Tetap Belajar Walau Ajal Di Depan Mata
Oleh: Muhammad Akbar, S.Pd
(Penulis & Guru SMP IT Wahdah
Islamiyah)
Saat
berada di ambang kematian pun, beberapa ulama masih berusaha memanfaatkan
waktu. Ada yang berdikusi masalah fiqh, menghafal beberapa bait syair, atau
menukil ilmu.
Tetap
Mengajar Walau Telah Diracun
Imam
As Subki saat itu menderita demam selama beberapa hari. Beliau sendiri memiliki
majelis yang membahas Sirah Ibnu Hisyam. Waktu itu, seorang penulis para
periwayat datang dan ia tahu beliau sedang demam. “Orang-orang telah berkumpul,
saya hampir saja membatalkannya.” Katanya. As Subki menjawab,”Demi Allah, saya
tidak akan membatalkan majelis yang disebutkan di dalamnya perjalanan
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.” Akhirnya, beliau dengan kepayahan
membaca di majelis tersebut.
Setelah
beberapa bulan di Damaskus, beliau melakukan perjalanan ke Mesir. Beliau
seakan-akan merasa bahwa ajal sudah dekat, hingga beliau mengatakan kepada
putranya Taaj Ad Din As Subki, bahwa beliau tidak meninggal kecuali di negeri
itu. Akhirnya, setelah sampai Mesir, beberapa hari kemudian beliau wafat. Peristiwa
itu terjadi tahun 756 H.
Setelah
ditelisik, diketahui, beliau sakit karena diracuni. Sebelum meninggal, beliau
berpesan kepada beberapa sahabat, bahwa beliau telah diracuni, dan beliau
sendiri mengetahui siapa pelakunya, tapi beliau enggan menyebutnya. (Thabaqat
As Syafi’iyah Al Kubra, 10/315,316)
Berdebat
Masalah Fiqih Sebelum Wafat
Adalah
Imam Abu Yusuf, salah satu murid dan sahabat Abu Hanifah. Penyebar madzhab
Hanafi ini diangkat menjadi hakim kekhalifahan Abbasiyah semasa pemerintahan Al
Hadi, Al Mahdi dan Ar Rasyid.
Ulama
yang lahir tahun 113 H ini masih terus menyebarkan ilmu, bahkan sampai di saat
detik-datik akhir umurnya. Murid beliau, Qadhi Ibrahim bin Al Jirah Al Mishri
menuturkan,”Abu Yusuf sakit, lalu saya datang untuk menjenguknya. Saya temui
beliau dalam keadaan pingsan. Setelah sadar, beliau berkata kepada saya,’Wahai
Ibrahim, bagaimana pendapatmu tentang sebuah kasus?’ Saya menjawab, ’Dalam
keadaan seperti ini?!’ Beliau membalas,’Tidak mengapa, mudah-mudahan hal itu
bisa menyelamatkan.’”
Abu
Yusuf mengatakan,”Wahai Ibrahim, mana yang lebih utama, melempar jimarat dengan
berjalan kaki atau melempar dengan naik kendaraan?” Ibrahim menjawab,”Naik
kendaraan.” Beliau mengatakan,”Salah.” Ibrahim menjawab, ”Berjalan.” Beliau
mengatakan, ”Salah.” Ibrahim akhirnya mengatakan,”Sampaikan pendapat Anda
mengenai masalah ini, semoga Allah meridhai Anda.”
Lalu
Abu Yusuf mengatakan,” Jika bermaksud berhenti, untuk berdoa di tempat itu,
maka labih utama berjalan. Jika tidak, maka lebih utama naik kendaraan. Setelah itu Ibrahim
beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan Abu Yusuf. Namun ketika sampai di
pintu rumah gurunya itu, beliau mendengar suara jeritan untuk Abu Yusuf.
Ternyata Abu Yusuf telah wafat. Rahimahullah Ta’ala. (Qimah Az Zaman indza Al
Ulama’, hal. 28).
