'

Selamat Datang di Website Resmi Muhammad Akbar bin Zaid “Assalamu Alaikum Warahmtullahi Wabarakatu” Blog ini merupakan blog personal yg dibuat & dikembangkan oleh Muhammad Akbar bin Zaid, Deskripsinya adalah "Referensi Ilmu Agama, Inspirasi, Motivasi, Pendidikan, Moralitas & Karya" merupakan kesimpulan dari sekian banyak kategori yang ada di dalam blog ini. Bagi pengunjung yang ingin memberikan saran, coretan & kritikan bisa di torehkan pada area komentar atau lewat e-mail ini & bisa juga berteman lewat Facebook. Terimah Kasih Telah Berkunjung – وَالسٌلام عَلَيْكُم

Realitas Pendidikan Indonesia: Masalah Pendidikan Indonesia

Sekolah
Pendidikan Indonesia, sesuai dengan amanat konstitusi, mempunyai misi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa guna memajukan kesejahteraan umum. Sesuai dengan amanat konstitusi, Pendidikan mencakup tiga bidang utama yang saling berkaitan yaitu:
  • Perangkat keras, yaitu sarana dan prasarana pendidikan
  • Perangkat lunak yaitu isi yang sesuai dengan tujuan pembangunan bangsa dan negara.
  • Pendidik, yaitu mereka yang memberikan isi dan memberi teladan kepada peserta didik.
Dari ketiga jangkauan utama itu, butir 1 dan 3 merupakan fondasi bagi butir 2. Lingkungan pendidikan yang baik tentu membutuhkan butir 1 dan 3 sebagai fondasi agar butir 2 bisa disemai dengan baik pula.
  1. Perangkat Keras
Yang pertama, Gambar 95 menayangkan jumlah sekolah Negeri dan Swasta di Indonesia. Ternyata jumlah sekolah di Indonesia didominasi oleh SD, yaitu 143.252 sekolah atau 55%. Sedang SMP 29.866 sekolah atau 11%, SMA 11.036 atau 4%, dan SMK 8.399 atau 3%. Disamping itu, TK 67.550 atau 26% dan SLB 1.803 atau 1%. Data ini menjelaskan gambaran strategi dan kebijakan pemerintah dalam bidang perangkat keras pendidikan, yaitu mengutamakan pendidikan SD, serupa jenjang piramida penduduk.Muncul pertanyaan mengenai daya tampung tingkat lanjut pendidikan tingkat SD atau SMP mengingat usia tersebut masih dalam usia pendidikan dasar dan bukan usia kerja. Apakah mereka akan dropout ?
Screenshot-44
Gambar 95: Jumlah Sekolah Negeri dan Swasta berdasar jenjang Pendidikan, 2010.
Bila digali lebih dalam di setiap provinsi, seperti ditayangkan pada Gambar 96, tampak bahwa distribusi jumlah sekolah berdasar jenjang pendidikan di setiap provinsi sama dan korelatif dengan jumlah penduduk. Ini menandai bahwa kebijakan pola itu merupakan hasil kerbijakan terpusat, bukan daerah. Menjadi pertanyaan kritis adalah :
  1. Bagaimana dengan implementasi kebijakan Wajib belajar sembilan tahun sesuai dengan UU No 20 Th 2003 ketika jumlah kelas antar SD dan SMP tidak seimbang ?
  2. Bagaimana implementasi kebijakan pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ketika siswa tersebar di belasan ribu pulau?
  3. Bagaimana implementasi kebijakan pemerintah di bidang penyiapan tenaga kerja ketika kesenjangan lingkungan ada ?
 Screenshot-45
Gambar 96: Jumlah Sekolah berdasar jenjang pendidikan si seluruh provinsi
Yang ke dua, secara nasional seperti ditayangkan pada Gambar 97 , peran Swasta dalam menyelenggarakan pendidikan tingkat TK 97% dan Sekolah Luar Biasa atau SLB 70% sangat besar. Di dua sektor pendidikan ini peran pemerintah sangat kecil, yaitu TK 3% dan SLB 30%. Disamping itu, peran pemerintah di bidang pendidikan negeri semakin berkurang pada pendidikan yang lebih tinggi. Bila pada tingkat pendidikan SD 90% maka pada SMP 72%, SMA, 64%, dan SMK 37%. Globalneoliberalism scenario tampak dalam data ini, yaitu pembiayaan pendidikan dari tingkat yang tinggi dialihkan ke tingkat yang lebih rendah karena memberikan return yang lebih besar (Carnoy, 1999), (Torres, 2009).
