Realitas Pendidikan Indonesia: Masalah Pendidikan Indonesia
Pendidikan
 Indonesia, sesuai dengan amanat konstitusi, mempunyai misi untuk 
mencerdaskan kehidupan bangsa guna memajukan kesejahteraan umum. Sesuai 
dengan amanat konstitusi, Pendidikan mencakup tiga bidang utama yang 
saling berkaitan yaitu:
- 
Perangkat keras, yaitu sarana dan prasarana pendidikan
- 
Perangkat lunak yaitu isi yang sesuai dengan tujuan pembangunan bangsa dan negara.
- 
Pendidik, yaitu mereka yang memberikan isi dan memberi teladan kepada peserta didik.
Dari
 ketiga jangkauan utama itu, butir 1 dan 3 merupakan fondasi bagi butir 
2. Lingkungan pendidikan yang baik tentu membutuhkan butir 1 dan 3 
sebagai fondasi agar butir 2 bisa disemai dengan baik pula.
Yang
 pertama, Gambar 95 menayangkan jumlah sekolah Negeri dan Swasta di 
Indonesia. Ternyata jumlah sekolah di Indonesia didominasi oleh SD, 
yaitu 143.252 sekolah atau 55%. Sedang SMP 29.866 sekolah atau 11%, SMA 
11.036 atau 4%, dan SMK 8.399 atau 3%. Disamping itu, TK 67.550 atau 26%
 dan SLB 1.803 atau 1%. Data ini menjelaskan gambaran strategi dan 
kebijakan pemerintah dalam bidang perangkat keras pendidikan, yaitu 
mengutamakan pendidikan SD, serupa jenjang piramida penduduk.Muncul
 pertanyaan mengenai daya tampung tingkat lanjut pendidikan tingkat SD 
atau SMP mengingat usia tersebut masih dalam usia pendidikan dasar dan 
bukan usia kerja. Apakah mereka akan dropout ?
 Bila digali lebih dalam di setiap provinsi, seperti ditayangkan pada 
Gambar 96, tampak bahwa distribusi jumlah sekolah berdasar jenjang 
pendidikan di setiap provinsi sama dan korelatif dengan jumlah penduduk.
 Ini menandai bahwa kebijakan pola itu merupakan hasil kerbijakan 
terpusat, bukan daerah. Menjadi pertanyaan kritis adalah :
- 
Bagaimana dengan implementasi kebijakan Wajib belajar sembilan tahun sesuai dengan UU No 20 Th 2003 ketika jumlah kelas antar SD dan SMP tidak seimbang ?
- 
Bagaimana implementasi kebijakan pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ketika siswa tersebar di belasan ribu pulau?
- 
Bagaimana implementasi kebijakan pemerintah di bidang penyiapan tenaga kerja ketika kesenjangan lingkungan ada ?
Gambar 96: Jumlah Sekolah berdasar jenjang pendidikan si seluruh provinsi
 Yang ke dua, secara nasional seperti ditayangkan pada Gambar 97 , peran
 Swasta dalam menyelenggarakan pendidikan tingkat TK 97% dan Sekolah 
Luar Biasa atau SLB 70% sangat besar. Di dua sektor pendidikan ini peran
 pemerintah sangat kecil, yaitu TK 3% dan SLB 30%. Disamping itu, peran 
pemerintah di bidang pendidikan negeri semakin berkurang pada pendidikan
 yang lebih tinggi. Bila pada tingkat pendidikan SD 90% maka pada SMP 
72%, SMA, 64%, dan SMK 37%. Globalneoliberalism scenario
 tampak dalam data ini, yaitu pembiayaan pendidikan dari tingkat yang 
tinggi dialihkan ke tingkat yang lebih rendah karena memberikan return yang lebih besar (Carnoy, 1999), (Torres, 2009).
