'

Selamat Datang di Website Resmi Muhammad Akbar bin Zaid “Assalamu Alaikum Warahmtullahi Wabarakatu” Blog ini merupakan blog personal yg dibuat & dikembangkan oleh Muhammad Akbar bin Zaid, Deskripsinya adalah "Referensi Ilmu Agama, Inspirasi, Motivasi, Pendidikan, Moralitas & Karya" merupakan kesimpulan dari sekian banyak kategori yang ada di dalam blog ini. Bagi pengunjung yang ingin memberikan saran, coretan & kritikan bisa di torehkan pada area komentar atau lewat e-mail ini & bisa juga berteman lewat Facebook. Terimah Kasih Telah Berkunjung – وَالسٌلام عَلَيْكُم

Realitas Bangsa Indonesia: Pandangan Kritis Terhadap Globalisme

Globalisme menyangkut dua aspek yang akan mempengaruhi Pendidikan yaitu, [1]Ideologi, dan [2] Technologi. Aspek teknologi adalah kendaraan bagi aspek ideologi dan membuat bukan hanya negara tanpa batas atau borderless world tetapi juga filter-less world dimana informasi global deras masuk ke ruang pribadi setiap individu. McLuhan dan Alvin Toffler membahas fenomena ini jauh sebelum fenomena itu muncul.

