Realitas Pendidikan Indonesia: Pendidikan Indonesia Setelah 67 Tahun Merdeka Dalam Indikator Global
Yang pertama, Global Benchmarking
Partners harus dipilih berdasar parameter-paerameter Populasi dan Luas
Wilayah Tanah. Dua parameter yang paling dominan mempengaruhi berbagai
variabel lain dalam konteks Pendidikan Untuk Membangun Bangsa. Keunikan
Indonesia juga penting diperhatikan dengan 2/3 wilayah adalah lautan.
Dengan menggunakan data CIA Factbook,
sorting terhadap Population menemukan 11 negara dengan Land Area Sq Kms
yang berbeda-beda, Table 9. Visualisasi sorting itu semakin jelas di
Gambar 125. Maka, sebagai langkah ke dua, sorting terhadap Land Are Sq
Kms dilakukan dan interseksi ke dua jenis sorting tersebut dan
menghasilkan enam negara termasuk Indonesia, Table 10.
Indonesia dengan 2/3 wilayah berupa
lautan membuat Sq Kms Indonesia menjadi paling kecil. Padahal. Berdasar
ZEE, lebar Indonesia itu setara dengan lebar USA. Disamping itu,
geopolitik Indonesia telah membuat posisi Indonesia menjadi rawan
konflik, baik regional maupun internasional. Dengan ZEE dan berbatasan
dengan sembilan negara dan SLOCK yang masih belum diselesaikan semakin
membuat potensi regional konflik itu semakin besar di masa yang akan
datang. Saat ini di kawasan Asia, ketegangan terjadi antara Jepang dan
China, dan Phillipines dengan Malaysia.
Namun demikian, dalam konteks pendidikan, satu negara sebagai benchmark partner diluar variabel Population dan Sq kms perlu ditambahkan karena pendidikannya diakui dunia sebagai yang terbaik, yaitu Findland. Oleh karena itu Benchmark Partners dalam analisis ini adalah Brazil, Rusia, India, China, USA, dan Finlandia.
1. Overal Country Performance Newsweek
Newsweek mengeluarkan penilaian terhadap negara-negara di dunia dengan menggunakan tiga dimensi yaitu Education, Economic Dynamism, dan Quality of Life. Dari ketiga dimensi tersebut kemudian diturunkan nilai overal performance suatu negara sehingga bisa dibandingkan dengan negara lain. Ada 100 negara di dunia yang dinilai oleh Newsweek dan dipresentasikan dalam Interactive Graphic sehingga sangat user friendly dan sangat dinamis sehingga pengguna bisa membuat pilihan sendiri sesuai dengan scenario yang dikehendaki*.
Newsweek mengeluarkan penilaian terhadap negara-negara di dunia dengan menggunakan tiga dimensi yaitu Education, Economic Dynamism, dan Quality of Life. Dari ketiga dimensi tersebut kemudian diturunkan nilai overal performance suatu negara sehingga bisa dibandingkan dengan negara lain. Ada 100 negara di dunia yang dinilai oleh Newsweek dan dipresentasikan dalam Interactive Graphic sehingga sangat user friendly dan sangat dinamis sehingga pengguna bisa membuat pilihan sendiri sesuai dengan scenario yang dikehendaki*.
Table 11 menayangkan secara keseluruhan
data Newsweek untuk Indonesia dengan benchmark partners. Overall score
tertinggi adalah Findlandia dengan nilai 89.4, disusul oleh United
States pada urutan ke 11, Brazil 48, Rusia 51, China 59, Indonesia 73,
dan di urutan paling bawah India 78.