Gambar 97:  Jumlah Kelas berdasar tingkat pendidikan, 2010 
 Yang ke tiga,wajib
 belajar sembilan tahun berarti anak wajib mengikuti pendidikan hingga 
tingkat pendidikan SMP. Ketika proporsi jumlah kelas secara nasional 
seperti dalam data tersebut, yaitu jumlah kelas SD 808.872 (negeri) + 
90.144 (swasta) = 899.016, padahal jumlah kelas di tingkat lanjutan 
yaitu SMP adalah 185.147 (negeri) + 70.948 (swasta) = 256.095, atau 
256.095/899.016 = 28.5%, maka 72.5% lulusan SD mau kemana ? Fakta ini 
bisa menjelaskan fenomena :
- 
dominasi jumlah angkatan kerja ≤ SD
- 
dominasi pengangguran ≤ SMA
- 
fenomena pengangguran di desa 63%
 Di sisi yang lain, sektor pertanian, perkebunan, perikanan tidak 
memberi kontribusi signifikan pada PDB ketika sektor tersebut di 
Indonesia sangat melimpah. Ini menjadikan fondasi pertumbuhan ekonomi 
Indonesia rapuh (Marchelo, MI, 13 Des 2012), (Wibowo MI, 4 JANUARI 2013 
).
 Yang ke-empat, kebijakan pemerintah semakin tampak jelas bila sekolah swasta diperbandingkan, lihat Gambar 99.
- 
Pada tingkat TK, sanggat jelas swasta mendominasi dan memegang peranan. Ada dua pertanyaan yang muncul, pertama seandainya swasta tidak mengisi maka bagaimana jadinya?, ke dua apakah pendidikan usia dini tidak penting bagi masa perkembangan anak?
- 
Pada tingkat SLB, di jenjang ini meskipun swasta tetap mendominasi namun pemerintah sedikit berperan dan terlihat bahwa kebijakan pemerintah mendua dengan program pendidikan inklusi.
- 
Pada jenjang pendidikan SD sangat terlihat bagaimana pemerintah mendominasi jenjang ini. Bukannya swasta tidak berperan, namun peran swasta tidak sebanding dengan peran pemerintah.
- 
Pada jenjang pendidikan SMP, peran pemerintah mulai berkurang dan di-isi oleh swasta.
- 
Pada jenjang pendidikan SMA peran pemerintah semakin berkurang dibanding di jenjang Pendidikan SMP, maka peran itu kemudian di-isi oleh swasta.
- 
Pada jenjang SMK, peran pemerintah menjadi semakin berkurang dibanding jenjang pendidikan SMA. Seakan-akan ini memberi gambaran kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan pendidikan kejuruan dan lebih mementingkan pendidikan umum.
Gambar 99: Jumlah Kelas di Sekolah Negeri dan Swasta di Setiap Provinsi Indonesia 2010.
Pola
 nasional tersebut ternyata merata di semua provinsi, Gambar 100. Ini 
menunjukkan masalah ketidakseimbangan kelanjutan jenjang pendidikan di 
Tingkat SD ke SMP tersebut memang didisain secara demikian oleh 
kebijakan pemerintah pusat dengan kepanjangan tangan pemerintah daerah. 
Setiap anak di Papua, Aceh, Nunukan, Rote, Miangas, dan diseluruh 
penjuru negeri adalah anak Indonesia, bangsa Indoensia, yang sesuai 
dengan konstitusi menjadi tujuan untuk dicerdaskan. Apalagi bila 
dikaitkan dengan program wajib belajar sembilan tahun. Hal yang sama 
juga di jenjang pendidikan SMP ke SMA/SMK dan itu juga terjadi di semua 
provinsi. 
Bagaimana
 dengan jumlah Guru sebagai pendidik ? Gambar 100 menayangkan jumlah 
guru negeri dan swasta secara nasional. Bagaimanapun juga, jumlah guru 
negeri mendominasi jumlah guru di Indonsia, yaitu 78%, sedang guru 
Swasta hanya 22%. Yang dimaksud guru swasta adalah* :
- 
Bukan PNS
- 
Guru Tetap Yayasan
- 
Honor Sekolah
- 
Guru Bantu Pusat ATCL
- 
Guru Bantu daerah ATDL
 Meskipun jumlah guru negeri 72%, namun disttibusi di setiap jenjang 
pendidikan ternyata tidak mempunyai standard yang jelas. Sebagai misal 
mengapa jumlah guru SLB negeri sangat sedikit dan jumlah guru SD 
mendominasi ? Gambar 101 lebih jelas untuk memberi gambaran mengenai 
proporsi di setiap jenjang pendidikan. Bagaimana mungkin jumlah guru 
negeri jenjang SMP hanya 1/3 jumlah guru jenjang SD ? Ini bukan hanya 
menunjukkan ketimpangan di sisi jumlah guru, tetapi juga di jumlah kelas
 atau sekolah. Di sisi yang lain, jumlah guru swasta malah lebih tampak 
proporsional.