1.      Avlin Toffler dalam Future Shock (Toffler, 1970).
Pertama, cho-biological dapat dijelaskan secara medis kedalam psychiatric terms. Ke dua, future shock adalah sebuah fenomena perubahan yang dipicu oleh akselerasi perubahan di masyarakat dan muncul saling tumpang-tindih antara budaya lama dengan budayabaru dalam masyarakat.Dari sudut pandang inovasi teknologi, menurut Freeman, C. and Perez, C in Dosi et.al., (Dosi et.al., 1988) ada empat kategori inovasi, yaitu :
a.      Incremental Innovations yang terjadi terus menerus pada setiap industri pada setiap negara pada skala yang berbeda-beda
b.      Radical Innovations, yang mengenalkan produk atau proses yang sama sekali baru dan secara tak terduga berasal dari “Normal Trajectory” dari sebuah technologi
c.      Systemic Innovations yang mempengaruhi teknologi dan Technological
d.      Revolutions yang mengubah sistem teknologi serta berpengaruh terhadap keseluruhan perilaku ekonomi.
2.      Marshall Mcluhan (McLuhan, 1964).
Dua dekade sebelum Avlin Toffler, Marshall McLuhan dalam “Understanding Media” sudah membahas mengenai peranan media sebagai media komunikasi melalui electric lightyang akan mempengaruhi dunia, meskipun pada saat itu teknologi digital belum muncul; orbit Clark yang kemudian menjadi sarana satelit untuk mengorbit guna memfalisitasi komunikasi digital juga belum ditemukan, dan IBM baru membuat computer dengan tabung di tahun tersebut. Mungkin yang dibayangkan oleh McLuhan adalah teknologi informasi.
Selanjutnya, Alvin Toffler dengan “The Third Wave and Powershift” membagi peradaban masyarakat menjadi tiga gelombang revolusi, yaitu [1] first wave : the agricultural revolution, [2] second wave : industrial revolution, dan [3] third wave : Information revolution , yang masih berlangsung hingga saat ini. Pada setiap fasa peradaban atau gelombang masing-masing memiliki “super-ideology,” yang menjelaskan realita dan paterns, dan information paterns. Juga, McLuhan dalam “The Global Village”, (McLuhan & Powers, 1989), setelah arah trajektori teknologi informasi mulai tampak, memunculkan terminologi Global Village untuk menandai peranan teknologi informasi yang membuat manusia di seluruh dunia bisa saling terhubung dan seakan membuat dunia menjadi kecil, ibarat sebuah desa global. Kini, apa yang diprediksi oleh McLuhan dan Toffler telah terjadi dengan segala ekses yang juga telah mereka prediksi. Itulah pesan McLuhan dengan “Understanding Media” dan “Global Village” , serta Toffler dengan “Future Shock” dan “The Third Wave” yang bisa dilihat kini dan membuka banyak pertanyaan mengenai kelanjutan perkembangan peradaban manusia.
Prediksi McLuhan dan Toffler dalam era globalisasi telah menjadi kenyataan, bisa dilihat dan bisa pula dirasakan. Di bidang Budaya jelas akan terjadi komunikasi budaya antar bangsa, antara budaya lokal dengan budaya global antara pengetahuan lokal dengan pengetahuian global sebagai konsekuensi logis dari kemudahan komunikasi global tersebut.
Yang dimaksud dengan Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang telah ditemukan dan diuji valid dalam konteks lokal dan telah diakumulasi oleh masyarakat atau orang lokal. Untuk masyarakat lokal yang berbeda, keragaman aset budaya dan latar belakang sejarah yang mungkin sama sekali berbeda mewarnai eksistensi konteks lokal, maka pengetahuan dan kebajikan yang telah mereka temukan berguna dan valid serta telah diakumulasi dalam jangka panjang sebelumnya mungkin saja berbeda. (Cheng, 2004).
Orang kini bisa terhubung dua puluh empat jam setiap minggu di seluruh dunia dengan komunikasi multimedia yang mudah dan murah. Jaringan komunikasi analog itu kini telah digantikan oleh jaringan komunikasi digital sehingga radio dan televisi kini mudah diakses melalui jaringan satellite dan internet dengan menggunakan Tv di rumah, computer, atau bahkan sebuah gadget atau hand phone. Melalui GPS atau Global Positioning System yang tersambung langsung ke satelite kini lokasi dimanapun di dunia bisa dilihat dari sebuah gadget dan GPS bisa pula menunjukkan jejak rekam jalan yang telah dilalui detik demi detik, bahkan di lorong kampung atau desa.
Juga, melalui Skype bahkan siapapun bisa berkomunikasi melalui video-phone dengan siapapun diberbagai belahan dunia kapan saja dan dimana saja. Dunia menjadi telanjang dalam genggaman. Fungsi internet untuk Discovery, Communication, dan Collaboration bukan hanya mengubah perilaku manusia berkomunikasi, namun juga mengubah perilaku hidup mereka dalam bidang sosial dan ekonomi serta pendidikan.
Lebih lanjut, dengan menggunakan Google Earth, bahkan atap rumah dimanapun di dunia bisa dilihat dan juga kedalaman laut. Kini, transfer dana untuk berbagai keperluan diseluruh dunia bisa dilakukan diujung jari. Semuanya serba digital, seperti e-book, e-journal, e-KTP, bahkan CCTV di rumah juga biasa diakses dan di-remote dengan mengunakan gadget dari manapun di seluruh dunia.