Screenshot-46
Gambar 97: Jumlah Kelas berdasar tingkat pendidikan, 2010
Yang ke tiga,wajib belajar sembilan tahun berarti anak wajib mengikuti pendidikan hingga tingkat pendidikan SMP. Ketika proporsi jumlah kelas secara nasional seperti dalam data tersebut, yaitu jumlah kelas SD 808.872 (negeri) + 90.144 (swasta) = 899.016, padahal jumlah kelas di tingkat lanjutan yaitu SMP adalah 185.147 (negeri) + 70.948 (swasta) = 256.095, atau 256.095/899.016 = 28.5%, maka 72.5% lulusan SD mau kemana ? Fakta ini bisa menjelaskan fenomena :
  • dominasi jumlah angkatan kerja SD
  • dominasi pengangguran SMA
  • fenomena pengangguran di desa 63%
Di sisi yang lain, sektor pertanian, perkebunan, perikanan tidak memberi kontribusi signifikan pada PDB ketika sektor tersebut di Indonesia sangat melimpah. Ini menjadikan fondasi pertumbuhan ekonomi Indonesia rapuh (Marchelo, MI, 13 Des 2012), (Wibowo MI, 4 JANUARI 2013 ).
Yang ke-empat, kebijakan pemerintah semakin tampak jelas bila sekolah swasta diperbandingkan, lihat Gambar 99.
  1. Pada tingkat TK, sanggat jelas swasta mendominasi dan memegang peranan. Ada dua pertanyaan yang muncul, pertama seandainya swasta tidak mengisi maka bagaimana jadinya?, ke dua apakah pendidikan usia dini tidak penting bagi masa perkembangan anak?
  2. Pada tingkat SLB, di jenjang ini meskipun swasta tetap mendominasi namun pemerintah sedikit berperan dan terlihat bahwa kebijakan pemerintah mendua dengan program pendidikan inklusi.
  3. Pada jenjang pendidikan SD sangat terlihat bagaimana pemerintah mendominasi jenjang ini. Bukannya swasta tidak berperan, namun peran swasta tidak sebanding dengan peran pemerintah.
  4. Pada jenjang pendidikan SMP, peran pemerintah mulai berkurang dan di-isi oleh swasta.
.Screenshot-47
Gambar 98: Perceptual Map Jumlah Kelas di Indonesia 2010
  1. Pada jenjang pendidikan SMA peran pemerintah semakin berkurang dibanding di jenjang Pendidikan SMP, maka peran itu kemudian di-isi oleh swasta.
  1. Pada jenjang SMK, peran pemerintah menjadi semakin berkurang dibanding jenjang pendidikan SMA. Seakan-akan ini memberi gambaran kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan pendidikan kejuruan dan lebih mementingkan pendidikan umum.
Screenshot-48
Gambar 99: Jumlah Kelas di Sekolah Negeri dan Swasta di Setiap Provinsi Indonesia 2010.
Pola nasional tersebut ternyata merata di semua provinsi, Gambar 100. Ini menunjukkan masalah ketidakseimbangan kelanjutan jenjang pendidikan di Tingkat SD ke SMP tersebut memang didisain secara demikian oleh kebijakan pemerintah pusat dengan kepanjangan tangan pemerintah daerah. Setiap anak di Papua, Aceh, Nunukan, Rote, Miangas, dan diseluruh penjuru negeri adalah anak Indonesia, bangsa Indoensia, yang sesuai dengan konstitusi menjadi tujuan untuk dicerdaskan. Apalagi bila dikaitkan dengan program wajib belajar sembilan tahun. Hal yang sama juga di jenjang pendidikan SMP ke SMA/SMK dan itu juga terjadi di semua provinsi.
  1. Guru
Bagaimana dengan jumlah Guru sebagai pendidik ? Gambar 100 menayangkan jumlah guru negeri dan swasta secara nasional. Bagaimanapun juga, jumlah guru negeri mendominasi jumlah guru di Indonsia, yaitu 78%, sedang guru Swasta hanya 22%. Yang dimaksud guru swasta adalah* :
  • Bukan PNS
  • Guru Tetap Yayasan
  • Honor Sekolah
  • Guru Bantu Pusat ATCL
  • Guru Bantu daerah ATDL
Screenshot-49
Gambar 100: Jumlah Guru di Sekolah Negeri dan Swasta berdasar jenjang pendidikan 2010
Meskipun jumlah guru negeri 72%, namun disttibusi di setiap jenjang pendidikan ternyata tidak mempunyai standard yang jelas. Sebagai misal mengapa jumlah guru SLB negeri sangat sedikit dan jumlah guru SD mendominasi ? Gambar 101 lebih jelas untuk memberi gambaran mengenai proporsi di setiap jenjang pendidikan. Bagaimana mungkin jumlah guru negeri jenjang SMP hanya 1/3 jumlah guru jenjang SD ? Ini bukan hanya menunjukkan ketimpangan di sisi jumlah guru, tetapi juga di jumlah kelas atau sekolah. Di sisi yang lain, jumlah guru swasta malah lebih tampak proporsional.