Gambar 101: Proporsi Jumlah Guru Berdasar Jenjang Pendidikan, 2010
 Namun demikian, bila jumlah guru negeri dan swasta itu dilihat secara 
nasional untuk seluruh jenjang pendidikan, Gambar 102, tampak bahwa di 
seluruh provinsi jumlah guru negeri jauh lebih besar dan bervariasi. 
Jadi, perbedaan proporsi itu ada pada jenjang pendidikan dan kemungkinan
 besar variasi proporsi jumlah guru negeri dan swasta dipengaruhi oleh 
jenjang pendidikan.
 Di sisi yang lain, melalui Gambar 103 tampak bahwa jumlah penduduk 
menjadi acuan mengenai penyediaan jumlah kelas dan guru. Lagi, tampak 
bahwa jumlah guru di jenjang pendidikan SD yang paling dominan dan ini 
setara dengan jumlah kelas.
 Apabila digali lebih dalam mengenai rasio antara jumlah guru negeri dan
 swasta dengan jumlah kelas, seperti ditayangkan di Gambar 105 maka 
rasio antara jumlah guru dan jumlah kelas di setiap provinsi tidak sama.
 Meskipun jumlah guru negeri mendominasi 78% namun peran guru swasta 
yang menjadi komplemen 22 % membuat variasi itu muncul di daerah-daerah 
ketika pemerintah absen.
 Perceptual map yang menjelaskan kebijakan pemerintah untuk pendidik 
negeri dan swasta di Gambar 106 menjelaskan inkonsistensi kebijakan. 
Semakin jelas, pemerintqah hanya fokus pada pendidik negeri pada jenjang
 SD. Untuk SLB dan SMP ke atas pemerintah semakin mengurangi jumlah 
pendidik negeri.
 Masalah akan menjadi semakin rumit ketika piramida penduduk 2012 
menunjukkan fakta bahwa usia 0-14 lebih lebar dan itu berarti 
membutuhkan pelayanan pendidikan ketika pelayanan pendidikan yang ada 
kurang memadai, baik dari sisi kelas maupun dari sisi guru. Sebagai 
contoh, rasio guru dan kelas di Aceh untuk jenjang SMK 3.5 itu berarti 
satu kelas dilayani oleh 3.5 guru secara rata-rata atau lebih dari 3 
guru. Juga rasio guru dan kelas di jenjang SD Kepulauan Riau 2.0 maka 
itu berarti satu kelas di provinsi tersebut dilayani oleh dua guru. 
Sebaliknya, di jenjang SMA provinsi Jawa Barat, rasio guru/kelas adalah 
0.6. Itu berarti satu guru harus melayani lebih dari satu kelas. Seperti
 juga di provinsi Riau rasio guru dan kelas adalah 0.5 berarti satu guru
 melayani dua kelas. Variasi ini menandai kebijakan pemerintah yang 
tidak sama untuk pelayanan pendidikan yang menyangkut penyediaan kelas 
dan pendidik. Rasio proporsi guru status negeri dan kelas di sekolah 
negeri di di 33 provinsi Indonesia adalah :
- Rata-rataStandard DeviasiTK1.202.00SLB0.450.20SD1.660.22SMP2.350.30SMA0.560.20SMK3.280.70
 Ternyata proporsi guru dan kelas di jenjang SMA 0.56 dengan standard 
deviasi ± 0.2. Ini berarti, satu guru SMA secara rata-rata di seluruh 
provinsi melayani lebih dari satu kelas.
 Variasi proporsi guru dan kelas di setiap jenjang pendidikan di seluruh
 provinsi ditayangkan pada Gambar 107 dan Gambar 108. Inkonsitensi 
kebijakan pemerintah terhadap daerah semakin tampak manakala tidak ada 
pola variasi yang jelas di setiap jenjang pendidikan di seluruh 
provinsi. Hal itu mudah diamati dari pola penyimpangan terhadap 
rata-rata proporsi dan posisi outliers atau data di luar standard deviasiuntuk semua jenjang pendidikan dan provinsi. Outliers itu disebabkan oleh special cause variation*. Variasi proporsi provinsi Bengkulu sebagai contoh, di jenjang TK dan SLB outliers,
 namun di jenjang SD berada di bawah rata-rata variasi nasional 1.66, 
yaitu 1.5 yang berarti bagus, sedang di SMP, SMA, dan SMK di rata-rata 
nasional.