Ada tiga dimensi penilaian Newsweek,
yaitu Education yang terdiri dari dua indikator yaitu Literacy Rate dan
Average Years of Schooling. Economic Dynamism yang terdiri dari
indikator-indikator Productive Growth, Service% of GDP, Manufacturing %
of GDP, Innovation Index, Ease of Doing Business, dan Time to resolve
Insolvency. Quality of Life yang terdiri dari indikator-indikator Income
Inequality GNI, Gender Gap, Percent living on < $2.00 per day,
Consumption per Capita, Homicide per 100.000, Environmental Health, dan
Unemployement Rate.
a. Education
Dimensi Education terdiri dari Literacy Rate dan Average Years of Schooling, Table 12. Findland berada di posisi teratas menandai pendidikan terbaik di dunia. Literacy rate Indonesia 90.5% berarti tinggal 9.55 illiteracy. Average years of schooling Indonesia 12.7 berarti secara rata-rata anak Indonesia sekolah hingga jenjang pendidikan Senior High School.
Dimensi Education terdiri dari Literacy Rate dan Average Years of Schooling, Table 12. Findland berada di posisi teratas menandai pendidikan terbaik di dunia. Literacy rate Indonesia 90.5% berarti tinggal 9.55 illiteracy. Average years of schooling Indonesia 12.7 berarti secara rata-rata anak Indonesia sekolah hingga jenjang pendidikan Senior High School.
Menurut data CIA, urutan dan nilai Literacy itu berbeda, Gambar 126. Indonesia di urutan 117 dunia dan masih lebih baik dari posisi India di posisi 177 dan Brazil di posisi 126 dunia. Russia dibawah Findland pada posisi 15 dunia dan United States 22, sedang China di posisi 106 dunia. Bila melihat lliteracy Indonesia, ada 11 dari 33 provinsi dengan Illiteracy rate dibawah rata-rata nasional. Implementasi dari amanat mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum bisa diukur dari literacy rate, seperti negara-negara benchmark partners sudah memberi gambaran.
2. Economic Dynamism
Economic dynamism adalah indikator yang dikeluarkan oleh Newsweek untuk menilai dinamika ekonomi suatu negara melalui indikator-indikator Productive Growth, Service % of GDP, Manufracturing % of GDP, Innovation Index, Ease of Doing Business, Time to Resolve Insolvency sehingga kinerja suatu negara bisa diperbandingkan, Table 13
Economic dynamism adalah indikator yang dikeluarkan oleh Newsweek untuk menilai dinamika ekonomi suatu negara melalui indikator-indikator Productive Growth, Service % of GDP, Manufracturing % of GDP, Innovation Index, Ease of Doing Business, Time to Resolve Insolvency sehingga kinerja suatu negara bisa diperbandingkan, Table 13
a. Productive Growth
Productive Growth bukan mengukur persentase pertumbuhan namun pertambahan US $ per person*. Dengan indikator ini, Indonesia diatas India namun dibawah China. Tempat teratas ditempati oleh Findland dan disusul oleh United States. Brazil, dan kemudian Russia, Gambar 127. Bagi Indonesia, untuk menaikkan nilai productive growth bukan hal yang mudah, terkait dengan jumlah penduduk miskin dan GDP, kecuali ada kebijakan yang tepat seperti China dan Vietnam untuk mengangkat kaum miskin yang ada di pedesaan dengan strategi kebijakan pangan (Saparini, 2013). Pemerintahan Soeharto menurunkan kemiskinan 1.7% per tahun, sedang sejak tahun 2000 kemiskinan hanya turun 0.6% per tahun (Gayatri, 2013), Gambar 128. Padahal anggaran untuk program kemiskinan naik dari 18 trilyun menjadi 99.2 trilyun, tetapi tidak efektif (Wibowo, 2013).
Productive Growth bukan mengukur persentase pertumbuhan namun pertambahan US $ per person*. Dengan indikator ini, Indonesia diatas India namun dibawah China. Tempat teratas ditempati oleh Findland dan disusul oleh United States. Brazil, dan kemudian Russia, Gambar 127. Bagi Indonesia, untuk menaikkan nilai productive growth bukan hal yang mudah, terkait dengan jumlah penduduk miskin dan GDP, kecuali ada kebijakan yang tepat seperti China dan Vietnam untuk mengangkat kaum miskin yang ada di pedesaan dengan strategi kebijakan pangan (Saparini, 2013). Pemerintahan Soeharto menurunkan kemiskinan 1.7% per tahun, sedang sejak tahun 2000 kemiskinan hanya turun 0.6% per tahun (Gayatri, 2013), Gambar 128. Padahal anggaran untuk program kemiskinan naik dari 18 trilyun menjadi 99.2 trilyun, tetapi tidak efektif (Wibowo, 2013).