Screenshot-50
Gambar 101: Proporsi Jumlah Guru Berdasar Jenjang Pendidikan, 2010
Namun demikian, bila jumlah guru negeri dan swasta itu dilihat secara nasional untuk seluruh jenjang pendidikan, Gambar 102, tampak bahwa di seluruh provinsi jumlah guru negeri jauh lebih besar dan bervariasi. Jadi, perbedaan proporsi itu ada pada jenjang pendidikan dan kemungkinan besar variasi proporsi jumlah guru negeri dan swasta dipengaruhi oleh jenjang pendidikan.
Screenshot-51
Gambar 102: Jumlah Guru Negeri dan Swasta di Setiap Provinsi
Di sisi yang lain, melalui Gambar 103 tampak bahwa jumlah penduduk menjadi acuan mengenai penyediaan jumlah kelas dan guru. Lagi, tampak bahwa jumlah guru di jenjang pendidikan SD yang paling dominan dan ini setara dengan jumlah kelas.
Screenshot-53
Gambar 103: Jumlah Guru di Sekolah Negeri dan Swasta di Setiap Jenjang Pendidikan 2010.
Apabila digali lebih dalam mengenai rasio antara jumlah guru negeri dan swasta dengan jumlah kelas, seperti ditayangkan di Gambar 105 maka rasio antara jumlah guru dan jumlah kelas di setiap provinsi tidak sama. Meskipun jumlah guru negeri mendominasi 78% namun peran guru swasta yang menjadi komplemen 22 % membuat variasi itu muncul di daerah-daerah ketika pemerintah absen.
Screenshot-54
Gambar 104: Rasio Jumlah Guru Dibanding Jumlah Kelas, di Setiap Provinsi 2010.
Perceptual map yang menjelaskan kebijakan pemerintah untuk pendidik negeri dan swasta di Gambar 106 menjelaskan inkonsistensi kebijakan. Semakin jelas, pemerintqah hanya fokus pada pendidik negeri pada jenjang SD. Untuk SLB dan SMP ke atas pemerintah semakin mengurangi jumlah pendidik negeri.
 Screenshot-55
Gambar 105: Jumlah Pendidik Negeri vs Jumlah Pendidik Swasta
Masalah akan menjadi semakin rumit ketika piramida penduduk 2012 menunjukkan fakta bahwa usia 0-14 lebih lebar dan itu berarti membutuhkan pelayanan pendidikan ketika pelayanan pendidikan yang ada kurang memadai, baik dari sisi kelas maupun dari sisi guru. Sebagai contoh, rasio guru dan kelas di Aceh untuk jenjang SMK 3.5 itu berarti satu kelas dilayani oleh 3.5 guru secara rata-rata atau lebih dari 3 guru. Juga rasio guru dan kelas di jenjang SD Kepulauan Riau 2.0 maka itu berarti satu kelas di provinsi tersebut dilayani oleh dua guru. Sebaliknya, di jenjang SMA provinsi Jawa Barat, rasio guru/kelas adalah 0.6. Itu berarti satu guru harus melayani lebih dari satu kelas. Seperti juga di provinsi Riau rasio guru dan kelas adalah 0.5 berarti satu guru melayani dua kelas. Variasi ini menandai kebijakan pemerintah yang tidak sama untuk pelayanan pendidikan yang menyangkut penyediaan kelas dan pendidik. Rasio proporsi guru status negeri dan kelas di sekolah negeri di di 33 provinsi Indonesia adalah :
Rata-rata
Standard Deviasi
TK
1.20
2.00
SLB
0.45
0.20
SD
1.66
0.22
SMP
2.35
0.30
SMA
0.56
0.20
SMK
3.28
0.70
Ternyata proporsi guru dan kelas di jenjang SMA 0.56 dengan standard deviasi ± 0.2. Ini berarti, satu guru SMA secara rata-rata di seluruh provinsi melayani lebih dari satu kelas.