 Juga provinsi Sulawesi Barat, proporsi guru dan kelas untuk jenjang SLB
 1.28 ketika rata-rata provinsi atau nasional 0.45. Sebagai tambahan, 
variasi proporsi provinsi Banten outliers
 positif pada jenjang pendidikan SMK, yaitu 0.72 ketika rata-rata 
nasional 3.28, yang berarti satu kelas dilayani oleh lebih dari 3 
pendidik. Ironisnya, beberapa SMK di luar Jawa berada di ouliers
 negatif, seperti Jambi, Kepulauan Riau,Kalimantan Tengah, dan Maluku 
Utara. Kasus dengan pola variasi tidak jelas ini banyak terjadi dan 
menandai Strategi dan implementasi kebijakan pemerintah yang tidak 
jelas. Inkonsistensi kebijakan itu juga semakin tampak jelas pada 
proporsi guru swasta dan negeri sejak jenjang SD hingga SMA/SMK.
Setelah
 pembahasan Perangkat Keras dan Pendidik dari sisi jumlah yang telah 
memberi gambaran mengenai ketersediaan fasilitas kelas dan guru, maka 
persoalan lain yang perlu dibahas adalah kebutuhan pendidikan formal. 
Yang pertama karena ada pendidikan negeri dan swasta dalam sistem 
pendidikan di Indonesia maka rasio pendaftar-diterima bisa menjadi 
indikator sampai sejauh mana anak-anak dan generasi muda memperoleh 
pelayanan Pendidikan.
Gambar 108 menjelaskan bahwa :
- 
Di semua jenjang pendidikan formal, tidak semua pendaftar diterima, baik di sekolah negeri maupun swasta.
- 
Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin turun daya tampung kapasitas pendidikan formal.
- 
Pendidikan formal swasta partner handal dalam menampung kebutuhan pendidikan formal. Bahkan mulai jenjang pendidikan SMP ke atas peran swasta melampaui negeri. Pendidikan formal negeri hanya dominan di jenjang SD.
Lebih lanjut, NER atau Net Enrollment Ratio
 didefinisikan oleh UNESCO sebagai ukuran dalam persentase untuk menilai
 kelompok usia yang masuk sekolah pada tingkat pendidikan yang sesuai. 
NER SD= 35% berarti ada 35 anak dari 100 anak kelompok usia SD yang 
sekolah dan itu berarti pula ada 65% yang tidak sekolah, Gambar 109.
 Tujuan
 dari NER adalah untuk menunjukkan sejauh mana partisipasi anak atau 
generasi muda dalam setiap tingkat pendidikan dan juga sekaligus 
menunjukkan berapa banyak anak yang tidak memperoleh pendidikan dasar. 
Ini sangat penting untuk mengukur tingkat akses ke pendidikan serta 
mengukur hak penduduk di suatu wilayah atau negara. Pada tahun 2010, 
Gambar 109, NER Indonesia menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat 
pendidikan semakin rendah partisipasi anak atau generasi muda untuk 
mengakses pendidikan. Pada pendidikan dasar 94.76%, menengah 67.73% dan 
atas 45.59%. Itu berarti pula ada 5.24% yang tidak mengenyam pendidikan 
dasar, 33.27% pendidikan menengah, dan 54.41% pendidikan atas.
 Data NER ini mengundang dua pertanyaan mendasar terkait dengan 
pendidikan. Mengingat UU No 20/2003 telah mewajibkan belajar sembilan 
tahun maka,
- 
Bagaimana mereka yang tidak sekolah ? Apa tanggung jawab pemerintah ?
- 
Apakah karena tidak bisa mengakses fasilitas pendidikan karena kekurangan fasilitas atau keterbataasan sekolah yang tersedia ?
- 
Apakah mereka tidak bisa mengakses fasilitas pendidikan karena disebabkan oleh faktor lain misal lokasi mengingat kondisi geografis Inndonesia ?
- 
Apakah mereka tidak bisa mengakses fasilitas pendidikan atau faktor sosial lain karena disebabkan oleh faktor seperti kemiskinan ?