Di sisi
yang lain, menurut ADB Economics Working Paper 2011 mengenai
Perbandingan kemiskinan di Asia Pasifik (Gayatri, 2013), pertumbuhan
ekonomi Indonesia memiliki elastisitas paling rendah terhadap penurunan
jumlah penduduk miskin jika dibandingkan dengan China, Malaysia,
Filipina, Thailand, bahkan Vietnam, Gambar 129. Implementasi kebijakan
di bidang kemiskinan tampak seperti catatan Hendri Saparini. Sumbangan
sektor Pertanian hanya 4.27% terhadap GDP dan pasa saat yang sama
ketergantungan Indonesia terhadap import pangan semakin besar. Di sisi
yang lain, pusat pertumbuhan PDB di Jawa 57%, Sumatra 23% dan sisanya di
pulau-pulau lain. Gambaran mengenai Indonesia setelah 67 tahun merdeka
semakin menyedihkan ketika jumlah penduduk usia > 15 tahun didominasi
oleh jenjang pendidikan SMA kebawah di mana 59% dari jumlah itu adalah
jenjang SD.’
Disamping itu, 84.11% investasi ada di pula Jawa dan Sumatra. Dan,
data menunjukkan bahwa pulau Jawa adalah kantung kemiskinan Indonesia.
Artinya, investasi itu tidak mampu untuk mengentaskan kemiskinan di Jawa
guna menaikkan productive growth. Jadi, productive growth Indonesia
berada dibawah China diakibatkan oleh paduan kebijakan pendidikan yang
mengutamakan jenjang SD dan kurang memperhatikan pelayanan pendidikan
pada jenjang diatasnya serta kebijakan pangan yang tidak mengangkat
kemiskinan di desa.b. Service % of GDP*,
Service % of GDP adalah indikator nilai tambah di bisnis perdagangan, hotel, restaurant, pemerintah, lembaga keuangan profesional, dan personal service seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan real estate. Nilai tambah adalah output bersih dari sebuah sektor setelah menjumlah semua output dan dikurangi dengan inputnya tanpa memperhitungkan fabricated assets dan degradasi sumber alam.
Indonesia pada posisi paling bawah dalam hal kontribusi % service of GDP, dibawah China dan India, Gambar 132. United States berada di paling atas di mana 76.85% GDP disumbang oleh sektor service. Bila dikaitkan dengan ketersediaan angkatan kerja yang di dominasi oleh 59% jenjang SD maka ketidak cocokan antara kebutuhan dan ketersediaan itu terlihat jelas.
Penyumbang lain GDP adalah sektor manufacturing. Manufacturing % of GDP Indonesia bersama benchmark partners ditayangkan pada Gambar 131. Ternyata, sektor manufacturing Indonesia 18.54% pada posisi nomor dua setelah China 25.95%.
Dalam hal ini, kalau Newsweek hanya membagi pemyumbang GDP dari dua sektor bisnis yaitu Service dan Industry, sedang CIA mengeluarkan tiga sektor binsis penyumbang GDP, yaitu Agriculture, Industry, dan Service, Gambar 133. Dalam konteks pembahasan Indonesia sebagai negara agraris dan maritim, maka data CIA Factbook lebih membantu bukan hanya untuk melihat perbandingan ke tiga sektor tersebut dengan negara-negara benchmark partners namun juga karena sektor agriculture sangat strategis dalam konteks kemiskinan, pengangguran dan strategi di bidang pangan Indonesia.