Screenshot-56
Screenshot-56Gambar 106: Rasio Guru dengan Kelas Jenjang TK, SLB, dan SD, 2010
Variasi proporsi guru dan kelas di setiap jenjang pendidikan di seluruh provinsi ditayangkan pada Gambar 107 dan Gambar 108. Inkonsitensi kebijakan pemerintah terhadap daerah semakin tampak manakala tidak ada pola variasi yang jelas di setiap jenjang pendidikan di seluruh provinsi. Hal itu mudah diamati dari pola penyimpangan terhadap rata-rata proporsi dan posisi outliers atau data di luar standard deviasiuntuk semua jenjang pendidikan dan provinsi. Outliers itu disebabkan oleh special cause variation*. Variasi proporsi provinsi Bengkulu sebagai contoh, di jenjang TK dan SLB outliers, namun di jenjang SD berada di bawah rata-rata variasi nasional 1.66, yaitu 1.5 yang berarti bagus, sedang di SMP, SMA, dan SMK di rata-rata nasional.
Juga provinsi Sulawesi Barat, proporsi guru dan kelas untuk jenjang SLB 1.28 ketika rata-rata provinsi atau nasional 0.45. Sebagai tambahan, variasi proporsi provinsi Banten outliers positif pada jenjang pendidikan SMK, yaitu 0.72 ketika rata-rata nasional 3.28, yang berarti satu kelas dilayani oleh lebih dari 3 pendidik. Ironisnya, beberapa SMK di luar Jawa berada di ouliers negatif, seperti Jambi, Kepulauan Riau,Kalimantan Tengah, dan Maluku Utara. Kasus dengan pola variasi tidak jelas ini banyak terjadi dan menandai Strategi dan implementasi kebijakan pemerintah yang tidak jelas. Inkonsistensi kebijakan itu juga semakin tampak jelas pada proporsi guru swasta dan negeri sejak jenjang SD hingga SMA/SMK.
Screenshot-57
Gambar 107: Proporsi Guru Terhadap Kelas Jenjang SMP, SMA, dan SMK, 2010
  1. Net Enrollment Ratio
Setelah pembahasan Perangkat Keras dan Pendidik dari sisi jumlah yang telah memberi gambaran mengenai ketersediaan fasilitas kelas dan guru, maka persoalan lain yang perlu dibahas adalah kebutuhan pendidikan formal. Yang pertama karena ada pendidikan negeri dan swasta dalam sistem pendidikan di Indonesia maka rasio pendaftar-diterima bisa menjadi indikator sampai sejauh mana anak-anak dan generasi muda memperoleh pelayanan Pendidikan.
Screenshot-58
Gambar 108: Rasio Pendaftar-Diterima di Sekolah Negeri dan Swasta 2010
Gambar 108 menjelaskan bahwa :
  • Di semua jenjang pendidikan formal, tidak semua pendaftar diterima, baik di sekolah negeri maupun swasta.
  • Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin turun daya tampung kapasitas pendidikan formal.
  • Pendidikan formal swasta partner handal dalam menampung kebutuhan pendidikan formal. Bahkan mulai jenjang pendidikan SMP ke atas peran swasta melampaui negeri. Pendidikan formal negeri hanya dominan di jenjang SD.
Lebih lanjut, NER atau Net Enrollment Ratio didefinisikan oleh UNESCO sebagai ukuran dalam persentase untuk menilai kelompok usia yang masuk sekolah pada tingkat pendidikan yang sesuai. NER SD= 35% berarti ada 35 anak dari 100 anak kelompok usia SD yang sekolah dan itu berarti pula ada 65% yang tidak sekolah, Gambar 109.
Screenshot-59
Gambar 109: Net Enrolment Ratio 2010
 Tujuan dari NER adalah untuk menunjukkan sejauh mana partisipasi anak atau generasi muda dalam setiap tingkat pendidikan dan juga sekaligus menunjukkan berapa banyak anak yang tidak memperoleh pendidikan dasar. Ini sangat penting untuk mengukur tingkat akses ke pendidikan serta mengukur hak penduduk di suatu wilayah atau negara. Pada tahun 2010, Gambar 109, NER Indonesia menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan semakin rendah partisipasi anak atau generasi muda untuk mengakses pendidikan. Pada pendidikan dasar 94.76%, menengah 67.73% dan atas 45.59%. Itu berarti pula ada 5.24% yang tidak mengenyam pendidikan dasar, 33.27% pendidikan menengah, dan 54.41% pendidikan atas.