 Bagaimanapun juga, itu semua merupakan indikator yang kurang bagus 
untuk input tenaga kerja dan pembangunan bangsa. Fakta menunjukkan bahwa
 tenaga kerja di desa dan kota didominasi oleh pendidikan tingkat SD dan
 SLTP 60% dan sisanya 40% terdiri tingkat pendidikan mulai dari SMA, 
Diploma, dan Universitas.
 Bila data NER nasional itu diurai ke setiap provinsi, maka tampak bahwa , lihat Gambar 110:
- 
Di Elementary School, variasi sempit dengan standard deviasi 1.4 dan rata-rata 94.6. Artinya NER di elementary School, antara 93,2 – 96. Atau hanya sekitar 5.4 % anak sesusia SD yang tdak sekolah. Namun, semakin tinggi jenjang pendidikan maka variasi itu semakin lebar dengan rata-rata NER yang semakin rendah, artinya semakin banyak yang tidak sekolah. Di Junior High School NER rata-rata 65.7 dengan standard deviasi ± 7.4. Artinya ada sekitar 26.9% – 41.7% anak sesusia SMP tidak sekolah. Di Senior High School, NER rata-rata semakin rendah yaitu 46.9 dengan standard deviasi yang semakin lebar, yaitu 7.8. Itu berarti, ada sekitar 39.1% – 54.7% anak sesusia SMA yang tidak sekolah.
- 
Di Elementary School hanya ada satu outlier yang bersifat kingkong effect, yaitu provinsi Aceh, sehingga kala data tersebut tidak diikutkan maka variasi akan semakin sempit dan demikian pula rata-rata akan semakin bertambah. Namun semakin tinggi jenjang pendidikan outliers semakin bertambah.
- 
Pola NER di tiga jenjang pendidikan ini memberi gambaran mengenai implementasi kebijakan pendidikan untuk membangun bangsa Indonesia.
 Gradasi NER di tingkat SMP dan SMA di semua provinsi semakin memberikan
 indikasi mengenai ketidakintegrasian kebijakan di bidang pendidikan, 
ketenagakerjaan, dan politk pembangunan. Penganguran terbuka yang 
didominasi oleh tingkat pendidikan SD, SMP, dan SMA sebesar 77% di tahun
 2010 menunjukkan bahwa NER rendah itu menunjukkan dua hal sekaligus, 
yaitu: 1. Pemerintah masih bimbang untuk menaikkan NER, 2. Seandainya 
NER dinaikkan, artinya fasilitas pendidikan ditambah maka tingkat 
pengangguran terbuka untuk tingkat SMP dan SMA akan semakin tinggi, 
berdasarkan asumsi pertumbuhan ekonmoi 6% dan setiap 1% menyerap 400 
ribu tenaga kerja. 
 Disamping itu, means years schooling yang ditayangkan pada Gambar 112 memberi gambaran mengenai ketimpangan means years schooling diseluruh provinsi Indonesia. Negative Outliersmeans years schooling adalah
 provinsi Kalimantan barat, NTT, NTB, Sulawesi Barat, yaitu dibawah 7 
tahun. Data yang eratik menyebar di sekitar nilai tengah menjelaskan 
implementasi kebijakan yang tidak setara. Hanya sebagian kecil kalau 
menurut data tersebut yang bisa mencapai jenjang SMP. Provinsi DKI 
adalah positive outliers, yaitu 11 tahun dan sebagai kingkong effect.
 Di sisi yang lain, di Gambar 111,Expected Years of Schooling dan Mean Years of Schooling membentuk dimensi Education Index sebagai satu di antara tiga dimensi Human Development Index,
 menunjukkan berapa persen suatu penduduk suatu wilayah menjalaninya. 
Misal di suatu wilayah pendidikan tertinggi adalah Universitas, maka 
akan ditempuh waktu 9+3+3+5 tahun atau 20 tahun untuk menempuhnya. Bila 
rata-rata penduduk di wilayah tersebut hanya belajar sembilan tahun atau
 sampai jenjang SMP secara rata-rata maka nilai Expected Years of Schooling adalah 10/20 atau 50%. Dengan demikian, semakin tinggi % Expected years of Schooling maka semakin tinggi jenjang pendidikan yang bisa dijalani. Expected Years of Schooling
 di setiap provinsi di Indonesia itu menggunakan parameter provinsi, 
maka parameter % itu bisa diperbandingkan antar provinsi. Dua outliers negatif NTB 81.05% dan Papua 75.6% bisa diperbandingkan dengan tetangga provinsi bukan outliers yaitu NTT 88.59% dan Papua Barat 93.19% untuk memperoleh gambaran mengenai parameter provinsi yang digunakan.