Di bidang kontribusi service terhadap GDP, angka antara Newsweek 37.47% dengan CIA 38.80% relatif tidak berbeda, dan Indonesia pada posisi paling bawah. Secara global, seperti ditayangkan pada Gambar 132, dominasi kontribusi sektor jasa di negara benchmark partners sangat dominan. Bahkan India, yang dalam beberapa indikator selalu berada di bawah Indonesia, menunjukkan bahwa kontribusi service dua kali lipat Indonesia. Mayoritas benchmark partners menunjukkan bahwa kontribusi service terhadap GDP > 50%. Bahkan kontribusi Service India terhadap GDP, yang di indikator-indikator HDI dan Poverty berada di atas indonesia, adalah 65%.
Menurut data CIA, kontribusi Industry Indonesia terhadap GDP adalah tertinggi diantara benchmark partners, yaitu 46.9% diikuti oleh China 46.6%. India bahkan di posisi paling bawah dengan 18% kontribusi industry terhadap GDP, atau sekitar seperempat Indonesia. Juga, United States hanya 19.10%, Gambar 133.
Namun, sumbangan agriculture Indonesia terhadap GDP adalah 14.3% dibawah India yang berada di possisi teratas dengan 17%. Disini sangat jelas bahwa baik sektor manufacturing maupun agriculture adalah penyumbang terbesar GDP Indonesia. Namun, laju pertumbuhan sumbangan kedua sektor tersebut terhadap GDP hingga kwartal III 2012 hanya 4.27% dan 5.81% dibawah sektor service yang paling besar, yaitu 19.33% Gambar 134, dan justru paling rendah diantara negara-negara benchmark partners Gambar 134.
Di sisi yang lain kontribusi sektor agriculture United States terhadap GDP cuma 1.2% dan berada di paling bawah. Dengan demikian, tiga negara yaitu Indonesia, India, dan China adalah negera-negara dengan kontribusi agriculture paling besar terhadap GDP. Namun, mengapa posisi GDP Indonesia terendah diantara negara tersebut ? Gambar 136. Bahkan kurang dari 50% GDP India. GDP Findlandia hanya 1/4 GDP Indonesia namun selalu melejit jauh diatas Indonesia .
Aliansi Desa Sejahtera pada Hari Pangan Sedunia, Selasa (16/10/2012), menyatakan, Indonesia memiliki 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 75 jenis sumber lemak, dan 273 jenis sayuran. Namun, dengan sumber pangan melimpah, Indonesia masih harus mengimpor bahan pangan. Sepanjang 2012, impor beras sudah mencapai 1,95 juta ton, jagung sebanyak 2 juta ton, kedelai sebanyak 1,9 juta ton, daging sapi setara 900.000 ekor sapi, gula sebanyak 3,06 juta ton, dan teh sebesar 11 juta dollar (Utomo, 2012),
Dalam hal ini, sektor perbankan sangat berhati-hati (prudent) bila akan menyalurkan kredit ke sektor pertanian karena beresiko tinggi. Maka, porsi ke sektor pertanian yang lebih kecil dibandingkan dengan sektor lain seperti sektor perdagangan dan industri. Data Bank Indonesia per Mei 2011 menunjukkan penyaluran kredit ke sektor pertanian yang dilakukan oleh bank umum di Indonesia sebesar 95,38 triliun rupiah, atau 5,04% dari total penyaluran kredit yang berjumlah 1.889 triliun rupiah. Di sisi yang lain, untuk sektor perdagangan, hotel, dan restoran mencapai 343 triliun rupiah, dan sektor industri 292 triliun (BI, 2013).
Sebagai tambahan, di satu sisi pada tahun 2009 telah terjadi alih fungsi luas lahan pertanian sebesar 110 ha, dan di sisi yang lain kemampuan pemerintah untuk mencetak lahan baru hanya 50 ha. Maka, penyusutan lahan pertanian mencapai 27 ribu hektar pertahun. Sehingga, penurunan luas panen tidak hanya terjadi pada padi, tetapi juga pada komoditas pertanian yang lain (Setneg RI, 2009).