Data NER ini mengundang dua pertanyaan mendasar terkait dengan pendidikan. Mengingat UU No 20/2003 telah mewajibkan belajar sembilan tahun maka,
  • Bagaimana mereka yang tidak sekolah ? Apa tanggung jawab pemerintah ?
  • Apakah karena tidak bisa mengakses fasilitas pendidikan karena kekurangan fasilitas atau keterbataasan sekolah yang tersedia ?
  • Apakah mereka tidak bisa mengakses fasilitas pendidikan karena disebabkan oleh faktor lain misal lokasi mengingat kondisi geografis Inndonesia ?
  • Apakah mereka tidak bisa mengakses fasilitas pendidikan atau faktor sosial lain karena disebabkan oleh faktor seperti kemiskinan ?
Bagaimanapun juga, itu semua merupakan indikator yang kurang bagus untuk input tenaga kerja dan pembangunan bangsa. Fakta menunjukkan bahwa tenaga kerja di desa dan kota didominasi oleh pendidikan tingkat SD dan SLTP 60% dan sisanya 40% terdiri tingkat pendidikan mulai dari SMA, Diploma, dan Universitas.
Bila data NER nasional itu diurai ke setiap provinsi, maka tampak bahwa , lihat Gambar 110:
  1. Di Elementary School, variasi sempit dengan standard deviasi 1.4 dan rata-rata 94.6. Artinya NER di elementary School, antara 93,2 – 96. Atau hanya sekitar 5.4 % anak sesusia SD yang tdak sekolah. Namun, semakin tinggi jenjang pendidikan maka variasi itu semakin lebar dengan rata-rata NER yang semakin rendah, artinya semakin banyak yang tidak sekolah. Di Junior High School NER rata-rata 65.7 dengan standard deviasi ± 7.4. Artinya ada sekitar 26.9% – 41.7% anak sesusia SMP tidak sekolah. Di Senior High School, NER rata-rata semakin rendah yaitu 46.9 dengan standard deviasi yang semakin lebar, yaitu 7.8. Itu berarti, ada sekitar 39.1% – 54.7% anak sesusia SMA yang tidak sekolah.
  2. Di Elementary School hanya ada satu outlier yang bersifat kingkong effect, yaitu provinsi Aceh, sehingga kala data tersebut tidak diikutkan maka variasi akan semakin sempit dan demikian pula rata-rata akan semakin bertambah. Namun semakin tinggi jenjang pendidikan outliers semakin bertambah.
  3. Pola NER di tiga jenjang pendidikan ini memberi gambaran mengenai implementasi kebijakan pendidikan untuk membangun bangsa Indonesia.
Screenshot-60
Gambar 110: NER 2010
Gradasi NER di tingkat SMP dan SMA di semua provinsi semakin memberikan indikasi mengenai ketidakintegrasian kebijakan di bidang pendidikan, ketenagakerjaan, dan politk pembangunan. Penganguran terbuka yang didominasi oleh tingkat pendidikan SD, SMP, dan SMA sebesar 77% di tahun 2010 menunjukkan bahwa NER rendah itu menunjukkan dua hal sekaligus, yaitu: 1. Pemerintah masih bimbang untuk menaikkan NER, 2. Seandainya NER dinaikkan, artinya fasilitas pendidikan ditambah maka tingkat pengangguran terbuka untuk tingkat SMP dan SMA akan semakin tinggi, berdasarkan asumsi pertumbuhan ekonmoi 6% dan setiap 1% menyerap 400 ribu tenaga kerja.
Disamping itu, means years schooling yang ditayangkan pada Gambar 112 memberi gambaran mengenai ketimpangan means years schooling diseluruh provinsi Indonesia. Negative Outliersmeans years schooling adalah provinsi Kalimantan barat, NTT, NTB, Sulawesi Barat, yaitu dibawah 7 tahun. Data yang eratik menyebar di sekitar nilai tengah menjelaskan implementasi kebijakan yang tidak setara. Hanya sebagian kecil kalau menurut data tersebut yang bisa mencapai jenjang SMP. Provinsi DKI adalah positive outliers, yaitu 11 tahun dan sebagai kingkong effect.