 Secara nasional, menurut HDR, Expected Years of Schooling
 Indonesia adalah 13.2 tahun atau sekitar 13.2/20 = 67% atau sekitar 
SMA. Ini konsisten dengan data angkatan kerja dan data usia > 15 
tahun yang bekerja di berbagai industri. Bagaimanapun juga, data Expected years of Schooling
 ini bisa memberi gambaran mengenai implementasi kebijakan pendidikan 
setelah merdeka 67 tahun, yaitu pemerataan pendidikan itu masih rendah.
 Namun demikian, Gambar 112 memberi gambaran yang menyesakkan dada. 
Ternyata, NER rendah itu hanya terjadi hanya di tingkat SD dengan 
rata-rata NER 94% dan standard deviasi 3.5. namun, ketika jenjang 
pendidikan semakin tinggi maka deviasi kian melebar, artinya jumlah 
anak-anak dan generasi muda yang memperoleh pelayanan pendidikan semakin
 berkurang. Di jenjang SMP, NER rata-rata 65.3%, atau ada 35.7% seusia 
mereka tidak sekolah, dengan standard deviasi 7.9. Sedang di SMA, NER 
rata-rata 46.7, atau ada 53.3% anak Indonesia seusia mereka tidak 
sekolah, dengan standard deviasi 7.9.
 Bila analisis NER itu dikaitkan dengan analisis ketersediaan perangkat 
keras seperti kelas dan sekolah serta Guru yang lebih menitik beratkan 
pendidikan di tingkat dasar Gambar 104 dan Gambar 105, maka hasil NER 
itu wajar dan menunjukkan bahwa NER seperti itu adalah hasil 
implementasi kebijakan pemerintah.
 Dengan demikian, pendidikan yang membangun peradaban, dan bukan 
peradaban yang membangun pendidikan. Melalui pendidikan, setiap generasi
 baru lahir untuk membangun peradabannya yang lebih baik. Ki Hadjar 
Dewantara mengatakan bahwa pendidikan adalah pembudayaan, budi daya 
terhadap jiwa yang telah masak. Sangat jelas bahwa pendidikan berperan 
dalam menghasilkan output sosial positif.
 Menarik kesimpulan dari berbagai fenomena dan analisis data di bagian pertama analisis ini :
- 
Strategi dan kebijakan bidang Pendidikan bersama-sama dengan strrategi dan kebijakan bidang pertahanan dan keamanan, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat bersama-sam untuk membangun bangsa. Namun, integrasi jaringan strategi dan kebijakakan yang mengindonesia belum terjadi, paling sedikit tampak dari ketimpangan dan kesenjangan.
- 
Jumlah penduduk sebagian besar di desa dan miskin.
- 
Proporsi jumlah pendidikan formal dan jumlah guru masih belum mencerminkan strategi dan kebijakan pendidikan nasional seperti Wajib Belajar sembilan tahun dan pemerataan pendidikan formal.
- 
Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar proporsi jumlah kelas dan jumlah guru swasta. Ini secara implisit mencerminkan kebijakan pemerintah seperti diungkap oleh Carnoy dan Tores.
- 
Ada relasi antara pendidikan, pengangguran, dan tindak pidana
- 
Dalam skala keluarga, orang tua yang tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya maka anak-anak akan tumbuh dan berkembang di luar bentangan yang direntang serta arah busur anak panah yang diarahkan oleh orang tuanya. Demikan pula anak-anak bangsa, ketika negara tidak memperhatikan pendidikan anak-anak bangsa maka mereka bukan akan menjadi pewaris bangsa yang memiliki identitas, jiwa, dan karakter bangsanya.