Tampaknya ada implementasi kebijakan di bidang agriculture yang tidak tepat sehingga sebagian besar pangan yang mestinya bisa diproduksi sendiri oleh para petani kini di-impor, , dan tingkat pengurangan kemiskinan masih jauh dibawah pemerintahan orde baru. Juga, agriculture United States yang hanya menyumbang GDP 1.2% mampu membuat Indonesia tergantung dalam bidang biji gandum, kentang, kedelai, dan sapi sehingga membuat Indonesia pontang-panting ketika United States mempunyai gangguan panen kedelai dan para pengrajin tahu serta tempe harus berhenti berproduksi, demikian pula dengan para penjual di pasar tradisional. Hal ini tentu tidak baik dan semakin memperparah masalah sosial.
Yang terakhir, World Economic Forum memunculkan indikator penyumbang GDP di luar Agriculture, Manufacturing, dan Service, yaitu Non Manufacturing, . Ini menarik untuk diangkat karena pada sektor Non Manufacturing ini posisi Indonesia paling atas sebagai penyumbang GDP, yaitu 22%, disusul oleh Russia 18% dan kemudian oleh India dan China 12%. Brazil malah di posisi paling bawah. Non manufacturing muncul dalam terminologi Institute for Supply Management* dan kemudian digunakan WEF sebagai GDP composite untuk mengukur competitivenes suatu negara. Komponen Non Manufacturing adalah Business Activity, New Orders, Employement, dan Supllier Deliveries. Sebagai contoh di Indonesia, suku cadang tertentu dari industri otomotif diproduksi oleh berbagai perusahaan mandiri di berbagai tempat di Indonesia. Dengan demikian, pertumbuhan bisnis Non Manufacturing tentu tidak lepas dari pertumbuhan Manufacturing.
c. Innovation Index*
Innovation Index diukur berdasar kapasitas inovasi, kualitas penelitian ilmiah, pengeluaran perusahaan untuk R&D, kolaborasi industri-Universitas dalam R&D, pengadaan produk-produk teknologi advance oleh pemerintah, ketersediaan ilmuwan dan tenaga ahli, penggunaan paten, perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual. Ukuran ini secara rasional mengevaluasi kesediaan negara untuk berinvestasi di bidang usaha pembangunan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, Indonesia menempati urutan terhdap di Global Innovation Index, namun di posisi lebih baik di Economic Dynamism. Kesenjangan ini memberi gambaran tentang relasi yang lemah antara inovasi dengan productive growth kegiatan ekonomi, .
Global Innovation Index disamping dikeluarkan oleh Newsweek juga dikeluarkan oleh INSEAD atau Institut Européen d’Administration des Affaires. Ada perbedaan diantara keduanya karena metodologi yang digunakan. Innovation index Indonesia menurut Newsweek di atas Russia dan Brazil, namun menurut INSEAD di posisi paling bawah. Bagi ke dua lembaga itu innovation adalah penting untuk mendukung dinamika ekonomi. Bagaimanapun juga, indikator-indikator yang digunakan untuk menilai Innovation Index melihat Pendidikan. Maka, jelas pendidikan mengambil peran dalam menyiapkan sumber daya manusia untuk kebutuhan industri.
Dua komponen terakhir dari dimensi Economic Dynamism adalah Ease of Doing Business dan Time to Resolve Insolvensy, Gambar 140. Kedua komponen ini sangat diperhitungkan oleh para investor yang akan berinvestasi bisnis. Ease of Doing Business mengenai kemudahan dalam berbisnis, sedang Time to Resolve Insolvency mengenai seberapa lama penyelesaian sebuah masalah dan ini berkaitan dengan birokrasi.
Untuk kemudahan berbisnis Indonesia pada urutan ke tiga dibawah India dan Brazil. Artinya, Indonesia masih lebih mudah untuk berbisnis di banding ke dua negara tersebut. Paling efisien adalah United Stated yang disusul oleh Finland. Dalam hal waktu untuk menyelesaikan masalah atau berurusan dengan birokrasi, Indonesia tidak baik meskipun masih lebih baik dari India. China bahkan jauh lebih baik dan melampaui negara-negara barat.