Screenshot-61
Gambar 111: Mean Years of Schooling dan Expected Years of Schooling, 2010
Di sisi yang lain, di Gambar 111,Expected Years of Schooling dan Mean Years of Schooling membentuk dimensi Education Index sebagai satu di antara tiga dimensi Human Development Index, menunjukkan berapa persen suatu penduduk suatu wilayah menjalaninya. Misal di suatu wilayah pendidikan tertinggi adalah Universitas, maka akan ditempuh waktu 9+3+3+5 tahun atau 20 tahun untuk menempuhnya. Bila rata-rata penduduk di wilayah tersebut hanya belajar sembilan tahun atau sampai jenjang SMP secara rata-rata maka nilai Expected Years of Schooling adalah 10/20 atau 50%. Dengan demikian, semakin tinggi % Expected years of Schooling maka semakin tinggi jenjang pendidikan yang bisa dijalani. Expected Years of Schooling di setiap provinsi di Indonesia itu menggunakan parameter provinsi, maka parameter % itu bisa diperbandingkan antar provinsi. Dua outliers negatif NTB 81.05% dan Papua 75.6% bisa diperbandingkan dengan tetangga provinsi bukan outliers yaitu NTT 88.59% dan Papua Barat 93.19% untuk memperoleh gambaran mengenai parameter provinsi yang digunakan.
Secara nasional, menurut HDR, Expected Years of Schooling Indonesia adalah 13.2 tahun atau sekitar 13.2/20 = 67% atau sekitar SMA. Ini konsisten dengan data angkatan kerja dan data usia > 15 tahun yang bekerja di berbagai industri. Bagaimanapun juga, data Expected years of Schooling ini bisa memberi gambaran mengenai implementasi kebijakan pendidikan setelah merdeka 67 tahun, yaitu pemerataan pendidikan itu masih rendah.
Screenshot-62
Gambar 112: HDI dan NER SD dan SMA 2010
Namun demikian, Gambar 112 memberi gambaran yang menyesakkan dada. Ternyata, NER rendah itu hanya terjadi hanya di tingkat SD dengan rata-rata NER 94% dan standard deviasi 3.5. namun, ketika jenjang pendidikan semakin tinggi maka deviasi kian melebar, artinya jumlah anak-anak dan generasi muda yang memperoleh pelayanan pendidikan semakin berkurang. Di jenjang SMP, NER rata-rata 65.3%, atau ada 35.7% seusia mereka tidak sekolah, dengan standard deviasi 7.9. Sedang di SMA, NER rata-rata 46.7, atau ada 53.3% anak Indonesia seusia mereka tidak sekolah, dengan standard deviasi 7.9.
Bila analisis NER itu dikaitkan dengan analisis ketersediaan perangkat keras seperti kelas dan sekolah serta Guru yang lebih menitik beratkan pendidikan di tingkat dasar Gambar 104 dan Gambar 105, maka hasil NER itu wajar dan menunjukkan bahwa NER seperti itu adalah hasil implementasi kebijakan pemerintah.
Dengan demikian, pendidikan yang membangun peradaban, dan bukan peradaban yang membangun pendidikan. Melalui pendidikan, setiap generasi baru lahir untuk membangun peradabannya yang lebih baik. Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan adalah pembudayaan, budi daya terhadap jiwa yang telah masak. Sangat jelas bahwa pendidikan berperan dalam menghasilkan output sosial positif.
Menarik kesimpulan dari berbagai fenomena dan analisis data di bagian pertama analisis ini :
  1. Strategi dan kebijakan bidang Pendidikan bersama-sama dengan strrategi dan kebijakan bidang pertahanan dan keamanan, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat bersama-sam untuk membangun bangsa. Namun, integrasi jaringan strategi dan kebijakakan yang mengindonesia belum terjadi, paling sedikit tampak dari ketimpangan dan kesenjangan.
  2. Jumlah penduduk sebagian besar di desa dan miskin.
  3. Proporsi jumlah pendidikan formal dan jumlah guru masih belum mencerminkan strategi dan kebijakan pendidikan nasional seperti Wajib Belajar sembilan tahun dan pemerataan pendidikan formal.
  4. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar proporsi jumlah kelas dan jumlah guru swasta. Ini secara implisit mencerminkan kebijakan pemerintah seperti diungkap oleh Carnoy dan Tores.
  5. Ada relasi antara pendidikan, pengangguran, dan tindak pidana
  6. Dalam skala keluarga, orang tua yang tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya maka anak-anak akan tumbuh dan berkembang di luar bentangan yang direntang serta arah busur anak panah yang diarahkan oleh orang tuanya. Demikan pula anak-anak bangsa, ketika negara tidak memperhatikan pendidikan anak-anak bangsa maka mereka bukan akan menjadi pewaris bangsa yang memiliki identitas, jiwa, dan karakter bangsanya.