Illiterate
 atau tingkat kemampuan untuk membaca akan menandai sejauh mana 
seseorang mampu memahami dan memaknai informasi tertulis. Kondisi 
Indonesia menurut data Susenas yang ditayangkan pada Gambar 113, tingkat
 illiteracy adalah 33.4 juta jiwa dengan distribusi terbesar ada pada 
usia > 45 tahun sebanyak 18.25 juta. Bila dihitung dari tahun 2012, 
maka mereka masuk dalam cohort 60-an. Artinya, mereka lahir di masa pergantian rezim Soekarno ke Soeharto. Sebaran Illiterate terkecil adalah 1.71 juta pada usia 15-44 tahun, atau cohort
 70 an bila dihitung dari 2012. Artinya mereka lahir di masa 
pemerintahan rezim Soeharto. Sisanya adalah usia > 10 th dan > 15 
th yang masuk ke cohort 90 an dan 2000-an, bila dihitung dari 2012. Fenomena illiteracy pada cohort
 ini cukup menarik ketika jumlahnya semakin besar. Artinya, mereka 
semakin tidak terpelajar dan jumlahnya bila digabung mendekati illiteracy pada usia >45. 
Gambar 113: lliteracy rate
 Selanjutnya, menunjukkan prosentase illiteracy
 di setiap provinsi dengan rata-rata 16.2% dan standard deviasi ± 10.2. 
Provinsi Jawa Barat, satu dari tiga provinsi kantung kemiskinan di Jawa 
ternyata memiliki illiteracyrate di bawah rata-rata nasional, yaitu 11.54% cukup rendah dibanding illiteracy rate Jawa Tengah 23.52% dan jawa Timur 26.22% yang juga sebagai kantung kemiskinan di Jawa justru di atas Illiteracy rate nasional. Yang menarik, Sulawesi Utara justru memiliki Illiteracy rate
 yang rendah, yaitu 1.43% dan DKI sebagai pembanding adalah 2.7%. 
Artinya Sulawesi Utara lebih rendah dari DKI. DIY yang dijuluki kota 
pendidikan ternyata diatas rata-rata nasional, yaitu 21.95%. Hanya 11 
provinsi yang memiiliki illiteracy rate dibawah rata-rata nasional, atau sekitar 30%. Indonesia Wilayah Timur tetap saja kurang diperhatikan setelah 67 tahun merdeka.
 Tema besar pendidikan dalam membangun bangsa adalah mencerdaskan 
kehidupan bangsa guna memajukan kesejahteraan umum. Sejak 1900 Dr 
Wahidin Soedirohoesodo telah berpikir mengenai pendidikan bangsanya agar
 tidak terbelakang. Bagaimana korelasi antara upaya dalam bidang 
pendidikan, kemiskinan, dan pengangguran ? Table 4 menayangkan multiple correlation variabel pendidikan dan kesejahteraan yang terdiri dari enam variabel: [1] Expected Years of Schooling, [2] Mean Years of Schooling, [3] NER elementary School, [4] NER Junior High Scgool, [5] Senior High Scgool, [6] Illiteracy, dan dua variabel kesejahteraan : [7] Kemiskinan, [8] Pengangguran. Dalam hal ini Illiteracy tidak lepas hubungannya dengan variabel 1-5.
 Yang pertama, Illiteracy berkorelasi
 negatif dengan seluruh sisa variabel pendidikan yang dipilih. Ini masuk
 akal, namun sekaligus menjelaskan bahwa Pendidikan dasar 
provinsi-provinsi para outliers dan di Gambar 115 Gambar 114 
masih tertinggal dibanding provinsi lain. Juga, Kemiskinan berkorelasi 
negatif dengan seluruh variabel pendidikan, termasuk Illiteracy 
yang berkorelasi positif dengan Kemiskinan yang berarti ketika jumlah 
yang tidak berpendidikan semakin tinggi maka tingkat Kemiskinan juga 
semakin tinggi.
 Yang ke dua, sebuah fenomena menarik ketika Pengangguran berkorelasi 
positif dengan seluruh variabel yang berhubungan dengan pendidikan, 
yaitu VAR00001 – VAR00005. Hal itu menunjukkan bahwa semakin tinggi 
nilai vvariabel-variabel terebut maka semakin tinggi jumlah 
pengangguran. Ini terlihat tidak logis. Namun kalau dicermati, korelasi 
positif Spearman sangat lemah yaitu 0.07 terjadi antara Pengangguran 
dengan VAR00002 Mean Years of Schooling dan VAR00005 Senior High School.