3. Quality of life
Dimensi Quality of Life terdiri dari tujuh komponen, yaitu Income Inequality GINI. Gender Gap, Percent Living on < US$ per Day, Consumption per Capita, Homicide per 100.000, Environmental Health, dan Unemployment Rate, Table 14.
a. Income Inequality Index
Kesenjangan pendapatan menjadi ukuran dalam komponen Quality of Life. Indonesia berada tepat di tengah diantara negara-negara benchpartners. Kesetaraan pendapatan tertinggi adalah Finland dan terjelek adalah Brazil, . Russia dan India ternyata masih lebih baik dari Indonesia. United States sebagai sebuah negara Liberal masak akan di bawah Indonesia, namun China sebagai negara komunis yang sedang berkembang pesat tampaknya mulai meminggirkan ideologinya.
b. Gender Inequality Gap
Kesetaran gender juga menjadi ukuran untuk menilai Quality of Life. Kesetaraan gender paling baik adalah Finland, sedang paling jelek adalah India. Bahkan statsitik pemerintah India menunjukkan bahwa setiap 20 menit terjadi pemerkosaan (Estes, 2013). Dalam soal kesetaraan gender, ini yang mengejutkan, ternyata China lebih baik dari United States. Indonesia di posisi terjelek ke dua setelah India, .
c. Percent Living on < US 2.00 per Day
Kualitas hidup atau Quality of Life suatu negara juga diukur melalui bagaimana tingkat hidup warganya bila ditala dengan pengeluaran per harinya. Ukuran World Bank US$ 2.00 digunakan sebagai pembatas. Maka, berapa banyak warga yang hidup dengan kurang dari US$ 2.00 per hari atau sekitar dua puluh ribu rupiah. Ternyata, ada 59.9% penduduk Indonesia yang masih hidup dengan US$ 2.00 per hari, dan India lebih parah yaitu 75.6%, . Di Finland dan United States ada 1.99 %, kemudian Russia 2%, Brazil 12.69%, serta China 36.26%.
d. Consumption per Capita
Consumption per Capita adalah total pengeluaran untuk konsumsi suatu negara dibagi dengan jumlah penduduk. Menurut data UNDP, terjadi kesenjangan luar biasa antara United States dan Findland di satu sisi dengan Brazil, Russia, Indonesia, China dan India . Consuption per Capita tertinggi adalah United States dan disusul oleh Finland. Sedang paling rendah adalah India. Ini in line dengan Percent Living on US$ per Day, Gambar 143. Indonesia di atas China dan ini jelas disebabkan oleh jumlah penduduk China yang jauh lebih tinggi.
e. Homicide per 100.000
Bunuh diri atau Homiside menandai kesehatan jiwa akibat berbagai masalah individual dan sosial. China tternyata menempati jumlah terendah sedang jumlah tertinggi ditempati oleh Brazil yang disusul kemudian oleh Russia dan Indonesia. Mereka yang bunuh diri di Finland ternyata lebih banyak dibanding di China meskipun secara ekonomi warga Finland jauh lebih kaya bila dilihat dari Consumption per Capita, . Di sisi yang lain, India yang secara ekonomi paling jelek justru angka bunuh dirinya lebih rendah dibanding United States yang bukan hanya negara liberal tetapi juga secara ekonomi jauh lebih baik.
f. Environmental Health
Kesehatan Lingkungan, basik fisik maupun non fisik juga menjadi ukuran untuk menilai kualitas kehidupan. Kesehatan lingkungan jelas akan mempengaruhi perkembangan anak dalam masa pertumbuhan. Kesehatan Lingkungan terbaik adalah Finland dan terjelek adalah India. Indonesia, ternyata masuk terjelek ke dua setelah India dan bahkan China lebih baik, .
g. Unemployment Rate
Tingkat pengangguran tentu mempengaruhi kualitas hidup karena terkait dengan status sosial maupun ekonomi. Tingkat pengangguran tertinggi ternyata diduduki oleh India dan terendah oleh China, .