  1. Illiteracy
Illiterate atau tingkat kemampuan untuk membaca akan menandai sejauh mana seseorang mampu memahami dan memaknai informasi tertulis. Kondisi Indonesia menurut data Susenas yang ditayangkan pada Gambar 113, tingkat illiteracy adalah 33.4 juta jiwa dengan distribusi terbesar ada pada usia > 45 tahun sebanyak 18.25 juta. Bila dihitung dari tahun 2012, maka mereka masuk dalam cohort 60-an. Artinya, mereka lahir di masa pergantian rezim Soekarno ke Soeharto. Sebaran Illiterate terkecil adalah 1.71 juta pada usia 15-44 tahun, atau cohort 70 an bila dihitung dari 2012. Artinya mereka lahir di masa pemerintahan rezim Soeharto. Sisanya adalah usia > 10 th dan > 15 th yang masuk ke cohort 90 an dan 2000-an, bila dihitung dari 2012. Fenomena illiteracy pada cohort ini cukup menarik ketika jumlahnya semakin besar. Artinya, mereka semakin tidak terpelajar dan jumlahnya bila digabung mendekati illiteracy pada usia >45.
Screenshot-63
Gambar 113: lliteracy rate
Selanjutnya, menunjukkan prosentase illiteracy di setiap provinsi dengan rata-rata 16.2% dan standard deviasi ± 10.2. Provinsi Jawa Barat, satu dari tiga provinsi kantung kemiskinan di Jawa ternyata memiliki illiteracyrate di bawah rata-rata nasional, yaitu 11.54% cukup rendah dibanding illiteracy rate Jawa Tengah 23.52% dan jawa Timur 26.22% yang juga sebagai kantung kemiskinan di Jawa justru di atas Illiteracy rate nasional. Yang menarik, Sulawesi Utara justru memiliki Illiteracy rate yang rendah, yaitu 1.43% dan DKI sebagai pembanding adalah 2.7%. Artinya Sulawesi Utara lebih rendah dari DKI. DIY yang dijuluki kota pendidikan ternyata diatas rata-rata nasional, yaitu 21.95%. Hanya 11 provinsi yang memiiliki illiteracy rate dibawah rata-rata nasional, atau sekitar 30%. Indonesia Wilayah Timur tetap saja kurang diperhatikan setelah 67 tahun merdeka.
Screenshot-64
Gambar 114: Illiterate di setiap Provinsi
Tema besar pendidikan dalam membangun bangsa adalah mencerdaskan kehidupan bangsa guna memajukan kesejahteraan umum. Sejak 1900 Dr Wahidin Soedirohoesodo telah berpikir mengenai pendidikan bangsanya agar tidak terbelakang. Bagaimana korelasi antara upaya dalam bidang pendidikan, kemiskinan, dan pengangguran ? Table 4 menayangkan multiple correlation variabel pendidikan dan kesejahteraan yang terdiri dari enam variabel: [1] Expected Years of Schooling, [2] Mean Years of Schooling, [3] NER elementary School, [4] NER Junior High Scgool, [5] Senior High Scgool, [6] Illiteracy, dan dua variabel kesejahteraan : [7] Kemiskinan, [8] Pengangguran. Dalam hal ini Illiteracy tidak lepas hubungannya dengan variabel 1-5.
Yang pertama, Illiteracy berkorelasi negatif dengan seluruh sisa variabel pendidikan yang dipilih. Ini masuk akal, namun sekaligus menjelaskan bahwa Pendidikan dasar provinsi-provinsi para outliers dan di Gambar 115 Gambar 114 masih tertinggal dibanding provinsi lain. Juga, Kemiskinan berkorelasi negatif dengan seluruh variabel pendidikan, termasuk Illiteracy yang berkorelasi positif dengan Kemiskinan yang berarti ketika jumlah yang tidak berpendidikan semakin tinggi maka tingkat Kemiskinan juga semakin tinggi.
Yang ke dua, sebuah fenomena menarik ketika Pengangguran berkorelasi positif dengan seluruh variabel yang berhubungan dengan pendidikan, yaitu VAR00001 – VAR00005. Hal itu menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai vvariabel-variabel terebut maka semakin tinggi jumlah pengangguran. Ini terlihat tidak logis. Namun kalau dicermati, korelasi positif Spearman sangat lemah yaitu 0.07 terjadi antara Pengangguran dengan VAR00002 Mean Years of Schooling dan VAR00005 Senior High School.