 Di sisi yang lain, korelasi positif Spearman cukup kuat terjadi antara Pengangguran dengan VAR00004 Junior High School 0.41 dan VAR00003 elementary School 0.28. Hal ini memberi pesan bahwa semakin banyak Junior High School dan Elementary School
 tidak akan membuat pengangguran turun. Dengan kata lain, terjadi 
ketidak-cocokan antara angkatan kerja dan kebutuhan. Itulah sebabnya Mean Years of Schooling dan Senior High School
 memiliki korelasi positif sangat lemah., karena bukan hanya kedua 
variabel itu berhubungan positif sangat kuat, namun juga karena pasar 
angkatan kerja membutuhkan jenjang yang lebih tinggi namun tidak 
tersedia. Lagi, ini menjadi catatan negatif mengenai implementasi 
kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan ketika sangat 
jelas ada ketimpangan penyediaan sarana dan prasana pendidikan baik 
antar jenjang pendidikan maupun antar provinsi.
 Bila pola hubungan antara Education Index dengan Kemiskinan dituangkan ke dalam perceptual map, maka semakin tampak jelas bahwa semakin besar nilai Expected Years of Schooling, maka semakin rendah kemiskinan, Gambar 115.
 Sangat jelas, dan sangat menonjol, bahwa tiga provinsi kantung 
kemiskinan itu yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat dalam 
posisi berurutan di mana Jawa Timur dengan tingkat kemiskinan paling 
tinggi dan Expected Years of Schooling paling rendah di antara ke
 tiga provinsi kantung kemiskinan tersebut. Di sisi yang lain, Jawa 
Barat dengan tingkat kemiskinan paling rendah di antara ketiga provinsi 
tersebut ditandai oleh Expected Years of Schooling tertinggi di antara ketiga provinsi tersebut. Sedang, Jawa Tengah berada di antara ke dua provinsi tetangga tersebut.
 Juga, pengelompokan cluster provinsi di sekitar garis regresi menunjukkan pola yang cenderung turun. Papua diujung paling rendah nilai Expected Years of Schooling, meskipun
 jumlah kemiskinan bukan yang tertinggi dan penyimpangan yang besar dari
 garis regresi, adalah awal pola dan Sulawesi Utara di paling ujung 
paling tinggi nilai Expected Years of Schooling adalah akhir pola
 yang bisa ditarik garis dan menjelaskan hubungan negatif antara 
pendidikan yang bisa dicapai dengan kemiskinan.
 Di sisi dimensi Education Index dari indikator yang lain, yaitu Mean Years of Schooling, pola hubungan antara Kemiskinan dengan Mean Years of Schooling
 itu juga negatif, Gambar 117. Tiga provinsi kantung kemiskinan di 
Indonesia itu juga berpola sama. Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat
 dalam posisi berurutan di mana Jawa Timur dengan tingkat kemiskinan 
paling tinggi dan Mean Years of Schooling paling rendah di antara ke tiga provinsi kantung kemiskinan tersebut.
 Di sisi yang lain, Jawa Barat dengan tingkat kemiskinan paling rendah 
di antara ketiga provinsi tersebut ditandai oleh Mean Years of Schooling
 tertinggi di antara ketiga provinsi tersebut. Sedang, Jawa Tengah 
berada di antara ke dua provinsi tetangga tersebut.
 Papua tetap berada di paling rendah nilai Mean Years of Schooling dan di ujung lain dengan nilai tertinggi Mean years of Schooling
 adalah provinsi DKI. Cluster provinsi yang dibentuk oleh variabel 
Kemiskinan dan Mean Years of Schooling itu membentuk arah menurun yang 
jelas. Artinya semakin rendah Mean Years of Schooling semakin 
tinggi tingkat Kemiskinan. Sebagai tambahan, ketiga provinsi kantung 
kemiskinan itu bersifat kingkong effect, bila datanya diabaikan maka 
nilai koefisien determinasi akan semakin baik sehingga variance 
yang tidak bisa dijelaskan juga akan berkurang. Terbukti bahwa 
pendidikan adalah sarana untuk memajukan kesejahteraan umum sesuai 
dengan amanat konstitusi di Pembukaan UUD 1945. Seperti Dr Wahidin telah
 memulai dengan pendidikan kaum pribumi sejak 1900.
*Kemendiknas, Guru Negeri dan Swasta
*Statistical Process Controll technical note.
0 Response to "Realitas Pendidikan Indonesia: Masalah Pendidikan Indonesia "
Post a Comment