Mengutip
Ilmu Sesaat Sebelum Meninggal
Ulama
lain yang tidak membiarkan satu detik yang dimilikinya, kecuali untuk
memperoleh ilmu, walau di saat ajal sudah dekat adalah Imam Ibnu Jarir Ath
Thabari (310 H). Abu Ja’far mengisahkan, di saat Ibnu Jarir sakit, beliau
menjenguknya. Di sana beliau sempat menunjukkan doa yang diriwayatkan Ja’far
bin Muhammad. Beliau langsung meminta untuk diambilkan tampat tinta dan kertas,
untuk menulisnya. Saat itu ada yang mengatakan kepada beliau.”Apakah saat ini
tepat waktunya?” Beliau menjawab,”Tidak sepantasnya bagi manusia meninggalkan
kutipan ilmu, hingga kematian menjemputnya.” Sesaat kemudian, Ibnu Jarir wafat.
Rahimahullah Ta’ala. (Kunuz Al Ajdad, hal. 123).
Pantaslah,
dengan kedisiplinan beliau, tiap harinya, beliau mampu menulis sebanyak 14
lembar. Total, seluruh karya beliau mencapai 358 ribu lembar. Tarikh
beliau kini dicetak dalam 10 jilid, sedangkan tafsir beliau mencapai 30 jilid.
Belajar
Faraidh Saat Menjelang Ajal
Adalah
Abu Ar Raihan Al Biruni, seorang ahli falak, sejarawan sekaligus sastrawan. Di
hari-hari beliau, pena hampir tidak bisa berpisah dari tangan. Hanya setahun
sekali mencari nafkah dengan mengikuti festival, sisanya beliau gunakan untuk
mencari ilmu.
Penilaian
seorang ulama fiqih, Abu Al Hasan Al Walwaliji mengenai semangat ulama yang
lahir 362 H ini dalam mencari ilmu, cukup layak untuk disimak. Saat itu,
tepatnya pada tahun 440H, beliau menjenguk Abu Raihan. Ulama ini sakit keras di
tengah usianya yang mencapai 78 tahun. Kala itu nafasnya terdengar mengorok di
tenggorokan dan beliau terlihat susah bernafas. Dalam keadaan demikian, beliau
mengatakan kepada Al Walwaliji,”Apa yang pernah engkau katakan kepadaku pada
suatu hari, mengenai pembagian jaddat fasidah (nenek dari jalur ibu)?”
”Apakah
dalam kondisi seperti ini pantas (membahas hal itu)?” Jawab Al Walwaliji,
menaruh belas kasihan. ”Wahai Al Walwaji! Saya meninggalkan dunia dalam keadaan
mengetahui masalah ini, lebih baik daripada saya meninggalkannya dalam keadaan
jahil terhadapnya.”
Akhirnya
Al Walwaliji mengulangi apa yang pernah beliau sampaikan sebelumnya kepada Abu
Raihan. Dan beliau menghafalnya. Tidak lama kemudian, Al Walwaliji keluar, dan
saat di jalan beliau mendengar teriakan. Ternyata Abu Raihan telah wafat.
Rahimahullah Ta’ala. (Mu’jam Al Udaba`, 17/181,182).
Menghafal
Delapan Bait di Hari Kematian
Diantara
para ulama besar, yang tetap menjaga waktu mereka, walau ajal hendak menjemput
adalah Ibnu Malik, ulama nahwu, yang lahir pada tahun 600 H. Ulama ini semasa
hidupnya banyak membaca dan mengulang. Fenomena yang mungkin amat aneh di zaman
ini, adalah semangat beliau dalam memperoleh ilmu. Dimana beliau sempat
menghafal delapan bait, di hari kematian beliau. Di saat beliau sedang sakit
keras, putranya membantu mendiktekan bait tersebut. Rahimahullah Ta’ala. (Nafh
At Thayib, 2/222, 229)
Kitab
Alfiyah, yang kini menjadi salah satu referensi induk dalam bidang nahwu adalah
salah satu karya beliau. Kini kitab itu digunakan di ratusan atau bahkan
mungkin ribuan pesantren di dunia Islam. Kesungguhan Ibnu Malik telah
memudahkan para pencari ilmu menghafal kaidah-kaidah bahasa Arab.
Bulukumba, 8 September 2017
Muhammad Akbar bin Zaid
Wallahu a’lam bishowab…
0 Response to "Tetap Belajar Walau Ajal Di Depan Mata"
Post a Comment