Screenshot-65
Table 4: Pendidikan, Kemiskinan, dan Pengangguran
Di sisi yang lain, korelasi positif Spearman cukup kuat terjadi antara Pengangguran dengan VAR00004 Junior High School 0.41 dan VAR00003 elementary School 0.28. Hal ini memberi pesan bahwa semakin banyak Junior High School dan Elementary School tidak akan membuat pengangguran turun. Dengan kata lain, terjadi ketidak-cocokan antara angkatan kerja dan kebutuhan. Itulah sebabnya Mean Years of Schooling dan Senior High School memiliki korelasi positif sangat lemah., karena bukan hanya kedua variabel itu berhubungan positif sangat kuat, namun juga karena pasar angkatan kerja membutuhkan jenjang yang lebih tinggi namun tidak tersedia. Lagi, ini menjadi catatan negatif mengenai implementasi kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan ketika sangat jelas ada ketimpangan penyediaan sarana dan prasana pendidikan baik antar jenjang pendidikan maupun antar provinsi.
Bila pola hubungan antara Education Index dengan Kemiskinan dituangkan ke dalam perceptual map, maka semakin tampak jelas bahwa semakin besar nilai Expected Years of Schooling, maka semakin rendah kemiskinan, Gambar 115.

Screenshot-66
Gambar 115: Kemiskinan vs Expected Years of Schooling

Sangat jelas, dan sangat menonjol, bahwa tiga provinsi kantung kemiskinan itu yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat dalam posisi berurutan di mana Jawa Timur dengan tingkat kemiskinan paling tinggi dan Expected Years of Schooling paling rendah di antara ke tiga provinsi kantung kemiskinan tersebut. Di sisi yang lain, Jawa Barat dengan tingkat kemiskinan paling rendah di antara ketiga provinsi tersebut ditandai oleh Expected Years of Schooling tertinggi di antara ketiga provinsi tersebut. Sedang, Jawa Tengah berada di antara ke dua provinsi tetangga tersebut.
Juga, pengelompokan cluster provinsi di sekitar garis regresi menunjukkan pola yang cenderung turun. Papua diujung paling rendah nilai Expected Years of Schooling, meskipun jumlah kemiskinan bukan yang tertinggi dan penyimpangan yang besar dari garis regresi, adalah awal pola dan Sulawesi Utara di paling ujung paling tinggi nilai Expected Years of Schooling adalah akhir pola yang bisa ditarik garis dan menjelaskan hubungan negatif antara pendidikan yang bisa dicapai dengan kemiskinan.
Di sisi dimensi Education Index dari indikator yang lain, yaitu Mean Years of Schooling, pola hubungan antara Kemiskinan dengan Mean Years of Schooling itu juga negatif, Gambar 117. Tiga provinsi kantung kemiskinan di Indonesia itu juga berpola sama. Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat dalam posisi berurutan di mana Jawa Timur dengan tingkat kemiskinan paling tinggi dan Mean Years of Schooling paling rendah di antara ke tiga provinsi kantung kemiskinan tersebut.
Di sisi yang lain, Jawa Barat dengan tingkat kemiskinan paling rendah di antara ketiga provinsi tersebut ditandai oleh Mean Years of Schooling tertinggi di antara ketiga provinsi tersebut. Sedang, Jawa Tengah berada di antara ke dua provinsi tetangga tersebut.
Screenshot-67
Gambar 116: Kemiskinan vs Mean Years of Schooling
Papua tetap berada di paling rendah nilai Mean Years of Schooling dan di ujung lain dengan nilai tertinggi Mean years of Schooling adalah provinsi DKI. Cluster provinsi yang dibentuk oleh variabel Kemiskinan dan Mean Years of Schooling itu membentuk arah menurun yang jelas. Artinya semakin rendah Mean Years of Schooling semakin tinggi tingkat Kemiskinan. Sebagai tambahan, ketiga provinsi kantung kemiskinan itu bersifat kingkong effect, bila datanya diabaikan maka nilai koefisien determinasi akan semakin baik sehingga variance yang tidak bisa dijelaskan juga akan berkurang. Terbukti bahwa pendidikan adalah sarana untuk memajukan kesejahteraan umum sesuai dengan amanat konstitusi di Pembukaan UUD 1945. Seperti Dr Wahidin telah memulai dengan pendidikan kaum pribumi sejak 1900.
*Kemendiknas, Guru Negeri dan Swasta
*Statistical Process Controll technical note.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Realitas Pendidikan Indonesia: Masalah Pendidikan Indonesia "