Bahkan, dengan kehadiran Tv cable, budaya dari berbagai bangsa akan deras masuk ke nuclear family di Microsystem dan gadget setiap pribadi tak terkecuali anak-anak. Internet, yang bisa diakses dengan menggunakan sebuah gadget, telah memungkinkan budaya langsung masuk ke ruang pribadi. Dengan cloud computing, tidak lagi ada hambatan dengan bahasa karena Google Translation telah memungkinkan translasi komunikasi text ataupun tulisan di web secara langsung sehingga setiap orang di berbagai belahahan dunia dengan bahasa ibu berbeda bisa mengakses informasi apapun bahasa di dunia dengan menggunakan bahasa mereka.
Sebagai tambahan, dengan cloud computing, pengguna bisa mendisain sendiri data yang dibutuhkan dari berbagai sumber data dunia dan kemudian tinggal mengkonversi sesuai dengan kebutuhan. Bahkan berbagai proyek open source untuk ilmu pengetahuan atau perpustakaan ataupun referensi kelas dunia semakin bertebaran secara resmi, misal proyek Gutenberg, open course MIT, dll. Yang terakhir, kuliah kelas Nobel juga bisa diikuti oleh siapapun dan kapanpun melalui teknologi video streaming, demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa diakses dengan mudah dan bebas melalui teknologi multimedia. Revolusi informasi multi media ini jelas berdampak besar dalam dunia pendidikan.
Kritik telah diberikan oleh Pieters (Nederveen, 2004 ) mengenai dampak globalisasi terhadap Budaya dan banyak pula kritik terhadap dampak globalisasi telah dikemukakan, seperti John Rawls dalam The Theory of People di bidang Justice as Fairness, Striglitz dalam Social Choice Theory di bidang human capability, Amartya Sen dalam The Idea Of Justice di bidang human development, Krugman dalam Economics Geography di bidang migration, atau Paula Allman dalam Critical Education Against Global Capitalism di bi­dang education. Pertanyaan pertama adalah apakah budaya global akan menjadi semakin homogen atau heterogin dan mana lebih baik?, Pertanyaan kedua adalah bagaimana Pendidikan mengantisipasi hal ini ?
Di bidang ekonomi Indonesia sudah menandatangani AFTA Asean Free Trade Agreement yang efektif berlaku 2003 dan 2010 bertambah dengan China sehingga menjadi CAFTA. Juga sudah bergabung dengan APEC Asia Pasific Economic Cooperation, yang terakhir adalah GATT-WTO General Agreement on Tariff and Trade, dan World Trade Organization. Intinya adalah perdagangan bebas sesuai dengan Washington Consensus yang berbasis pada liberalism (Symoniak, 1989). Habibie sebelum mulai membacakan Pidato pada peringatan Hari lahir Pancasila 1 Juni 2011 mengucap: “Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism atau dalam pengertian sejarah kita suatu VOC atau Verenigte Oostindische Companie dengan baju baru” (Habibie, 2011).
Di bidang politik, kepentingan politik suatu negara selalu terkait dengan ideologi atau perdagangan. Free Trade Ageement adalah salah satu bentuk ekspansi ideologi liberalisme dalam bentuk perdagangan pasar bebas termasuk pendidikan. Perdagangan bebas itu tidak akan lepas dari bidang Ekonomi. Kepentingan politik adalah untuk kepentingan ekonomi dan kesejahteraan. Dengan demikian, pendidikan juga dianggap sebagai komoditi yang bisa diperjualbelikan, dan lalu-lintas pasar tenaga kerja bebas juga akan terjadi. Dalam hal ini, Antony Giddens merumuskan Globalisasi sebagai berikut (Giddens, A., 1990) :
Globalisation can be defined as the intensification of worldwide social relations which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events occurring many miles away and vice versa. This is a dialectical process because such local happenings may move in an obverse direction from the very distanciated relationships that shape them. Local transformation is as much a part of globalization as the lateral extension of social connections across time and space. Thus whoever studies cities today, in any part of the world, is aware that what happens in a local neighborhood is likely to be influenced by factors such as world money and commodity-markets-operating at an indefinite distance away from that neighborhood itself.
Namun, agar dipahami bahwa ekonomi global bukan ekonomi dunia yang sudah mulai eksis sejak abad 19. Namun, ekonomi global adalah sebuah strategi, aktivitas inti, termasuk inovasi, keuangan dan manajemen korporasi, fungsi dalam skala planet yang berbasis real time transaction. Globalitas ini menjadi mungkin karena infrastruktur technologi yang disediakan oleh telekomunikasi, sistem informasi, microelectronic machinary, dan computer based-transportation. Hari ini berbeda dari generasi yang lalu, teknologi, manajemen, informasi, dan inti pasar telah terglobalisasikan (Carnoy, 1999).
Oleh karena itu, pertanyaan pertama adalah bagaimana Pendidikan memahami hal ini? Pertanyaan ke dua adalah bagaimana pendidikan harus menyiapkan peserta didik untuk menyiapkan diri?
Terimah Kasih atas kunjungan Ta' semoga artikel ini bermamfaat... @Wassalam

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Realitas Bangsa Indonesia: Pandangan Kritis Terhadap Globalisme"