bisa jadi ia mengajak kepada sesuatu yang ia duga sebagai suatu hal yang wajib
sedangkan di dalam syariat tidaklah wajib, sehingga ia mengharuskan hamba-hamba
Allah sesuatu yang Allah tidak mengharuskannya. Bisa jadi pula ia mengajak
untuk meninggalkan sesuatu yang ia anggap haram sedangkan hal itu di dalam
agama Allah tidaklah haram, sehingga ia telah mengharamkan bagi hamba-hamba
Allah sesuatu yang Allah halalkan bagi mereka.
Kedua
: di atas bashiroh terhadap kondisi dakwah, oleh
karena itulah Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam tatkala mengutus Mu’adz
ke Yaman, beliau berpesan padanya :
”Sesungguhnya engkau akan
mendatangi kaum dari ahli kitab” (HR. Bukhari)
Supaya
dia (Mu’adz) mengetahui kondisi mereka dan bersiap-siap di dalam menghadapi
mereka. Oleh karena itulah kondisi mad’u (obyek dakwah) ini haruslah
diketahui, sejauh mana tingkat pengetahuan mereka? Sejauh mana kemampuan mereka
untuk debat? Sehingga ia dapat mempersiapkan dirinya untuk berdiskusi dan
berdebat dengan mereka. Karena sesungguhnya, apabila kita memasuki perdebatan
dengan orang seperti ini sedangkan dia lebih tangguh di dalam berdebat, maka
hal ini akan menjadi bencana yang besar terhadap kebenaran, dan andalah
penyebab ini semua.
Kita
jangan pernah sekali-kali beranggapan bahwa para pelaku kebatilan pasti gagal
di dalam segala hal, padahal Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam
bersabda :
”Sesungguhnya kalian
bertikai dan datang melapor kepadaku, dan bisa jadi ada sebagian dari kalian
yang lebih lihai di dalam mengemukakan hujjahnya daripada yang lainnya sehingga
aku memutuskannya berdasarkan apa yang aku dengar.” (HR.
Bukhari)
Hadits
ini menunjukkan bawah seorang yang bertikai, walaupun ia seorang yang batil,
terkadang ia lebih cakap di dalam mengemukakan hujjahnya daripada orang lain,
sehingga diputuskan berdasarkan apa yang didengar dari orang yang bertikai ini,
oleh karena itulah anda harus mengetahui kondisi mad’u.
Ketiga
: di atas bashiroh di dalam cara berdakwah. Allah Ta’ala
berfirman :
”Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS an-Nahl : 125).
Dengannya seorang aktivis dakwah
yang menyeru manusia kepada Allah, maka harus dengan cara yang hikmah. Bukan
melalui kekerasan, paksaan ataupun dengan perkataan yang kasar. Dan tugas
seorang da’i adalah meyampaikan kepada manusia untuk kembali kepada Allah
dengan cara hikmah dan lemah lembut. Walaupun itu hanya satu ayat. Nabi Shallallahu
’alaihi wa Salam bersabda:
”Sampaikan
dariku walaupun hanya satu ayat.” (HR. Bukhari)
0 Response to "Coretan Pena Aktivis Dakwah 14: Bekal Aktivis Dakwah Adalah Berilmu"
Post a Comment