Realitas Pendidikan Indonesia: Kejahatan Yang Terjadi Pada Anak
Oleh: Muhammad Akbar
Jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga
Fakultas Ilmu Keolahragaan
Universitas
Negeri Makassar
Akbarusamahbinsaid.@gmail.com
Mengejutkan ! Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat, jenis kejahatan anak tertinggi sejak
tahun 2007 adalah sodomi anak. Jauh melampaui jumlah kejahatan penculikan dan
perdagangan anak. Ironisnya, para pelakunya adalah guru sekolah, guru privat
termasuk guru ngaji, dan supir pribadi.
Demikian
disampaikan Ketua umum Komnas Anak Seto Mulyadi yang dihubungi, Kamis (10/4)
malam. Ia menyampaikan hal itu menanggapi penangkapan tersangka pelaku sodomi,
Hendi Sunandar (42), dan Yusuf Kurniawan (25), Kamis siang. Hendi adalah supir
pribadi, sedang Yusuf adalah guru ngaji.
“Tahun
2007, jumlah kasus sodomi anak, tertinggi di antara jumlah kasus kejahatan anak
lainnya. Dari 1.992 kasus kejahatan anak yang masuk ke Komnas Anak tahun itu,
sebanyak 1.160 kasus atau 61,8 persen, adalah kasus sodomi anak,” ungkapnya.
Dari tahun 2007 sampai akhir Maret 2008, lanjutnya, jumlah kasus sodomi anak
sendiri sudah naik 50 persen.
Ironisnya,
lanjut Seto, para pelakunya adalah orang-orang dekat. “Yang paling banyak
adalah guru les. Les musik, les pelajaran sekolah termasuk guru ngaji. Berikutnya
adalah supir pribadi, dan terakhir adalah guru sekolah,”
paparnya.
Dengan
pendekatan makro, penyebabnya adalah stres para pelaku karena kacaunya sistem
nilai yang berkembang dalam masyarakat, serta merosotnya kondisi ekonomi.
“Kekacauan sistem nilai sosial menyebabkan kekacauan komunikasi dan perilaku,
sedang kekacauan sistem moral menyebabkan kemunafikan serta merosotnya nilai
kemanusiaan. Kedua sistem nilai yang kacau ini menyebabkan krisis identitas,
pemacu stres di tengah memburuknya kondisi ekonomi riil masyarakat. Jadi saling
berkait rumit satu dengan yang lain,” jelas Seto.
Dengan
pendekatan mikro, penyebabnya adalah merosotnya perhatian dan waktu orang tua
terhadap anak. “Banyak orang tua yang berkilah, yang penting kualitas pertemuan
dan perhatian anak, bukan kuantitasnya. Itu tidak benar. Saya menilai, itu cuma
pembelaan ego orang tua saja,” tandas Seto.
Menurut
dia, dalam sejumlah penelitian yang ia lakukan maupun orang atau lembaga lain
lakukan terbukti, karena orang tua semakin tidak punya waktu banyak kepada
anak-anaknya, orang tua semakin cenderung menjadi pembicara ketimbang menjadi
pendengar. Setiap kali seorang anak bicara, orang tua sudah tujuh kali bicara.
Akibatnya, anak lebih dekat dengan orang dewasa lainnya yang dianggap mau menjadi
pendengar yang baik.
“Siapa
orang-orang dewasa itu? Ya guru privat, ya supir pribadi, ya guru sekolah yang
diam-diam memendam banyak persoalan pribadi, lalu stress,” ucap Seto.
Untuk
menghindari kasus sodomi anak, Seto mengingatkan orang tua agar mau belajar
menjadi pendengar yang baik ketimbang pembicara. “Itu artinya, dibutuhkan lebih
banyak waktu. Jangan sekadar bicara lewat telepon, memberi nasihat dan perintah
ringkas lalu, klik, tutup telepon,” tandasnya. Dengan lebih banyak mendengar,
lanjut Seto, selain anak semakin dekat dengan orang tua, orang tua pun semakin
mengenal kesulitan-kesulitan anak mereka termasuk peluang kejahatan yang
mengepung anak.
“Secara
makro saya mengimbau masyarakat membangun sistem nilai yang lebih terbuka,
lebih pasti, lebih punya pijakan kuat, dan mempunyai dasar kemanusiaan yang
universal. Sebenarnya bangsa ini sudah memiliki bekal yang lebih dari cukup
untuk membangun sistem nilai seperti itu. Sayang, kini hanya sebatas kulit,
atribut, atau jargon saja,” tutur Seto.
Semoga
Bermamfaat, Syukran Jazakumullahu Khairan@
0 Response to "Realitas Pendidikan Indonesia: Kejahatan Yang Terjadi Pada Anak"
Post a Comment