Akhirnya, Overall Performance dari ketiga dimensi tersebut ditayangkan pada . Finland di posisi puncak dengan score 89.4 disusul oleh United States dengan score 85.6. Di posisi terbawah adalah India 55.7 dan Indonesia diatasnya dengan score 57.1
4. Human Development Index
Human Development Index yang menjelaskan sejauh mana tingkat pengembangan manusia bila diukur melalui tiga dimensi Health, Education, dan Quality of Life. Menurut Human Development Report 2011 UNDP (HDR Team, 2011), Human Development Index Indonesia pada posisi 124 dunia, sedang India di posisi 134. Posisi pertama dunia ditempati oleh Norway dengan nilai HDI 0.943. Findland ternyata menempati posisi 22 dunia, setelah United States di posisi 4 dunia, .
Pesan dari data ini adalah, ketika HDI terdiri dari tiga dimensi tersebut, yaitu Health, Education, dan Standard of Living, HDI harus menjadi perhatian karena ketiga dimensi HDI tersebut juga menandai perwujudan amanat mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Mengingat Indonesia masih di posisi 124 dunia, tampaknya 67 tahun merdeka baru bisa mengantar bangsanya di posisi tersebut.
Di sisi yang lain, dinamika perkembangan HDI Indonesia dengan negara-negara benchmark partners tidak berubah sejak 1980 hingga 2011, Peraga Gambar 149. Antara tahun 1980 hingga 2005 terjadi dinamika HDI yang luar biasa di mana trend kenaikan HDI lebih besar dari tahun sesudahnya, yaitu 2005-2011. Terjadi volatilitas hampir bersamaan, tak kurang Findland. Indonesia kurang beruntung di tahun 1990 karena mengalami penurunan HDI yang mengganggu learning curve-nya sehingga ketika tahun 1985 sudah bisa menyamai China akhirnya harus turun dan selalu dibawah China hingga 2011. menguak lebih rinci fenomena tersebut.
Dari dimensi Index yang terdiri dari dua indikator pendidikan yaitu Mean Years of Schooling dan Expected Years of Schooling, Indonesia mengungguli China di Mean Years of Schooling, namun dibawah China di Expected Years of Schooling. Dan, di kombinasi ke dua indikator tersebut yang membentuk dimensi Education Index, Indonesia di bawah China, Gambar 149.
Di Indikator yang lain dalam HDI, yaitu di indikator Life Expectancy at Birth, dan Gross National Income per Capita, Indonesia dibawah China. Jadi bisa dipahami kalau sejak 1990 peringkat nilai HDI Indonesia selalu di bawah China. Namun, ini menjadi paradox ketika dikaitkan dengan analisis persentase pengeluaran untuk pendidikan terhadap GDP, Gambar 152. Ternyata, China dengan persentase pengeluaran untuk pendidikan terhadap GDP, yang sekitar 50% dari Indonesia, menghasilkan Education Index yang lebih tinggi dari Indonesia. Ini tentu mengundang pertanyaan kritis, mengapa?
Yang terakhir, sejak 2005 volatilitas HDI mulai menurun dan HDI cenderung stabil dengan trend positif yang seimbang diantara Indonesia dengan enam benchmark partners. Memang tampak trend HDI China dan Indonesia relatif lebih besar sedikit dari yang lain sejak 2006.
Benarkah jumlah dana pendidikan menentukan ?
Fenomena 1980-1985 di mana HDI Indonesia bisa menyamai China namun kemudian Indonesia kembali dibawah China karena HDI Indonesia menurun. Mengapa ? Justru pemerintahan rezim Soeharto baru efektif mulai 1983, namun kenapa justru HDI tahun 1985 turun dan tidak pernah lagi menyamai China sampai akhir masa rezim pemerintahan Soeharto 1998 ?
Dari sisi GDP, , China memang lebih unggul dari Indonesia yang mengungguli India. Di puncak teratas adalah Findland dan diikuti oleh United States, Russia, Brazil, China, Indonesia, dan India. Namun, persentase pengeluaran untuk pendidikan terhadap GDP, seperti ditayangkan pada , menunjukkan bahwa China hanya 1.3% sedang Indonesia 3.6%. Padahal jumlah penduduk jauh lebih besar yang berarti kebutuhan untuk menyediakan pelayanan pendidikan juga besar.
Menurut penelitian World Bank, , “Best Frontier of Education”, sebaran cluster variabel output index dan input index tidak menjelaskan pola apapun, baik linier maupun non linier, yang memberi pesan bahwa diantara kedua variabel tersebut ada korelasi. Bila demikian, % education expenditure on GDP yang lebih tinggi dari China namun menghasilkan Education Index yang lebih rendah dari China bisa dipahami, paling tidak dengan melihat hasil penelitian World Bank tersebut.
Juga, dengan mempelajari hubungan antara variabel-variabel HDI, Tingkat Kemiskinan di Desa dan Kota, Tingkat Pengangguran di Desa dan Kota, RAPBD, Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan, Dana Alokasi Khusus (DAU) Provinsi, DAU Kabupaten dan Kota, , maka gambaran mengenai bagaimana efektifitas dana untuk human development bisa diketahui.
Variabel 7 HDI berkorelasi negatif dengan seluruh variabel yang lain. Yang paling mencolok adalah korelasi negatif antara variabel HDI dengan variabel-variabel DAK Pendidikan, DAU Provinsi, dan DAU Kabupaten atau Kota. Itu berarti, dana melalui pos itu bila ditambah justru akan membuat HDI semakin turun, atau sebaliknya, kenaikan HDI bukan karena dana tersebut. Lagi R2 antara 6%-7% menjelaskan koefisien determinasi 94%-93%, atau variance disamping besar sekali juga tidak bisa dijelaskan dari mana sumbernya. Padahal, korelasi positif antara HDI dengan Tingkat Kemiskinan di Desa dan Kota serta Tingkat Pengangguran di Desa dan Kota memberi pesan bahwa bila ingin menurunkan Kemiskinan dan Pengangguran maka tingkatkan HDI, Jadi, dana yang tidak tepat saasaran itu jelas dana yang tidak berkualitas dan tidak sesuai dengan konstitusi dalam hal pencerdasan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum ketika HDI itu memuat tiga dimensi yang paling mendasar, yaitu Kesehatan, Pendidikan, dan Kualitas Hidup, yang sesuai dengan amanat konstitusi.
Kesimpulan :
1. Secara umum, dibanding ke lima negara yang menjadi benchmark partners yaitu Brazil, Russia, India, China, USA, dan Finlandia, dari ketujuh parameter global Indonesia di urutan ke lima diatas India.
2. Faktor internal lebih mempengaruhi posisi Indonesia di antara negara-negara yang di benchmark.
1 Response to "Realitas Pendidikan Indonesia: Pendidikan Indonesia Setelah 67 Tahun Merdeka Dalam Indikator Global"
Awalnya aku hanya mencoba main togel akibat adanya hutang yang sangat banyak dan akhirnya aku buka internet mencari aki yang bisa membantu orang akhirnya di situ lah ak bisa meliat nmor nya AKI NAWE terus aku berpikir aku harus hubungi AKI NAWE meskipun itu dilarang agama ,apa boleh buat nasip sudah jadi bubur,dan akhirnya aku menemukan seorang aki.ternyata alhamdulillah AKI NAWE bisa membantu saya juga dan aku dapat mengubah hidup yang jauh lebih baik berkat bantuan AKI NAWE dgn waktu yang singkat aku sudah membuktikan namanya keajaiban satu hari bisa merubah hidup ,kita yang penting kita tdk boleh putus hasa dan harus berusaha insya allah kita pasti meliat hasil nya sendiri. siapa tau anda berminat silakan hubungi AKI NAWE Di Nmr 085--->"218--->"379--->''259'
Post a Comment